OPINI

Kita Semua Adalah Army BTS, No Debat

Di medsos, penggemar KPop hari ini adalah tiran mayoritas. Mereka menguasai trending topic nyaris setiap hari dan karenanya mereka mendominasi berita dan hajat hidup kita.

Mereka ada di mana-mana, bahkan sangat mungkin ada di dalam rumah kita. Mereka bukan hanya anak-anak remaja yang mulai berjerawat tapi juga murid-murid SD. Bahkan anak-anak TK dan PAUD pun sekarang menggemari BTS lewat kartun BT21.

Bagi kita yang besar di era Iwan Fals atau Dewa 19, musik Korea semacam BTS atau Blackpink mungkin hanya serupa bunyi berisik. “Wong cuma teriak aye-aye gitu aja kok disukai? Enaknya di mana?”

“Kalau naget dan kentang goreng McD diberi nama BTS Meal, apa lantas rasanya beda sampai diburu kayak gitu? Gak punya akal!”

Foto, yuhronur_yes/rollingstout

Kita yang besar di era kecantikan Dian Sastro dan ketampanan Nicholas Saputra mungkin akan mengejek, “Wong artis Korea wajahnya sama semua gitu kok digemari sampai tergila-gila? Itu kan plastik semua!”

Intinya, kita tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak penggemar band Korea. Sebagaimana mereka juga tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak kita.

Kedua pihak sama-sama tidak bisa memahami. Tapi kita semua tahu, fanatisme itu memang buta. Tak perlu masuk akal. Dan kalau kita mau jujur, sikap fanatik sebetulnya juga dimiliki semua orang, termasuk kita semua.

Kita juga pengidap fanatisme, hanya saja dalam hal yang berbeda. Yang paling jelas tentu saja adalah fanatisme politik. Ini justru jauh lebih berbahaya daripada fanatisme ala Army BTS atau Blink.

Ada yang begitu fanatik sampai level Army kepada Jokowi. Atau sebaliknya, ada yang begitu benci sampai level enemy kepada Jokowi. Lalu mereka menyebarkan fanatisme dan kebencian itu setiap hari di grup WA dan medsos. Ini adalah bentuk fanatisme yang jauh lebih berbahaya.

Fanatisme KPop hanya seperti gelombang laut. Pagi ini pasang, nanti sore surut. Tapi fanatisme politik sudah terbukti berlarut-larut. Dua periode pemilu, fanatisme dan kebencian kita masih terus berlanjut.

SEJARAH

Foto Orang Lamongan yang Pergi ke Suriname Zaman Belanda

Ani/Mantup

Pada tahun 1890-1930, pemerintah Hindia Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname, Amerika Selatan, untuk bekerja di perkebunan milik Belanda di sana. Mereka dikirim ke Suriname untuk menggantikan pekerja asal India yang susah diatur. Belanda lebih menyukai pekerja asal Jawa karena mereka dikenal penurut.

Dasminah/Songo, Ngimbang. Foto ini aslinya buram. Diedit oleh KADOUYE_LAMONGAN. Jika Anda butuh jasa edit foto dan video profesional yang bisa edit apa saja, silakan hubungi WA 085604193406 atau Instagram kadouye_lamongan.

Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang di antaranya berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Doongpring (Kedungpring), dan Bangbau (Kembangbahu). Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.

Kamidjah/Gedong, Kedungpring   

Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.

Mbok Djasman/Blumbang, Kedungpring

Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Umur 20 tahun sudah bertatus mbok.

Kamisah/Deket

Tentu butuh keberanian, kenekatan, dan kepasrahan tingkat tinggi untuk memutuskan pergi bekerja ke suatu tempat entah di mana nun jauh di sana, lebih jauh daripada Mekkah yang mereka dengar ceritanya dari khotbah.

Karsih/Nglawan, Kembangbahu

Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air, dan berangkat dengan berlinang air mata. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.

Kasmidjah/Suruan, Kedungpring

Tapi sejarah berkata lain. Situasi politik yang kacau membuat hanya sebagian kecil yang bisa kembali ke Jawa. Banyak yang meninggal di sana selama masa kontrak. Sebagian besar selesai kontraknya dan tetap tinggal di Suriname, berkeluarga di sana, dan punya keturunan.

Kiatoen/Banaran, Babat

Sebagian dari mereka sempat dipulangkan ke Hindia Belanda (Indonesia) tapi tidak ke Jawa, melainkan ke Sumatera Barat. Tapi karena di sini hidup mereka lebih sulit, akhirnya mereka minta kembali ke Suriname.  

Marinah/Dinoyo, Deket

Data mereka sebetulnya cukup lengkap. Ada data keberangkatan, perusahaan tempat bekerja, tanggal kematian, data keluarga mereka yang memutuskan tinggal di Suriname, dan sebagainya.

