PETIS IKAN ASLI, ASIN GURIH BUATAN MBAH KHOT
Setidaknya ada dua jenis petis yang banyak beredar di pasaran, petis udang dan petis ikan. Petis udang tentu Anda tidak asing lagi, bukan? Lalu, bagaimana dengan petis ikan? Asing maupun tidak asing, sepertinya Anda tetap layak tahu bagaimana Mbah Khotijah, warga Desa Sedayulawas, Brondong, Lamongan, ini membuatnya.
—
Setiap malam, sekitar pukul 21.00, di dapur yang terletak tepat di sebelah rumahnya, Mbah Khotijah dengan telaten menata satu demi satu ikan layang – yang sebelumnya telah ia cuci bersih – dalam sebuah panci besar di atas kompor gas. Setelah siap, garam dan air ia tambahkan. Ya, ia akan memindang. Begitu cetek, kompor menyala, ia bisa bersantai sejenak, menunggu hingga ikan-ikannya matang.
Setelah sekitar setengah jam, wanita 70 tahun itu mengangkat pancinya. Memindahkan ikan layang yang sudah matang, memindah sari – air sisa – rebusan tadi pada sebuat wadah, dan menata kembali ikan-ikan layang lain yang sudah antri di belakang. Begitu seterusnya, hingga 50 kiloan ikan layang yang ia dapat tadi siang dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, selesai semua ia pindang.
Seperti kita tahu, memindang merupakan salah satu cara mengawetkan ikan. Dengan dipindang, ikan bisa beberapa hari lebih awet daripada dibiarkan mentah. Memang, pemindangan tidak lebih awet jika dibandingkan dengan pengasinan. Namun kelebihannya, ikan pindang dapat langsung dimakan. Dagingnya lembut dan cita rasanya khas, cenderung asin. Berbeda dari ikan asin yang masih harus dimasak kembali karena tekstur dagingnya yang keras dan mengering.
Bangun pagi-bagi
Setelah semua ikan selesai dipindang, Mbah Khot, sapaan akrab Mbah Khotijah, bisa beristirahat. Tapi tugasnya belum selesai. Besok pukul 02.30, dengan sedikit mengantuk, ia harus merebus kembali sari (sisa air) pemindangan tadi malam untuk dijadikan petis. Mula-mula, air sisa, yang dalam bahasa setempat disebut “kolo iwak” dimasukkan dalam satu panci lalu direbus.
Setelah agak mengental, kolo iwak disaring untuk membuang sisa-sisa ikan yang masih ada. Jika sudah bersih, direbus kembali sambil diaduk hingga kental betul. Sudah sekitar 40 tahun rutinitas ini Mbah Khot jalani. Tanpa pernah mengeluh, ia setia berteman dengan bau amis berbekal keahlian membuat pindang dan petis yang ia peroleh dari tetangganya dulu.
Butuh waktu hampir satu jam mulai dari merebus kolo iwak pertama kali sampai menjadi petis. Itu belum termasuk mengemas petis ke dalam wadah kecil, wadah khusus petis, untuk kemudian dijual. Wadah petis ini mirip seperti wadah obat generik di Pukesmas namun dengan ukuran yang lebih kecil dan berwarna bening. Diameternya kira-kira hanya 4 cm.
Asli seasli-aslinya
Sudah rahasia umum, banyak pembuat petis ikan mencampurkan gula merah dan garam untuk memperkuat rasa dan menambah volume petis. Tak jarang juga yang “mengakali” petis buatan mereka dengan tambahan tepung untuk bisa memproduksi petis dalam jumlah yang lebih banyak. Tanpa memikirkan soal kualitas. Bayangkan saja, bahan satu wadah petis asli bisa dijadikan 3-4 wadah jika dicampur dengan bahan-bahan tersebut.
Di Lamongan sendiri, khususnya di sepanjang garis pantai di Kecamatan Brondong dan Paciran, mencari petis ikan asli sudah sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dari ratusan petis siap jual, mungkin hanya beberapa saja yang tanpa campuran. Dari puluhan pembuat petis ikan, mungkin bisa dihitung dengan jari yang menjaga petisnya tetap asli seasli-aslinya. Tentu saja, satu di antara jari-jari tersebut adalah Mbah Khotijah.
Cuil sedikit sudah lezat
Buat Anda yang masih awam dengan petis ikan, petis ini memiliki warna, rasa dan tekstur yang berbeda dengan petis udang. Petis udang hitam, gurih, dan lembut. Petis ikan merah kecokelatan mirip warna gula merah, asin, dan lembut, namun tidak selembut petis udang.
Mudah bukan, membedakan petis udang dan petis ikan? Sebaliknya, membedakan petis ikan asli dan petis ikan campuran bukan hal gampang. Sekilas kedua petis ini tak bisa dibedakan dalam hal warna. Namun tentu masih bisa dibedakan dalam beberapa hal lain. Mbah Khot memberikan beberapa tips berikut. Pertama, dari teksturnya. Tekstur petis ikan asli lebih lembut dan tidak lengket. Berbeda dengan petis ikan campuran yang kadang keras dan lengket. “Itu (keras dan lengket) berasal dari tambahan tepung dan gula merah,” terangnya.
Kedua, dari segi rasa. Petis asli rasanya asin tapi tidak begitu kuat. Juga ada kecenderungan gurih serta berbau sedikit amis. Sedangkan petis ikan campuran, rasa asinnya kuat mirip garam, plus bau amisnya sering tidak tercium. Karena perbedaan ini, jangan heran jika petis ikan asli buatan Mbah Khot lebih enak dibanding petis-petis campuran. Juga lebih hemat, cukup cuil sedikit saja, sambal, bumbu rujak, atau bumbu lain sudah terasa begitu lezat.
Pesan dulu
Bukan hanya ikan layang, ikan-ikan laut lain seperti tongkol dan jui bisa juga dibuat petis ikan. “Tapi rasanya tidak akan seenak ikan layang,” ungkap Mbah Khot tanpa menunjukkan alasan. “Pokoknya asin gurihnya itu beda,” tambahnya.
Soal masalah gizi, kita tahu, ikan laut merupakan sumber protein yang tinggi, termasuk ikan layang. Meskipun petis hanya berasal dari air sisa pindangan, protein yang dikandungnya terhitung masih cukup banyak, 2/3 dari protein pindang layang itu sendiri.
Menurut data kandungan gizi bahan pangan dan hasil olahan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Yogyakarta, pindang layang mengandung protein 30 g, kalsium 60 mg, fosfor 200 mg, dan vitamin A sebesar 200 SI. Sedangkan untuk petis ikan kandungan proteinnya tersisa 20 g, kalsium 37 mg, fosfor 36 mg, dan kehilangan seluruh vitamin A karena proses perebusannya yang begitu lama.
Jika Anda tertarik membeli petis asli buatan Mbah Khotijah, Anda bisa datang ke pasar kecil dekat rumah Mbah Khot, di Desa Sedayulawas, Gang Mawar. Setiap pagi, Mbah Khot berjualan ikan pindang di sana. Jika beruntung, Anda bisa langsung mendapatkan petisnya. Tapi jika tidak kebagian, Anda harus memesan terlebih dahulu. Maklum, petis yang Mbah Khot buat tidak banyak, itu juga kadang sudah jadi pesanan orang lain.
Apabila datang siang, Anda bisa langsung memesan ke rumah Mbah Khotijah. Rumahnya terletak sekitar 400 meter ke arah selatan dari pertigaan gang. Berada di samping barat belakang sebuah musala. Rumah Mbah Khot menghadap ke timur.
Kelebihan lain petis Mbah Khot yakni tahan lama. Karena asli tanpa campuran, petis buatannya bisa bertahan hingga satu tahun. Cocok buat Anda yang jarang membuat sambal atau makanan lain yang berbahan petis ikan. Bandingkan dengan petis campuran, yang hanya dalam 5 bulan saja, rasa dan teksturnya sudah berbeda.
Petis Mbah Khot dibanderol seharga Rp 15.000 tiap wadah. Mahal memang jika dibandingkan petis ikan lain – petis campuran – yang harganya cuma sekitar Rp 5.000 per wadah. Tapi ingat! Soal rasa, petis Mbah Khot juaranyanya.
SONGKOK MBAK YENNY DARI LAMONGAN
Sentra industri songkok nasional sebenarnya berada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Daerah seperti Kelurahan Pekauman, Pekelingan, Bedilan, dan Karangpoh, Kecamatan Gresik menjadi pusat utamanya. Namun, seperti virus, industri ini kini “menular” ke kabupaten-kabupaten tetangga, salah satunya Kabupaten Lamongan.
—
Bagi orang muslim, songkok bukan barang asing. Penutup kepala berwarna hitam yang memiliki bentuk oval dengan dua sudut di depan dan di belakang ini biasa dipakai saat salat. Selain itu, songkok juga sering digunakan dalam acara-acara lain, seperti pengajian atau upacara bendera, acara keagamaan, dan lain-lain.
Dulu, di Kota Soto, songkok hanya bisa kita jumpai sebatas penjualnya saja, di pasar tradisional, di butik muslim, dan di sekitar area makam wali (Sunan Drajat). Tapi sekarang, kita juga bisa berjumpa dengan para perajin songkok. Tidak percaya? merapatlah ke Desa Pomahan Janggan, Kecamatan Turi. Banyak warga desa ini, desa kecil yang terletak 7 km sebelah utara pusat Kecamatan Turi hidup akrab dengan songkok.
