Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan
Pada tahun 1950/60-an, Lamongan adalah medan pertarungan sengit Partai Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya ini bisa kita lihat dari hasil pemilu di Lamongan tahun 1955. Di pesta demokrasi yang diikuti oleh 48 partai politik ini, tiga besarnya adalah Masyumi, PKI, dan NU.
Masyumi memperoleh 117 ribu suara, PKI 87 ribu, Partai NU 70 ribu. PNI yang menjual nama Bung Karno saja hanya mendapat 50 ribu suara. Bahkan di Pemilu Daerah tahun 1957, ketika suara Masyumi turun, suara PKI justru naik.

Dari semua partai itu, yang paling menonjol adalah PKI. Masyumi dan NU wajar mendapat banyak suara karena di Lamongan banyak kiai Muhammadiyah dan NU. PKI terhitung pendatang baru.
Koran PKI, Harian Rakjat, persis pada tanggal 30 September 1965 memuat berita “Delegasi 12 Ormas Wanita Lamongan Temui Pemerintah.”
Daerah Brondong pernah menjadi tujuan Turba para petinggi PKI pusat. Turba adalah program Turun ke Bawah, semacam riset untuk menyerap aspirasi masyarakat. Ini semua menunjukkan bahwa Lamongan adalah basis penting PKI.
Menurut laporan majalah Tempo edisi “Pengakuan Algojo 1965”, DN Aidit, ketua PKI yang terkenal itu, pernah berkampanye di alun-alun Lamongan. Aidit adalah seorang orator ulung. Kata-katanya memikat. Ketika berkampanye di Lamongan, ia berpidato menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Padahal Aidit bukan orang asli Jawa melainkan Belitung.
Ia menyampaikan rencana PKI untuk membagi tanah sama rata untuk semua orang sesuai agenda reforma agraria. Tentu saja janji manis ini membius orang-orang Lamongan. Maka warga pun berbondong-bondong masuk PKI. Daerah Sugio, Sambeng, dan Tikung saat itu adalah basis PKI.

Celakanya, agenda mentah reforma agraria ini justru menyebabkan kericuhan di kalangan bawah. Banyak orang PKI menyerobot begitu saja tanah milik orang lain. Tak jarang sampai menyebabkan saling bunuh.
Provokasi orang PKI makin lengkap karena mereka juga mengejek orang-orang NU dan Muhammadiyah. Lekra mengadakan pertunjukan ludruk yang sengaja digelar di samping masjid dengan lakon “Gusti Allah Mantu”.
Salah satu bagian dialognya yang terkenal: “Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”
Tentu saja ini memancing kemarahan luar biasa di kalangan santri.

Saat itu PKI berada di atas angin. Di dalam negeri, mereka partai besar. Di luar negeri, mereka mendapat dukungan dari Soviet dan Cina. Aidit adalah salah satu kandidat penerus Bung Karno. Apalagi Si Bung Besar juga merestui komunisme, sampai-sampai ia meracik jargon Nasakom.
Mereka makin kuat setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno tahun 1960. Beberapa langkah lagi PKI akan berkuasa. Tapi semua kedigdayaan PKI itu seketika runtuh begitu terjadi Gestapu.

Ketika peristiwa Malam Jahanam itu terjadi, Lamongan masih tenang seperti hari biasa. Karena keterbatasan alat komunikasi saat itu, berita Gestapu baru menyebar di kalangan warga Lamongan tiga hari kemudian. Itu menjadi awal dari tragedi berdarah.
Kebencian orang NU dan Muhammadiyah kepada PKI yang sudah memuncak itu menemukan pelampiasannya. Dengan dukungan tentara, mereka membasmi orang-orang PKI. Banyak di antara tokoh PKI itu dibunuh oleh pendekar-pendekar NU dan Muhammadiyah.
Di Desa Gempol Manis Sambeng, misalnya, penumpasan PKI dipimpin oleh tokoh NU, Kiai Ahmad dan pendekar Pemuda Ansor, Abdul Ubaid. Ketua PKI setempat ditangkap kemudian dibunuh.
Di wilayah Pantura, penumpasan PKI dipimpin oleh Kiai Abdurrrahman Syamsuri, pendiri Pesantren (Muhammadiyah) Karangasem Paciran. Pendekar-pendekar Tapak Suci berjaga 24 jam di Pesantren Karangasem. Siap sedia menerima tugas. Mereka juga bahkan diperbantukan sampai wilayah Lamongan selatan.

Lanjut Baca Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan (bagian 2)
Hidden Gem Itu Bernama BRIMO
Di pesisir Lamongan, BRI adalah bank dengan nasabah paling banyak. Di Desa Brondong dan Desa Blimbing saja, dalam jarak 4 km, ada 2 kantor cabang BRI, 4 mesin ATM, dan beberapa gerai BRI-Link. Saking banyaknya nasabah BRI, kantor cabangnya setiap hari selalu penuh. Cabang Brondong maupun Blimbing sama-sama ramai. Antrenya kadang sampai satu jam lebih.
Tapi kami sebagai nasabah tak punya pilihan lain. Dalam banyak hal, mau tak mau kami harus datang ke kantor cabang. Waktu itu layanan BRI mobile banking masih sangat terbatas fiturnya. Untuk kendala gagal login saja harus antre di meja customer service (CS). Padahal saat itu sedang musim Covid-19. Jumlah nasabah yang masuk dibatasi.
Untungnya layanan BRI mobile banking ini secara bertahap diperbaiki. Kendala gagal login akhirnya bisa diselesaikan cukup dengan fitur internet banking berbasis Chrome. Tidak perlu ke kantor cabang. Namun, masih banyak kendala yang hanya bisa diselesaikan di kantor cabang.