Ngaisah/Songo, Bluluk

Tapi kami hanya menampilkan data nama dan asal kecamatan. Beberapa nama desa mungkin tidak dikenal karena nama zaman Hindia Belanda bisa jadi berbeda dengan nama desa yang kita kenal sekarang.

Ning/Ngonko, Ngimbang

Nama kecamatan juga tidak selalu sama dengan kecamatan sekarang. Sidajoe (Sedayu), misalnya, pada zaman itu meliputi wilayah Lamongan Pantura.

Markillah/Banjaranyar, Sedayu

Dari arsip sejarah ini kita bisa menyaksikan bagaimana kerasnya hidup buyut-buyut kita. Status pekerja kontrak pada masa itu hanya satu tingkat di atas perbudakan. Belanda sendiri setengah abad sebelumnya masih mempekerjakan budak di Suriname. Mereka diganti dengan pekerja kontrak karena perbudakan resmi dilarang tahun 1860.

Sakirah/Babat

Di sana mereka bekerja di kebun tebu, kopi, kakao, pabrik gula, dll, seperti yang tampak di video berikut. Soundtrack video ini adalah lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, oleh penyanyi Belanda, Wieteke van Dort.

Lagu ini bercerita tentang makanan-makanan di Jawa: nasi goreng, sambel, kerupuk, lontong, sate babi, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpau, ketan, gula jawa.

Video berasal dari grup Sambung Roso Java-Suriname Indonesia.

Barangkali di antara pembaca ada yang punya buyut pergi ke Suriname dan pernah dengan ceritanya dari kakek-nenek? Jika sampeyan punya cerita, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com/

Atrap/Bandangan
(Kandangan? Sambeng)
Ponidin/Kramat,
Lamongan
Saridin/DalitRais/Sedayu
Saridjan/Sepat, Candiretto
(Tambakmenjangan, Sarirejo?)
Ramidin/Koloputih
(Karanggeneng)
Saridjan/Sukomalo, MojonanRasmie/Patalan
Sarimin/LamonganRebo/Rangkak, Turi
Sarman/Bejujar, KembangbahuReksosoedarmo/Ngimbang
Sidin/Sukobendo, NgimbangSadi/Kembangbahu
Singoredjo/Kradenan
(Kedungpring?)
Sakiman/Kalen, Kedungpring
Kasmidjah/SedayuSampan/Karanggeneng
Sitam/Pangean (Maduran)Saridin/Balan (Babat?)
Soeromedjo/Selagi, NgimbangLassiman/Menongo
Markati/SedayuMarsoepi/Bandung, Lamongan
Soewirio/NgimbangMartibin/Bessar (Besur, Sekaran?)
Martidjah/LamonganMarto/Mlati, Ngentir
Moeinah/TlogoanyarNaridin/Ngimbang
Sokarto/Gondang, NgimbangNgaido/Brumbun (Maduran?)
Somedjo/Gempalpendawo,
Ngimbang
Ripan/Kedungpring
Toidjojo/Kemesik, KembangbahuPare/Kembangbahu
Sani/KedungturiPartok/Ngimbang
Saridjah/SawoSinah/Bluluk
Mbok Sarimin/Nglawak
(Lawak/Ngimbang?)
Soepinah/Babat
Sidah/KarangkawisWasirah/Babat
Wagijo/SukorameWarsono/Suren (Bluluk?)
Masih ada beberapa puluh
nama lagi tapi tidak kami
tampilkan karena tidak ada
fotonya.
Wiroredjo/Tlatar, Ngimbang
OPINI

Kopit, Cebong, dan Kadrun

Satu setengah tahun sudah kita dikepung wabah. Tahun lalu kita menyangka wabah ini akan cepat reda. Tapi yang terjadi ternyata sebaliknya.

Bulan Juli kemarin benar-benar mendebarkan. Rumah sakit penuh. Berita kematian sahut-menyahut. Orang-orang mencari tabung oksigen hingga ke tukang las

Yang di bawah berteriak marah, “Pemerintah tidak becus!”

Yang di atas menyahut ketus, “Rakyat susah diatur!”

Amarah yang sia-sia.

Jika pun pemerintah tidak becus, mereka sebetulnya adalah wajah kita sendiri. Mereka adalah  orang-orang yang kita bela habis-habisan saat pemilu sampai kita rela bermusuhan dengan teman sendiri. Ini adalah kesalahan kolektif kita semua, yang mau diperalat saat pemilu.

Sekarang Indonesia menjadi pusat wabah paling parah. Parahnya lengkap. Kasus tinggi, kematian tinggi, vaksinasi rendah, literasi kesehatan juga rendah. Hoax mudah sekali menyebar. 