Keahlian membuat songkok perajin di desa ini di dapat dari Gresik. Mereka awalnya bekerja sebagai buruh di sana. “Namun, karena ada dorongan untuk lebih maju, banyak di antara buruh tersebut memutuskan untuk keluar dan mencoba berbisnis sendiri, termasuk saya,” ujar Pak Ahmadi, salah satu perajin songkok yang sudah bergelut dengan songkok sejak 23 tahun yang lalu.
Perjalanan Pak Ahmadi, sebagai salah satu perajin songkok di Lamongan tidak bisa dibilang mudah. Lima tahun ia bekerja sekaligus belajar membuat songkok di Gresik. Tahun 2003, karena merasa upah yang didapat tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, ia lantas berhenti. Dari sana, dua bulan ia sempat merantau ke Maluku. Karena tidak berhasil, ia balik pulang kampung.
Di kampung, dalam keadaan menganggur, Pak Ahmadi mulai tertarik untuk kembali “menggeluti” songkok, tapi dengan cara yang berbeda, tidak lagi sebagai buruh. Bermodal uang pinjaman dari Bank senilai Rp 30 juta, ia menjadi pemasar songkok. Pekerjaan Pak Ahmadi saat itu ialah mencari orderan untuk dibelikan kepada perajin dengan uang muka miliknya sendiri. Jika dalam dunia tiket, ia seperti makelar.
Meski penghasilannya sebagai “makelar” songkok bisa dibilang cukup. Pak Ahmadi tidak lantas puas. Sejak dua tahun yang lalu, ia beralih menjadi perajin. Lagi-lagi, dengan uang pinjaman bank sebesar Rp 100 juta, ia mulai berbelanja segala bahan pembuat songkok, mulai dari beledu – bagian luar songkok yang berbulu halus –, kain, plastik mika, dan lain-lain. Pertama kali, ia membuat 250-an kodi songkok. Satu kodi sama dengan 20 buah, jadi, totalnya sekitar 5.000 buah songkok. Jumlah yang tidak sedikit itu ia bawa keluar kota dan keluar pulau untuk ditawarkan kepada koleganya di sana. Ternyata respons yang didapat positif.
Seperti yang kita tahu, selain songkok yang menggunakan beledu, ada juga songkok yang terbuat dari anyaman bambu, anyaman serat pohon lontar, dan kain. Ketiga songkok ini secara fisik lebih awet daripada songkok beledu, juga lebih tahan jika terkena air. Namun, perajin Lamongan – termasuk Pak Ahmadi – membatasi produksinya hanya pada songkok yang terbuat dari beledu saja.
Permintaan songkok Lamongan tidak bisa dibilang sedikit. Sampai saat ini, songkok buatan Pak Ahmadi, misalnya, tidak pernah sepi. Dalam sehari, rata-rata Pak Ahmadi, dibantu dengan 40 karyawannya, memproduksi 30 kodi songkok. Jumlah pesanan kepadanya bisa mencapai ribuan kodi dalam sebulan. Kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Padang, Jambi, Makassar, dan Kudus, menjadi pasar utama songkok Yanuba dan songkok Arifah, dua merek songkok milik Pak Ahmadi.
Yanuba dan Arifah, dua nama yang dijadikan merek oleh Pak Ahmadi memang mirip dengan nama depan dan nama tengah Mbak Yenny, anak presiden RI keempat, Gus Dur. Pak Ahmadi sendiri mengakui, merek dagang songkoknya diambil dari nama Yenny. Tapi ini bukan plagiat. Usut punya usut, Yenny yang dimaksud bukan Mbak Yenny anak Gus Dur, tapi Yenny anaknya sendiri yang berusia sekitar 5 tahun. “Nama anak saya memang saya samakan dengan nama anak Gus Dur. Panggilannya, nama lengkapnya, sama,” ujar bapak kelahiran tahun 1973 ini sambil tersenyum.
Ada banyak model songkok di pasaran. Ada yang polos hitam, ada yang berpita, dibordir, dan lain-lain. Model-model songkok, menurut Pak Ahmadi, memang sangat bervariasi. Ia sendiri memproduksi setidaknya lima jenis songkok. Pertama dan yang paling mahal adalah songkok jenis soga. Songkok ini, beledu bagian sisi pinggir dan atas diberi hiasan lukisan tangan. Karena proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan ketelitian, wajar jika songkok ini dijual dengan harga sekitar Rp 550 ribu per kodi.
Model kedua, songkok klasik. Songkok model ini berhiaskan pita. Harganya sekitar Rp 500 ribu per kodi. Ketiga, songkok bordir. Seperti namanya, songkok ini hiasannya berupa benang yang dipola menggunakan mesin. Harganya berkisar Rp 450 ribu per kodi. Model keempat adalah songkok kharisma. Hiasan songkok ini berupa bunga-bunga kain, harganya dipatok Rp 400 ribuan per kodi.
Sedangkan model terakhir adalah songkok polos, songkok yang sekeliling sisinya hanya beledu tanpa hiasan. Songkok ini dibanderol antara Rp 200 ribu sampai 300 ribu per kodi. Dari kelima model tersebut dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni AC dan biasa. Bedanya terletak pada kedua ujung bagian atas. Songkok AC kedua ujung atasnya selain menggunakan beledu, juga ditambah kain yang berongga. Sedangkan songkok biasa, tertutup beledu semua.
AC dan Biasa, hmmm, mirip bus ya :p.
Jangan sering dicuci!
Sama halnya dengan produk lainnya, songkok pun ada yang berkualitas ada juga yang tidak. Cara membedakannya, selain pada harga, Pak Ahmadi juga memberikan beberapa tips. Pertama, periksa keadaan songkok mulai dari meraba bagian beledunya. Ada banyak jenis beledu. Beledu yang berkualitas memiliki ciri lembut dan tebal. Jika mungkin, bandingkan dengan beledu pada songkok lainnya.
Selanjutnya periksa setiap jahitan pada songkok. Kerapian jahitan dan jenis benang yang dipakai, benang tebal atau benang tipis, perlu diperhatikan. Benang yang tebal cenderung lebih bagus, tidak mudah putus, jadi songkok lebih kuat.
Yang terakhir, periksa bagian dalam songkok. Bagian ini dapat dilihat jika Anda membuka lipatan bagian atas songkok. Biasanya terbuat dari kertas tebal atau mika agar songkok tidak lemas. Jadi, pilihlah songkok yang memakai kertas dan mika setebal dan sekuat mungkin.
Perlu diperhatikan juga, songkok memiliki ukuran dari 1 sampai 12. Sebelum membeli, ada baiknya dicoba dulu. Jangan sampai Anda menyesal karena kekecilan atau kebesaran saat dipakai nanti.
Untuk perawatannya, jangan terlalu sering mencuci songkok Anda. Meskipun ada beberapa merek songkok yang diklaim tahan air, ada baiknya Anda tetap berhati-hati karena beledu mudah rusak. Jika sering dicuci, bulu halusnya akan mudah lepas, juga warnanya akan pudar kemerahan.
Saat meletakkan songkok juga perhatikan lingkar atas dan bawah. Lingkar bawah songkok cenderung lebih kuat. Jadi saat dibenturkan ke meja atau tempat keras lain, songkok lebih tahan. Sebaliknya, lingkar atas lebih ringkih, mudah berubah bentuk jika terlalu sering dibenturkan.
Sekarang, coba ambil dan lihat songkok Anda, apakah di dalamnya tertulis “Yanuba” atau “Arifah”? Jika iya, wah, songkok Anda ternyata buatan ayahnya Mbak Yenny, Gus Di, Gus Ahmadi, hehehe..
“LEMBU PETROLEUM GAS” YANG RAMAH LINGKUNGAN
Memasak dengan kayu bakar dan minyak tanah itu kuno. Memasak dengan elpiji, sudah biasa. Memasak dengan kotoran sapi, baru luar biasa. Dan itulah yang dilakukan oleh warga Desa Kedungbembem, Mantup, Lamongan.
—
Selama bertahun-tahun, warga Kedungbembem harus menghadapi masalah tahi sapi yang tak berkesudahan. Harap maklum, hampir semua warga di desa ini memelihara sapi. Ada yang memelihara sapi milik sendiri, ada juga yang memelihara sapi milik warga lain dengan sistem bagi hasil.
Satu keluarga bisa memelihara 2-5 ekor sapi. Hingga akhir 2012 kemarin, sapi di desa yang terbagi atas lima dusun ini berjumlah 857 ekor. Bisa dibayangkan, jika dalam satu hari, seekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 10 kg saja, maka 857 ekor sapi akan menghasilkan lebih dari 8 ton kotoran sapi! Itu baru sehari, bagaimana jika sebulan, bahkan bertahun-tahun?
Memang, kotoran ini bisa saja dimanfaatkan sebagai pupuk di sawah. Namun kotoran sebanyak itu tentu berlebih. Jika dibuat pupuk semua, bisa-bisa sawah mereka akan menjadi “lautan” kotoran sapi. Lagi pula, kotoran yang masih baru tidak optimal untuk tanaman. Sifata panas yang masih dikandungnya justru bisa merusak.
Berangkat dari keresahan itu, Pak Edi Purwanto, perwakilan dari UPKu (Unit Pengelola Keuangan dan usaha) Kedungbembem, dengan bantuan Bapemas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) Lamongan, mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah pusat agar dibangun instalasi biogas di desa tersebut. Tak disangka, Kedungbembem bersama 19 desa lain dari berbagai daerah di Indonesia terpilih untuk mengembangkan biogas. Pada 27 Desember 2012, desa ini resmi memiliki 10 unit digester – alat pengolah kotoran menjadi biogas – berbahan fiber dengan ukuran 4 dan 5 kubik. Seluruhnya disebar di lima dusun. Satu dusun dipasang dua digester.