Saya sendiri sempat berpindah bank karena tidak tahan antre. Cukup lama saya meninggalkan aplikasi BRI mobile banking. Hingga suatu hari, ketika saya ke kantor cabang, staf CS bilang agar saya pakai BRIMO saja. Saya jawab bahwa saya sudah pakai BRIMO sambil menunjukkan ponsel kepada staf CS itu. Tapi saya agak malu ketika dia bilang bahwa saya belum pakai BRIMO. Yang ada di ponsel saya itu bukan BRIMO melainkan BRI mobile banking versi lama. Saya kira BRIMO itu sekadar singkatan dari BRI mobile banking.
Karena penasaran, saya menginstal BRIMO dan mencoba fitur-fiturnya. Ternyata memang beda jauh. BRIMO fiturnya lebih lengkap dan lebih enteng walaupun ponsel saya cuma RAM 2 GB. Rupanya saya telat mengetahui perkembangan Digitalisasi BRI ini. Dalam bahasa gaul anak sekarang, ini benar-benar “hidden gem”. Saya baru tahu aplikasi ini padahal tiap hari saya keluar masuk Play Store. Mirip orang yang baru tahu ada warung enak dan murah di desa sebelah.
Gara-gara BRIMO ini saya kembali menjadi nasabah aktif BRI. Yang paling saya sukai dari BRIMO adalah fiturnya terus ditambah tiap kali update. Sekarang BRIMO sudah menjadi aplikasi mobile banking yang paling lengkap fiturnya. Apalagi sejak pakai BRIMO, saya hingga sekarang tidak pernah lagi mengalami gagal login.
Di aplikasi ini ada fitur-fitur standar yang juga dimiliki aplikasi bank lain seperti transfer ke semua bank, pengisian dompet digital, dan aneka pembayaran. Fitur-fitur ini tidak spesial. Yang membuat BRIMO menarik adalah fitur-fiturnya yang spesial.
Setor dan tarik tunai
Kebetulan saya sering melakukan setor dan tarik tunai. Dulu setor dan tarik tunai di mesin ATM harus membawa kartu ATM. Beberapa kali saya lupa mengambil kartu ATM selesai transaksi sehingga kartu ATM malah ditelan mesin ATM. Akhirnya terpaksa saya harus ke kantor cabang membuat laporan.
Sekarang, tanpa kartu ATM pun saya bisa melakukan setor dan tarik tunai. Cukup pakai fitur setor atau tarik tunai di BRIMO. Memang aplikasi beberapa bank lain juga punya fitur ini. Tapi BRIMO lebih andal karena di desa saya sudah ada dua mesin ATM BRI yang bisa tersambung dengan fitur ini. Kerennya lagi, kita juga bisa melihat limit setor atau tarik tunai.
Walaupun kami orang desa, fitur setor tunai ini sangat banyak penggunanya. Kebetulan desa kami adalah desa nelayan yang memiliki pelabuhan perikanan skala nasional. Ekonomi pesisir Lamongan digerakkan oleh para nelayan. Mereka ini pahlawan UMKM desa kami. Banyak di antara mereka ini nelayan dan pedagang ikan yang setiap hari menerima uang tunai dalam jumlah besar. Uang ini harus segera dikirim ke mitra dagang mereka.
Setiap hari perputaran uang di pelabuhan perikanan ini mencapai miliaran rupiah. Adanya mesin ATM setor tunai sangat menghemat waktu. Mereka tidak perlu antre di teller. Selain lama, mereka juga biasanya enggan karena sepulang dari tempat pelelangan ikan, baju mereka biasanya “BRI”. Bau rokok dan ikan.
Fitur tarik tunai tanpa kartu ATM ini juga super keren. Dengan fitur ini kita bisa mengirim uang ke orang lain yang bahkan tidak punya rekening bank. Caranya, kita suruh orang itu pergi ke ATM BRI yang bisa melakukan tarik tunai tanpa kartu ATM. Lalu kita masuk ke aplikasi BRIMO, lalu pilih menu tarik tunai. Nanti kita akan mendapatkan kode OTP enam angka. Tinggal berikan saja kode ini plus nomor ponsel BRIMO kita kepada orang tadi agar diinput di mesin ATM. Maka uang akan keluar dari mesin ATM. Ajib sekali. Seperti teleportasi.
Pembayaran PDAM Lamongan
Kalau sekadar membayar tagihan listrik, Indihome, dan BPJS Kesehatan, semua aplikasi bank lain juga punya fiturnya. Fitur pembayaran PDAM juga ada di mana-mana. Tapi entah kenapa, belum semua melayani PDAM Lamongan. Saat awal dirilis, BRIMO juga belum bisa digunakan untuk membayar tagihan PDAM Kabupaten Lamongan. Sekarang sudah bisa. Dulu BRIMO juga belum bisa digunakan membayar tagihan Iconnet (layanan internet milik PLN yang kebetulan cukup populer di desa saya). Sekarang sudah bisa.
Komplain
Ini fitur yang amat sangat penting. Dengan fitur ini nasabah tidak perlu pergi ke kantor cabang jika mengalami masalah transaksi, misalnya saldo sudah terpotong tapi uang tidak masuk ke dompet digital. Sebelumnya, kendala seperti ini harus diatasi dengan cara datang langsung ke kantor cabang.
Dengan fitur-fitur ini sebetulnya banyak sekali urusan di kantor cabang bisa dilakukan di rumah. Saya sendiri sekarang sangat jarang ke kantor cabang, kecuali untuk urusan yang butuh kehadiran langsung, seperti minta kartu ATM yang baru.
Transfer internasional
Fitur baru yang juga keren adalah transfer internasional. Bahkan orang desa saya pun kadang butuh fitur ini. Saya beberapa kali membantu tetangga membayar utang ke kerabatnya yang tinggal di Malaysia. Yang menarik, tiap kali orang Malaysia ini mengirimkan uang ke Indonesia, ia mengirimkannya juga ke rekening BRI karena di sana katanya prosedurnya lebih cepat.
Transfer internasional ini benar-benar fitur spesial. Saya sendiri sama sekali tidak menyangka fitur ini ada di aplikasi BRIMO. Tidak berlebihan kalau BRI disebut bank-nya rakyat Indonesia. BRI untuk Indonesia.