Pemerintah LBP tapi LBP. Lagi Bokek Parah tapi Lagaknya Belagu Pol. Ingin membangun ini dan itu.

Ini masih ditambah dengan kubu oposisi yang belum move on dari kekalahan pemilu. Masih berharap Jokowi jatuh di tengah pandemi. Ini dendam kesumat yang tak ada obatnya. Kalau pemerintahan ambruk, wabah sudah barang tentu akan makin parah.

Karena pemerintah paranoid, semua kritik dianggap sebagai upaya menjatuhkan. Yang mengkritik dicap kadrun. 

Lengkap sudah. Virus biologi. Virus politik. 

Sekarang virus sudah bermutasi menjadi bermacam-macam varian yang makin sulit dijinakkan. Dengan kondisi sekarang, siapa yang berani menjamin wabah akan selesai tahun ini? 

Kita butuh pemerintah yang becus sekaligus rakyat yang tertib. 

Ini masa genting. Salah kebijakan bisa menyebabkan ribuan orang mati. Sudah seharusnya pemerintah memang dikritik, terutama oleh pendukungnya. Bukannya dibela habis-habisan. Sebab mereka memegang uang kita, memegang senjata, memegang stempel undang-undang, mengendalikan palu pengadilan.

Contoh gampang adalah kelalaian pemerintah yang sejak awal meremehkan pandemi dan mau mengkomersialkan vaksin. Kalau saja ini tidak dikritik kiri kanan, mungkin ketidakbijakan ini akan terus lanjut. Dan korbannya adalah kita, rakyat jelata yang harus menunggu antrian vaksin nomor sejuta. 

Pada akhirnya, semua akan jadi korban. Cepat atau lambat, Covid akan datang ke keluarga kita.

Covid hanya bisa membedakan orang yang sudah divaksin dan belum; orang yang memakai masker dan tidak.

Covid tak bisa membedakan cebong dan kadrun. 

OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Wisata Kuliner Rujak Cemplang

Saat ini kita hidup di zaman ketika urusan makan tidak sekadar mengisi perut tapi kegiatan rekreasi. Mampir di warung sekarang kita sebut sebagai “wisata kuliner”. 

Di mana-mana, kita cenderung memilih tempat makan yang viral, laris, dan maknyus. Jika mungkin, yang instagramable dan tiktokable. 

Bahkan sekarang kita rela menempuh jarak berkilo-kilometer hanya demi makan siang yang sebetulnya bisa kita dapatkan di warung mana saja. Orang Laren bisa sengaja sarapan di Sego Sambel Pak Botak Brondong yang lokasinya mblusuk-mblusuk. Hanya supaya tidak ketinggalan berita viral.  

Tentu saja kami juga melakukan ini. Misalnya, ketika sedang jalan-jalan di sekitar Paciran, kami hampir selalu mampir Rujak Mak Tas sejak zaman rujaknya diulek Mak Tas sendiri. Tiap kali melewati jeglongan jembatan Paciran, motor kami seperti tiba-tiba ngerem sendiri. Mungkin karena kampas remnya Honda KW.

Mak Tas adalah wanita penggoda. Di warung ini, semuanya enak. Rujaknya sedap. Es dawetnya gurih legit. Santannya selalu dibuat baru. Entalnya juga empuk, kematangannya pas. Tidak ada yang mengecewakan.

Foto: Dewangga S.R.D/uut_udhel 29

Semua jualan Mak Tas enak karena dia menggunakan bahan-bahan kualitas nomor satu. Gula merah siwalan asli. Terasi udang asli. Petis ikan asli.

Saking larisnya rujak Mak Tas, kapan pun kita datang, warungnya selalu ramai. Sing adol sampek ora ketok bokonge. Kadang kita harus menunggu antrian sampai setengah jam lebih karena satu orang bisa mbungkus banyak sekali.

Foto: Gallant Tsany Abdillah

Mampir Mak Tas hampir menjadi protap tiap kali lewat Paciran. Ketika kampas rem motor kami ganti dengan suku cadang Aspira, ndilalah remnya semakin error. Tidak lagi ngerem sendiri di jembatan Paciran, tapi ngerem secara acak di warung-warung rujak sepanjang pinggir Jalan Raya Paciran. Gonta-ganti di warung yang sepi. 

Sebagian besar warung di sana sudah kami coba satu-satu. Banyak yang enak walaupun tidak seenak Mak Tas. Tapi ada yang rujaknya asin sekali. Ada yang cemplang. Ada yang es dawetnya agak kecut, mungkin karena santannya sudah dibuat sejak pagi. 