Kehadiran unit biogas terbukti sangat bermanfaat mengurangi masalah kotoran yang oleh penduduk setempat disebut “telethong” ini. Setelah menjalani proses fermentasi di dalam digester, limbah sapi menghasilkan gas metana yang bisa digunakan sebagai pengganti elpiji. Bagi warga desa, digester biogas ini barangkali mirip sebuah atraksi sulap. Telethong kok bisa nyala? Tahi sapi kok bisa jadi api?
Biogas ini memang belum bisa sepenuhnya menggantikan gas elpiji, namun keberadaannya cukup memangkas pengeluaran. Jika dulu satu tabung elpiji habis untuk dua minggu, “Sekarang bisa lebih,” terang Bu Asmi, salah satu warga yang memanfaatkan biogas untuk memasak dan membuat kue untuk dijual. Dengan begitu, laba Bu Asmi dari kue yang ia buat juga lebih banyak. Sebab hasil penjualan tidak lagi dipangkas biaya elpiji. Apalagi harga elpiji di Kedungbembem cukup mahal, Rp 18.000 untuk tabung ukuran 3 kg karena mahalnya ongkos transportasi ke desa yang berada di tengah hutan ini.
Secara terus-menerus, “gas kentut sapi” dari digester berukuran 4 kubik dapat digunakan selama lima jam. Setelah itu, perlu waktu kembali untuk mengolah kotoran menjadi gas metana. Api yang dihasilkan juga sangat bagus, berwarna biru, tidak kalah dengan api dari kompor elpiji. Yang paling penting, bau kotoran sapi juga akan hilang begitu disulut api.
Biogas juga tidak memiliki potensi menimbulkan ledakan, jauh lebih aman daripada elpiji. Tak hanya itu, limbah akhir sisa pengolahan digester pun bisa digunakan sebagai pupuk organik dengan kualitas yang lebih bagus, sebab sifat panas kotoran sapi telah hilang selama proses fermentasi.
Ini hanya sebagian dari banyaknya manfaat unit biogas. Sebetulnya masih ada manfaat lain yang tak kalah penting dan mungkin tidak disadari oleh para warga Kedungbembem, yaitu menyelamatkan lingkungan. Menurut para ahli, kotoran sapi adalah salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, terutama metana.
Daripada karbon dioksida, efek pemanasan bumi akibat metana 72 kali lebih kuat. Dengan teknologi biogas sederhana ini, efek buruk kotoran sapi bukan hanya bisa diminimalkan, tapi bisa diubah menjadi energi terbarukan. Energi ini bisa mengurangi penggunaan energi tak terbarukan seperti liquefied petroleum gas (LPG) maupun bahan bakar tak ramah lingkungan seperti kayu bakar yang masih lazim digunakan di pedesaan.
Belajar dari Kegagalan
Sebelum Kedungbembem, dua desa lain di Lamongan, yakni Desa Tenggulun dan Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, sudah terlebih dahulu mengembangkan biogas. Tapi unit pengolahan biogas di dua desa itu mengalami kendala seperti yang banyak terjadi di tempat lain, yaitu digester yang tidak berfungsi.
Tahun 2008, Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun mendapat bantuan dari Pemkab Lamongan untuk membangun sebuah unit digester. Digester ini berbeda dengan digester yang ada di Desa Kedungbembem. Di desa asal Amrozi, pelaku aksi bom Bali 1, ini digester dibuat dari batu-bata dan semen.
Pengolahan biogas ini sempat berjalan 3 tahun dengan kotoran 10 ekor sapi yang sengaja dibeli untuk pengembangan biogas. Hanya saja setelah itu, digester bocor. Padahal untuk dapat mengubah kotoran sapi menjadi gas metana, digester harus kedap udara. Alhasil, pengolahan biogas pun berhenti.
Hal yang hampir sama terjadi di tetangga desanya, Payaman. Kelompok tani yang memiliki 16 ekor sapi mendapat bantuan dari sumber yang sama, berupa dua digester. Satu digester kini sudah tidak berfungsi. Penyebabnya sama, yaitu kebocoran pada dinding semen. Untung saja, satu digester lain terbuat dari bahan fiber sehingga lebih tahan lama.
Pak Habib Soleh, warga Payaman yang sampai kini masih menggunakan biogas, mengaku sangat terbantu dengan adanya instalasi ini. Jika dulu kotoran sapinya dibuang di penampungan, “Sekarang saya lebih senang membuangnya ke digester, lebih berguna,” akunya.
Sama seperti di Kedungbembem, di Payaman pun warga yang memakai biogas memang belum bisa seratus persen meninggalkan elpiji. Tapi bagaimanapun keberadaan kompor “spiritus sapi” ini tetap bisa memberi dua manfaat sekaligus: hemat dan ramah lingkungan. Paling tidak, kompor limbah sapi bisa berdampingan dengan kompor elpiji. Mirip semboyan sebuah iklan pasta gigi, “Yang terbaik adalah perpaduan kebaikan alami dan kekuatan ilmiah.”
Kegagalan progam di Solokuro dan kesuksesan progam serupa di Mantup adalah pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin mengembangkan progam biogas rumahan. Negara kita sangat kaya sumber biogas. Tapi sumber energi ramah lingkungan ini biasanya justru menjadi masalah lingkungan. Dengan teknologi sederhana seperti yang diterapkan di Kedungbembem, warga desa bisa mengubah masalah tak berkesudahan itu menjadi energi tak terhabiskan. Pak Habib Soleh, Bu Asmi, dan warga Desa Kedungbembem lainnya sudah membuktikannya.
Memasyarakatkan Jamu Ala Desa Pajangan Sukodadi
Mungkin tak banyak kampung di Indonesia yang dihuni penjual jamu gendong sebanyak Desa Pajangan, Sukodadi, Lamongan. Bayangkan saja, sekitar separuh dari total keluarga di desa ini berprofesi sebagai penjual jamu gendong. Jumlah tersebut tidak seberapa jika dibandingkan beberapa tahun lalu yang mencapai lebih dari dua per tiga total keluarga. Mereka semua berkeliling menjajakan jamu di desa-desa lain di wilayah Lamongan.
Desa Pajangan memang sentra jamu di Lamongan. Tidak ada yang tahu pasti kapan warga di desa ini pertama kali membuat jamu. Satu yang pasti, tradisi ini sudah turun-temurun lebih dari setengah abad yang lalu. “Sejak saya belum lahir. Zaman nenek-kakek, jamu sudah dibuat di sini,” kata H. Sulianto, agen jamu di Desa Pajangan. Sulianto bahkan ingat, di tahun 1970-an, desanya pernah masuk tipi di sebuah acara di TVRI, satu-satunya stasiun televisi nasional saat itu, gara-gara jamu.
Di tengah gempuran obat-obat kimia sintetis, keberadaan kampung jamu gendong di Lamongan merupakan sebuah fakta menarik. Desa ini barangkali bisa dijadikan contoh bagi kita semua yang ingin melestarikan kekayaan Tanah Air ini. Tak diragukan lagi, jamu adalah kekayaan Indonesia yang harus dipelihara dan dilestarikan, apalagi sekarang eksistensi obat tradisional ini digempur habis-habisan oleh obat kimia sintetis.
Kita punya banyak alasan kenapa harus melestarikan jamu.
Alasan pertama dan utama, jamu adalah produk lokal. Mungkin tidak semua dari kita menyadari bahwa tiap kali minum obat kimia sintetis, kita secara tidak langsung telah mengurangi devisa negara! Pasalnya, seperti yang dilaporkan di situs Ikatan Apoteker Indonesia, 95% bahan baku obat saat ini masih diimpor. Artinya, setiap butir tablet dan setiap sendok sirup yang kita minum itu kita beli dengan devisa.
Ini berbeda dengan bahan baku jamu yang sebagian besar adalah produk lokal. Kunyit, jahe, temu ireng, temulawak, bangle, asam jawa, cabe jawa, brotowali, lempuyang, kencur, lengkuas, kayumanis, kumis kucing, dan sebagainya adalah produk pertanian yang seratus persen dihasilkan dari bumi Indonesia. Dengan kata lain, ketika kita minum jamu, secara tidak langsung kita telah ikut meningkatkan kesejahteraan para petani lokal.
Volume impor bahan baku obat kimia sintetis tidak tanggung-tanggung. Menurut laporan situs Kementerian Perindustrian Indonesia, selama tahun 2012 saja, nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11.400.000.000.000! Wow. Sengaja saya tulis semua angka nolnya agar kita semua bisa membayangkan betapa banyaknya devisa negara yang kita belanjakan untuk membeli bahan baku obat dari luar negeri. Angka ini naik 8,5 persen dari tahun sebelumnya. Dan bukan tidak mungkin akan terus naik di tahun berikutnya jika kita masih acuh tak acuh terhadap jamu yang notabene 100% produk dalam negeri.
Ini alasan pertama. Alasan kedua, jamu juga sudah terbukti secara empiris dan turun-temurun aman dan berkhasiat menjaga kesehatan dengan biaya murah. Buktinya sudah sangat banyak. Kumis kucing, bawang putih, seledri, dan belimbing wuluh sudah secara luas digunakan orang-orang tua kita untuk mengatasi darah tinggi, jauh sebelum para dokter masuk desa dan memberi obat-obat kimia sintetis.
Daun jambu biji sudah secara luas digunakan untuk mengatasi diare. Rimpang kunyit sudah lazim digunakan untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita. Temulawak sudah biasa dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi hati. Daun kejibeling dan kumis kucing sudah sering dipakai sebagai obat tradisional penghancur batu kemih. Cengkeh dan cabe rawit terbukti bisa menurunkan kolesterol. Dan masih banyak lagi.