Transaksi cepat
Fitur ini sangat berguna buat saya yang sering bertransaksi di aplikasi. Dengan fitur ini saya tidak perlu login atau bolak-balik memasukkan username dan password. Cukup pakai PIN saja di akhir transaksi sebagai tahap pengaman. Ini sangat menghemat waktu. Memang di aplikasi bank lain juga ada fitur transaksi cepat tapi ketentuan dan syaratnya lebih rumit.
Menyimpan nama sesuai julukan
Ini juga fitur yang keren sekali. Saya sering mentransfer ke beberapa orang yang namanya sama. Ada yang sama-sama Suyatno. Sama-sama rekening BRI. Yang satu tegkulak ikan pindang. Yang satu tengkulak cumi. Rekening dua orang ini bisa saya simpan dengan nama Suyatno Pindang dan Suyatno Cumi. Jadi tidak akan tertukar walaupun tidak mengecek angka-angka nomor rekeningnya.
Login cepat
Fitur transaksi cepat di atas sejauh ini baru bisa untuk transfer dan top up dompet digital. Untuk transaksi lain, misalnya pembayaran, nasabah memang tetap harus login. Saya sih berharap fitur ini diperluas sehingga bisa untuk transaksi-transaksi lainnya. Tapi sekarang pun fitur ini sudah cukup memuaskan. Proses login bisa dilakukan dengan cepat. Kita tak perlu mengetikkan username dan password karena keduanya bisa disimpan di aplikasi. Lagi-lagi fitur ini sangat berguna buat kita yang sering pakai aplikasi.
Pinjaman online
Aplikasi BRIMO tidak hanya untuk transaksi-transaksi tapi bisa juga untuk pinjaman online. Di dalam aplikasi ini ada fitur pinjaman online Ceria yang pengajuannya cukup pakai verifikasi KTP dan foto selfie. Ini cocok buat keadaan darurat.
BRI Poin
Ini juga fitur yang sangat menyenangkan. Tiap kali kita bertransaksi di BRIMO, kita mendapatkan poin. Jika sudah terkumpul dalam jumlah cukup, poin ini bisa ditukar dengan aneka hadiah, mulai dari saldo dompet digital hingga voucher belanja. Saya biasanya menukarnya dengan saldo Dana atau Gopay karena praktis dan mudah digunakan. Proses penukaran tidak sampai satu menit. Ini benar-benar hadiah. BRIMO bukan hanya memudahkan urusan keuangan tapi juga memberi hadiah uang tunai. Semua pengguna BRIMO pasti dapat sebab ini bukan undian.
Sebetulnya masih banyak lagi fitur keren di BRIMO, misalnya buka rekening baru cukup lewat ponsel, tanpa harus ke kantor cabang. Jadi dengan layanan ini sebetulnya BRI sudah bisa memberi layanan 100% tanpa perlu ke kantor cabang, mulai dari membuka rekening, setor tunai, tarik tunai, transfer, pembayaran, komplain, dsb. Semua bisa dilakukan di BRIMO. Dengan berbagai kelebihan ini tidak berlebihan jika bank ini punya nama Bank Rakyat Indonesia. Bank untuk semua rakyat Indonesia.
Soal Vaksin Covid 19, Mari Ikuti Jumhur Ulama Saja!
Selama pandemi ini, kita sibuk berdebat:
- Apakah vaksin Covid 19 itu aman?
- Apakah vaksin Covid 19 itu konspirasi perusahaan farmasi?
- Apakah vaksin Covid 19 itu halal?
Bahkan sampai sekarang masih ada yang tidak mau ikut vaksinasi karena menganggap vaksin Covid 19 itu berbahaya.
Sebagai orang awam, kita mungkin bingung. Kita maunya ikut pemerintah saja tapi jadi bimbang setelah membaca argumen kelompok antivaksin yang tampak meyakinkan. Ini bukan semata-mata soal tinggi rendahnya pendidikan. Banyak promotor antivaksin adalah orang-orang berpendidikan tinggi, ada yang profesor, ada juga yang dokter.
Dalam situasi seperti ini, sebetulnya kita bisa meniru pedoman agama. Kalau kita bimbang mengenai satu urusan, ikuti saja jumhur ulama atau pendapat mayoritas ulama. Dalam hal vaksin, ulama ini bisa kita maknai sebagai ulama di bidang agama maupun ilmuwan di bidang kedokteran.

Fatwa Ulama dan Ilmuwan Tentang Vaksin Covid 19
Bagaimana pendapat para ulama agama? Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan bahwa vaksin Covid 19 halal dan suci. Majelis Ulama Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lain juga memfatwakan demikian. Jadi, secara fikih agama sudah tidak ada masalah. Mayoritas ulama sudah memfatwakan demikian.
Sekarang bagaimana dengan “ulama” (ilmuwan) di bidang kedokteran? Yang ini lebih terang lagi. Praktis semua lembaga kesehatan di dunia menyarankan vaksin. Kalau kita masih ragu juga, hm… kata Bang Haji Oma Irama sih, ter-la-lu!
Mereka yang mempromosikan antivaksin hanya kelompok minoritas. Apakah pendapat mayoritas pasti lebih benar daripada pendapat minoritas? Belum tentu. Dulu Galileo Galilei juga melawan pendapat mayoritas ketika mengatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari.
Kita boleh saja tidak mengikuti pendapat mayoritas asal kita punya argumen yang sepadan dengan argumen pendapat mayoritas. Masalahnya, kita ini siapa? Kita ini hanya ingus kering yang tidak mengerti apa-apa. Membedakan jenis-jenis virus corona saja tidak bisa, apalagi memahami konsep mutasi virus. Kita cuma tahu mutasi rekening, mutasi kerja, dan mutasi balik nama kendaraan. Kalau kita tahu diri, kita tidak mudah menyombongkan diri. Juga tidak mudah percaya begitu saja kiriman di media sosial atau grup Whatsapp.
Hidup kita sebetulnya mudah. Kita sendirilah yang membuatnya jadi rumit. Mengikuti pendapat mayoritas sebetulnya lebih mudah dan lebih menenangkan. Ikut vaksinasi sesuai anjuran dokter, pemerintah, ulama. Vaksin dosis 1, vaksin dosis 2, vaksin booster. Untuk urusan yang sulit-sulit seperti ini, serahkan saja kepada ahlinya. Lebih baik kita menikmati hidup saja.
Ini tidak hanya berlaku untuk vaksinasi Covid 19 tapi juga untuk vaksinasi lain seperti program imunisasi untuk bayi. Sampai sekarang masih banyak orangtua tidak mengikutkan anaknya program imunisasi dengan alasan bahwa manusia sudah diciptakan dalam kondisi “fi ahsani taqwim” (sebaik-baik penciptaan). Padahal jumhur ulama maupun jumhur ilmuwan sama-sama menegaskan bahwa vaksinasi adalah bentuk ikhtiar menjaga kesehatan masyarakat. Dan ini sebetulnya adalah ikhtiar menjaga agar kita tetap berada dalam sebaik-baik penciptaan.