Ada yang entalnya terlalu keras karena terlalu tua. Ada yang legennya sudah masam. Macam-macam kekurangannya. Intinya, kalau diibaratkan rating di Play Store, mungkin bintangnya 3.

Tapi kata Pak Ustad di Masjid Taqwa Paciran yang kami singgahi, Nabi Muhammad, manusia mulia itu, melarang kita mencela makanan. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah mencela makanan walaupun makanan itu terlalu asin. 

Ibu-ibu yang rujaknya cemplang itu mungkin memang tidak dikarunia kecerdasan sambal seperti Mak Tas dan keluarganya. Tapi yang pasti mereka adalah para perempuan mulia, yang mencari nafkah bagi keluarganya. 

Rujak mereka mungkin hanya bintang 3. Tapi kehadiran kita, dua tiga orang pembeli, jelas sangat berarti bagi nafkah mereka. 

Setelah mendengar penjelasan Pak Ustad ini, kami tidak jadi membawa motor ke bengkel Ahass. Rem Aspira yang error itu ternyata membawa kami pada eksperimen wisata baru yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Wisata kuliner di warung yang sepi, tidak viral, tidak maknyus. 

Wisata kuliner di warung maknyus memang memuaskan selera lidah kita. Tapi wisata kuliner di warung yang sepi bisa jadi lebih bermanfaat bagi pemerataan ekonomi. 

OPINI

Pamer Udel

Saiki ono istilah anyar sing lagi populer: crazy rich. Boso Jowone, (wong) sugih mbrewu. Kadang-kadang iso ugo artine wong sugih anyaran. Utowo jarene simbah-simbah mbiyen, wong kere munggah bale.

Biasane wong-wong ngene iki seneng pamer duwik. Contone: Indra Kenz karo Doni Salmanan sing ulan wingi dicekel pulisi mergo terlibat penipuan berkedok trading.

Menungso pancen seneng pamer, seneng digunggung. Pamer dunyo. Pamer bojo. Pamer kapinteran. Pamer kealiman. Lan liyo-liyane. 

Nanging asline pamer iku ora apik. Mergo yo ora ono manfaate blas, kanggo sing pamer, utowo sing dipameri. Wong ibadah iku apik. Tapi nik niate pamer, dadine ora apik. Jenenge riya’. Opo maneh pamer harta. Malah nggarai wong liyo iri. Iso-iso malah ngundang penjahat. 

Mangkane sing enak iku asline wong sing sederhana. Contone koyok tonggoku, nandi-nandi numpak honda Suzuki Jet Cooled. Emboh tahun piro. Ragangane wae wis mbulak kabeh. Tapi wonge iki mungkin wong paling tenang sak ndonyo. Nandi-nandi kunci sepeda montore nemplek terus nang setang. Ora tau dijabut. Yo enak wae ora kepikiran dicolong uwong mergo yo opo tumon ono maling nyolong Jet Cooled.

Nik sepedaan, mesti alon-alon mergo memang hondae wis ra iso mlaku banter. Naliko ditakoni lapo kok ora ganti honda sing banter, jarene mergo nik sepedae banter, deweke ora iso moco dzikir lan sholawat. 

Saiki bandingno karo wong sugih sing nandi-nandi nggowo barang larang. Nandi-nandi mesti kuwatir. Numpak montor, wedi kesrempet. Numpak honda, wedi dicolong. 

Asline wong-wong ngene iki uripe gelisah terus. Kepingin digunggung wong liyo terus. Padahal nik wis digunggung, terus piye? Opo nik bar digunggung trus rasane koyok orgasme ngono opo piye?

Biasane wong sing seneng pamer iku ora sesuai karo kenyataane. Sing pamer duwik, asline ora sugih tenanan, contone yo koyok Indra Kenz iku. Sing seneng pamer foto-foto keluarga romantis, asline keluargane ora seromantis iku, contone yo koyok artis-artis sing nang tivi iku. 

Sing seneng pamer kapinteran, biasae ora sepinter iku, contone yo koyok sing nulis nang LamonganPos.com iki. Sing pamer kealiman, asline ora sealim iku, contone yo koyok ustad terkenal sing seneng ngejak wong sedekah padahal asline cuma kanggo keuntungan pribadine.  

Memuji utowo dipuji iku podo-podo ora apike. Senajan memuji wong sing bener-bener alim wae ora apik. Ali bin Abi Thalib wae, naliko digunggung, langsung ngomong nang ngarepe wonge sing muji, “Aku asline ora seapik iku.” Nik dipuji, Sayyidina Ali malah wedi, trus langsung ndungo, “Ya Allah, mugi panjenengan mboten nyikso kulo amergi pujian tiyang meniko.”

Alhamdu lillah. Kabeh puji-pujian mung kanggo Gusti Allah.