Selama ini penggunaan jamu kalah populer daripada obat modern karena dianggap kurang ilmiah. Ini memang salah satu kelemahan jamu. Penelitian ilmiah khasiat jamu memang tidak sebanyak penelitian pada obat-obat modern. Namun, kelemahan ini mestinya tidak menjadi alasan untuk menganaktirikan jamu. Justru kelemahan ini harusnya menjadi pemicu untuk mengangkat pamor jamu lebih tinggi lagi lewat saintifikasi jamu.
Tidak bisa tidak, kalau mau berkompetisi dengan obat modern, obat tradisional harus disaintifikasi. Harus diteliti dengan standar ilmiah perguruan tinggi. Hasilnya harus layak dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Hanya dengan cara itu, obat herbal bisa diakui keberadaannya oleh kalangan tenaga kesehatan dan dipandang setara dengan obat modern. Lewat usaha saintifikasi, jamu bisa memiliki dua kekuatan sekaligus—seperti ungkapan sebuah iklan pasta gigi—yang menggabungkan kekuatan alami dan ilmiah.
Paling tidak, saintifikasi jamu difokuskan pada penyakit-penyakit yang belum bisa disembuhkan oleh obat modern seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, gangguan asam urat, kanker, dan sejenisnya. Di sini obat herbal masih punya peluang besar untuk bersaing dengan obat-obat modern. Apalagi ini juga sesuai dengan rekomendasi Komite Inovasi Nasional dan juga sejalan dengan tren “back to nature” yang terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang.
Dalam hal pengembangan obat herbal, kita bisa belajar dari Cina. Dan seharusnya kita bisa lebih dari negeri tersebut. Sebab dalam urusan sumber daya hayati, negara kita lebih unggul dalam hal kuantitas dan keragaman. Menurut data Conservation International (2000), Indonesia tercatat sebagai negara ke-2 dengan keragaman hayati terbanyak di dunia. Sedangkan Cina berada 6 tingkat di bawahnya. Tapi nyatanya, pamor obat tradisional malah terbalik. Kita mengimpor banyak sekali produk obat tradisional dari sana sampai-sampai di Indonesia kita mengenal satu jenis kelompok obat yang dinamai “obat cina”.
Harus diakui, negeri Tiongkok ini memang sukses mengembangkan obat tradisional hingga bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan obat modern. Di sana, dokter-dokter tak ragu meresepkan obat tradisional. Universitas-universitas melakukan penelitian saintifikasi jamu. Maka tak heran jika banyak sekali hasil penelitian obat tradisional Cina dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah. Dan yang tak kalah penting dari semuanya, masyarakatnya pun bangga menggunakan obat tradisional. Ini sesuatu yang layak kita jadikan contoh mengingat di Indonesia jamu diidentikkan dengan masyarakat kelas bawah.
Jamu adalah kekayaan budaya Indonesia yang harus kita lestarikan dan kita perjuangkan bersama-sama demi kemajuan Indonesia. Sama seperti batik, jamu saat ini juga sudah diusulkan kepada UNESCO agar diakui sebagai warisan kebudayaan dunia hasil karsa dan karya bangsa Indonesia. Jika usaha ini berhasil, dan jika kita juga berhasil melakukan saintifikasi jamu, maka obat tradisional ini bisa menjadi komoditas ekspor penghasil devisa yang bisa diandalkan. Mungkin bisa mengurangi “ekspor pahlawan devisa” ke luar negeri, seperti yang terjadi di banyak kampung di Lamongan.
Sebagai orang awam, kita bisa mendukung semua usaha di atas dengan satu langkah kecil seperti yang dilakukan oleh warga Cina, yaitu bangga minum jamu. Dengan minum jamu, seperti jamu buatan warga Desa Pajangan, Lamongan, kita secara tidak langsung telah ikut memajukan Indonesia.
Selain itu, sebagai orang awam kita juga bisa mendukung usaha pengembangan jamu dengan cara memboikot produk-produk jamu nakal yang dicampur dengan bahan-bahan kimia sintetis. Sebagaimana kita tahu, praktik kotor ini merupakan salah satu perusak citra jamu. Dan, sayangnya, hampir setiap tahun Badan Pengawas Obat dan Makanan masih menjumpai jamu-jamu seperti ini beredar di masyarakat. Praktik kotor ini harus kita lawan bersama-sama.
Kesimpulannya, tak peduli apakah kita ini orang pintar, orang bejo, maupun orang yang tidak pintar dan tidak bejo, mari kita ikut memajukan jamu Indonesia! Mari (bangga) minum jamu!
Referensi:
- http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/34-pharmacy-news/2027-95-bahan-baku-obat-di-indonesia-masih-impor.html
- http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-Obat-Tembus-Rp-11-T
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/604-herbal-plants-collection-kumis-kucing
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/594-herbal-plants-collection-cabe-rawit
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/553-herbal-plants-collection-cengkeh
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/542-herbal-plants-collection-belimbing-wuluh
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/555-herbal-plants-collection-jambu-biji
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/phocadownloadpap/userupload/Info/2012/20121124%20-%20Material%20Presentation%20from%20Prof.%20Latifah%20K%20Darusman.pdf
- http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/587-quality-of-herbal-medicine-plants-and-traditional-medicine-2013
- http://kin.go.id/node/58
R&D HANDICRAFT, MODE TRENDI DENGAN TAS “ALAMI”
Mengenakan tas dengan bahan dasar tanaman seperti eceng gondok, daun pandan, tempurung kelapa, atau mendong memang tidak semewah menggunakan tas berbahan kulit seharga jutaan rupiah. Namun di balik itu semua, ada keeleganan dan unsur etnik yang tidak dimiliki tas-tas lain, bahkan sekelas tas Hermes pun.
—
Minat Pak Dody Arimawanto dalam berdagang sejak duduk di bangku kuliah, berbuah manis di masa kini. Sempat memasarkan barang milik orang lain keluar pulau, kini, bersama istri dan 60 karyawannya, Pak Dody telah memproduksi sendiri dan memiliki bisnis menjanjikan beromzet puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan.
R&D Handicraft, begitulah Pak Dody memberi label usahanya. Seperti namanya, usaha ini memproduksi barang-barang kerajinan. Lebih tepatnya kerajinan berupa tas dengan bahan dasar tanaman serta sandal dan sepatu dari bahan yang juga unik.
Show room R&D Handicraft yang terletak di jalan Sunan Kalijogo nomor 120, Lamongan, memang tidak terlihat sangat ramai. Bahkan di saat ramai-ramainya, tidak lebih ramai dari sebuah warung soto di jam makan siang. Lalu bagaimana bisa usaha ini mendapatkan pundi-pundi uang yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana caranya?
Di ruang yang luasnya tidak lebih dari 100 meter persegi ini, puluhan tas “alami” serta aneka macam sandal dan sepatu khusus perempuan dipajang. Berbagai model, motif, dan ukuran ditata berjajar untuk dipilih oleh pembeli. “Kami tetap menyediakan stok untuk konsumen sekitar Lamongan, tapi fokus pasar kami yang sebenarnya bukan di sini,” ujar Ibu Mudah, salah satu staf R&D Handicraft.
Meski bertempat di Lamongan, usaha ini seakan tidak mau berkutat hanya di “kandangnya” sendiri. Pak Dody senantiasa membuka peluang-peluang untuk bisa masuk ke pasar yang lebih luas, mulai dari luar kota sampai luar negeri. Sepanjang tahun hampir selalu ada pesanan dengan jumlah ribuan hingga puluhan ribu dari sana. Kita tahu, saat ini mencari pasar lokal saja susah, apalagi untuk mencari pasar di luar itu. Tapi R&D Handicraft punya cara tersendiri untuk bisa sampai ke sana.
Selain menawarkan pada kolega Pak Dody di banyak tempat, R&D Handicraft juga aktif dalam pameran-pameran di Indonesia, mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat nasional. “Ini cara yang paling efektif,” tutur Ibu Mudah. Dengan mengikuti pameran, produk R&D Handicraft dengan cepat dikenal khalayak luas. Otomatis peluang menemukan peminat baru produk-produknya juga lebih terbuka lebar.
Bu Mudah memberikan contoh, dua tahun lalu lewat sebuah pameran di Jakarta, R&D Handicraft bertemu dengan perwakilan PT Sari Husada yang tertarik dengan produk mereka untuk dijadikan parsel lebaran dan bahan seminar. Tak tanggung-tanggung, dua tahun berturut-turut PT Sari Husada memesan 22.000 lebih tas “tanaman”.
Selain itu, produk R&D Handicraft juga dikirimkan ke hampir seluruh kota besar di tiap provinsi di Indonesia. Kebanyakan pemesan membeli secara massal untuk dijual kembali di kotanya masing-masing. Untuk pasar luar negeri, usaha R&D, yang merupakan singkatan dari rahmat & doa, ini pernah mengekspor kerajinan mereka ke Arab Saudi, Hongkong, dan Jamaika. Kebanyakan produk jenis tas lebih diminati di negara-negara tersebut daripada sandal atau sepatu.
Tas eceng gondok dan sepatu goni
Natural exclusive products, begitulah semboyan yang dipegang oleh usaha ini. Hampir semua tas yang dibuat berbahan dasar tumbuhan alami. Mulai dari tumbuhan yang memang sudah umum digunakan sebagai kerajinan seperti daun pandan, tempurung kelapa, dan mendong, juga tumbuhan yang dianggap perusak perairan atau dalam bahasa kerennya disebut gulma, seperti eceng gondok.