Efek Samping dari Vaksin Covid 19
Banyak orang percaya vaksin bisa menyebabkan efek buruk begini dan begitu. Ada pula yang bilang, buat apa ikut vaksinasi, toh masih bisa kena Covid juga. Sebetulnya data penelitian ilmiah sudah cukup banyak. Akan tetapi kita sebagai orang awam mungkin tidak bisa membaca laporan ilmiah.
Gampangnya begini saja. Program vaksinasi Covid 19 sudah berlangsung setahun. Banyak dari kita sudah mendapatkan vaksin lengkap. Dari situ kita bisa melihat, apakah mereka yang divaksinasi ini jadi meninggal dunia? Atau kena stroke? Kejang-kejang? Atau jadi lumpuh?
Tentu saja ada sebagian kecil yang mengalami efek samping buruk setelah vaksinasi seperti demam, alergi, badan pegal-pegal. Tapi semua ini masih dalam batas normal. Semua tindakan medis, termasuk vaksinasi, didasarkan pada pertimbangan antara manfaat dan mudarat (istilah medisnya, “risiko”). Semua ada risikonya. Bahkan minum obat flu saja ada risikonya jantung berdebar-debar. Tinggal ditimbang saja, mana yang lebih besar: manfaatnya atau mudaratnya.
Dalam urusan vaksin, semua sudah jelas sekali. Vaksinasi bisa menurunkan tingkat keparahan sakit. Kalaupun kena Covid 19, orang yang sudah divaksinasi tidak perlu dirawat di rumah sakit, atau kalaupun masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal dunia. Bukti penelitiannya sudah terlalu banyak. Kalau masih tidak percaya juga, hm… ter-la-lu!

Vaksinasi adalah salah satu penemuan penting di dunia kedokteran. Kalau kita menolak vaksinasi, harusnya kita juga menolak semua penemuan medis. Bahasa kasarnya, kalau kita sakit, tidak usah minum obat apotek, tidak usah pergi ke dokter. Sebab obat apotek, operasi bedah, dan semua prosedur di rumah sakit adalah produk penelitian medis yang sama dengan vaksin.
Vaksin Covid 19 dan Konspirasi
Semua penemuan medis didasarkan pada satu metode yang sangat ketat, yang dikenal sebagai “metode ilmiah”. Metode ini disepakati oleh ilmuwan seluruh dunia. Mereka saling menguji dan saling mengoreksi satu sama lain sehingga kalau ada yang keliru bisa langsung diketahui. Karena ada metode ilmiah ini, pabrik farmasi tidak bisa gampang mengklaim produknya bisa mengobati ini dan itu. Semua harus melewati prosedur ilmiah. Harus ada penelitiannya, yang melibatkan ribuan orang. Hasil penelitian harus dipaparkan terbuka. Bisa diuji dan dibantah oleh para ilmuwan sedunia.
Contoh gampang adalah vaksin Covid 19 buatan Sinovac yang digunakan di Indonesia. Penelitiannya melibatkan ribuan orang di banyak negara selama berbulan-bulan. Dan ternyata tingkat keampuhannya hanya sekitar 65%. Sinovac tidak boleh mengklaim vaksinnya bisa mencegah penularan Covid 19. Sebab faktanya orang yang sudah divaksinasi masih bisa kena Covid 19. Sinovac hanya boleh bilang, vaksinnya bisa menurunkan tingkat keparahan penyakit kalau kita kena Covid 19. Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketatnya para ilmuwan di seluruh dunia saling mengoreksi.

Vaksin adalah produk metode ilmiah. Bukan konspirasi pabrik farmasi. Pembuat vaksin memang menangguk banyak untung dari pandemi ini. Tapi mereka hanyalah pedagang yang pandai mengambil kesempatan. Mereka bukan dalang konspirasi virus dan vaksin.
Sekadar untuk diketahui, tidak semua pabrik farmasi meraih untung. Banyak juga yang buntung. Mereka sudah telanjur menghabiskan uang untuk mengembangkan vaksin, ternyata vaksinnya tidak lulus uji klinis. Contohnya adalah Sanofi-Pasteur, perusahaan pembuat vaksin asal Prancis, serta Merck, perusahaan farmasi kondang asal Amerika.
Dua perusahaan ini adalah pabrik farmasi dengan reputasi yang jauh di atas Sinovac Cina. Sanofi-Pasteur bahkan adalah perusahaan farmasi spesialis vaksin. Tapi keduanya gagal mengembangkan vaksin Covid karena vaksin mereka ternyata tidak cukup aman dan ampuh. Bagaimana cara mengukur aman dan ampuh itu? Jawabannya jelas: metode ilmiah.
Metode ilmiah inilah yang membuat umat manusia bisa mengirim pesawat ke Bulan dan Mars. Yang membuat kita bisa menghitung kapan terjadinya gerhana bulan dan matahari hingga satu abad ke depan. Yang bisa membuat manusia mengembangkan bermacam-macam teknologi yang memudahkan hidup kita hari ini. Menolak metode ilmiah pada dasarnya adalah menolak sains.
Kita mudah percaya teori konspirasi kalau kita tidak berpikir dengan sains. Bayangkan saja, masih ada yang percaya bahwa di dalam cairan vaksin yang bening itu ada microchip yang disuntikkan ke dalam tubuh kita untuk memata-matai. Ini keyakinan level waham. Kalau mau memata-matai, tak usah pakai chip. Ponsel kita saja sebetulnya menyediakan semua data kita: lokasi, teman, percakapan, riwayat browsing, hingga transaksi perbankan. Kenapa harus repot-repot pakai vaksin.
Selama pandemi ini, vaksin adalah penemuan medis yang paling banyak disalahpahami. Mereka yang salah justru merasa paling paham.
Sejarah Desa Brondong yang Dulu Terkenal Angker

Sebelum tahun 1936, Desa Brondong hanya sebuah desa nelayan biasa di pesisir Lamongan. Tak ada yang istimewa.
Tapi sebuah peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936 seketika mengubah wajah desa ini. Pada dini hari itu, kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Brondong.
Lima orang nelayan setempat menjadi pahlawan dalam tragedi ini. Kaslibin, Matuwi, Troenoredjo, Sratip, dan Mardjuki berhasil menyelamatkan 140 penumpang. Hampir tiga kali lipat daripada yang bisa diselamatkan oleh tim SAR Belanda yang membawa pesawat amfibi dan kapal perang.