OPINI

Kiai Ghofur dan Ajian Lembu Sekilan Tolak Corona

Foto: FB Sakti Wahyu Trenggono

Ada yang menarik dari kunjungan Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono di Lamongan beberapa hari lalu. Ketika mengunjungi Ponpes Sunan Drajat, dia disambut oleh Kiai Ghofur tanpa prokes. Pak menteri dan rombongannya memakai masker, Pak Ghofur tidak.

Para pejabat itu tampak mati gaya di depan Pak Ghofur. Kiai Lamongan memang tyada dwanya. Politisi mana yang berani kepada kiai yang menentukan suara pemilu di Lamongan ini?

Sejak awal pandemi, Pak Ghofur memang yakin Pesantren Sunan Drajat aman dari Covid. Penangkal corona cukup doa dan ayat kursi.

Di video Youtube di bawah ini, tampak jelas keyakinan Pak Ghofur. Ini sudah soal iman. Iman tak bisa didebat.

Pak Ghofur, selain kiai, adalah seorang pendekar olah kanuragan. Jauh sebelum terkenal sebagai kiai, Abdul Ghofur muda pada tahun 1974 mendirikan perguruan bela diri yang dinamai GASPI, Gabungan Silat Pemuda Islam.

Di kalangan pengikutnya, ia dianggap sakti mandraguna. Maka mudah dipahami jika ia punya keyakinan seperti ini.

Soal Covid ini, saya pribadi tidak mengikuti pendapat Pak Ghofur. Saya tetap mengikuti jumhur saintis, juga jumhur ulama. Jika saya harus mengikuti satu orang kiai NU, tanpa ragu saya akan memilih Gus Mus.

Sejak awal pandemi, Gus Mus selalu mengikuti pedoman sains. Memakai masker, kata penyair balsem ini, adalah juga bentuk sikap menghormati dan mencintai orang lain.

Beda pendapat tentu hal yang biasa.

Bagaimana menurut Anda?

Mari membiasakan diri menyatakan pendapat tanpa kebencian. Mari berdebat dengan cara yang baik. Billaty hiya ahsan.

OPINI

Keributan di Kafe Aola dan Wajah Koplo Pantura

Beberapa hari ini orang Lamongan dihebohkan berita kericuhan di Kafe Aola Paciran. Pengunjung yang sedang mabuk menyumbang lagu sumbang di panggung. Diteriaki disuruh turun. Marah. Lempar kursi. Baku hantam. 

Menurut keterangan polisi, pelaku berasal dari Lohgung, Kecamatan Brondong.

Pantura Lamongan memasuki transisi dari desa menjadi kota, dengan segala efek buruknya. Termasuk kebiasaan mendem. Brondong dan Paciran adalah kecamatan dengan peredaran miras dan narkoba paling pesat di Lamongan. Sekitar 70% kasus narkoba di Lamongan terjadi di dua kecamatan ini. Ini angka statistik di Polres Lamongan lho ya, bukan karangan.

Di jalan Raya Deandels, kadang ada pengendara motor yang tiba-tiba ndlosor atau menabrak pengendara lain karena mabuk. Itu di jalan raya. Belum lagi di gang-gang perkampungan.

Di lapangan bola voli sebelah barat Aola, pernah ada sebuah grafiti yang terbaca jelas dari jalan raya. “Sing mendem ndang moleh.” Yang mabuk jangan ikut main. Sekarang grafiti ini sudah tidak ada tapi Google Maps masih menyimpannya.

Foto: Aola Pantura

Dulu sewaktu Carnophen sedang naik daun, di Brondong pernah ada tulisan yang juga masih tersimpan di Google Maps, “Yang mau beli karnopen jangan lewat sini.”

Banyak warga tahu ada tetangga mereka yang mengedarkan narkoba, tapi mereka cuma bisa menyindir. Para pengedar itu sudah mati rasa. Mereka juga tak peduli dengan hukuman sosial warga.  

Beberapa pengedar kemudian ditangkap polisi. Dipenjara. Keluar. Mengedarkan lagi. Ditangkap lagi. Sampai sekarang kita masih sering mendengar berita polisi menangkap pengedar narkoba di Pantura.

Dulu ketika Jawa Pos dan Surya masih laku, sewaktu ada pengedar yang tertangkap, penjual koran masuk ke gang-gang di dalam perkampungan sambil berteriak, “Koran…koran… pengedar narkoba orang sini ditangkap polisi”. Rasanya masygul sekali, membaca berita kriminal di koran, dan pelakunya adalah tetangga sendiri.

Warga sebetulnya sudah kehilangan kesabaran. Tapi mereka tak bisa main hakim sendiri. Ketika jalan sosial buntu, jalan hukum buntu, laskar FPI bertindak. Rusuh. 