Eceng gondok memang bukan hal baru dalam dunia prakarya. Banyak tempat di Indonesia telah memanfaatkannya sebagai bahan dasar kerajinan. Banyak industri juga yang mengolah sendiri eceng gondoknya hingga menjadi produk jadi. R&D Handicraft pun sama, hanya saja, usaha ini berkerja sama dengan perajin asal Desa Pengumbulanadi, Kecamatan Tikung, Lamongan sebagai penyuplai anyaman eceng gondoknya. “Di sana memang sudah dari dulu menjadi pusat kerajinan anyaman eceng gondok di Lamongan,” terang Bu Mudah.
Untuk mendapatkan stok tanaman air ini juga tidak susah. Eceng gondok sangat mudah ditemui di banyak telaga, rawa, dan sungai yang tersebar di Lamongan. Bahkan, eceng gondok untuk kebutuhan R&D Handicraft bisa dipenuhi hanya dari satu sampai dua rawa saja. Pengolahannya pun mudah. Eceng gondok yang sudah diambil dari rawa tinggal dijemur sampai kadar airnya 0%. Tidak diperlukan alat khusus, paling-paling kalau ingin anyaman model pipih, eceng gondok tinggal dipipihkan dengan alat pemipih sederhana.
Masalahnya, meski bahan baku melimpah, tidak banyak orang yang ahli mengolah eceng gondok dan tanaman lain. Memang keahlian ini dapat dipelajari, tapi R&D Handicraft hanya mempercayakan bahan bakunya pada perajin-perajin yang memang sudah ahli. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas produk buatannya. Ya, kualitas memang tetap jadi yang nomor satu bagi usaha yang berdiri tahun 2002 ini, apalagi untuk pasar Internasional.
Untuk sepatu, R&D Handicraft juga menggunakan bahan yang tak kalah unik. Model yang sempat menjadi tren adalah sepatu dari bahan kain goni yang dibordir. Kain goni merupakan kain berwarna cokelat tebal yang biasa digunakan sebagai bahan karung untuk tempat gula. Karung ini juga sering dipakai dalam perlombaan lompat karung saat acara tujuh belasan.
Tas, sepatu goni, serta sepatu-sepatu lain di sini didesain sendiri oleh R&D Handicraft dengan berpatok pada tren yang sedang berkembang. Untuk itu mereka – Pak Dody dan pegawainya – tidak pernah telat update mode terbaru. “Tren sekarang lebih ke warna-warna yang bertabrakan, kuning kombinasi hijau, misalnya,” terang Ibu bernama lengkap Mahmudah ini.
Buat Anda yang gemar dengan barang-barang “berbau” alam, etnik nan unik, mungkin tas dan sepatu buatan R&D Handicraft akan cocok untuk Anda. Harganya dipatok mulai dari Rp 25.000 sampai Rp 160.000, tergantung jenis, model, dan bahan barang.
Kebutuhan perempuan akan mode yang tidak ada habisnya berhasil ditangkap dengan baik oleh R&D Handicraft. Dari sana, mereka membatasi target pada konsumen perempuan saja dan tidak memproduksi barang untuk laki-laki. “Laki-laki kalau punya tas atau sepatu, baru ganti kalau sudah rusak. Nanti stok lain nggak laku-laku dong,” pungkas Ibu 40 tahun ini sambil bercanda.
Rawat secara rutin tas Anda
Banyak orang mengurungkan niatnya memiliki tas berbahan “alam” karena tingkat keawetannya yang jauh di bawah tas berbahan kulit, plastik, atau lainnya. Memang benar, namun, jika si pemilik bisa merawatnya dengan baik, tas dari bahan tanaman juga bisa bertahan lama sampai lebih dari 5 tahunan.
Berikut tips untuk Anda yang sudah memiliki atau berencana membeli tas “alam” agar lebih tahan lama:
- Usahakan tas tidak terkena air. Karena tas berbahan tanaman sangat mudah berjamur jika lembap, akan lebih baik jika dijauhkan dari tempat yang basah. Namun, jangan juga ditaruh di tempat yang terlalu panas. Jika ingin menyimpan, cukup di suhu normal saja. Bila perlu simpan di tempat kedap udara yang diberi silika gel agar lebih tahan terhadap jamur.
- Bersihkan debu dengan sikat lembut. Sapu bagian-bagian yang berdebu secara rutin, supaya tidak menumpuk menjadi noda membandel. Usahakan juga tidak terlalu kencang saat menyikat agar serat tumbuhannya tidak rusak.
- Lap dengan kain yang diberi pewangi. Sebenarnya tas “alam” tidak perlu dicuci. Namun jika telanjur kotor, Anda bisa mengusap bagian yang kotor dengan lap yang sedikit basah (ingat: jangan terlalu basah). Jika ingin wangi, Anda bisa menambahkan sedikit pewangi pada lap. Setelah itu, langsung keringkan.
R&D HANDICRAFT | |
https://www.instagram.com/yoiku.official/ | |
Telp/WA | 08123119035, 085216140180 (Valis/Dody) |
Alamat | Jl. Sunan Kalijaga No.120, Sukomulyo, Sukorejo, Kec. Lamongan |
SOTO LAMONGAN DI KOTA ASALNYA, UENAK POL!
Mungkin Anda sudah sering makan soto Lamongan, tapi bukan di kota asalnya. Wajar memang, saat ini di kota-kota besar, mencari penjual soto Lamongan tidaklah sulit. Namun jika Anda benar-benar ingin soto Lamongan yang asli Lamongan, sudah saatnya Anda datang kota asalnya.
Tentu, sebelum menikmati semangkuk soto Lamongan, kita harus mencari dulu tempat penjualnya. Ada dua jurus ampuh untuk tahu tempat makan paling enak di suatu daerah. Pertama, dengan bertanya ke orang-orang di daerah tersebut. Kedua, mencari tempat makan yang paling ramai. Jika Anda mencoba kedua “jurus” tersebut untuk mencari soto di Lamongan, bisa jadi Anda akan dibawa menuju ke Depot Asih Jaya.
Terletak di pinggir Jalan Raya Lamongan – Surabaya, membuat depot yang dikelola oleh H. Sofwan Hadi Sulistyo ini sangat mudah ditemukan. Saat memasuki depot, Anda bisa melihat tempat makan yang cukup mewah, lengkap dengan gerobak sotonya. Mengingat depot ini sangat ramai, ada seratusan kursi yang disediakan bagi pembeli, jadi jangan takut tidak kebagian tempat duduk.
Ada dua menu soto di depot yang buka pukul 06.00-23.00 ini, yakni soto ayam kampung biasa (nasi campur atau pisah) dan soto ayam kampung spesial (nasi campur atau pisah). Tak perlu bingung memilih yang mana, karena yang membedakan hanya tambahan isian jeroan untuk menu soto ayam kampung spesial. Sementara istilah ”nasi campur” berarti nasinya dicampurkan ke dalam mangkuk soto, sedangkan kalau “pisah” berarti nasinya dipisah dalam mangkuk sendiri.
Jika Anda terbiasa makan soto medan atau soto betawi yang mengunakan santan, Anda akan mendapati soto yang berbeda di depot ini. Meski sedikit keruh, soto Lamongan tidak mengunakan santan. Di Depot Asih Jaya ini warna keruhnya didapat dari bandeng dan udang yang dicampurkan dalam rebusan ayam. Seperti halnya soto jawa timuran lainnya, soto Lamongan merupakan soto yang berminyak.
Dalam satu mangkuk soto ayam kampung biasa dengan nasi dicampur, Anda akan dibuat kenyang dengan porsi wajar. Soto ayam di sini memang mengunakan ayam kampung. Alasannya ayam kampung memiliki rasa lebih gurih daripada ayam jenis lainnya. Selain nasi dan suwiran ayam, dalam kuah kuning keruh soto ini, Anda akan menemukan suun, irisan daun seledri, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong.
Sebelum dimakan, jangan lupa untuk menambahkan koya yang disediakan dalam stoples di meja. Koya yang berupa serbuk berwarna putih kecoklatan ini berasal dari kerupuk udang yang ditumbuk bersama ebi dan bawang goreng. Bisa dibayangkan bukan gurihnya? Koya ini tidak akan Anda temui di hampir semua soto selain soto Lamongan.
Untuk minumnya, di depot yang dirintis oleh H. Ali Mahfudz (mertua H. Sowan) ini Anda dapat memesan jus aneka buah mulai dari buah jeruk, mangga, alpokat dan sebagainya. Sementara agar tidak bosan, Anda bisa menonton TV di layar LCD ukuran besar yang disediakan, atau Anda bisa nunut salat, karena dalam depot ini juga ada musala. Di depot ini satu porsi soto ayam sedikit lebih mahal memang jika dibandingkan dengan soto Lamongan lainnya.
Jika Anda ingin soto lebih murah, tentu ada. Anda bisa datang ke warung soto Cak Mardi. Meski lebih murah tapi jangan salah, untuk urusan rasa, soto di warung ini tidak kalah enaknya.
Jangan berharap di warung yang buka setiap hari sekitar pukul 06.00 dan tutup sekitar pukul 17.00 ini Anda bisa menonton TV, karena warung Cak Mardi ini cukup sederhana, di tempat yang terbuka dengan tiang tarup beratapkan terpal saja. Fasilitasnya hanya tempat duduk dan meja. Namun selain duduk di kursi, Anda juga bisa makan sambil lesehan di bawah pohon mangga besar. Asik bukan?
Untuk sotonya, meski tidak sekeruh soto di Depot Asih Jaya, soto di warung ini tidak kalah gurih dan segar. Isiannya juga tidak jauh berbeda, hanya saja koyanya sudah tercampur saat soto dihidangkan. Mungkin yang spesial di soto Cak Mardi, Anda bisa meminta tambahan ceker (Rp 1.000 per buah) dan sayap ayam (2.000 per buah). Harga sotonya juga cukup murah, hanya Rp 5.000 saja semangkuknya.
