Wisata Boom Anyar Brondong Lamongan
Selama ini wisata di Lamongan identik dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL). Kini pesisir Lamongan juga memiliki satu lagi ikon wisata yaitu WBA, singkatan dari Wisata Boom Anyar (Wisata Pelabuhan Baru). Singkatan ini bukan singkatan resmi melainkan istilah gaul di kalangan penduduk setempat untuk menyebut Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong.
Pelabuhan ini disebut Boom Anyar karena tempat ini memang baru beroperasi tahun 2016 ini, sebagai perluasan dari “WBL” (Wisata Boom Lawas alias Pelabuhan Lama) yang berada di sebelah timurnya, yang sampai sekarang masih menjadi Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Pintu masuk Boom Anyar ini berada di sebelah barat Kantor Kecamatan Brondong. Untuk memasuki kawasan ini, pengunjung dikenakan tarif karcis Rp 1.000 per sepeda motor.
Walaupun tempat ini sebetulnya adalah pelabuhan perikanan, sehari-hari Boom Anyar ini penuh dengan pengunjung. Paling ramai pada hari Sabtu dan Minggu, pagi sebelum pukul 08.00 dan sore sesudah pukul 16.00.
Sebagian pengunjung ke sini datang sekadar untuk jalan-jalan, melihat panorama laut, menikmati pemandangan kapal-kapal nelayan yang bersandar, joging, atau mencari tempat berfoto selfie.
Tertarik?
WISATA PETIK PEPAYA DI LAMONGAN
Jika Anda jalan-jalan ke Wisata Bahari Lamongan (WBL) atau Lamongan pantura dan ingin merasakan pengalaman agrowisata, silakan mampir di kebun pepaya di Brondong, sekitar 7 km sebelah barat WBL. Di sini Anda bisa memetik buah pepaya Calina atau yang lebih dikenal sebagai pepaya California.
Sebetulnya lokasi ini bukan lokasi wisata melainkan kebun biasa. Karena bukan tempat wisata, tidak ada tiket masuk alias gratis. Pengunjung dipersilakan memetik sendiri buah pepaya lalu membayarnya sebagaimana pembeli biasa. Harganya pun murah, hanya Rp 6 ribu/kg dengan minimal pembelian 5 kg. Jadi, dengan uang Rp 30 ribu pengunjung sekeluarga bisa mendapat pepaya sekitar 4-5 buah. Kalau Anda membeli grosiran, harganya hanya Rp 4.500/kg. Lumayan, bisa untuk oleh-oleh buat tetangga satu RT hehehe…
Calina merupakan pepaya yang benihnya dikembangkan oleh Institut Pertanian Bogor yang memiliki banyak kelebihan.
- Pohonnya pendek sehingga buahnya mudah dipetik.
- Buahnya manis. Lebih manis daripada pepaya Thailand (Bangkok).
- Bobotnya sekitar 1,2 kg per buah. Cocok buat sekali konsumsi. Berbeda dengan pepaya Bangkok yang ukurannya besar-besar dengan berat mencapai 3 kg per buah.
- Daging buahnya kenyal. Walaupun dipetik dalam keadaan matang pun daging buahnya masih kenyal, tidak lembek seperti pepaya Bangkok.
- Buahnya awet. Bahkan setelah diiris dan dibiarkan di luar kulkas pun, Calina matang masih bisa bertahan sampai tiga hari. Berbeda dengan pepaya Bangkok matang yang setelah diiris harus segera dimakan hari itu juga.
- Pohon mudah berbuah. Umur 3 bulan, pohon sudah berbunga. Umur 7 bulan sudah mulai panen. Asal dirawat dengan baik, pepaya bisa terus berbuah sampai umur 2 tahun lebih.
Sangkal Putung Mbah Mahmud Dempel
Seorang wanita, yang berjalan terseok-seok sambil dirangkul suaminya, masuk ruang periksa. Kaki wanita itu terkilir setelah jatuh saat mengendarai sepeda motor. Setelah ia mengistirahatkan badannya di atas tempat tidur, Mahmudi langsung memeriksa kaki wanita tersebut dan melakukan proses penyembuhan.
Tak lama, sekitar 10 menit, pasutri itu keluar. Dari cara berjalannya, tampak kaki sang wanita masih belum sembuh betul. Namun, karena hanya terkilir, ia diperbolehkan untuk pulang dan kembali lima hari lagi untuk pemeriksaan ulang. Kata Mahmudi, ia masih harus kontrol sekitar lima kali secara rutin.
Sementara itu, belasan pasien Mahmudi yang lain tergolek di atas tempat tidur menjalani rawat inap. Mereka terpaksa harus menginap karena menderita patah tulang yang cukup parah dan syaraf yang terjepit.
—
Jika Anda berpikir Mahmudi adalah seorang dokter atau ahli medis, semetara tempat ia bekerja adalah rumah sakit, Anda salah besar. Mbah Mahmud, begitu Mahmudi akrab disapa, adalah tukang pijit spesialis masalah tulang dan syaraf. Sementara tempat pasien-pasiennya terbaring itu adalah rumah yang Mbah Mahmud “sulap” menyerupai sebuah ruang rawat inap. Lokasinya berada di Dusun Dempel, Desa Pangean, Maduran, Lamongan.
Di “klinik minimalisnya” ini Mbah Mahmud menangani semua pasien. Ia menangani pasien yang kontrol di sore hari. Setelah itu, ia memeriksa dan memijat pasien-pasien rawat inap. Untuk pasien yang baru pertama ke sana, baru saja mengalami kecelakaan misalnya, akan langsung ditangani begitu sampai di tempat praktek Mbah Mahmud. Pukul 12 malam pun.
Kemahiran Mbah Mahmud memijat, ia dapat secara turun-temurun. “Dari kakek buyut saya, turun terus sampai saya ini,” terang lelaki berambut gondrong ini.
Namun, ia tak memungkiri bahwa tak semua pasien yang bermasalah dengan tulang dan syaraf sanggup ia layani. Untuk orang yang patah tulang, Mbah Mahmud sanggup menerima selama luka luarnya masih bisa dijahit. Sedangkan untuk yang bermasalah dengan syaraf, Mbah Mahmud terang-terangan tidak sanggup mengobati jika kondisinya sudah lumpuh.
Durasi pemijatan yang dilakukan Mbah Mahmud kepada semua pasiennya tak begitu lama, hanya sekitar 10 sampai 15 menit. Tak jarang selama proses itu, ia “mengoda” sang pasien dengan ujaran-ujaran lucu. Agar pasien rileks, katanya.
Ada dua metode yang Mbah Mahmud gunakan untuk mengobati pasiennya. Pertama, pemijatan; dan kedua, pengurutan. Uniknya, tak seperti tukang pijit lain yang menggunakan minyak urut, Mbah Mahmud memilih merica yang sudah ditumbuk halus plus air ludah sebagai pelumas. Ya, benar-benar air ludah yang keluar langsung dari mulut Mbah Mahmud.
“Merica dan ludah ini hanya media yang saya gunakan saja. Kalau pakai air putih kan repot harus cari-cari dulu,” candanya. Metode penyembuhan seperti itu sudah Mbah Mahmud jalani sejak tahun 1998, saat pertama kali ia membuka praktik pemijatan.
—
Klinik minimalis Mbah Mahmud benar-benar mirip ruang inap kelas bawah di klinik-klinik pada umumnya. Tempat tidur satu pasien dengan pasien lain disekat menggunakan tirai. Ada dua rumah yang dijadikan “klinik”. Masing-masing diisi 13 dan 14 tempat tidur. Saat saya mendatangi klinik minimalis Mbah Mahmud itu, ke-27 dipan sudah penuh pasien. “Kalau tiba-tiba ada pasien baru yang harus menjalani rawat inap, ya terpaksa dibuatkan tempat di ruang tunggu,” tutur Mbah Mahmud sambil menunjuk ruang tamu tempat pasiennya yang akan kontrol mengantri.
Pertama kali membuka praktik, “Sangkal Putung Mbah Mahmud” – nama praktik pijat Mbah Mahmud – ini tidak begitu ramai. Saat itu, ia masih sempat melayani pijat panggilan. Sangkal Putung Mbah Mahmud mulai dikenal banyak orang dari pembicaraan mulut ke mulut mulai lima tahun yang lalu. Sekarang, jangankan dipanggil ke rumah, pasien yang datang langsung “klinik”-nya saja harus rela mengantri berjam-jam untuk dapat giliran dipijat.
“Cuma itu yang bikin saya kadang mengeluh. Menunggu kan menjemuhkan. Saya antri dari jam dua belas siang tadi, baru dapat giliran pukul setengah tiga sore,” begitu keluh salah satu pasien Mbah Mahmud.
Pasien Mbah Mahmud kebanyakan berasal dari daerah Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dan sekitarnya. “Bahkan pernah ada yang dari Papua dua kali,” terang Pria yang saya taksirkan berusia 40-an tahun, yang enggan menyebutkan usianya ini.
Sebagian dari pasien Mbah Mahmud itu berasal dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke bawah atau juga keluarga menengah ke atas yang mengalami masalah tulang dan syaraf namun takut menjalani operasi di rumah sakit.
Berobat di tempat Mbah Mahmud memang dianggap ringan bagi para pasien yang berasal dari kalangan keluarga menengah ke bawah. Untuk kontrol dan pemeriksaan, pasien tidak dipatok tarif. “Seikhlasnya saja,” kata Mbah Mahmud. Sementara untuk pasien inap dikenakan tarif Rp 70.000 per bulan untuk biaya air selama tinggal di sana. Tarif itu sudah termasuk keluarga yang menemani pasien dan ikut tinggal di sana.