Hingga kini, dan entah sampai kapan, masalah narkoba masih menjadi sampah utama di Pantura.

Secara fisik, Pantura makin indah. Kafe dan tempat wisata ada di mana-mana. Tapi keindahan ini seperti karpet yang menyimpan sampah di bawahnya. Secara diam-diam, di Pantura masih banyak yang koplo.

Orang Pantura mungkin protes, “Jangan nulis yang begini, dong. Ini kan mencemarkan reputasi Pantura”. Ini sama saja bilang, “Jangan merekam orang baku hantam di Aola, dong. Ini kan mencemarkan reputasi Aola.”

Yang merusaka reputasi Pantura adalah para pemabuk dan pengedar narkoba. Bukan polisi yang menangkap mereka atau media yang memberitakannya. Sama halnya, yang merusak reputasi Aola adalah orang yang bikin onar, bukan pengunjung yang merekam dan menyebarkannya di Instagram.

“Tapi kan tidak semua orang Pantura seperti itu”. Ya sudah barang tentu. Ini logika dasar statistik. Generalisasi ini seperti menyimpulkan orang Lamongan maling semua. Namun, bagaimanapun juga, angka statistik Polres Lamongan harusnya menjadi bahan introspeksi sosial. Bersama-sama.

Mereka yang suka mabuk itu adalah nila Pantura. Jumlah mereka sedikit. Tapi nila setitik sudah cukup untuk merusak susu sebelanga. Gara-gara mereka, reputasi pemuda Pantura ambyar di depan calon mertua.

Mengingkari adanya problem ini sama saja dengan membiarkan diri sakit kronis tanpa diobati. Sama buruknya dengan membuat generalisasi bahwa orang Pantura nakal semua.

Seandainya tidak ada masalah miras dan narkoba, Pantura adalah daerah pinggir yang paling istimewa di Lamongan. Suasananya masih desa, biaya hidup masih murah, bikin rumah masih terjangkau, pendidikan mudah, pesantren banyak, tempat wisata di mana-mana, makanan enak-enak, klinik dan rumah sakit banyak, internet cukup bagus, ekonomi hidup, wirausaha bisa berkembang, kesenian semarak, transportasi mudah.

Liveable.

_______________________________________

Penulis opini ini pernah 10 tahun tinggal di wilayah Pantura

Bacaan:

  1. https://beritajatim.com/peristiwa/buat-onar-di-kafe-aola-paciran-lamongan-2-pemuda-mabuk-diciduk/
  2. https://jatim.idntimes.com/news/jatim/faiz-nashrillah/kasus-narkoba-masih-jadi-kriminalitas-tertinggi-di-kabupaten-lamongan-regional-jatim
  3. https://radarbangsa.co.id/kapolres-lamongan-kasus-narkoba-tahun-2020-meningkat-ini-wilayahnya-paciran-dan-brondong/.
  4. https://jatim.inews.id/berita/14-pengedar-dan-pemakai-narkoba-di-lamongan-ditangkap-polisi
  5. https://jatim.inews.id/berita/asyik-hitung-laba-jual-narkoba-2-pengedar-sabu-di-lamongan-dibekuk-polisi
  6. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4884251/sembunyikan-sabu-di-plafon-warga-lamongan-ditangkap
  7. https://jatim.idntimes.com/news/jatim/imron/polisi-tangkap-perempuan-lamongan-pengedar-sabu/4
  8. https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/14171331/polres-lamongan-tangkap-2-residivis-kasus-narkoba
  9. https://surabaya.tribunnews.com/2019/12/18/polisitangkap-11-orang-terkait-narkoba-tiga-kecamatan-di-kabupaten-lamongan-rawan-peredaran-sabu
  10. https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2018/04/24/67380/tangkap-pengedar-karnopen-pelanggannya-siswa-sma
  11. https://www.harianbhirawa.co.id/polres-lamongan-tangkap-tujuh-tersangka-pengedar-dan-pemakai-sabu-narkoba/
  12. https://memorandum.co.id/simpan-sabu-di-rumah-dua-pemuda-paciran-digerebek/
  13. http://bloktuban.com/2020/10/30/tiga-minggu-satresnarkoba-tuban-tangkap-15-pengedar-narkotika/
  14. https://surabaya.tribunnews.com/2018/07/12/sepekan-operasi-satreskoba-polres-lamongan-gulung-10-tersangka-sindikat-narkoba
  15. https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2019/08/17/151264/undangan-nikah-tersebar-tertangkap-bawa-ss
  16. https://klikjatim.com/baru-bebas-pengedar-narkoba-lamongan-ini-kumat-lagi-lihat-akibatnya/
  17. https://jatim.tribunnews.com/2018/08/01/bersih-besih-pengedar-narkoba-di-wilayah-pantura-lamongan-kini-giliran-warga-brondong-dibekuk
BERITA

Simalakama Mudik dan Bahaya Covid 21 dari India

Mantan Bupati Lamongan Pak Fadeli baru saja meninggal dunia. Pak Bupati Yes mengkonfirmasi bahwa Pak Fadeli meninggal dunia karena Covid.