Meski soto di Depot Asih Jaya dan soto Cak Mardi memiliki kelebihan sendiri-sendiri, keduanya dijamin sama-sama uenak. Jika di ibaratkan naik kendaraan umum, makan soto di Depot Asih Jaya ibarat naik taksi. Harganya sedikit mahal namun Anda bisa makan soto dengan nyaman dengan fasilitas yang ada. Sendangkan makan soto di warung Cak Mardi ibarat naik angkutan umum. Lebih murah, namun jika Anda datang telat di jam-jam makan siang, dijamin Anda tidak akan kebagian tempat duduk.
Depot Asih Jaya
Kompleks Pertokoan Lamongan Indah A-4
Jalan Panglima Sudirman nomor 75.
Warung Soto Cak Mardi
Sebelah timur Perempatan yang mempertemukan Jalan Suwoko dan Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
50 meter sebelah selatan kantor Dinas Pendidikan Lamongan.
KAIN TENUN IKAT LAMONGAN, SAMPAI KE LUAR NEGERI
Kita tentu tahu kerajinan tenun ikat. Pasti juga kita pernah mendengar kain tenun ikat asli Jepara, Sintang, atau Toraja. Namun, bagi Anda yang tinggal di Jawa Timur dan menginginkan pakaian berbahan kain tenun ikat yang berkualiatas, tidak perlu jauh-jauh ke Jepara, Jawa Tengah apalagi sampai ke Toraja, Sulawesi Selatan. Karena di Lamogan juga ada industri serupa yang tak kalah dari ketiganya.
Memang, urusan pamor, tenun ikat asli Lamongan jelas di bawah. Namun jangan salah kira, soal kualitas, hasil salah satu produk kebanggaan Kota Soto ini sudah sampai ke pasar Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, dan Mesir.
Jika ingin tahu, kita bisa datang ke Desa Parengan, Kecamatan Maduran. Lebih jelas lagi jika kita langsung berkunjung ke Butik Paradila. Butik ini menyediakan kain dan pakaian jadi seperti baju dan sarung, serta perlengkapan perabot hasil kerajinan tenun ikat.
Berawal dari keinginan meneruskan cita-cita orang tua, usaha butik Paradila yang bukan hanya sebagai penerima stok kain tenun ikat, namun juga sebagai produsen langsung, ini dijalankan. Pada tahun 1987, dengan modal seadanya, Pak Miftakhul Choiri mencoba peruntungannya di bidang bisnis tekstil.
Pengetahuan Pak Mif, sapaan akrab Miftakhul Choiri yang juga berprofesi sebagai guru ini, dalam hal menenun didapat langsung dari orang tuanya. Kebetulan Desa Parengan merupakan salah satu desa yang masih menekuni tradisi menenun secara turun-temurun hingga kini.
Untuk urusan kualitas kain tenun buatan Paradila, jangan ditanya. Butik ini hanya mengunakan benang dengan mutu bagus dari Cina dan India. Jenis-jenis benang yang dipakai yakni jenis stafel fiber, mercerized, dan sutera. Ketiga benang ini secara berurutan menunjukkan kualitas yang semakin bagus. “Sempat mencoba menggunakan benang buatan dalam negeri, namun hasilnya tidak memuaskan, tidak sebagus benang dari luar,” ujar Mas Lubam, salah satu menantu Pak Mif yang tahu banyak tentang seluk-beluk kain tenun.
Selain benang, bahan utama lain dalam proses tenun ikat, yakni zat pewarna, juga merupakan barang impor. Zat pewarna memang sengaja menggunakan zat kimia. Ini tentu berbeda dengan kain-kain tenun ikat dari daerah Toraja atau Sintang yang menonjolkan kealamian bahan baku. Kain tenun buatan Paradila lebih mengutamakan kualitas. “Kalau pewarna kimia, selain lebih awet, di kain juga lebih bagus meresapnya,” imbuh Mas Lubam.
Meski bahan-bahan yang dipakai umumnya bahan impor, namun alat tenun yang digunakan butik Paradila masih berupa Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Selain untuk tetap menjaga tradisi, pemakaian ATBM juga untuk menjaga kualitas kain tenun ikat buatannya. Dengan ATBM, perajin lebih memerlukan keahlian khusus ketimbang dengan alat tenun yang digerakkan oleh mesin (ATM). Untuk satu helai kain, para perajin di Butik Paradila bisa menyelesaikannya dalam waktu 1 sampai 2 hari.
Buat Anda yang belum begitu ngeh dengan kain tenun ikat, kain ini berbeda dengan kain songket. Tenun ikat menggunakan benang pakan dan benang lungsin/lusi sebagai bahan utamanya. Benang pakan adalah istilah yang digunakan pada benang yang dimasukkan melintang saat menenun. Sementara benang lungsin adalah benang yang membujur. Saat proses penenunan, Anda akan melihat benang pakan digerakkan dengan tangan dan benang lungsin dipasang sejajar pada ATBM maupun ATM.
Sedangkan kain hasil songket merupakan kain dengan hiasan benang timbul. Biasanya menggunakan benang emas atau perak untuk memberikan kesan mengkilau pada kain. Perbedaan lain terletak pada hasil motifnya. Kain tenun ikat antara bagian luar dan dalamnya bermotif sama. Sedangkan kain songket hanya bagian luar saja yang tampak hiasan benang, bagian dalamnya tak tampak. Meski begitu, proses menyongket jauh lebih rumit daripada menenun ikat, karena dibutuhkan ketelitian untuk membentuk sebuah pola hiasan.
Sebenarnya tenun ikat dan songket bukanlah dua hal yang sama sekali terpisah. Karena dalam sebuah kain tenun ikat bisa juga ditambahkan hiasan songket di dalamnya. Pasalnya dalam proses menyongket juga melewati tahap penenunan.
Di butik Paradila ini misalnya, selain kain dan pakaian hasil murni tenun ikat, di beberapa model lain juga ditambahkan hiasan dengan teknik songket, terkadang juga di lekatkan pada kain doby, yakni kain sejenis katun yang bermotif timbul.
Untuk masalah desain, Paradila yang pernah mendapatkan penghargaan Muri dengan membuat kain tenun ikat terpanjang, yakni sepanjang 60 meter ini, rutin meng-upgrade diri mengikuti perkembangan zaman agar pembeli tidak cepat bosan. “Pak Mif sendiri yang membuat desain. Seperti model gunungan, dibuat berdasarkan pengembangan-pengembangan dari desain yang lama, seperti itu,” tandas Mas Lubam sambil menunjuk salah satu kain yang dipajang di dinding butik.
Untuk harganya, kain dan pakaian dibanderol antara Rp 85.000 sampai sekitar Rp 500.000-an, tergantung jenis, bahan, dan tingkat kesulitan pembuatannya. Saat ini Paradila memiliki 4 perwakilan yang tersebar di kota-kota besar, yakni Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Samarinda.
Berasal dari Babat
Keahlian warga Desa Parengan dan sekitarnya dalam memenun ikat pertama kali didapat pada masa kependudukan Belanda, tahun 1924. Saat itu seorang warga Desa Babat (saat ini Kecamatan Babat) bernama Sumowiharjo membuka sebuah yayasan bernama Purwokriyo yang memberikan pelajaran menenun ikat secara cuma-cuma.
Mendengar kabar itu, banyak warga Parengan dan sekitarnya berbondong-bondong belajar ke yayasan tersebut. Selain lihai dalam menenun, Sumowiharjo juga handal dalam membuat ATBM, yang tidak banyak orang memiliki keahlian serupa. Maka jangan heran di masa Belanda, ATBM yang tersebar di Kabupaten Lamongan umumnya buatan Sumowiharjo.
Sayang disayang, meski berasal dari Babat, kini warga kecamatan yang terkenal dengan sebutan Kota Wingko ini hampir tidak ada yang berkecimpung di industri tenun ikat. Nama Sumowiharjo sendiri hanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan, yang mungkin tidak banyak orang tahu sumbangsihnya di masa lalu. Justru saat ini warga Desa Parengan yang berjarak sekitar 35 km dari Kecamatan Babat yang mewarisi keahlian tersebut. Ah, ternyata belum tentu benar kata pepatah, buah jatuh bisa saja puluhan kilometer dari pohonnya.
Butik Paradila
Desa Parengan, Kecamatan Maduran
Depan SMA Muhammadiyah 3 Parengan
Telp. (0322) 392506
Perwakilan:
Jakarta: Muhammad Hilal
Jalan H. Abdulgani No. 468. Kp Utara, Ciputat, Jakarta Selatan
(021) 74713821
Jalan Cempaka Putih Putih Raya A-17 Jakarta Pusat
(021) 4244123
Bandung: M. Layen Junaedi
Cigondewan Hilir Margaasri
(022) 5422158
Samarinda: Ismail
Perum Pondok Karya Lestari Blok D 532
RT 14 Sugai Kapih Samarinda Ilir
(0541) 240144
Surabaya: Gedung Promosi P3ED
Jalan Kedungdoro 86-90
(021) 5343807.
LAMONGAN JUGA BISA BUAT KAPAL
Salah satu pemandangan yang akan menarik mata Anda saat melintas di pesisir Kabupaten Lamongan ialah jejeran perahu di sepanjang garis pantainya. Kebetulan jalan utamanya berjarak cukup dekat dengan pantai, hanya beberapa puluh meter saja. Bahkan di sebagian ruas jalan ,langsung berdampingan dengan pantai. Jadi, Anda bisa melihat luasnya laut dengan aksen perahu dari kendaraan.
Perahu-perahu tersebut tentu milik para warga setempat yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Untuk perahu-perahu kecil yang hanya digunakan untuk melintas beberapa kilometer saja dari garis pantai, para nelayan biasa membuatnya sendiri. Namun bagaimana dengan perahu-perahu besar yang digunakan untuk melaut hingga menyeberang pulau, seperti Pulau Madura, Pulau Kalimantan, atau bahkan sampai ke Pulau Sulawesi? Perahu-perahu yang kebanyakan milik para juragan ini hampir tidak mungkin dibuat sendirian. Selain dibutuhkan waktu yang lama serta tenaga yang tak sedikit, membuat perahu-perahu “jumbo” juga diperlukan keahlian khusus.
Perahu-perahu berukuran besar ini mungkin sulit ditemui di sepanjang jalan raya, kalaupun ada, akan sangat jarang. Perahu ini lebih gampang kita jumpai di Pelabuhan Brondong, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, atau di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kranji Kecamatan Paciran.
Meski tidak dibuat sendiri oleh pemiliknya, tidak berarti juga perahu-perahu ini didatangkan dari daerah lain. Karena penduduk sekitar Brondong dan Paciran pun ada yang andal dalam membuatnya.
Para perajin ini membuat kapal di daerah pinggir laut dengan tanah yang cukup luas, salah satunya di Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran. Daerah pinggir laut sengaja dipilih agar mempermudah pemindahan perahu dari darat ke laut kalau sudah jadi nantinya, tinggal didorong saja dengan alat berat.
Di desa ini, ada yang membuat perahu secara mandiri dan ada juga yang membuatnya dalam pimpinan seseorang. Membuat secara mandiri maksudnya, pemesan langsung datang ke para perajin untuk minta dibuatkan perahu. Sementara dalam pimpinan seseorang berarti transaksi terjadi antara pemesan dan pemilik mebel. Proses pembuatannya menjadi urusan antara perajin dan pemilik mebel.
Kedua cara ini memiliki keunggulan masing-masing bagi para pemesan. Untuk yang cara pertama, perahu bisa disesuaikan langsung dengan keinginan pemesan dalam segala segi. Pemesan juga banyak berperan dalam pemilihan bahan kayu dan lain-lain.
Sementara untuk cara yang kedua, pemesan bisa lepas tangan. Karena semua hal tergantung oleh pemilik mebel dan perajin, pemesan tinggal terima “beresnya saja”.
Otodidak
Meski dengan prosedur pemesanan yang berbeda, cara pembuatan perahu tentulah sama. Satu buah perahu besar, berkisar panjang antara 7-9 meter biasa diselesaikan oleh 5-7 perajin dalam waktu sekitar 5 bulan.
Membuat perahu besar memang diperlukan keahlian khusus, tapi jangan membayangkan para perajinnya merupakan arsitektur atau sarjana lulusan teknik sipil. Karena hampir semua dari mereka belajar membuat perahu secara otodidak, dari pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka.
Jadi di tempat pembuatan perahu ini, jangan juga berharap ada rancangan kerangka perahu pada kertas gambar, atau alat-alat canggih yang biasa dipakai dalam pembuatan kapal-kapal modern. Di sini perahu dibuat secara langsung tanpa desain dan tanpa rancangan. “Semua dilakukan pakai perasaan perajinnya saja,” kata Pak Ali Shodikin, salah satu pemilik mebel pembuat perahu yang terletak 100 meter sebelah timur Balai Desa Kandang Semangkon.
Proses pembuatannya juga masih sangat sederhana. Di mebel milik pak Ali Shodikin yang berdiri sejak tahun 2009 ini misalnya, mesin hanya digunakan untuk memotong kayu. Mesin ini bernama denso atau dalam bahasa inggris disebut chainsaw, mesin gergaji besar yang digerakkan oleh diesel.
Untuk bagian-bagian yang melengkung seperti alas perahu, kayu dipanggang di atas api dan diberi pemberat (batu) pada salah satu ujungnya hingga lengkung yang dikehendaki. Lagi-lagi tidak ada perhitungan berapa lama kayu harus dipanggang. Semua tergantung “rasa” si perajin. Jika lengkung yang diingginkan dirasa cukup, saat itu juga kayu diangkat.
Perahu-perahu nelayan di pesisir Lamongan ini bukan hanya cara pembuatannya saja yang tradisional, namun perlengkapan kapalnya juga masih minim. Tidak ada alat pendeteksi karang atau pendeteksi ikan. Maksimal, para nelayan hanya membawa GPS untuk mendeteksi tempat yang sudah dilaluinya.
Jati paling oke
Karena digunakan untuk melaut dengan konsekuensi berhadapan air asin yang mudah merusak kayu, pemilihan bahan baku tidak boleh sembarangan. Untuk bagian alas bawah, Pak Ali Shodikin hanya percaya pada kayu jati jenis TPK (Tempat Penimbunan Kayu) milik perhutani. Kayu jati ini merupakan jenis kayu jati kualitas terbaik. Salah satu yang membedakannya dengan kayu jati biasa atau yang biasa disebut jenis AB (milik rakyat) adalah cara menebangnya. Kayu jati TPK baru ditebang 1 tahun setelah pohonnya dimatikan. Dengan demikian tekstur kayunya lebih keras dan kandungan air di dalamnya sudah kering.
Jika dibandingkan dengan kayu jati jenis AB yang sudah kering karena dijemur, kayu jati TPK tetap jauh lebih baik. Karena itu juga kayu ini harganya lebih mahal, yakni Rp. 12 juta per meter kubiknya.
Untuk bagian kerangka dalam perahu, yang terdiri dari tempat penyimpanan ikan hasil melaut, tempat mesin, tempat pengemudi, dan sebuah kamar untuk para nelayan beristirahat, biasa digunakan kombinasi antara kayu jati dan kayu mahoni. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi, karena harga kayu mahoni lebih murah daripada kayu jati.
Harga satu perahu tergantung dari besar ukuran dan kombinasi jenis kayu yang digunakan. Untuk perahu ukuran 7-9 meter dengan tinggi sekitar 6 meter, dan lebar sekitar 4 meter, berkisar antara 500-700 juta per unit. Kapasitasnya bisa mencapai 50 ton, masih renggang untuk menampung seekor paus jenis grey whale, Wow!
Perahu, Den Jon, Atau Kosen?
Jika teliti, ketika berada di pelabuhan atau TPI Brondong, Anda akan melihat bentuk perahu yang tidak selalu sama antara satu dengan lainnya di luar masalah ukuran. Bukan karena kebetulan, tapi perahu-perahu di sana memang dibuat dengan dua model. Yakni model asli yang biasa disebut “Perahu” saja, dan model lain yang dikenal dengan nama “Den Jon”.
Perbedaan keduanya memang tidak signifikan, yang paling kentara terletak di bagian ujung depan dan belakang perahu yang biasa disebut linggi haluan. Jenis asli Perahu memiliki ujung depan yang menjulang lancip dan tinggi, sementara Den Jon ujungnya papak dan sedikit lebih rendah.
Sedang jika Anda merapat ke TPI Kranji, bentuk perahunya lain lagi. Tidak ada linggi haluan yang tinggi, tapi bagian belakang lebih unik. Jika dilihat dari samping nampak miring lurus, tidak melengkung layaknya model Perahu dan Den Jon. Model yang disebut Kosen ini juga diberi tambahan kayu sebagai linggi buritan, mirip bumper mobil sedan.
“Ini bukan semata masalah fungsi. Tapi biar jadi penilaian orang yang melihat, model mana yang lebih ‘ganteng’?” gurau seorang perajin sambil tertawa.
MENGGUGAH SELERA MAKAN DENGAN KARE RAJUNGAN
Seafood merupakan salah satu makanan yang digemari oleh banyak orang. Pelbagai macam ikan dan binatang hasil laut bisa diolah menjadi makanan yang tak hanya lezat, namun juga memiliki nilai gizi yang cukup tinggi.
Saat Anda melintas di daerah pesisir Paciran, Kabupaten Lamongan, atau setelah berwisata di WBL atau Mazola, mampirlah sejenak di rumah makan Tohjoyo. Rumah makan yang berdiri sejak tahun 2000 ini menyediakan pelbagai menu yang sebagian besar adalah olahan seafood. Salah satu yang menjadi andalan yakni kare rajungan.
Lupa daratan, begitulah yang akan kita rasakan saat menyeruput kuah kare dan melahap lembutnya daging rajungan. Kuah kare yang tidak begitu pedas, terlihat keruh dan sedikit berminyak ini begitu terasa rempahnya. Bumbu yang dipakai dalam kare sebenarnya tak jauh berbeda dengan bumbu kare pada umumnya, yakni bawang merah, bawang putih, cabe, kemiri, ketumbar, dan bumbu-bumbu lain. Hanya saja agar rasa karenya lebih enak, ada tambahan bumbu yang oleh Ibu Barida, pemilik rumah makan Tohjoyo, disebut bumbu rahasia.
Untuk rajungannya, Ibu Barida tidak mau setengah-setengah, hanya rajungan kualitas baik yang masuk dalam dapurnya. Binatang laut yang memiliki nama latin Portunus pelagicus ini didatangkan langsung dari nelayan dengan keadaan masih hidup. “Kami sudah punya langganan nelayan. Hanya rajungan yang baik yang dibawa ke sini,” ujar istri dari Pak Arifin ini.
Satu porsi kare rajungan berisi dua ekor rajungan yang dihidangkan dengan siraman bumbu kare. Sebelumnya, rajungan ini terlebih dahulu dibersihkan dan direbus sampai matang. Baru kemudian dimasak lagi bersama bumbu kare. Dalam proses pemasakan ini, kerapas rajungan sengaja dibelah, tujuannya agar bumbu kare meresap rata ke dalam daging. Selain itu, pembelahan kerapas ini juga memudahkan saat kita menyantapnya nanti.
Untuk menikmati seporsi kare rajungan, Anda harus membayar Rp 36.000, jika ditambah nasi harganya menjadi Rp. 39.500. Untuk minumnya, di rumah makan yang dirintis dari kegemaran pemiliknya dalam dunia masak-memasak ini, Anda bisa memilih minuman khas Paciran, yakni es legen atau es dawet siwalan.
Rajungan bukan kepiting
Rajungan mungkin sudah tidak asing lagi bagi penggemar seafood. Tapi buat Anda yang belum tahu, rajungan berbeda dengan kepiting. Meski wujudnya mirip, rajungan dan kepiting memiliki beberapa perbedaan.
Secara fisik, yang paling mudah dilihat ada pada sepasang kaki belakang dua binatang ini. Kaki belakang rajungan bagian ujungnya berbentuk pipih. Secara anatomi, bentuk ini memudahkan rajungan untuk berenang di dalam air. Sedangkan kaki belakang kepiting berbentuk hampir sama dengan empat pasang kaki lainnya.
Saat masih hidup, jika kepiting warnanya itu-itu saja, rajungan lebih variatif, ada yang kehijau-hijauan, ada juga yang kebiru-biruan. Namun saat sudah dimasak, keduanya berwarna sama, oranye. Daging rajungan juga lebih gurih, kerapasnya lebih lunak, jadi untuk mengambil daging dalamnya lebih mudah.
Kaya akan gizi
Habitat dua binatang serupa ini juga tak sama. Kepiting bisa hidup di darat dan di laut, sedangkan rajungan tidak bisa bertahan lama jika berada di darat. Urusan gizi, rajungan lebih unggul. Menurut data Badan Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), nilai kandungan protein rajungan mencapai 16,85%, kepiting berada di bawahnya, 11,9%.
Rajungan juga memiliki jumlah kolesterol yang lebih rendah daripada udang dan lobster, sekitar 78 mg per 100 gram. Gizi lain yang ada dalam daging rajungan adalah kabohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1.
Makan rajungan tidak bisa disamakan dengan makan ikan. Rumah makan Tohjoyo memang menghidangkan rajungan bersama sendok dan garpu, namun Anda yang ingin menyantap dagingnya sampai habis, harus rela menyisingkan lengan baju panjang Anda, alias makan pakai tangan.
Daging rajungan yang tersembunyi di dalam kerapas, di bagian dalam capit, dan kaki-kakinya, mengharuskan Anda berhati-hati. Jangan sampai saking tak sabarnya, malah kaki atau capitnya yang justru masuk ke perut Anda. 🙂
Buat yang kurang suka kare, tenang saja. Rumah makan yang buka mulai pukul 7 pagi sampai 9 malam ini juga menyediakan menu rajungan goreng dan rajungan asam-manis yang tentu tak kalah enaknya. Beberapa masakan lain seperti ayam goreng, pelbagai olahan udang, dorang, cumi, dan lain-lain menjadi pelengkap menu rumah makan Tohjoyo.
RM Tohjoyo
Jalan Raya Paciran, sekitar 50 meter sebelah barat depan POM Bensin.
Buka: Setiap hari, pukul 07.00 – 21.00.
GUNUNG RATU, BUKIT TEMPAT LAHIRNYA GAJAH MADA
Siapa yang tak kenal dengan Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit itu? Nama besar yang ia miliki membuatnya dikenang di seluruh penjuru nusantara. Maka jangan heran jika di banyak tempat di Indonesia terdapat dongeng tentang kelahiran patih yang terkenal dengan sumpah palapanya itu. Dongeng-dongeng tersebut tersebar dengan mudah karena belum adanya sejarah yang pasti tentang kelahiran sang patih.
Beberapa tempat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara memiliki dongeng yang berbeda-beda. Ada yang menceritakan Gajah Mada sebenarnya putra kerajaan, ada juga yang berpendapat ia lahir dari orang tua biasa, bahkan versi lain menganggap Gajah Mada terlahir dari batu.
Di pulau Jawa, Lamongan merupakan salah satu kota yang memiliki dongeng tentang Gajah Mada. Di Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang, di atas sebuah bukit bernama Gunung Ratu, ada sebuah makam yang diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Dewi Andong Sari, ibu dari Gajah Mada.
Dewi Andong Sari merupakan salah satu selir raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Ia dibuang dan akan dibunuh karena fitnah yang menyebut ia hamil dari hasil perselingkuhan.
Tak sampai dibunuh, Dewi Andong Sari hanya diasingkan di atas bukit di dalam hutan oleh prajurit kerajaan. Bukit inilah yang sekarang disebut Gunung Ratu.
Tak lama tinggal di sana, Dewi Andong Sari melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat ia hendak turun dari bukit, Dewi Andong Sari menitipkan bayinya pada dua hewan peliharaan yang selama ini menemaninya, seekor kucing bernama condromowo dan seekor garangan (musang) putih.
Dalam dongeng yang tidak bisa diuji kebenarannya ini, Dewi Andong Sari bunuh diri di Gunung Ratu. Ia merasa bersalah telah membunuh kucing condromowo dan musang putih.
Sebelumnya, dua hewan ini telah melawan seekor ular besar yang hendak memangsa bayi Dewi Andong Sari hingga mulut mereka berlumuran darah. Tapi, Dewi Andong Sari yang baru tiba dari mandi, justru mengira peliharaannya tersebut telah memakan si bayi. Padahal bayi tersebut masih hidup dan tersembunyi di balik dedaunan.
Jejaka dari Desa Modo
Ki Gede Sidowayah seorang pamong desa saat itu yang menemukan bayi Dewi Andong Sari. Ia juga yang mengubur jasad wanita cantik itu, juga kucing dan musang yang telah mati.
Bayi Dewi Andong Sari oleh Ki Gede Sidowayah dititipkan kepada adik perempuannya, Janda Wara Wuri di Modo. Di sanalah anak Dewi Andong Sari dijuluki Joko Modo (seorang jejaka yang berasal dari Modo). Ketika menginjak dewasa, Joko Modo dibawa Ki Gede Sidowayah ke Malang untuk menjadi seorang prajurit Majapahit dan nantinya menjadi mahapatih dengan nama Gajah Mada.
Tak hanya versi Lamongan, nama Mada pada Gajah Mada oleh dongeng versi Bali yang tertulis dalam Teks Lontar Babat Gajah Maddha juga berasal dari desa yang bernama Maddha. Namun Desa Maddha yang dimaksud bukan Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, melainkan Desa Maddha yang terletak di dekat Gunung Semeru.
Suasana 17-an
Jalan menuju ke Gunung Ratu sedikit terjal. Untuk sampai ke sana, Anda harus melewati jalan bercadas dan paving sejauh 3 km.
Setelah sampai pun, Anda harus siap menaiki 100-an lebih anak tangga yang menuju ke atas Gunung Ratu. Warga sekitar percaya jika seseorang menghitung anak tangga ini, jumlah yang didapat akan berbeda dengan orang lainnya. Mungkin ini terjadi karena kecenderungan seseorang yang terganggu konsentrasinya ketika menghitung sesuatu secara berulang-ulang.
Percaya atau tidak Anda boleh datang dan mencobanya. Seorang teman saya menghitung 170 anak tangga, sedangkan Pak Sulaiman mengaku pernah menghitung dan mendapati 168.
Setelah dipugar, kompleks makam Dewi Andong Sari terlihat rapi. Banyaknya pepohonan tidak membuat jalan setapak dan dua tempat semacam pendopo kecil untuk beristirahat pengunjung menjadi kotor. Terlihat sekali, kompleks makam yang tidak luas ini dirawat dengan baik. Kuburan kucing conrdomowo dan musang putih yang mencolok di atas tanah tepat di samping jalanan keramik juga terawat.
Suasana Indonesia sangat terasa di sini. Bendera merah-putih dilingkarkan di beberapa batang pohon besar, juga di atap dan dinding pendopo. Di salah satu pendopo juga terpampang dua gambar Bapak Prokamator, Bung Karno, lengkap dengan garuda lambang negara. Bangunan luarnya banyak yang bercat merah dan putih, mirip seperti suasana saat 17-an.
Makam Dewi Andong Sari sendiri terdapat di dalam bangunan sebelah utara menghadap ke selatan. Di dalam bangunan ini, makam Dewi Andong Sari dihiasi dengan payung-payung kuning khas kerajaan. Selain itu, dalam bangunan yang luasnya hanya sekitar 4×4 meter ini juga terdapat 5 batang pohon besar yang menembus hingga ke atas atap. Nampaknya sebelum dipugar, 5 pohon ini sudah berdiri tegak dan memang sengaja tidak ditebang.
Oh iya, di area kompleks makam ini ada peraturan unik. Tamu tidak boleh mengganggu tamu, dan tamu tidak boleh mencari tamu. Anda yang datang dengan niat baik-baik tidak perlu pusing memikirkannya. Karena usut punya usut, dua larangan ini dibuat atas keresahan warga oleh orang yang mengaku ‘dukun’ dan sering mengganggu pengunjung di makam Dewi Andong Sari. Ada-ada saja ya, hehehe…
Rute menuju ke mkam Dewi Andong Sari:
Dari pasar Babat menuju ke arah Jombang sekitar 21 km
Di depan Kantor Koramil Kecamatan Ngimbang ada pertigaan kecil menuju ke arah timur
Makam Dewi Andong Sari berada 3 km sebelah timur pertigaan tersebut.