Sejak itu Brondong menjadi terkenal seantero Hindia Belanda. Peristiwa ini menyedot perhatian sampai setahun kemudian. Nama Brondong masih terus disebut-sebut di dalam investigasi yang tak pernah menemukan titik terang. Penyebab tenggelamnya kapal masih misterius. Kapal tiba-tiba oleng dan tenggelam begitu saja dalam tempo 10 menit.
Di tengah proses investigasi yang belum selesai, tiba-tiba pada tahun 1937, terjadi lagi kecelakaan. Kali ini sebuah pesawat tempur T13 milik marinir Belanda jatuh, menewaskan sembilan penumpangnya. Lokasinya tak jauh dari tempat tenggelamnya Van der Wijck. Sama-sama bulan Oktober.


Dua kecelakaan besar ini membuat Brondong makin terkenal. Juga membuat banyak orang berpikir bahwa perairan Brondong adalah wilayah yang angker.
Berkali-kali wartawan koran Belanda mendatangi desa ini. Salah satu arsip koran Belanda bahkan sampai menceritakan soal asal-usul Desa Brondong. Pada April 1939, ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh keturunan Kiai Brondong. Entah di mana tempatnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah kaum ningrat.

Kiai Brondong adalah leluhur masyarakat Brondong. Konon nama asalnya adalah Lanang Dangiran. Dia anak dari Raja Blambangan, Susuhunan Tawangalun. Blambangan merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di Banyuwangi. Tawangalun berkuasa di pertengahan abad ke-17.
Pada saat itu Islam sudah masuk pesisir Lamongan sebab Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur sudah berdakwah di sini seabad sebelumnya. Ketika Blambangan dilanda peperangan, Lanang Dangiran melarikan diri dan terombang-ambing di Laut Jawa. Saking lamanya hidup di laut, tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong (biji jagung).
Singkat cerita ia diselamatkan oleh kiai di pesisir Lamongan, diambil sebagai menantu, diajari Islam. Desa tempat ia diselamatkan ke darat itu dinamai Brondong. Di sini Lanang Dangiran juga memperoleh nama baru, Kiai Brondong.
Menurut warga Brondong, leluhur mereka ini dimakamkan di Desa Brondong di kompleks makam Sentono, yang letaknya di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono. Tapi menurut koran Belanda ini, Kiai Brondong kemudian pindah ke Surabaya, berdakwah di sana, dan meninggal di sana.

Ia dimakamkan di Kompleks Makam Botoputih, Pegirian, Surabaya. Di sana memang ada makam Kiai Ageng Brondong di kompleks makam yang namanya Sentono Agung.


Wah, berarti makam kembar, dong. Jadi, versi mana nih yang benar?
Ujian Nasional Ditiadakan Tapi Bebek Masih Dipaksa Berlari