Covid sudah nyata sekali di depan kita. Tapi masih saja banyak yang bilang, “Ah, Covid itu dilebih-lebihkan. Tidak ada orang yang mati MURNI karena Covid!”

Tentu saja tidak ada orang mati MURNI karena Covid. Makanya ada istilah “ko-morbid”. Penyakit penyerta.

Sama halnya tidak ada orang yang mati murni karena kanker, AIDS, diabetes, gagal ginjal, atau liver. Apakah itu berarti penyakit-penyakit tersebut dilebih-lebihkan?

Foto: Batik Corona, made in Desa Kembangan, Sekaran.

“Tapi kenapa wisata dibuka? Pilkada jalan terus? Penerbangan dari luar negeri dibuka? Pak Jokowi datang ke kondangan Atta Halilintar? Bahkan berkunjung ke Lamongan, padahal Menteri Kelautan barusan berkunjung? Semua kok boleh? Kenapa mudik dilarang?”

Argumen ini memang benar. Tapi kesimpulannya bisa salah. Kalau Pak Jokowi melakukan kesalahan, itu tidak berarti kita boleh melakukan kesalahan yang sama.

Larangan mudik sudah benar. Ini bentuk kehati-hatian. Yang salah adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten soal pilkada, wisata, mall, penerbangan luar negeri, dan sebagainya.

Pak Jokowi sebagai pemimpin tertinggi harusnya juga memberi contoh yang selaras dengan kebijakannya. Harusnya dia juga tidak menciptakan kerumunan di mana-mana.

“Ah, kamu pasti Kadrun!” Stempel inilah yang akan kita dapat kalau kita mengkritik pemerintah. Padahal kita fokus mengkritik kebijakan. Tak ada urusannya dengan kebencian personal.

Di tengah situasi saling mau enaknya sendiri ini, mari bersikap realistis saja. Mari selamatkan diri dan keluarga masing-masing. Wabah Covid gelombang dua tahun ini bisa jadi lebih sulit dikendalikan.

Saat ini episentrum wabah ada di India. Penyebabnya adalah virus Covid yang sudah bermutasi. Bukan lagi Covid 19 tapi Covid 21.

Di sana kondisinya mencekam. Rumah sakit penuh. Banyak pasien terpaksa dirawat di rumah dengan tabung oksigen. Shiva dan Ladu Singh tak bisa berbuat apa-apa.

Suasana kremasi massal jenazah korban Covid di India. Foto Aljazeera.

Covid 21 varian India ini sudah terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Hanya kita belum tahu seberapa banyak karena Indonesia lemah dalam hal tes-lacak.

Dalam kondisi ini, kita harus waspada dan tahu diri. Indonesia tak beda jauh dari India. Maka wajar jika kita khawatir. Jangan sampai tragedi di India terjadi juga di negara kita.


OPINI

Jika Jempol Tak Bisa Ditata, Lebih Baik MUTE Saja

Foto: Ahmad Muqodam *)

Kita hidup di zaman yang serba pincang, serba jomplang. Informasi datang begitu kencang. Sementara kebijaksanaan selalu tertinggal di belakang.

Youtube dan Instagram membuat kita terlalu cepat jatuh cinta. Juga terlalu cepat kecewa. Baru tahun kemarin Nissa Sabyan menjadi idola, sekarang dia dicela.

Internet menyebarkan berita tak penting seolah-olah itu hal genting. Seandainya pun gosip-gosip soal Duo Sabyan itu benar, apa pentingnya buat kita? Jika Aa Gym jadi bercerai atau batal bercerai, apakah itu penting buat kita?

Fathuba liman syagholahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnas.

Maka berbahagialah orang yang matanya kelilipan oleh aibnya sendiri sehingga tidak bisa melihat aib orang lain. Dan merugilah orang-orang yang gesit mengomentari gosip.

Mimbar dan panggung, sebagaimana Instagram, membuat kita mudah ditipu oleh citra. Di sana semua tampak begitu menawan. Seolah-olah hidup isinya cuma hari Lebaran. Mirip foto-foto Instagram. Yang selalu indah, selalu menawan. Seolah-olah setiap hari adalah liburan di Pantai Kutang dan Pengkolan.