Tarif ini bagi pasien patah tulang dan salah syaraf tentu jauh lebih murah daripada tarif di klinik atau rumah sakit, yang untuk menginap satu malam saja harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah.
—
Mbah Mahmud tidak bekerja sendiri di tempat praktiknya. Ia dibantu seorang asisten dan bekerja sama dengan mantri setempat. Masing-masing dari mereka punya andil sendiri dalam mengobati pasien. Peran Mbah Mahmud yakni memijat dan mengurut para pasien. Selama memijat, semua keperluannya disediakan oleh sang asisten. Sementara Pak Mantri berperan mengobati luka terbuka dan meresepkan obat.
Pengobatan di sini memang bukan murni pijat atau urut saja. Tapi juga ditunjang dengan pengobatan moderen dan obat generik. Seperti semboyan sebuah merek pasta gigi, Sangkal Putung Mbah Mahmud memadukan antara pengobatan alami dan ilmiah.
Kerajinan Emas Warisan Sunan Sendang
Seorang laki-laki berkumis tebal duduk di depan meja kecil dengan gunting, tang, dan alat-alat penuh di atasnya. Matanya tajam mengarah ke meja. Dari raut mukannya tampak, ia sedang penuh konsentrasi. Tangannya bergerak pelan-pelan memegang alat patri, tepat di bawah sinar lampu neon. Padahal saat itu hari masih terang. Seakan tak terusik dengan istri dan anak yang lalu-lalang di belakangnya, ia tetap tekun menyambungkan kawat-kawat kecil emas menjadi sebuah kalung.
Nur Halim, laki-laki yang membuat perhiasan itu sudah 28 tahun menjadi perajin emas. Ia tidak sendiri, di desanya dan desa tetangga, Sendang Duwur dan Sendang Agung, Kecamatan Paciran, Lamongan, sepertiga dari total kepala rumah tangga berprofesi sebagai perajin emas.
Nur Halim lebih sering membuat perhiasan jenis kalung daripada cincin, gelang, atau perhiasan lainnya. Sebenarnya, setiap perajin emas dapat membuat semua jenis perhiasan. Namun, mereka lebih sering membuat sesuai dengan “bidang keahlian” masing-masing. Jika membuat kalung–keahlian Nur Halim, ia dapat memaksimalkan waktu. Sementara jika tidak, “membuat satu buah cincin saja bisa sampai berhari-hari,” katanya.
Dalam sehari, dari pagi sampai pukul 10 malam, Nur Halim dapat menyelesaikan tiga buah kalung. Itu jika permintaan sedang ramai. Jika sepi, ia hanya membuat satu buah saja. Seperti harganya yang suka naik-turun, perajin perhiasan emas juga sering mengalami pasang-surut permintaan. Ketika sedang ramai-ramainya, banyak perajin dadakan, bekerja membuat perhiasan bisa sehari-semalam.
Sebaliknya, jika sepi, banyak perajin yang beralih profesi. Mereka memilih menjadi nelayan atau petani yang hasilnya hampir pasti. Bagi Nur Halim pribadi yang hampir selalu mendapat pesanan setiap hari, belum terpikir untuk “berdiri” meninggalkan kursi di depan meja kecilnya. “Selama mata masih ‘terang’, saya masih akan terus membuat perhiasan,” akunya.
Puncak ramai pesanan emas, menurut Nur Halim, berbanding lurus dengan panen tembakau di Kota Bojonegoro. Biasanya setelah panen, banyak petani tembakau dari sana membeli perhiasan emas untuk investasi ala orang tua zaman dulu.
Alat-alat jadul
Di tengah maraknya perhiasan-perhiasan emas dari pabrik yang dikerjakan dengan peralatan yang canggih, Nur Halim masih mengandalkan alat-alat manual. Palu dan alasnya, tang, gunting, pencapit, dan mesin patri menjadi “senjata” wajib. Kecuali mesin patri yang cepat rusak, alat-alat Nur Halim umumnya barang tua, warnanya kehitaman tanda sudah dimakan usia. Sudah jadul.
Proses pembuatan perhiasan model apa pun, dimulai dengan memipihkan emas batangan berkadar 24 karat. Emas itu dipecah kecil-kecil menggunakan palu, kemudian dilebur. Jika ingin mengurangi kadar emasnya, tinggal ditambahkan tembaga dan perak sesuai dengan kadar yang ingin dicapai.
Setelah melebur, lelehan emas dibentuk berdasarkan jenis yang ingin dibuat. Bentuk cincin tentu memiliki cetakan yang berbeda dengan gelang, begitu juga dengan kalung. Untuk kalung, lelehan emas dibentuk menjadi kawat-kawat kecil nan panjang.
Kawat-kawat itu selanjutnya melewati proses penghalusan. Jika sudah siap, kawat-kawat mengilap siap dipotong, dibentuk sesuai pola, lalu dirangkai sesuai jenis kalung yang dikehendaki. Nur Halim biasa membuat empat jenis kalung, yakni rantai, RRT, satelit, dan siem. Keempatnya dibuat dengan cara yang sama tapi melewati proses pengerjaan yang berbeda.
Kawat-kawat yang sudah dirangkai kemudian dipatri. Proses perangkaian dan pematrian ini merupakan proses yang butuh kejelian mata. “Itu sebabnya, perajin emas sangat bergantung dengan kondisi matanya,” kata laki-laki 50 tahun itu.
Untuk kalung polos, tahap terakhir yang dikerjakan Nur Halim yakni mengikir dan mencuci. Pencucian perhiasan menggunakan bahan kimia khusus. Bapak dua orang anak ini biasa mencuci dalam wadah logam yang dialiri listrik. Sementara untuk kalung yang mempunyai motif, kembang-kembang misalnya, harus dibawa ke ahlinya dulu sebelum dicuci.
Lebih murah
Nur Halim biasa membuat kalung dengan kadar antara 70 persen sampai emas murni. Ia tak membuat kalung yang bobotnya kurang dari 10 gram. Sebab, membuat kalung dengan bobot ringan berarti membuat kalung dengan ukuran kecil. Jika begitu, mata pun harus bekerja ekstra. “Kasihan mata saya,” alasannya.
Jika dibandingkan dengan perhiasan emas buatan pabrik, perhiasan emas made in Sendang Duwur dan Sendang Agung memang kalah dalam beberapa hal, seperti model, motif, bentuk, dan warna. Tapi, Nur Halim mengklaim, perhiasan emas hasil dari alat manual lebih kuat dan lebih murah.
Bekerja sebagai perajin perhiasan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan seorang akuntan. Keduanya sama-sama bisa menyelesaikan pekerjaan hanya dengan duduk di belakang meja saja.
Dibawa oleh Sunan Sendang Duwur
Kerajinan emas sudah menjadi profesi turun-temurun di Desa Sendang Duwur dan Sendang Agung. Para perajin yang masih bertahan sampai saat ini telah melihat proses pembuatan perhiasan emas sejak zaman nenek buyut mereka.
Konon, kerajinan emas pertama kali dibawa oleh Sunan Sendang Duwur sekitar Abad ke-15. Sejak saat itu, mayoritas penduduk laki-laki belajar membuat perhiasan. Setelah mahir, mereka menjadi perajin perhiasan. “Sementara yang perempuan membuat batik tulis,” tutur Nur Halim.
SEDERET LUKA PARA PENYADAP NIRA
Di balik rasanya yang manis-segar, tidak banyak yang tahu jika nira siwalan, yang biasa disebut legen, diambil dengan susah payah oleh para penyadapnya. Bukan hanya pendapatan yang tak seberapa, yang lebih miris, nyawa pun bisa jadi taruhannya!
Seorang lelaki tua mengendarai sepeda jengki yang tak kalah tua dengan pengendaranya. Dengan bawaan yang diletakkan di boncengan, ia tampak masih bertenaga mengayuh sepeda di usia 65 tahun. Jika beberapa orang seusianya bisa beristirahat di rumah, menunggu kiriman uang dari anaknya atau sekadar menunggu uang pensiun cair di tanggal muda, Pak Suwanu, lelaki tua pengendara sepeda itu, masih giat bekerja sebagai penyadap nira.
Bagi kita yang masih muda, jarak yang ia tempuh memang tak begitu jauh, hanya sekitar 1 km. Namun, bagi Pak Suwanu yang berjalan saja sudah membungkuk, perjalanan tidaklah menyenangkan. Belum lagi, bagi warga Paciran, Lamongan ini, mengayuh sepeda dan bersimpangan dengan truk-truk besar selalu waswas. Kita perlu mafhum, jalan raya yang dilewati Pak Suwanu merupakan jalan utama pantai utara antara Tuban dan Surabaya.
Bersamaan dengan bel sekolahan berbunyi, sekitar pukul 7 pagi, ia sampai di gubuknya. Gubuk kecil yang dibangun di atas kebun siwalan milik orang. Ukuran gubuk itu hanya sekitar 20 m2. Atapnya genting dan dinding lontar (daun siwalan) kering. Tinggi dindingnya tak sampai dua meter. Orang jangkung mesti membungkuk jika ingin masuk ke dalam. Gubuk ini bak rumah kedua bagi Suwanu. Ia tak perlu membayar kepada pemilik kebun. Sebab, ia sudah meminta izin. Lagi pula kebun itu memang tak dirawat oleh sang pemilik. Di situ, di gubuk itu, Suwanu menghabiskan waktu seharian, menyiapkan diri sebelum memanjat siwalan, menyimpan legen, membuat sirup nira siwalan, dan beristirahat.
Tak menunggu waktu lama, setelah memakir sepadanya, Suwanu segera menyiapkan belasan bumbung untuk menampung nira dari pohon yang akan ia panjat. Sementara itu, bumbung-bumbung lain sudah terpasang di atas pohon sejak kemarin sore dan siap untuk diturunkan.
Tak banyak yang tahu, jika sebelum dipasang, bumbung-bumbung itu diisi dengan sedikit campuran air dan getah kembang dari pohon, yang Suwanu sendiri tak tahu nama pohon itu. Air dan getah yang dicampurkan ini sangat sedikit sehingga tak mempengaruhi kualitas legen. Tujuannya, agar legen hasil sadapan tidak terasa asam. Jadi, kata Suwanu, kalau ada yang bertanya soal legen Paciran itu asli atau tidak? Jawabannya hampir selalu tidak. Sebab legen selalu dicampur dengan air getah kembang itu. “Beda lagi kalau tanyanya jelas, campuran apa, campuran gula pasir misalnya. Jawabannya bisa asli bisa tidak,” ujarnya.
Saat akan memanjat, Suwanu tak lupa memasang dua “senjata” andalan di lingkar perutnya yang kurus kering, sebilah golok dan sebuah pengait yang terbuat dari potongan bambu. Jangan salah, Suwanu bukan akan berkelahi. Ia membawa golok untuk memotong mayang siwalan. Sedangkan pengait, yang oleh warga sekitar Paciran biasa disebut cangkrian (bahasa jawa cangkrik = kait, cangkrikan = pengait), ia gunakan untuk membawa naik-turun bumbung-bumbung dari pohon siwalan.
Sekarang, semua sudah siap. Dengan telanjang dada dan badan yang terbungkuk, Suwanu berjalan menuju pohon yang akan ia panjat. Ada puluhan pohon siwalan di sekitar gubuknya. Namun, hanya enam pohon yang ia jadikan “ladang emas”. Siwalan memiliki dua jenis pohon, bertongkol bunga jantan dan betina. Bedanya, pohon siwalan bertongkol bunga jantan menghasilkan nira dalam jumlah yang lebih banyak daripada siwalan yang bertongkol bunga betina. Namun, siwalan yang bertongkol bunga betina dapat menghasilkan buah lebih banyak ketimbang siwalan yang bertongkol bunga jantan. Pak Suwanu sendiri hanya memanjat pohon yang menghasilkan banyak nira.
Pohon pertama yang akan Pak Suwanu panjat terletak beberapa meter di depan gubuk. Tingginya sekitar 10 meter. Pelan namun cekatan, tangan dan kakinya bertumpu pada tiap pijakan di batang pohon palma itu. Nyali bukan lagi persoalan. Ia yang sudah 40 tahunan menjadi penyadap nira siwalan, sudah kehilangan rasa takut akan ketinggian. Meski begitu, jika konsentrasinya hilang saat di atas pohon, jatuh yang berakibat luka parah sampai kematian menjadi taruhan.
“Pernah jatuh satu kali. Untung naiknya belum terlalu tinggi. Tanahnya juga empuk, habis hujan. Jadi tidak apa-apa. Tapi itu sudah dulu sekali,” terang lelaki yang sejak remaja sudah menyadap nira siwalan ini.
Sekitar 15 menit Suwanu berada di atas pohon. Ia mengganti bumbung yang sudah terisi legen dengan bumbung baru yang ia bawa dari bawah. Entah apa lagi yang ia lakukan di atas sana hingga begitu lama. Mungkin ia terlalu lelah dan beristirahat sejanak, mungkin juga ia menikmati pemandangan laut lepas yang bebas ia pandang dari atas. Ya, kebun siwalan di Paciran memang banyak yang berbatasan langsung dengan laut. Sungguh pemandangan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Hari ini tampaknya kurang bersahabat dengan Suwanu. Dari delapan bumbung yang ia bawa turun, hanya dua liter legen yang ia dapat. Padahal, di musim kemarau seperti ini, biasanya ia bisa membawa turun 4-5 liter legen dari satu pohonnya. Mayang siwalan memang lebih banyak menghasilkan nira di musim kemarau daripada musim hujan. Selain itu, di musim hujan, air hujan juga bisa merembas masuk ke dalam bumbung yang dipasang untuk menampung nira. Itulah sebabnya mengapa legen di musim hujan rasanya tidak begitu manis.
Direbus lebih awet tapi kurang segar
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus sela daun-daun siwalan. Begitu ombak di laut mulai pasang – seperti yang digambarkan dalam syair D. Zawawi Imron – maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul. Ah, indah sekali.
Mungkin ini salah satu pemandangan indah yang luput dari mata Pak Suwanu. Sebab, usai turun, ia masih harus memanjat pohon siwalan yang lain. Baru kira-kira pukul 10.00 nanti, ia kembali ke gubuk, mengolah legen, memberi makan delapan ekor kambingnya, dan beristirahat. Sejak dua tahun lalu, setelah istrinya meninggal, Pak Suwanu bekerja sendiri. “Istri saya sakit demam seharian, lalu tiba-tiba saja ia meninggal,” kenang Pak Suwanu yang membawa saya dalam suasana haru.
Kadang Pak Suwanu menjual begitu saja legen yang masih segar dalam botol kemasan air mineral 1,5 liter. Kadang juga ia rebus supaya lebih tahan lama. Legen yang direbus dan tidak, memiliki cita rasa yang sedikit berbeda. Legen yang tidak direbus rasanya manis segar, terdapat sensasi unik ketika sampai di tenggorokan, mirip seperti saat minum minuman bersoda. Sementara legen yang sudah direbus rasa manisnya bertambah karena volumenya berkurang akibat proses perebusan, tidak begitu segar, dan sensasi di tenggorokan juga berkurang.
Perbedaan rasa pada kedua legen ini tidaklah signifikan. Berbeda dengan legen yang sudah dicampur gula pasir, air kelapa, dan bahan lain yang ditambahkan untuk memperbanyak volume legen. Biasanya jika bahan-bahan tersebut ditambahkan, legen menjadi lebih cepat basi.
Legen segar tanpa direbus hanya mampu bertahan tak lebih dari 24 jam. Sedangkan jika direbus tanpa campuran, legen bisa tahan sampai dua hari. Lebih dari itu, legen terfermentasi menjadi tuak yang memabukkan. Atau jika terfermentasi lebih lama lagi, legen bisa menjadi cuka, salah satu bahan dapur yang kecut itu.
“Mestinya legen tak harus sampai jadi tuak . Sebelum basi bisa diolah menjadi sirup siwalan yang bisa tahan sampai dua minggu. Kalau pengen awet lagi, dibuat gula merah siwalan. Itu malah tahan sampai tiga bulan,” terang Pak Suwanu. Ia sendiri hanya menjual legen dan membuat sirup siwalan.
Menyadap nira pagi dan sore hari
Untuk sementara, tugas Pak Suwanu telah usai. Setelah berpanas-panasan di depan tungku yang terletak di tengah-tengah gubuk selama membuat sirup siwalan, sekarang, ia bisa beristirahat sembari menunggu para pelanggannya datang. Pak Suwanu tidak menjajakan legen dan sirup buatannya. Ia memiliki beberapa pelanggan setia, yakni pedagang-pedagang legen dan es dawet siwalan pinggir jalan dan konsumen yang datang langsung membeli di gubuk Pak Suwanu. “Banyak yang beli ke sini, dari pedagang sampai Pak Camat,” katanya bangga.
Menjadi penyadap nira siwalan, bagi Pak Suwanu, bukan hanya soal untung atau rugi. Selain tidak pernah membuat legen “KW”, ia selalu berkata apa adanya kepada para pelanggan. “Kalau legennya saya rebus, saya bilang saya rebus. Kalau tidak mau beli, ya tidak apa-apa, yang penting saya jujur,” tegasnya.
Pak Suwanu menjual legennya dengan harga Rp 5.000 per botol ukuran 1,5 liter. Sementara untuk sirup, ia jual Rp 30.000 untuk botol ukuran serupa, dan Rp 10.000 untuk botol ukuran 600 ml. Hasil yang didapat Pak Suwanu memang tak seberapa jika dibandingkan dengan peluh yang bercucur di badan dan risiko yang ia hadapi.
Kini matahari sudah benar-benar di atas kepala. Terasa panas menyengat. Terlebih udara di pesisir Paciran yang terkenal cukup panas, hingga berteduh di dalam gubuk Pak Suwanu pun masih terasa gerah. Saat seperti ini, Pak Suwanu gunakan untuk makan siang dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Ia juga masih mempunyai waktu beberapa jam untuk berlesehan di dipan sambil nenunggu waktu sore, saat ia harus memanjat pohon-pohon siwalan lagi. Karena menyadap nira dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore.
Penyadap nira di Paciran tidak banyak yang seusia Pak Suwanu. Tapi, semangatnya bekerja masih belum pudar. Selama masih kuat memanjat pohon siwalan, ia akan terus menyadap nira, membuat sirup, dan “membagi manisnya” untuk semua pelanggannya.
KOMPOR HEMAT BRIKET BATU BARA
Tak seperti kompor minyak tanah dan kompor elpiji, kompor briket batu bara terdengar asing di telinga awam. Wajar saja, kompor jenis ini memang jarang ditemui di dapur rumah-rumah. Jangankan memakai, melihat penampakannya langsung saja, tidak banyak yang pernah.
—
Tahun 2006, saat subsidi minyak tanah akan dicabut oleh pemerintah, tersebar isu jika bahan bakar alternatif berikutnya adalah briket batu bara. Meski dalam realisasinya, seperti yang kita gunakan saat ini, elpiji yang akhirnya dipilih oleh pemerintah. Tapi, briket batu bara, bahan bakar yang disebut lebih murah daripada elpiji ini tidak serta-merta hilang dari minat masyarakat. Masih ada beberapa orang yang menggunakannya, terutama di kalangan industri. Produsen kompor briket batu bara juga masih bertahan hingga sekarang. Salah satunya Sutrisno, warga Menongo, Sukodadi, Lamongan.
Sebelum mengenal kompor briket batu bara, Sutrisno sudah akrab dengan alat-alat dapur, seperti dandang, panci, dan benda-benda dari logam lainnya. Di tahun 1979, ia bekerja sebagai buruh di Surabaya, di salah satu industri pembuat perkakas rumah tangga berbahan logam.
Setelah menikah, ia mulai bekerja secara mandiri. Bermodal uang hasil menjual perhiasan yang ia pinjam dari saudaranya, Sutrisno membeli gunting, perkakas bekas dan beberapa lembar logam untuk membuat produk sendiri. Tidak berbeda dari apa yang dikerjakan sebelumnya, ia membuat perkakas dapur berbahan logam secara kecil-kecilan.
Setahun kemudian, ia menambah lagi produk buatannya berupa kompor minyak tanah. Ia belajar membuat kompor dengan pedoman ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). “Saya membeli sebuah kompor yang bagus. Saya lihat komponen-komponennya apa saja, lalu saya praktikan buat. Tapi bukan mau membajak produk itu, saya buat model dan merek sendiri,” terang Sutrisno yang memakai merek “Bintang 5” pada semua produknya.
Hemat untuk peternak ayam, boros untuk rumahan
Kebanyakan peminat kompor briket batu bara berasal dari kalangan industri, lebih khusus lagi oleh para peternak ayam indukan. Sementara untuk rumah tangga, kompor briket batu bara tidak banyak dilirik. Maklum, untuk skala pemakaian kompor di dapur, briket batu bara tidak efisien.
Alasan pertama, untuk penyalaan awalnya membutuhkan waktu yang lama, antara lima sampai lima belas menit. Tidak cocok untuk memasak di rumah yang pedomannya: lebih cepat, lebih baik. Seperti pada kompor minyak tanah yang penyalaan apinya tidak lebih dari satu menit dan kompor gas elpiji yang bahkan tidak lebih dari dua detik. “Sebenarnya penyalaan api kompor briket batu bara yang lama ini bisa diakali dengan pengunaan buvarium, tapi harganya bisa melambung tinggi,” ujar Sutrisno.
Alasan kedua, bahan bakar briket batu bara hanya sekali pakai. Jadi, jika kompor tersebut menggunakan 3 kg briket batu bara sebagai bahan bakarnya. Bahan bakar yang bisa menyalakan api sekitar enam jam itu harus terus digunakan untuk memasak. Jika sudah dimatikan, briket batu bara tidak bisa digunakan lagi, sudah jadi ampas.
Kita tahu, waktu memasak di dapur jarang sekali memakan waktu sampai enam jam secara kontinu. Apalagi jika hanya memasak mie instan atau makanan cepat saji lain yang hanya perlu nyala api sekitar lima menit. Bukannya penghematan, penggunaan kompor briket batu bara seperti itu justru menjadi pemborosan yang sia-sia.
Sementara jika digunakan untuk peternakan ayam, kelemahan-kelemahan pada penggunaan kompor briket batu bara bisa dimaklumi jika yang menjadi patokan adalah penekanan biaya. Seperti pedoman yang banyak dianut oleh pegiat industri: lebih murah, lebih baik.
Kompor briket batu bara digunakan untuk menghangatkan anak ayam usia 0 sampai 2 minggu di malam hari. Anak-anak ayam yang membutuhkan suhu sekitar 350 C agar dapat tumbuh sempurna itu dihangatkan dengan nyala api kompor yang disebarkan lewat kanopi ke seluruh ruangan. Satu kompor briket batu bara, biasanya dapat menghangatkan 750 sampai 1000 ekor anak ayam. Kini, Sutrisno tidak lagi membuat kompor briket batu bara untuk rumah tangga, kecuali jika ada yang memesan. Ia hanya membuat kompor untuk peternak ayam. Itu pun dalam jumlah yang terbatas.
Dalam semalam, penggunaan kompor minyak tanah memakan biaya Rp 25.000. Sementara kompor gas elpiji menghabiskan Rp 15.000. Jika menggunakan briket batu bara, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 7.500. “Dengan briket batu bara, peternak ayam 50 persen lebih hemat daripada menggunakan gas elpiji,” terang Sutrisno.
Selain itu, kelebihan lain dari briket batu bara yakni – mengutip pernyataan Presiden SBY –1000 persen tidak berjelaga seperti minyak tanah dan 2000 persen aman karena tidak berpotensi meledak seperti yang sering terjadi pada gas elpiji. Sayangnya, ketiga bahan bakar ini sama, sama-sama tidak ramah lingkungan.
Paling bagus nyala apinya dari 100 kompor
Sama seperti kompor-kompor lainnya, kompor briket batu bara memiliki komponen-komponen khusus yang wajib ada agar api dapat menyala dengan sempurna, di antaranya tangki ruang udara, ruang bakar, dan penampung abu sisa batu bara.
Tangki ruang udara berfungsi untuk masuk keluarnya udara. Di tangki ini besar kecilnya nyala api diatur. Semakin besar pintu udara dibuka, semakin besar pula apinya, begitu juga sebaliknya. Sementara ruang bakar merupakan tempat bahan bakar, yakni briket batu bara. Ada berbagai macam ukuran ruang ini, tergantung model kompornya. Model buatan Sutrisno, misalnya, kompor rumah tangga yang pernah ia buat dulu, ruang bahan bakar dapat diisi dengan 3 kg briket batu bara. Sementara kompor untuk menghangatkan ayam di peternakan, volume ruang bakarnya lebih besar dua kali lipat.
Bentuk kompor briket batu bara untuk rumah tangga dan untuk peternakan ayam juga berbeda. Kompor untuk rumah tangga, bentuk luarnya mirip dengan kompor minyak tanah. Hanya saja jika diperhatikan komponen-komponen dalamnya berbeda, seperti tempat sumbu diganti dengan tempat bahan bakar, tangki minyak tanah diganti dengan tangki ruang udara, dan lain-lain.
Sementara kompor untuk peternakan ayam berbentuk tabung panjang. Tingginya 1,4 m dengan diameter 55 cm. Kompor ini dilengkapi dengan penyebar panas berbentuk mirip caping petani namun dengan ukuran yang jauh lebih besar. Fungsinya menyebarkan panas dari api kompor ke seluruh ruangan. Sisanya, tempat abu sisa batu bara, berfungsi untuk menyimpan sisa abu yang bekas pembakaran batu bara. Abu ini bisa digunakan sebagai abu gosok.
Membuat kompor briket batu bara, menurut Sutrisno, cukup mudah. Yang sulit justru bagaimana cara mengenalkan kepada masyarakat, khususnya peternak ayam, agar mau memakainya. Untuk yang satu ini, Sutrisno beruntung. Tahun 1997, ia mengikuti perkumpulan pembuat kompor briket batu bara di Jakarta yang dihadiri oleh 100 perajin kompor dari berbagai daerah di Indonesia. Tak dinyana, kompor briket batu bara buatannya menjadi kompor dengan nyala api paling bagus.
Dari sana, jalan untuk sosialisasi jadi lebih mudah. Beberapa bulan setelah acara tersebut, ia diundang untuk temu wicara dengan presiden RI saat itu, Pak Harto. Di siang hari suaranya mengudara di radio, malam harinya, ia tampil di televisi. “Sejak itu, banyak peternak ayam yang cari saya,” katanya bangga.
Sampai saat ini, di mata Sutrisno, kompor briket batu bara masih diminati meski hanya oleh minoritas peternak ayam. “Dari tahun 1995 sampai sekarang, saya masih buat kompor briket, artinya kan masih ada yang pakai,” ujar Lelaki kelahiran Bojonegoro ini. Karena penggunanya yang sedikit, Sutrisno lebih fokus memproduksi peralatan peternak ayam lainnya, seperti tempat makan ayam, fumigasi telur, kanopi, dan lain-lain.
Kini, kompor briket batu bara “Bintang 5” buatan 40 karyawan Sutrisno sudah melanglang buana di banyak tempat di Indonesia, di Jawa maupun luar Jawa. Melihat peminatnya yang semakin langka, akankah kompor ini masih akan bertahan lama? Biar waktu yang menjawabnya.
Eksperimen kandang ayam
Sebagai produsen peralatan ternak ayam, sampai saat ini, Sutrisno belum pernah memelihara ayam sendiri. Pertama kali membuat kompor briket batu bara untuk penghangat anak ayam, ia melakukan sebuah eksperimen unik, yakni membuat duplikasi kandang anak ayam di rumahnya.
Ruang duplikasi kandang anak ayam ia buat bersekat-sekat. Setiap setengah meter, ia pasang termometer. Begitu kompor yang diletakkan beberapa meter di atas alas ia nyalakan, dari sana ia tahu, berapa radius hangat yang dihasilkan oleh kompor buatannya. “Jadi, kita tahu betul seperti apa alat kita. Jangan sampai ada yang tanya soal alat yang kita buat, kita tidak bisa jawab. Tidak lucu kan?” pungkasnya.
BERKAH BLEWAH DAN SEMANGKA DI MUSIM KEMARAU
Di Musim hujan, area yang luasnya membentang di antara Kecamatan Sekaran dan Kecamatan Pucuk, Lamongan ini menjadi rawa. Airnya dialirkan untuk irigasi sawah ke banyak desa. Di musim kemarau, air rawa mengering. Area ini kemudian dimanfaatkan sebagai lahan tanam semangka, melon, dan buah-buahan sejenisnya.
—
Ada pemandangan unik di sepanjang jalan dari pertigaan Desa Pucuk ke arah utara di antara bulan Agustus sampai November. Di sisi-sisi jalan berjajar belasan tenda-tenda bambu beratap terpal. Tenda-tenda yang luasnya tidak lebih dari 36 m2 ini menampung ratusan buah labu-labuan seperti semangka dan melon. Buah-buah sebanyak itu memang sengaja dipajang untuk dijual kepada orang-orang yang kebetulan lewat dan para tengkulak.
Bedanya dengan buah labu-labuan yang dijual dipasar, buah-buah di sana dijamin masih sangat segar karena diambil langsung dari lahan tanam bekas rawa seluas puluhan hektare yang terletak di sekitar tenda. Lahan-lahan tersebut adalah lahan milik petani yang beberapa di antaranya merangkap menjadi pedagang di tenda. “Tapi hasil dari lahan milik sendiri umumnya masih kurang untuk dijual. Jadi, kekurangannya kami dapat dengan kulak ke petani lain,” ujar Nur Hasan, salah satu pedagang yang mengaku memiliki lahan seluas 2 ha.
Lahan milik sendiri tersebut oleh Nur Hasan ditanami semangka, melon, timun mas, dan blewah. Untuk semangka dan melon sendiri ada beberapa jenis yang ditanam, seperti semangka sweet beauty, semangka new dragon, semangka golden crown, melon hijau, melon jingga (Cantaulope), melon apollo, serta melon madu (Honeydew melon).
“Yang paling mahal melon Apollo. Harganya sekitar delapan ribu rupiah per kilogram,” terang lelaki yang berasal dari Desa Latek, Sekaran ini. Melon apollo memang lebih mahal selain karena harga bibitnya yang memang mahal, “Juga karena melon apollo rasanya lebih enak,” tambahnya. Melon apollo merupakan melon hibrida, bentuknya lonjong, kulitnya kuning menyala tanpa jala, dan daging buahnya manis namun tidak berbau harum. Sedangkan untuk buah yang paling murah adalah blewah. Harganya hanya sekitar Rp 2.000 per kilogramnya.
Para pedagang buah dadakan ini umumnya, termasuk Nur Hasan, mulai membuka tenda mereka pukul 7 pagi sampai sekitar pukul 5 sore. Namun beberapa ada yang sampai tengah malam, bahkan ada juga yang tidur di tenda berbantal guling buah-buah bulat tersebut.
Karena berjualan buah ini terbilang profesi musiman, para pedagang umumnya memiliki pekerjaan lain. Pedagang buah hanya menjadi “label” mereka dalam sekitar tiga bulan saja. Nur Hasan yang sudah berdagang buah dalam 10 tahun terakhir ini, sehari-hari menjual aksesori di pasar. Namun saat ini ia harus libur dahulu berdagang di pasar karena harus mengurusi buah-buah miliknya. Menurutnya, secara finansial berdagang buah lebih menguntungkan daripada berdagang aksesori seperti yang ia jalani. “Hasilnya bisa dua kali lebih banyak,” akunya.
Berbeda lagi dengan Kasmiah, salah satu pedagang buah yang lain. Aktivitasnya di luar tiga bulan berdagang buah masih bergelut dengan tanam-menanam. Wanita 50 tahun asal Desa Miru ini adalah seorang petani padi.
Kasmiah juga mendapatkan aneka macam buah labu-labuan yang ia jual dari lahan 2 ha yang ia tanami. Lahan seluas 1 ha miliknya sendiri dan 1 ha sisanya ia sewa. Karena buah yang didapat dari lahan 2 ha itu masih juga kurang untuk dijual, sama seperti Nur Hasan, Kasmiah juga kulak dari petani lain.
Untuk tahu matang atau belumnya buah labu-labuan kadang bukan hal yang mudah buat kita, namun bagi Kasmiah hal tersebut tidak lebih sulit dari menarik hati pembeli. Ada tiga “jurus” indra yang ia pakai. Pertama, dari mencium bau buah. Untuk beberapa jenis buah, bau yang harum merupakan pertanda bahwa buah itu matang sekaligus manis. Namun, ini tidak berlaku untuk melon apollo. Sebab, sekali lagi, meskipun sudah matang, buah ini tidak berbau sama sekali.
Kedua, dari melihat warna kulitnya. Buah yang sudah matang warnanya lebih gelap daripada buah yang masih muda. Ketiga, dengan mendengarkan suara dari buah yang dipukul pelan. Dua cara sebelumnya mungkin bisa kita tiru, tapi untuk yang satu ini nampaknya perlu keahlian dan kejelian telinga khusus. “Antara yang matang dan belum bunyinya nyaris sama, tapi sebenarnya bisa dibedakan,” kata Kasmiah sambil mempraktekkan memukul buah semangka yang menurut pendengarannya sudah matang.
Sebenarnya ada cara yang paling mudah untuk menentukan matang-belumnya buah, yakni dengan langsung dibelah. Anda bisa mempraktikkannya, namun jangan lupa beli buah yang telah Anda belah. Jika tidak, jangan kaget jika semangka ukuran besar tiba-tiba melayang dari pedagang ke arah Anda. :p
Sebenarnya waktu tiga bulan berjualan buah bukanlah total waktu mereka bergelut dengan semangka dkk. Sebelum itu mereka menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk menanam hingga memanen buah. Buah labu-labuan memiliki masa panen yang relatif sama, sekitar 70-100 hari sejak pertama kali ditanam.
Selama masa itu, mereka harus menyiram, memupuk dan mengobati buah-buah mereka. “Agar dapat panen maksimal dan tidak terserang penyakit, mau tidak mau ya harus begitu,” tegas Bani, pedagang yang berasal dari Desa Trosono.
Bani sendiri menanam semangka, melon, dan blewah pada 3 ha lahan miliknya. Lahannya yang terbilang cukup luas, membuat Bani kulak tidak begitu banyak. Selain buah yang ia pajang di tenda, Bani juga menyimpan stok buah di tempat penggilingan padi miliknya. Buah di tenda-tenda millik para pedagang ini tidak setiap malam dijaga. Ada yang selama dua bulan ditinggalkan begitu saja. Hanya ditutup terpal. “Disimpan di tempat penggilingan padi bukan masalah aman, tapi karena di tenda tidak muat. Lagi pula di sini cenderung tidak ada yang mencuri kok,” terangnya.
Buah labu-labuan yang dihasilkan oleh para petani di Kecamatan Sekaran ini tidak semuanya dijual di tenda-tenda. Buah yang dihasilkan dari puluhan hektare lahan tentu terlalu banyak jika hanya dijual di satu tempat. Untuk itu, tidak sedikit buah yang diborong oleh pembeli dari dalam maupun luar Lamongan. “Dulu buah dari sini (Sekaran) saya jual ke Kecamatan Sugio. Kebetulan di sana ada tempat wisata Waduk Gondang, jadi lumayan ramai,” tutur Gianto, pedagang asal Desa Miru yang musim panen tahun ini memilih untuk berjualan di tenda-tenda seperti Nur Hasan dan yang lain. Menurut pengalamannya, berdagang di Sugio dan di Sekaran ternyata hasilnya tidak jauh berbeda. “Sekarang di sini saja, biar lebih dekat juga dengan rumah,” alasannya.
Bedanya dengan Nur Hasan, Kasmiah, dan Bani, Gianto tidak memiliki lahan sendiri untuk ditanam. Ia sepenuhnya kulak dari petani langganannya. Setiap stok buahnya habis, ia segera menghubungi petani langganannya itu.
Siklus bergilir
Hasil berjualan buah labu-labuan ini bisa dibilang menguntungkan. Maka jangan heran jika ada pedagang yang berjualan hanya karena kebetulan ingin saja. Sumarlik misalnya, karena warung kopi miliknya berada di antara tenda pedagang buah, ia akhirnya tertarik untuk mencoba berdagang buah juga. Dengan modal uang Rp 4 juta, ia membeli semangka satu mobil bak penuh. “Ini pertama kali, saya masih belajar berdagang buah,” ujar perempuan kelahiran Sumenep, Madura ini.
Sumarlik juga belum tahu apakah tahun depan akan berjualan buah labu-labuan lagi atau tidak. Sebab, menurutnya, berdagang buah ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Daya tahan buah menjadi penyebabnya. Tidak sedikit buah miliknya yang sudah busuk padahal belum banyak yang laku terjual.
Beda lagi cerita Derman, salah satu pedagang yang bisa dibilang paling sering “bergaul” dengan buah labu-labuan. Saat musim buah labu-labuan di Sekaran seperti saat ini, warga desa Trosono ini mendirikan tenda bersama dengan pedagang-pedagang lain. Saat musim tanam telah habis, jika pedagang lain kembali pada aktivitasnya semula, ia tetap setia pada melon dan semangka. Hanya saja ia tidak lagi menjual dengan berdiam diri di tenda, namun menjajahkannya dengan berkeliling ke desa-desa.
“Melon dan semangka itu siklus tanamnya bergilir. Jadi kalau di sini sudah habis masa panen, di daerah lain baru mulai. Setelah ini mungkin di Tuban, di Banyuwangi, dan di Jombang. Nanti saya dikirim dari sana,” terangnya.
Lahan tanam padi juga
Area lahan yang saat ini dipakai untuk menanam buah labu-labuan ini mengalami tiga fase dalam setahun. Fase pertama, di musim hujan sebagai rawa. Fase kedua, di musim kemarau sebagai lahan tanam buah. Fase ketiga, di musim kemarau menginjak musim hujan sebagai lahan sawah yang ditanami padi.
Keadaan tanah setelah kering dari air rawa membuat tanah menjadi gembur dan kaya akan bahan organik, cocok untuk lahan tanam semangka dan saudara-saudaranya yang masuk dalam keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae). Sementara saat masa panen buah labu-labuan selesai, lahan ditanami padi dengan metode tanam yang mirip dengan menanam jagung, yakni dengan membuat lubang-lubang untuk diisi dengan calon batang padi. Dengan metode ini waktu yang dibutuhkan relatif lebih cepat karena tidak perlu membajak tanah. “Bisa mengejar waktu. Agar sebelum lahan menjadi rawa kembali, padi sudah bisa dipanen,” ujar Muchid, salah satu petani yang memiliki lahan di rawa seluas 1 ha.
Di musim tanam buah tahun ini, Muchid memilih untuk menanam semangka dan blewah saja, tanpa melon dan timun mas. Menurutnya, menanam melon membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih karena proses perawatannya lebih rumit. Semangka dan blewah yang ia panen tidak dijual di tenda-tenda, melainkan diborong oleh tengkulak yang berasal dari pelbagai daerah seperti Tuban, Blora, Jombang, dan Kudus.
Musim buah labu-labuan di Sekaran, Lamongan tahun ini mengalami kemunduran waktu. Ini disebabkan musim kemarau yang juga mundur. Jika biasanya pada bulan Juni sudah mulai menanam, tahun ini mundur sampai bulan Agustus. Diperkirakan buah-buah ini akan terus ada sampai akhir November. Bagaimana dengan tahun depan? Maju, tetap, atau mundur? Jangan tanya saya, yang tahu jawabannya mungkin para ahli di Badan Meteorologi dan Geofisika.
SENI TARI “DALAM” BORAN
Boran di tangan para penjual nasi tentu akan berfungsi sebagai tempat nasi. Tapi, jika boran-boran itu berada di tangan para pencinta seni tari hasilnya adalah sebuah karya yang unik. Kita bisa melihat hal tersebut pada pertunjukan Tari Boran, tari khas dari Lamongan.
—-
Delapan wanita berpakaian kembar, kebaya sederhana berwarna merah muda dengan bawahan sarung selutut, melenggak- lenggokkan badannya di atas panggung dengan energik. Rangkaian gerakan nan dinamis, mereka padukan dengan permainan boran yang asyik. Boran merupakan nama tempat nasi mirip bakul, namun memiliki diameter dan ukuran yang lebih kecil. Sesekali boran itu dipakai di kepala laksana topi, sesekali juga mereka lempar ke atas dan dengan tangkas ditangkap kembali.
Sudah sekitar lima menit mereka tampil di hadapan penonton dan juri. Gerakan terakhir yakni melompat-lompat dengan satu kaki dengan ekspresi yang unik meninggalkan panggung. Begitu musik pengiring – gamelan minimalis – selesai ditabuh, menandakan juga berakhirnya penampilan yang seru sekaligus menegangkan itu.
Tak dinyana, penampilan tari kreasi orang Lamongan di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta sebagai perwakilan Jawa Timur dalam Parade Tari Nusantara tahun 2007 ter sebut meraih 8 dari 9 katagori yang dinominasikan. Yang paling mengejutkan, mereka juga meraih juara umum. “Padahal saat itu targetnya masuk 10 besar saja,” kenang Ninin Desinta Yustikasari, salah satu kreator Tari Boran. Kerja kerasnya selama berbulan-bulan bersama dua rekannya, Tri Kristiani dan Purnomo, membuahkan hasil yang manis bukan hanya untuk mereka bertiga dan tim, namun juga untuk Lamongan.
“Salah satu keunggulan Tari Boran yakni gerakannya yang energik. Seperti ciri khas tarian Jawa Timur yang energik dan dinamis,” kata sarjana seni lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo ini. Berbeda dengan ciri khas dan tradisi tarian dari daerah lain di Indonesia, yang meskipun tak kalah indah tapi tidak seenergik dan sedinamik tarian Jawa Timuran.
Seperti namanya, Tari Boran tidak bisa lepas dari aksesori yang dipakai, yakni boran. Sekadar untuk diketahui, boran biasa dipakai sebagai tempat nasi untuk salah satu makanan khas Lamongan, yakni nasi boran. Penjualnya bisa ditemui dengan mudah di jalan-jalan pusat kota dari pagi sampai malam, 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Non stop!
Keunikan lain dari penjual nasi boran adalah mereka yang selalu bergantian berjualan meski tanpa kesepakatan, tanpa perjanjian shift pagi atau shift malam. Tak jarang juga jarak tempat berjualan mereka hanya beberapa meter saja dari penjual lainnya. Ibarat bekerja di pabrik, mereka seperti rekan, bukan saingan.
“Melihat keunikan para penjual nasi boran itu, sepertinya akan menarik jika diangkat menjadi sebuah ide tarian. Kemudian (ide tersebut) saya usulkan kepada Bu Kris dan Pak Pur. Mereka setuju. Akhirnya jadilah Tari Boran,” ujar Ninin yang juga berprofesi sebagai guru ini.
Tari Boran ini, masih kata Ninin, awalnya diciptakan untuk mengikuti event Festival Karya Tari Jawa Timur (FKT JATIM) yang mengusung tema akar budaya daerah asal. Untuk mengikuti festival yang diadakan di Malang tersebut, Ninin dan tim harus berangkat dengan mandiri. Segala sesuatunya mereka persiapkan sendiri. Maklum saat itu, tahun 2006, kesenian tari belum dilirik oleh Pemda Lamongan.
Butuh waktu satu bulan untuk menyiapkan konsep Tari Boran. Tak jarang Ninin, Kris, dan Pur, yang sering dijuluki “Tri Melati” ini berbeda pendapat selama proses tersebut. Namun, perbedaan pendapat justru memunculkan banyak ide untuk dipilih dan dikreasikan.
Ada 6 gerakan inti dalam Tari Boran yang menggambarkan kehidupan penjual nasi boran sehari-hari. Mulai dari berang kat ke pasar, memasak, berangkat menjual nasi boran, proses jual beli, saat-saat dagangan habis, hingga saat para pedagang pulang. Dari keseluruhannya digambarkan secara apik dan menarik oleh Tri Melati.
Jarang ada sanggar maupun event
Untuk FKT JATIM tersebut, enam penari diambil dari siswi SMP Negeri 1 Kembangbahu, tempat mengajar Ninin dan Kris. Ditambah Ninin dan Kris sendiri, jadi total ada delapan penari. Dalam ajang tersebut, Tari Boran mendapat 8 dari 9 katagori yang dinominasikan. Juga menjadi juara umum yang membawa mereka ke Parade Tari Nusantara.
Sementara untuk Parade Tari Nusantara yang sudah menginjak tingkat seniman, komposisi penarinya sudah tidak sepenuhnya sama lagi. Dari delapan penari awal, hanya empat saja yang bisa masuk, dua di antaranya termasuk Ninin dan Kris. “Sisanya tidak masuk karena terganjal usia,” terang Ninin. Jadi, empat penari lain diambil dari seniman-seniman dari berbagai wilayah di Jawa Timur.
Sampai saat ini, Tari Boran sudah mengalami beberapa kali modifikasi, namun dengan inti gerakan yang tetap sama. Partama, gerakan Tari Boran yang dibawakan di FKT JATIM. Lalu sedikit diubah untuk Parade Tari Nusantara. Modifikasi selanjutnya dilakukan untuk pentas di Istana Negara, saat pesta rakyat Lamongan yang diadakan di Jakarta. Tari Boran juga dimodifikasi saat digunakan sebagai tari pendidikan oleh Pemda Lamongan.
Itu belum termasuk modifikasi yang harus disesuaikan untuk Tari Boran massal yang dipentaskan di alun-alun kota Lamongan tahun 2009 dan 2010 dalam rangka hari jadi kota te rsebut. Kini, Tari Boran sudah jarang lagi dipentaskan. Sayang sekali memang, sebuah kesenian yang seharusnya dilestarikan harus “tenggelam” gara-gara terlupakan.
Juara umum yang diperoleh Tari Boran dalam dua event tingkat provinsi dan nasional tersebut menjadikan seni tari mulai diperhatikan oleh Pemda Lamongan, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Ninin juga menuturkan, kemenangan tersebut juga membuat seni tari mulai banyak diminati generasi muda Lamongan.
Dulu, selain sulitnya menumbuhkan minat tari, masalah lain untuk memajukan tari di Lamongan adalah tidak adanya wadah bagi para peminat tari. Orang yang sudah berminat pada tari pun akan malas jika tidak ada tempat bernaung. “Ditambah lagi jarangnya event tari di Lamongan,” katanya.
Dari pengalaman Ninin saat kecil yang sering kesulitan mencari wadah atau komunitas tari di Lamongan, dibentuklah sebuah sanggar bernama Tri Melati. “(Dulu) ada sanggar, tapi tidak lama. Bertahan paling cuma setahun, terus mati. Ada baru lagi, setahun, mati lagi. Begitu seterusnya,” ujar Ninin yang saat kecil harus berganti-ganti sanggar tari karena faktor tersebut.
Sanggar ciptaan tiga kawan yang peduli terhadap seni tari di Lamongan ini dibentuk tahun 2006 dan bersekretariat di Kelurahan Sukomulyo. Meski sekretariatnya di Sukomulyo, kegiatan latihan yang diadakan tiap seminggu sekali berpusat di pendopo Kecamatan Lamongan. Harapannya, dengan diadakan di tengah kota, dapat menarik peminat yang lebih banyak. Saat ini, sanggar Tri Melati memiliki 30-an anak didik, mulai dari kelas TK sampai SMP dan SMA.
Ninin juga menanggapi kemunculan goyang cesar dan goyang-goyang sejenis yang sedang beken dan sering nongol di tipi akhir-akhir ini. Meski banyak yang bilang tidak mendidik, namun, menurutnya, hal tersebut tidak sepenuhnya buruk. “Pertama, esensi utama seni tari adalah mau menggerakkan tubuh saat mendengar musik. Bisa jadi, yang awalnya suka goyang cesar, lama kelamaan tertarik ke seni tari yang sesungguhnya,” terangnya.
Kedua, selain bisa mengajak bergerak, juga berguna untuk memotifasi daya ingat. Ini kelihatannya sepele, padahal sebetulnya penting di dunia seni tari. Jika seorang anak kecil menghafal gerakan goyang cesar saja bisa, menghafal gerakan tari juga pasti bisa. Tinggal melihat niat belajarnya saja. Ketiga, dari goyang cesar juga bisa merefleksikan tubuh. Tubuh yang sebelumnya jarang atau tidak pernah bergerak jadi tidak kaku. Hmm, jadi selain tetap “keep smile”, tak ada salahnya juga jika kita ikut bergoyang.
Di era serba canggih ini, belajar menari juga bisa lebih mudah daripada belasan tahun yang lalu. Ninin memberi contoh, kita bisa belajar dasar-dasar dan pendalaman tari dari sekolah-sekolah seni tari atau mengikuti latihan di sanggar. Sementara untuk pengembangan atau variasi gerakan, kita bisa mendapat banyak referensi dari ratusan, ribuan, atau mungkin jutaan video tari yang diunggah di internet.
Tari Boran hanya salah satu tari kreasi Tri Melati. Selama sepuluh tahun ini, selain Tari Boran ada juga Tari Teropong, Tari Turonggoh Sulah, Tari Caping Ngancak, Tari Silir-silir, Tari Sinau, Tari Mayang Madu, dan beberapa tari lainnya. Totalnya ada belasan. Dari seluruh tari tersebut memang tidak berlebihan jika Pemda Lamongan menjadikan Tari Boran sebagai ikon. Karena selain prestasi yang telah diraih, Tari Boran juga menjadi titik awal mulai berkembangnya seni tari di Lamongan.
Jika berbicara soal prestasi, tari lainnya juga bukan tanpa prestasi. Tari Caping Ngancak, misalnya, pernah menjuarai Festival Seni Tari Siswa Tingkat Nasional tahun 2008 yang diadakan di STSI Bandung.
Saat ini, Ninin dan kawan-kawan sedang mempersiapkan Tari Mendak untuk mengikuti Festival Pesisiran yang akan digelar di Tuban, Jawa Timur. Sekadar diketahui saja, mendak merupakan upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang, Ngimbang, Lamongan, setahun sekali.
Ke depan, Ninin berharap akan ada generasi penerus seni tari di Lamongan agar tidak berhenti di dirinya dan kawan-kawan. Selain penari, ia juga ingin ada penerus yang berkreasi dengan menciptakan tarian-tarian baru nantinya. Agar seni tari tidak “mati suri” seperti Tari Boran. Dibilang mati, tarian ini masih dianggap ikon. Dibilang hidup, sudah tak pernah pentas.
Untuk melihat seperti apa pentas Tari Boran, tentu Anda tidak perlu mencari Ninin dan kawan-kawan untuk mempraktikkannya di depan Anda. Dengan sekali klik, Anda bisa menyaksikannya di http://www.youtube.com/watch?v=eYeAZC24_BI : )
ZIARAH WALI DI MAKAM AYAH SUNAN GIRI
Di pantai utara Lamongan, selain makam Sunan Drajat dan makam Sunan Sendang Duwur, juga terdapat makam yang dipercayai oleh masyarakat sekitar sebagai tempat bersemayamnya jasad Syekh Maulana Ishaq, ayah dari sunan Giri. Mari kita kunjungi.
—
Sebenarnya tak hanya di Lamongan, makam yang dipercayai sebagai “rumah terakhir” Syekh Maulana Ishaq juga bisa ditemui di banyak tempat. Beberapa di antaranya yakni di Gresik, Situbondo, Klaten, Bantul, Wonosobo, Pemalang, Banyumas, Cirebon, dan lain-lain. Namun, Di Lamongan, selain bisa belajar dari dongeng yang beredar di masyarakat, kita juga disuguhi dengan pemandangan nan elok di mata.
Lokasi makam Syekh Maulana Ishaq ini berada di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren, Kecamatan Paciran. Lokasinya tidak jauh dari makam Sunan Drajat, hanya sekitar 2 km sebelah Timur atau tak lebih dari 10 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Kita akan dibuat “adem panas” sesaat setelah sampai di area makam. Tentu, bukan adem panas dalam arti demam, maksud saya. Namun, adem karena sepoi angin dari laut yang menghampar di depan area makam. Dan panas karena daerah pesisir Lamongan memang memiliki suhu udara yang cukup untuk membuat Anda gerah, terlebih di siang hari.
Menurut legenda yang diceritakan oleh H. Askur, juru kunci makam, Syekh Maulana Ishaq sampai di Pesisir Lamongan setelah diusir dari kerajaan Blambangan. Sebelumnya, seperti cerita pada versi-versi lain, Syekh Maulana Ishaq menikah dengan anak Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, setelah berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja tersebut dari penyakit ganas yang diderita sekian lama.
Akhirnya Syekh Maulana Ishaq pun menikah dengan Dewi Sekardadu seperti yang sudah disayembarakan sang raja sebelumnya: bahwa jika yang dapat menyembuhkan adalah seorang perempuan, maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Sedangkan, jika laki-laki akan dinikahkan dengan putri cantik tesebut. Satu permintaan lain Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu disanggupi oleh sang raja, selain hadiah sayembara adalah agar ia diberikan kebebasan untuk siar agama Islam di wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan. Padahal, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang menganut ajaran Hindu.
Dua tahun berselang, saat Dewi Sekardadu sedang hamil muda (mengandung Sunan Giri), sang raja mulai gelisah. Ketidaksepahaman akan agama yang disiarkan menantunya, membuat ia ingkar akan janji yang pernah ia sepakati dulu. Imbasnya, Syekh Maulana Ishaq pun diusir dari kerajaan.
Sebelum pergi, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada istrinya. Jika suatu saat Dewi Sekardadu ingin menemuinya, ia harus berjalan menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebab Syekh Maulana Ishaq akan melanjutkan syiarnya di sekitar sana.
“Setelah menempuh perjalanan jauh, Dewi Sekardadu akhirnya bertemu dengan suaminya di desa ini,” tutur H Askur saat bercerita di makam Syekh Maulana Ishaq. Lanjut ia bercerita, setelah kembali berpisah dengan istri untuk melanjutkan syiar agama ke daerah lain, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada dua muridnya. Jika suatu saat ia meninggal dunia, ia ingin dimakamkan di tempat yang sama saat bertemu dengan Dewi Sekardadu dulu, yakni di desa yang saat ini bernama Desa Kemantren. Selain makam Syekh Maulana Ishaq, di tempat yang sama secara berdampingan juga terdapat makam dua murid ayah Sunan Giri tersebut.
Dekat dengan laut
Tidak ada peninggalan-peninggalan kuno pada makam yang dipugar tahun 2012 ini, kecuali makam itu sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan makam Sunan Drajad dan makam Sunan Sendang Duwur yang identik dengan batu-batu dan kayu bernilai historis tinggi. Bangunan utama makam Syekh Maulana Ishaq hanya berupa bangunan persegi dengan tiang-tiang beton tanpa dinding di tiga sisinya dan beratap genting, dengan alas karpet dan sajadah. Luas bangunan ini sekitar 100 m2. Mirip seperti bangunan sebuah pendopo.
Makam Syekh Maulana Ishaq sendiri ditutup dengan kelambu berwarna putih bersama makam dua muridnya. Untuk dapat melihat lebih dekat tiga makam ini, Anda harus menuruni beberapa anak tangga. Sebab makam-makam ini berada di tempat yang agak menjorok ke bawah. Selain bangunan utama, di area makam juga terdapat sebuah masjid, dan gedung Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) yang bangunannya masih belum rampung.
Terlepas dari dongeng yang ada, area sekitar makam juga memiliki pamandangan yang indah. Terlebih di sebelah utara. Dari makam, Anda hanya perlu berjalan sekitar 100 m melewati jalan yang terbuat dari batu kapur. Dari sana, jika melihat ke arah utara, Anda akan berhadapan langsung dengan laut yang terbentang luas. Sebenarnya dari makam pun laut sudah tampak jelas, sebab jaraknya memang cukup dekat. Sementara jika Anda beralih pandang ke selatan, akan terlihat tiga bangunan besar berdiri berdampingan (masjid, bangunan utama makam, dan gedung TPQ) dengan latar belakang pegunungan di Desa Drajat.
Menengok ke arah timur, Anda akan mendapati perahu-perahu para nelayan yang sedang diparkir. Jika beruntung, Anda bisa juga melihat nelayan menaiki perahu-perahu tersebut berangkat mencari ikan yang – mengutip sajak Zawawi Imron – kepergiannya setiap kali meninggalkan debur gelombang di laut dada isterinya. Jika Anda datang di waktu senja, matahari terbenam di balik rumah-rumah warga yang terletak di pinggir pantai dengan latar depan perahu-perahu nelayan juga sudah menunggu di arah barat. Tentu akan menambah suasana nyaman untuk melepas rasa lelah, bukan?
Apabila Anda ingin dapat suasana ramai di area makam ini, datanglah di akhir pekan – Sabtu dan Minggu. “Di hari-hari masuk kerja, di sini (makam Syekh Maulana Ishaq) relatif sepi. Pengunjung dari luar kota mungkin satu – dua orang saja, sisanya penduduk sekitar,” terang H Askur.
Anda bisa datang ke makam Syekh Maulana Ishaq di Lamongan ini dengan kendaraan umum maupun pribadi. Jika dengan kendaraan pribadi, Anda bisa langsung membawanya masuk ke area parkir. Namun untuk yang membawa mobil atau bus, perlu lebih berhati-hati. Sebab jalan masuk ke makam tidak begitu lebar. Jaraknya kira-kira 6 km sebelah timur WBL. Jika sudah sampai di Desa Kemantren, ada papan petunjuk di depan Jalan Maulana Ishaq, yang mengarahkan Anda ke makam.
Sementara jika naik angkutan umum, Anda bisa minta turun langsung di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren. Dari pertigaan desa tersebut, Anda tinggal berjalan 100 m ke arah utara. Seperti di tempat makam di Lamongan lainnya, untuk masuk Anda tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis tis tis!
KRIUK KRIUK, REMPEYEK CINTA RASA
Apakah Anda pernah atau bahkan sering dibuat kesal oleh rempeyek yang karena begitu alotnya sampai membuat sakit gigi? Jika iya, setidaknya hal seperti itu tidak perlu terjadi jika rempeyek yang Anda makan buatan Mbak Tri. Selain rasanya yang enak, rempeyeknya juga sangat renyah. Dijamin, sekali gigit langsung”kriuk!!”
—
Rempeyek Cinta Rasa, begitu Mbak Tri menamai produknya. Tak hanya sekadar memberi image bahwa rempeyek buatanya mengutamakan kualitas rasa, tapi juga membuat kita jatuh cinta begitu pertama kali mencobanya. Sama seperti rempeyek-rempeyek lain, bahan dasar yang digunakan Mbak Tri yakni tepung beras, telur, bumbu komplet (bawang putih, ketumbar, kemiri, kencur, kunyit, garam, dan kunir, tanpa bawang merah), dan air kapur sirih. “Itu bae. Tidak ada bumbu-bumbu lain,” jaminnya dengan logat khas Pantura. Sekadar tahu, bae dalam bahasa Indonesia memiliki arti “saja”. Lalu apa yang membuat rempeyek gawean wong Sedayulawas, Brondong, Lamongan ini enak dan sangat renyah?
Rahasianya, wanita 40 tahun ini membuat rempeyek dengan penuh perhitungan. Semua bahan harus ditimbang sebelum diaduk menjadi satu. Tidak boleh asal-asalan. Kebiasaan ini sudah merupakan kewajiban setiap kali Mbak Tri akan membuat rempeyek. Alasannya simpel, menurutnya, rasa dan renyahnya rempeyek sangat ditentukan oleh komposisi bahan yang digunakan.
Untuk mendapatkan komposisi yang pas itu, ia banyak belajar dari pamannya yang pernah bekerja kepada pengusaha keturunan Tionghoa sebagai pembuat rempeyek juga. Pertama kali Mbak Tri membuat rempeyek, sang paman yang menjadi supervisornya. Mencicipi rempeyek serta menyarankan bahan yang perlu ditambah atau perlu dikurangi. “Tapi itu sembilan tahun lalu. Sekarang ya sudah tidak lagi, saya sudah hafal,” akunya.
Kacang tanah dan kacang hijau
Mula-mula ia menimbang semua bahan tadi menggunakan timbangan pasar. Sebagai contoh, untuk 11 kg tepung beras, telurnya harus 1,5 kg, begitu juga bahan yang lain harus menyesuaikan. Setelah semua bahan dicampur, tinggal menambahkan topping saja dan siap untuk digoreng.
Mbak Tri hanya memakai dua jenis topping, yakni kacang tanah – yang sudah dipotong kecil-kecil – dan kacang hijau. Cara memasak keduanya pun sama, dengan meratakan satu irus adonan pada tepi-tepi wajan yang berisi minyak goreng. Hanya saja, persiapan sebelum menggorengnya yang berbeda. Untuk kacang tanah, saat dicampurkan dengan adonan, Mbak Tri menambahkan daun bawang agar rasanya lebih enak. Sedangkan kacang hijau, harus direndam semalam dulu supaya tidak alot. Rempeyek kacang hijau tidak menggunakan daun bawang. “Rempeyek kacang hijau rasanya nggak cocok kalau dicampur daun bawang,” ujar Mbak Tri yang mengaku lebih suka rempeyek kacang hijau.
Agar rempeyek bisa terbentuk rata (luas dan tipis), saat digoreng ujung bagian atas harus menempel dengan wajan dan tidak boleh terendam dalam minyak goreng. Nanti ketika sedikit kering, adonan ini baru boleh ditenggelamkan. Setelah sekitar 5 menit “menyelam” di dalam wajan, rempeyek siap diangkat dan ditiriskan untuk kemudian dibungkus.
Mbak Tri juga mengingatkan, jika ingin rempeyek renyah, harus memperhitungkan campuran air kapur sirihnya. Terlalu sedikit air kapur sirih membuat rempeyek jadi alot. Namun jika terlalu banyak juga tidak membuat rempeyek semakin renyah dan enak, tapi justru rasanya jadi pahit. “Pokoknya harus pas!” tegasnya.
Rempeyek Cinta Rasa ini dikemas dalam dua ukuran, yaitu kemasan besar dan kemasan kecil. Kemasan besar yang berisi rempeyek seberat 450 gram, dijual seharga 12.500 per bungkus untuk topping kacang tanah dan Rp 13.500 untuk topping kacang hijau. Sedangkan kemasan kecil, berisi rempeyek 50 mg, dijual Rp 2.000 saja per bungkus dan berlaku untuk kedua macam topping.
Setiap hari, mulai dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00, Mbak Tri dibantu ibu dan seorang adiknya memproduksi sekitar 40 bungkus rempeyek ukuran besar dan 120-an bungkus rempeyek ukuran kecil di dapur belakang rumahnya. Ia tidak perlu menjajakan rempeyek sebanyak itu ke toko-toko atau ke warung-warung. Sebab pemilik toko dan pemilik warung itu sendiri yang datang mengantre rempeyek buatan Mbak Tri.
Karena kebanyakan pelanggannya adalah tetangga sendiri, rempeyek ini cukup sulit dijumpai di pusat oleh-oleh tempat wisata seperti WBL, Mazola, dan makam Sunan Drajat yang berjarak cukup jauh dari Desa Sedayulawas. Satu-satunya cara paling mudah untuk mendapatkan “Cinta Rasa” adalah dengan langsung datang ke rumah Mbak Tri, di Desa Sedayulawas, Gang Kamboja. Gang ke rumahnya agak menyempit, masuk belokan pertama arah kanan dari pertigaan gang. Tanyakan saja nama Mbak Tri di sana, pasti semua kenal.
Satu kelemahan rempeyek buatan Mbak Tri adalah warnanya yang tidak begitu menarik. Wajar saja, sebab ia hanya menggunakan kunir sebagai pewarna alami. Jadi warna kuningnya tidak begitu nampak. Jika kita bandingkan dengan warna rempeyek yang memakai pewarna sintetis jelas warna rempeyek Mbak Tri kalah “menggoda”. Tapi bagi Anda yang mementingkan masalah kesehatan, kelemahan ini justru merupakan sebuah kelebihan. Seperti kita tahu, banyak pewarna yang dipakai pada makanan mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya jika dikonsumsi oleh tubuh.
Selain gurih dan renyah, rempeyek Cinta Rasa juga tahan lama. “Asal disimpan di tempat yang kedap udara, dua bulan juga masih renyah. Tapi kalau diangin-anginin atau malah dikipasin, sehari saja ya sudah melempem,” canda ibu satu anak ini sambil tertawa.
Tidak hanya enak dijadikan camilan, rempeyek Cinta Rasa juga cocok untuk teman makan. Terlebih jika nasinya nasi jagung. Ah, saya jadi ingin nyanyi:
“PEYEK MBAK TRI… PEYEK MBAK TRI… PEYEK MBAK TRI, NASI JAGUNG…
SAMPAI MATI… SAMPAI MATI… SAMPAI MATI, CINTA RASA TETAP DISANJUNG”
(Maaf bonek, lagunya saya plesetin, hehehe..)