Menteri Nadiem Makarim resmi meniadakan ujian nasional tahun ini karena pandemi. Di luar pro-kontranya, pandemi ini adalah masa yang tepat untuk meninjau kembali sistem pendidikan kita yang sangat berorientasi pada nilai ujian.
Sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian. Mungkin itulah gambaran pendidikan kita mulai dari SD sampai kuliah.
Enam tahun lalu, dunia pendidikan Lamongan dihebohkan oleh skandal pencurian soal unas. Yang menyedihkan, para pelakunya adalah guru-guru SMA di Lamongan yang bersekongkol. Lebih menyedihkan lagi, skandal ini melibatkan sekolah-sekolah favorit yang selama ini terkenal menghasilkan nilai unas tinggi dan mengirim banyak lulusannya ke perguruan tinggi negeri.
Ini adalah sisi gelap dari dunia pendidikan kita yang memberhalakan nilai ujian dan meletakkan pembentukan karakter di nomor sekian. Padahal skala prioritas keduanya harusnya dibalik. Pembentukan karakter, termasuk kejujuran, jauh lebih penting daripada nilai ujian. Tapi apa boleh dikata, selama puluhan tahun kita dibiasakan menilai kepintaran siswa semata-mata dari nilai ujian.
Buku-buku pelajaran penuh dengan materi hafalan. Bahkan tugas pelajaran SD saja sekarang sedemikian sulit sampai orangtua siswa pun tidak bisa mengerjakannya. Repot rapakat! Siswa dicekoki dengan berbagai hafalan yang seharusnya tidak perlu dihafal. Jika seorang anak tidak hafal tahun lahir Sultan Hasanuddin, apakah itu sebuah problem?
Seandainya pun saat ujian itu dia hafal, hampir pasti ia akan lupa begitu selesai ujian. Satu-satunya yang mungkin tak dilupakan cuma perang Diponegoro yang terjadi sesudah magrib.
Pendidikan harusnya dimulai dari satu asumsi dasar, yaitu bahwa semua anak memiliki kecerdasan masing-masing. Ada anak yang tidak pandai matematika, tidak pandai hafalan, tapi dia pandai berimajinasi. Anak-anak seperti ini di sekolah sudah pasti dianggap bodoh. Nilai ujiannya pasti jelek. Padahal dia bisa diarahkan untuk mengembangkan potensinya di bidang karya kreatif.
Pendidikan yang baik harusnya bisa membantu anak menemukan passion dan mengoptimalkan kecerdasan khasnya. Kecerdasan berlogika, kecerdasan berbahasa, kecerdasan bersosialisasi, kecerdasan bermusik, kecerdasan gerak jasmani, kecerdasan seni, kecerdasan berimajinasi, dan masih banyak lagi.
Tapi yang terjadi sekarang, sekolah-sekolah kita seperti cerita di fabel The Animal School. Seekor bebek, karena dituntut untuk lulus ujian lari, terpaksa setiap hari belajar lari sampai kaki dayungnya robek. Hasilnya? Dia tak pandai lagi berenang dan larinya tetap megal-megol.
Generasi sekarang punya pilihan profesi yang jauh lebih beragam daripada generasi guru-guru era Korpri. Itu tidak mungkin diringkas dalam kurikulum pendidikan yang pukul rata untuk semua orang. Jika kita mengukur kecerdasan seekor bebek dari kemampuannya berlari, maka sudah pasti dia tidak akan lulus ujian nasional, dan seumur hidup dia akan merasa dirinya sebagai hewan yang bodoh.
Saya Dukung Pakde Jokowi 3 Periode Kalau Bisa Merakyatkan Lengo Kletik
Dulu, ketika generasi TikTok masih berupa tanah liat, emak-emak menggoreng dengan minyak kelapa. Bahasa desanya, “lengo kletik”. Pada pagi hari yang dingin di musim hujan, minyak ini bisa membeku. Selain untuk menggoreng, minyak ini juga biasa dipakai untuk minyak rambut.
Sekarang, generasi TikTok jelas tidak tahu ada minyak goreng membeku, apalagi dipakai untuk minyak rambut. Orang-orang meninggalkan minyak kelapa karena lama-lama harganya lebih mahal daripada minyak sawit.
Ini sebetulnya adalah bentuk ketidakadilan ekonomi Orde Baru. Pak Harto membagi-bagikan konsesi hutan di Kalimantan dan Sumatera kepada para konglomerat untuk dijadikan kebun sawit. Produksi sawit pun melimpah. Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sementara itu produksi kelapa hanya mengandalkan perkebunan rakyat.
Murahnya minyak sawit ini membuat tradisi dapur Indonesia didominasi budaya goreng. Apa saja digoreng. Bahkan daun bayam saja digoreng jadi rempeyek. Nangka pun digoreng jadi keripik.
Dari aspek kulinologi, sebetulnya minyak kelapa punya keunggulan dibanding minyak sawit. Minyak kelapa lebih tahan panas sehingga lebih cocok untuk dipakai menggoreng ala deep frying seperti menggoreng iwak ayam, iwak tahu, iwak tempe, gimbal jagung, ote-ote, godo gedang, dan sejenisnya. Karena titik didihnya tinggi, minyak kelapa tidak mudah menjadi jelantah.
Minyak sawit sebaliknya. Ia tidak tahan panas. Cepat menjadi jelantah kalau dipakai untuk menggoreng lama di di suhu didihnya.
Tapi para ahli gizi menuduh minyak kelapa tidak sehat karena lemaknya didominasi lemak jenuh. Minyak sawit dipuji-puji lebih sehat karena kandungan lemak tak jenuhnya lebih tinggi. Pujian ini sebetulnya tidak fair. Pertama, karena perusahaan-perusahaan minyak sawit banyak menjadi sponsor di kampus. Kedua, secara medis, minyak kelapa maupun minyak sawit sama-sama tidak sehat jika konsumsinya tidak diimbangi aktivitas fisik. Bahkan kalau digunakan untuk deep frying, minyak sawit lebih mudah rusak dan teroksidasi menjadi lemak jahat.
Ketiga, ini paling penting, dominasi minyak sawit bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Komoditas sawit hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat. Sementara komoditas kelapa tersebar luas merata di kalangan rakyat jelata.
Inilah yang terjadi sekarang. Ketika harga minyak sawit di pasar internasional sedang tinggi, para konglomerat itu lebih suka menjualnya ke luar negeri. Mereka ogah kalau harus menjual di dalam negeri dengan harga ditentukan pemerintah. Maka begitu ada aturan harga eceran tertinggi, tiba-tiba minyak goreng hilang di pasaran. Begitu aturan harga dicabut, minyak goreng membanjiri pasaran lagi dengan harga selangit. Kurang ajar sekali.
Ini semua terjadi karena komoditas sawit dikuasai oleh segelintir konglomerat. Mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia. Yang menangguk untung dari hutan yang mestinya menjadi milik semua rakyat Indonesia.
Yang bisa mengubah tata ekonomi yang tidak adil ini adalah pemerintah. Pakde Jokowi dan DPR. Sayangnya, pemerintah tak punya nyali. Menteri Perdagangan saja mati kutu di depan mafia minyak goreng yang disebutnya sendiri saat rapat dengan DPR. Pakde pun tidak berani menetapkan batas atas harga tertinggi. Bahkan Bu Ketua menyarankan orang-orang agar beralih cara masak tanpa minyak goreng. Tentu saja ini nasihat yang sangat bagus… andai saja diucapkan oleh dokter… pada saat ibu-ibu tidak perlu antri membeli minyak goreng.
Dari sudut pandang ilmu kesehatan masyarakat, harga minyak goreng memang harus mahal. Supaya orang beralih ke cara masak yang lebih sehat seperti yang dianjurkan Bu Ketua.
Tidak apa-apa harga minyak goreng mahal asal Pakde mau tegas seperti dulu saat debat capres. Di debat itu Pakde mengkritik Prabowo yang menguasai banyak lahan negara di Kalimantan. Tapi ternyata setelah debat itu, ia tidak melakukan apa-apa untuk mengubah ketidakadilan penguasaan lahan ini.
Minyak goreng harusnya seperti ote-ote, gimbal jagung, dan godo gedang. Dikuasai oleh rakyat. Tidak dikuasai oleh segelintir orang. Para konglomerat itu sudah terlalu banyak mengambil untung dari penguasaan lahan milik negara. Sudah saatnyà pemerintah berani menariknya kembali. Biarkan rakyat membuat sendiri lengo kletik dari kelapa. Biarkan mereka menanam kelapa di mana-mana. Ajak kampus-kampus untuk mengajari orang-orang cara membuat minyak kelapa yang bermutu. Itu lebih adil bagi ekonomi rakyat jelata.
Kalau Pakde berani melakukan ini, tiga periode pun okesip aja. Tapi kalau tidak berani, janganlah bicara tiga kali. Minyak goreng Filma yang jernih pun kalau dipakai menggoreng tiga kali akan menjadi jelantah.
Doa yang Lengkap
Kita punya kecenderungan duniawi yang dominan. Ketika berdoa, misalnya, kita cenderung berdoa yang materialistis. Minta rezeki yang banyak. Minta usahanya lancar. Minta diterima di universitas negeri. Minta lulus S2. Minta dapat pasangan yang begini dan begitu. Bahkan secara eksplisit kita menyebut nama seseorang yang kita sukai.
Padahal bisa jadi, orang yang kita sukai itu bukanlah pasangan yang baik buat kita. Bisa jadi juga kita lebih membutuhkan kebaikan-kebaikan lain. Misalnya, kesabaran, keikhlasan, sikap sukur, dan kerendahan hati. Tapi kebaikan-kebaikan ini luput dari doa yang kita panjatkan karena kecenderungan kita yang duniawi.
Nabi Muhammad, yang kepadanya Tuhan dan para malaikat pun bershalawat, mengajarkan kepada kita cara berdoa yang lengkap. Tidak hanya meminta hal-hal yang material. Tapi, lebih dari itu, meminta hal-hal yang spiritual dan esensial.
Doa ini tercatat di dalam kitab Sahih Muslim.
Allahumma ashlih li dinilladzi huwa ‘ishmatu amri,
wa ashlih li dunyayallati fiha ma’asyi,
wa ashlih li akhiratillati ilaiha ma’adi,
waj’alil hayata ziyadatan li fi kulli khairin,
waj’alil mauta rahatan li min kullisyarrin.
Ya Allah perbaikilah agamaku, perisai segala urusanku.
Ya Allah perbaikilah duniaku, tempat penghidupanku.
Ya Allah perbaikilah akhiratku, tempat berpulangku.
Jadikan hidupku sebagai penambah kebaikan
Dan jadikan matiku sebagai pemberhentian dari semua keburukan.
Doa yang indah sekali.
Sayang sekali, kita hanya berdoa. Hanya meminta. Tapi tidak sungguh-sungguh menghayati doa ini. Apalagi mengusahakannya.
Sekolah Alam Telur Buaya Lamongan
Seminggu ini media orang Lamongan dihebohkan oleh berita penemuan puluhan telur yang diduga telur buaya di bantaran Bengawan Solo di Karanggeneng. Tapi beberapa hari kemudian ahli reptil memastikan bahwa telur itu bukan telur buaya melainkan telur biawak.
Urusan telur buaya ini sebetulnya menarik sekali. Memang ada orang yang mengaku pernah melihat buaya di sungai yang biasa disebut Mbawan ini.
Tapi yang jelas selama ini tidak ada laporan hewan buas itu mengganggu manusia. Padahal di musim kemarau, para petani biasa mengambil air Bengawan saat surut hingga hampir habis.
Seandainya pun buaya masih ada, sepanjang dia tidak mengganggu manusia, sebetulnya manusia juga tidak boleh mengganggunya, termasuk mengambil telurnya.
Berita telur buaya ini mestinya adalah bahan pelajaran yang sangat menarik buat guru-guru IPA di Lamongan. Inilah saatnya guru-guru mengajarkan konsep kembang biak, ovipar, vivipar, ovovivipar, dan sebagainya. Tak perlu menunggu jadwal kurikulum di buku-buku LKS.
Dengan belajar langsung lewat kasus nyata di lingkungan, para siswa bisa lebih tertarik. Bahkan kalau mereka melihat langsung wujud telur itu, mereka mungkin akan mengingatnya seumur hidup.
Kalau kita paham biologi, kita tidak akan mudah membuat kehebohan dengan menyebutnya “telur buaya”. Mestinya kita sebut saja “telur reptil”. Bisa buaya atau biawak. Bahkan bisa juga ular piton. Biawak dan ular piton jelas masih banyak dijumpai di bantaran Bengawan Solo.
Seandainya pun itu telur ular piton, tetap saja kita tidak perlu mengganggunya. Sebab ular piton juga bermanfaat buat petani karena mereka memangsa tikus, hama sawah.
Piton tidak berbisa seperti ular kobra. Ia membunuh manusia dengan cara membelitnya sehingga ular ini hanya berbahaya kalau ukurannya sangat besar. Di sekitar Bengawan, ukuran piton tidak sampai level berbahaya.
Bengawan Solo sebetulnya adalah laboratorium alam. Jauh sebelum ada sudetan Sedayu Lawas, warga masih bisa melihat bulus (keluarga kura-kura) yang muncul ke permukaan karena mabok pada saat oyang-oyang.
Pada masa itu, Bengawan Solo adalah penghasil aneka jenis ikan, mulai dari kutuk (gabus), keting dan wagal (ikan patin), urang dan conggah (lobster air tawar), lupis (ikan belida), sili (yang digunakan di sego boran), bader (sejenis ikan mas), dan masih banyak lagi.
Bagi generasi X, Bengawan Solo adalah sekolah alam. Dari sungai inilah mereka pertama-tama belajar biologi sebelum mengetahuinya di bangku sekolah.
Tapi sekarang Bengawan Solo ibarat laboratorium yang terbengkalai. Sebab murid-murid masa kini hanya belajar dari buku-buku LKS yang disampul rapi.
Kalau sejak kecil mereka dididik untuk mencintai Bengawan Solo, kelak mereka mungkin bisa mengembangkan ekonomi iwak kutuk, yang sekarang harganya sekitar 50 ribu/kg. Atau, ekonomi iwak sili untuk melestarikan sego boran yang asli.

Kabarnya, harga iwak sili sekarang Rp 100 ribu sekilo. Wow.
Pertalite dan Bencana Sedang Dalam Perjalanan
Negara kita tidak sedang baik-baik saja. Minyak goreng mahal. Bensin mahal. Apa-apa mahal. Pajak naik. Apa-apa dipajaki. Mau mengurus SIM saja harus ikut BPJS Kesehatan sementara iurannya naik terus.
“Ini semua salah Jokowi”. Demikian kesimpulan mereka yang tidak bisa move on dari kekalahan pemilu.
“Ini semua karena faktor eksternal, pandemi dan perang Ukraina.” Demikian kata pendukung Jokowi harga mati.
Dua-duanya adalah wajah suram Indonesia. Kebencian dan fanatisme politik membuat kita tidak bisa mengurai masalah. Pandemi dan perang Ukraina memang menyebabkan ekonomi dunia kocar-kacir. Semua negara kena dampaknya. Bukan cuma Indonesia. Siapa pun presidennya tak akan bisa menghindarinya. Bensin dan minyak sawit di mana-mana memang mahal. Jelas ini bukan salah Jokowi.
Tapi jauh sebelum ada pandemi dan perang Ukraina, ekonomi Indonesia tidak pernah meroket seperti yang bolak-balik dikatakan Jokowi di dua kali pemilu. Okelah yang ini masih bisa dipahami. Ekonomi tidak meroket tidak apa-apa asal kesulitan ekonomi ini ditanggung bersama secara adil.
Tapi yang terjadi sekarang: rakyat makin melarat, harta para pejabat dan konglomerat naik berlipat-lipat.
Yang paling menyebalkan dari pemerintah kita hari ini adalah sikap belagunya. Mlete, kata orang Lamongan. Sudah tahu ekonomi hancur-hancuran, masih nekat bikin ibukota baru, kereta cepat, dan proyek-proyek mercusuar lain yang sama sekali tidak ada urgensinya.
Lebih menyedihkan lagi, proyek ini terkait bagi-bagi konsesi buat para konglomerat. Sudah begitu Perdana Menteri Luhut masih sempat-sempatnya bilang 2,5 periode lewat penundaan pemilu. Culas sekali.
Sial betul nasib kita. Ekonomi suram. Politik lebih suram. Kita secara de jure dipimpin oleh Jokowi. Tapi secara de facto kita semua dicokok hidungnya oleh Luhut. Sampai Ketua Partai “Oh-Posisi Aman Nasional” saja ikut-ikutan mendukung rencana penundaan pemilu demi transaksi politik.
Melihat Indonesia hari ini adalah membaca kembali puisi WS Rendra setengah abad lalu, yang masih sangat relevan:
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka
Kita tidak membutuhkan penundaan pemilu. Yang kita butuhkan adalah pemilu yang bermutu untuk memilih pemimpin yang berani mengembalikan prioritas. Kita tidak butuh presiden yang tampilannya merakyat, yang harga kemejanya seratus ribu, atau yang doktor lulusan Amerika, yang pintar pidato bahasa Inggris, cucu pahlawan, atau yang cucu presiden dan anak presiden.
Persetan dengan semua itu. Kita butuh pemimpin baru yang berani menyetop pemborosan uang negara di proyek-proyek mercusuar. Itu saja dulu. Yang lain-lain belakangan.
Rocky Gerung, Ade Armando, dan Wabah Flu Akal
“Rocky Gerung diusir oleh Developer Sentul City.”
Berita lokal di Bogor ini menjadi berita nasional karena melibatkan orang yang sangat terkenal.
Kita semua tidak tahu duduk persoalannya. Juga tak punya urusan dengan mereka. Tapi lucunya, kita semua sudah punya keyakinan. Yang pro-Jokowi bilang, “Mampus lu! Tanah orang diserobot! Dungu!” Sebaliknya, yang anti-Jokowi yakin Rocky Gerung pasti benar.
Ini adalah contoh paling nyata bagaimana politik kebencian membuat akal kita masuk angin. Semua orang yang berseberangan politik dengan kita adalah penjahat. Titik.
Kita semua mengalami penurunan kesehatan akal secara berjamaah. Semua pihak. Pendukung Jokowi maupun yang anti.
Jauh sebelum terkenal di tivi dan yutub, Rocky Gerung adalah seorang intelektual muda yang brilian. Salah satu gagasannya yang menonjol adalah soal kesetaraan perempuan dan laki-laki yang secara rutin ia publikasikan di Jurnal Perempuan. Tulisan-tulisannya tajam dan bernas.
Rocky adalah ahli retorika yang tiada duanya. Tak ada yang bisa menerangkan topik filsafat seenak Rocky. Sayang sekali, sejak era Cebong & Kadrun, ia selalu mengakhiri semua analisisnya dengan satu kata: Dungu! Apa pun analisisnya, kesimpulannya selalu begitu. Walaupun dikenal sebagai “profesor akal sehat”, sebetulnya ia punya andil menurunkan kesehatan akal banyak orang.

Tapi Rocky masih bisa dibilang mending karena dia mengkritik pemerintah. Sesuatu yang memang harus dilakukan, siapa pun presidennya, entah Jokowi atau misalkan Anies nanti.
Di kubu sebelah, kita bisa melihat akal yang masuk angin secara jelas pada diri Ade Armando, sama-sama dosen Universitas Indonesia. Dulu Ade Armando adalah intelektual muslim yang cendekia. Ia banyak menulis isu-isu agama. Pernah menjadi wartawan Republika, bahkan memimpin majalah pemikiran Islam, Madina, milik Paramadina, yang salah satu anggota dewan redaksinya adalah Anies Baswedan.
Tapi itu dulu. Duluu… sekali. Sejak wabah virus kampret menyebar di Indonesia, Ade Armando hanya punya satu rumus, “Jokowi pasti benar sebab Anies Baswedan adalah joker”.
Sekarang, sungguh lucu membayangkan Ade Armando melakukan rapat redaksi dengan Anies Baswedan. “Eh, lu jangan main setuja-setuju aja, Wan Abud. Kasih argumen, dong!”

Rocky dan Ade Armando adalah orang-orang yang cerdas. Dosen di universitas nomor satu di Indonesia. Tapi toh itu tak membuat mereka imun dari wabah flu akal. Semua bisa kena. Apalagai kita yang intelektualitasnya pas-pasan. Gampang nggumun. Gampang percaya dengan isi grup WA.
Satu-satunya vaksin yang bisa menghindarkan kita dari flu akal ini adalah vaksin anti-kebencian! Jangan berlebihan benci kepada Jokowi, Anies Baswedan, Rocky Gerung, Ade Armando, atau siapa saja. Sebab kebencian selalu membuat kita tidak bisa bersikap adil.
Jokowi tidak mungkin benar terus atau salah terus. Begitu juga Anies Baswedan. Mereka adalah penguasa. Orang yang memegang amanat dan uang rakyat. Mereka memang harus dikritik. Bukan dipuja-puji, apalagi dijilat pantatnya.