Padahal setiap orang disibukkan oleh masalahnya sendiri-sendiri. Tak terkecuali mereka yang setiap hari mengutip ayat-ayat suci. Tapi kita selalu menyangka hidup mereka selalu indah. Seindah kata-katanya. Seindah puisi-puisinya.

Itu sebabnya kita mudah terpesona. Dan tentu saja mudah kecewa.

Di internet, informasi datang seperti air bah. Isinya ghibah dan marah-marah untuk hal-hal yang tak  berfaedah.

Maka kita cepat sekali pintar dan piawai sekali berkomentar. Lupa bagaimana caranya diam.

Falyaqul khoiron aw liyasmut.

Kendalikan jempol atau MUTE.

*) Ahmad Muqodam, fotografer-videografer, tinggal di Sedayu Lawas, Brondong. Lihat karya lainnya di akun Instagramnya. Untuk kerja sama, hubungi WA 088230230662.

BERITA

Pak Fadeli Sudah Divaksin Kok Masih Kena Covid?

Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya. Katanya vaksin buatan Sinovac itu efektif, tapi kenapa Ustaz Tengku Zulkarnain dan Pak Fadeli masih bisa meninggal dunia karena Covid?

Ini pertanyaan yang sangat penting. Tapi sebelum menjawabnya, kita harus memastikan dulu status vaksinasi mereka.

Ustaz Tengkuzul memang sudah divaksin. Tapi kami belum tahu, apakah Pak Fadeli sudah divaksin atau belum.

Pada vaksinasi gelombang pertama, Pak Fadeli yang saat itu masih menjabat sebagai bupati tidak ikut divaksin karena umurnya di atas 59 tahun.

Tapi sejak April kemarin, lansia Lamongan sudah masuk target program vaksinasi. Harusnya Pak Fadeli masuk kloter lansia ini. Tapi kami belum memperoleh kepastian informasinya karena sejak serah terima jabatan, status Pak Fadeli adalah rakyat biasa.

Andaikan seseorang sudah divaksin, apakah ia bisa meninggal karena Covid? Jawaban dari pertanyaan ini jelas: BISA! Ustaz Tengkuzul adalah contohnya.

Setidaknya ada empat penjelasan:

  1. Tidak ada vaksin yang manjur 100%

Dalam bahasa medis, kemanjuran vaksin disebut “efikasi”. Vaksin Sinovac dinyatakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) memiliki efikasi 65%. Artinya, orang yang sudah divaksin memang masih bisa terkena Covid, hanya saja peluangnya mengecil.

Efikasi sendiri sebetulnya bermacam-macam. Ada efikasi mencegah tertular, mencegah menularkan, mencegah gejala parah, hingga mencegah kematian. Angkanya bisa berbeda-beda. 

Kondisi penyakit seseorang juga menentukan. Ustaz Tengkuzul, misalnya, punya bawaan diabetes melitus.

  • Efikasi 65% itu hanya angka sementara

Angka 65% itu sebetulnya hanya angka sementara dari hasil pengamatan yang terbatas karena kondisinya mendesak. Makanya nama izinnya adalah Emergency Use Authorization. Izin penggunaan darurat.

Uji klinis yang normal harusnya dilakukan selama beberapa tahun. Tapi karena kali ini kondisinya mendesak, pengamatan hanya dilakukan selama setahun. Jadi “margin of error”-nya cukup besar. Angka efikasi yang sebenarnya bisa saja tidak 63%. Mungkin lebih rendah.

Satu vaksin, jika diuji di dua tempat yang berbeda, bisa saja hasilnya berbeda. Contohnya adalah vaksin buatan Sinovac. Di Brazil, angka efikasinya hanya sedikit di atas 50%.

  • Virus covid sekarang sudah bermacam-macam

Vaksin Sinovac dibuat dari virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina. Sekarang kondisi pandemi sudah banyak berubah. Virus ini sudah bermutasi menjadi banyak varian. Ada varian India, Inggris, Afrika Selatan.

Mungkin saja ada mutan Indonesia. Kita tidak tahu karena negara kita lemah dalam hal tes.

Makin banyak variasi mutan, makin sulit diprediksi kemanjuran sebuah vaksin. Sangat mungkin kemanjurannya turun.

  • Masih banyak yang belum kita ketahui

Ini penjelasan terakhir tapi yang paling penting. Walaupun wabah covid ini sudah lebih dari setahun, sebetulnya para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami penyakit ini. Ringkasnya, wallahu a’lam.

Vaksin tetap berguna menurunkan kemungkinan tertular, menulari, sakit parah, dan meninggal. Ini adalah ikhtiar yang bisa kita lakukan.

Tapi karena kita tidak tahu seberapa tingkat kemanjurannya, maka walaupun sudah divaksin, jangan merasa kebal.

Tetap pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan.