Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian IV: Lamongan Kota
Foto-foto perang di bawah ini berasal dari Institut Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie). Bertarikh 1949 bulan Januari. Pada saat itu Belanda melancarkan serangan ke wilayah-wilayah strategis di Jawa Timur, salah satunya ke Lamongan.
Kita menyebut operasi ini “Agresi Militer” karena mereka mengkhianati Perjanjian Linggarjati mengenai kedaulatan Indonesia. Tapi Belanda menyebutnya “Operasi Pembersihan” karena menganggap Tentara Nasional Indonesia sebagai perusuh.
Dilihat dari tanggal foto, perang ini berlangsung setidaknya selama dua hari, yakni tgl 17 dan 18 Januari. Di foto ini tampak pasukan Belanda berhasil memukul mundur TNI.

Foto nomor 1 dan 2, tentara Belanda memasuki Lamongan dengan latar belakang markas TNI yang dilalap api. Menurut sejarah, Belanda menyerang Lamongan dari Tuban, ke Babat, lalu bergerak ke Ngimbang, Mantup, baru ke Lamongan.
Jadi kemungkinan markas TNI ini adalah bangunan di wilayah selatan Lamongan Kota. Mungkinkah ini gedung yang sekarang menjadi markas Polres Lamongan?


Foto nomor 4, tentara Belanda menjinakkan bom.

Foto nomor 5, tentara Belanda melewati sebuah jembatan yang hancur sehabis dibom. Lokasi tidak diketahui.

Foto nomor 6, sebuah jip Belanda ringsek setelah menabrak ranjau.

Foto nomor 7 adalah foto udara Kota Lamongan, bertanggal 29 Desember 1948, atau 19 hari sebelum Belanda melakukan serangan darat ke Lamongan. Dilihat dari ruas jalan rayanya, kelihatannya ini adalah wilayah sebelah timur alun-alun Lamongan. Lewat foto udara, Belanda tampaknya sedang menandai tempat-tempat yang akan menjadi target serangan.

Foto-foto di bawah ini tidak berhubungan dengan perang di atas.
Foto nomor 8, dua orang Eropa sedang minum teh di hotel di Lamongan. Tahun 1909. Kabarnya ini adalah Hotel Bharata, di Jalan Lamongrejo, Lamongan Kota. Tapi saat ini hotel tersebut sudah tidak beroperasi.

Foto nomor 9, kantor pos Lamongan. Tahun 1930.

Foto nomor 10, Masjid Agung Lamongan, tahun 1927.

Foto nomor 11, sebuah telaga di Lamongan. Tahun 1927. Lokasi tidak bisa dipastikan. Mungkin Telaga Bandung.

Foto nomor 12, acara perayaan pengangkatan bupati di Lamongan. Tahun 1910.

Foto nomor 13, para pejabat inspektur Belanda di Lamongan. Tahun 1909. Lokasi tidak teridentifikasi. Mungkin Balai Kota Lamongan. Mungkin di Lamongan pinggiran.

Foto nomor 14, jamuan makan bersama Gubernur Jenderal D. Fock di Balai Kota Lamongan. Tahun 1922.

Foto nomor 15, alun-alun Lamongan. Tahun 1924. Tampak di kejauhan adalah menara air yang selama ini cuma kita sebut “menara” saja karena tidak tahu fungsi aslinya.

Jika Anda memilik informasi tambahan untuk melengkapi tulisan ini, silakan sampaikan di kolom komentar atau email redaksi@lamonganpos.com
Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian III: Brondong 1947

Foto-foto udara ini bertahun 1947 bulan Januari. Beberapa bulan sebelum Belanda melancarkan agresi militer besar-besaran.
Foto nomor 8 ini keterangannya “difoto antara Paciran dan Brondong”. Melihat bentuk tanjungnya, sepertinya ini adalah Tanjung Kodok, bukan pantai di Brondong.
Yang paling menarik dianalisis adalah foto nomor 7. Di foto itu tampak ada bangunan yang hancur. Mungkin akibat dibom sebab ada badan bangunan yang rompal dan nggelempang. Seperti kubah masjid. Lokasinya sulit dipastikan karena keterbatasan petunjuk.
Ada kemungkinan ini foto wilayah Kecamatan Paciran mengingat Kecamatan Brondong hanya punya sedikit ruas Jalan Deandels yang berada persis di tepi pantai.
Bagi Belanda, Brondong bernilai strategis karena punya pelabuhan. Tapi Brondong dan Paciran saat itu memang menjadi basis pejuang. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Kiai Amin Tunggul, komandan Laskar Hizbullah, yang gugur ditembak tentara Belanda pada tahun 1949.
Nama Kiai Amin kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Lamongan Kota. Juga menjadi nama pesantren di Tunggul yang dikelola oleh keturunannya.
Jika Anda punya informasi untuk menambahi tulisan ini, sampaikan analisis di kolom komentar atau ke email kami redaksi@lamonganpos.com








Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian II: Paciran 1947-1949

Foto-foto udara ini didokumentasikan Belanda tahun 1949. Artinya foto ini dibuat tahun 1949 atau sebelumnya. Di koleksi yang sama, ada juga foto-foto udara wilayah Brondong dan Tuban bertahun 1947. Jika foto-foto itu dibuat di waktu yang sama, berarti tahun pembuatannya 1947, hanya saja baru dicatat di dokumentasi tahun 1949.
Walaupun Indonesia saat itu sudah memproklamasikan kemerdekaan, sebetulnya kita belum benar-benar merdeka. Belanda masih belum sepenuhnya pergi dari Indonesia. Belanda sendiri tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 melainkan pada akhir 1949.
Dari foto-foto berbagai sudut ini kita bisa menyimpulkan bahwa pesawat Belanda terbang rendah berputar-putar di atas Paciran. Kenapa Belanda memotret jembatan-jembatan di Paciran?
Apakah saat itu Paciran mau dibom atau barusan dibom? Gak mungkin ‘kan tentara Belanda mau beli rujak Mak Tas. Tahun 1947 Belanda memang melakukan agresi militer yang salah satu targetnya adalah daerah-daerah strategis di Jawa Timur.
Pada masa itu, mengebom jembatan adalah “protap perang”. Tujuannya untuk menghentikan pergerakan tentara musuh.
Ada kemungkinan foto ini dibuat sesudah Paciran dibom. Sebab jembatan tampak rusak dan disambung sementara dengan kayu, tidak bisa dilalui mobil. Lihat foto nomor 3, 8, 11, 13, 15.





Universitas Leiden tidak memberi keterangan apa-apa tentang foto ini. Hanya lokasinya Paciran. Tampaknya ini Kecamatan Paciran, bukan Desa Paciran. Sebab foto nomor 18 dan 19 kemungkinan besar adalah jembatan di pertigaan Pasar Blimbing.
Kesimpulan ini didasarkan pada bentuk kelokan sungai, serta sudut yang dibentuk oleh sungai, jembatan, dan jalan raya menuju ke Laren.


Adapun jembatan yang disambung kayu pada foto nomor 3, 8, 11, 13, 15 tampaknya adalah jembatan Kranji, bukan jembatan Mak Tas Paciran. Kesimpulan ini didasarkan pada bentuk kelokan sungainya.
Yang masih tanda tanya adalah jembatan di foto nomor 6. Tampaknya itu Jembatan Tunggul. Di foto ini tampak jelas jalan raya itu dipasangi barikade kayu untuk menghalangi kendaraan lewat. Kelihatannya ini memang situasi perang.

Mungkin saja asap yang membubung tinggi di gambar nomor 2 dan 9 pun ada kaitannya dengan situasi perang.











Di foto nomor 23 ini tampak jelas lokasinya adalah dermaga. Ini foto jarak dekat yang paling jelas. Kalau di-zoom in, tampak ada banyak orang di dermaga yang memandang ke arah pesawat. Sepertinya ini di Weru?

Foto terakhir ini tidak terkait dengan foto-foto di atas. Foto Tanjung Kodok ini dibuat pada tahun 1935.

Jika Anda punya analisis lain atau punya informasi untuk melengkapi foto ini, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com
Foto-foto Lamongan Zaman Belanda (Bagian I): Masjid Sendang Dhuwur
Dalam beberapa seri ke depan, Lamongan Pos akan menampilkan arsip foto-foto lawas Lamongan era Belanda. Foto-foto ini berasal dari arsip Universitas Leiden, Belanda.
Bagian pertama ini berisi foto-foto masjid dan makam Sunan Sendang Dhuwur yang ada di Desa Sendang Dhuwur, Kecamatan Paciran. Masjid yang dibangun pada tahun 1561 M ini merupakan peninggalan bersejarah yang masih terawat dengan baik hingga saat ini.
Sunan Sendang Duwur adalah salah satu murid Sunan Drajat. Dari tampilan fisik masjid yang mirip candi, kita bisa melihat kebijaksanaan Sunan Sendang dalam berdakwah. Budaya Hindu-Buddha yang sudah dipeluk masyarakat setempat tidak dilenyapkan tapi diselaraskan dengan Islam.













Pridjetan, Waduk Tua Peninggalan Belanda

Kalau saja tidak ada kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda ke tempat ini tahun 2018, mungkin kita tidak akan tahu bahwa di Lamongan ada waduk peninggalan Belanda yang masih berfungsi sampai sekarang. Selama ini kita cuma tahu Waduk Gondang dan Bendungan Babat.

Menteri Belanda itu, Stephanus Abraham Blok, jauh-jauh pergi ke pelosok Lamongan karena kakek buyutnya adalah insinyur yang dulu ikut membangun waduk ini. Bahkan nenek buyutnya, Mevr. JF A Dligoor, meninggal pada tahun 1930 dan dimakamkan di sini. Sampai sekarang makam ini masih terawat dengan baik.

Waduk ini mulai dibangun tahun 1910 dan diresmikan pada 1917. Jadi usianya sudah satu abad dan sampai hari ini masih berfungsi dengan baik. Termasuk salah satu bendungan tertua di Indonesia.

Waduk seluas 320 hektare itu terletak di wilayah tiga desa, dua kecamatan, yaitu Desa Tenggerejo dan Mlati (Kedungpring) dan Desa Girik (Ngimbang). Dulu dibangun untuk mengairi lahan pertanian tebu yang pada masa itu merupakan komoditas ekspor yang penting. Sekarang waduk ini berfungsi sebagai tandon air untuk lahan sawah padi dan palawija di sekitarnya, yang meliputi wilayah Kedungpring, Sugio, dan Modo.

Lanskapnya yang masih asri membuat tempat ini cocok buat kegiatan bersepeda dan berwisata alam. Google Maps klik di sini.

Belajar Sejarah Lamongan di Museum Sunan Drajat

Lamongan terkenal akan budaya dan tradisinya. Salah satu tempat yang sering dikunjungi banyak orang ialah komplek wisata religi makam Sunan Drajat. Tempat ini berada di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
Selain makam, di sini juga terdapat museum Sunan Drajat. Dulu bangunan ini konon berfungsi sebagai tempat nyantri para murid Sunan Drajat. Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut digunakan untuk menyimpan barang-barang peninggalan dari Sunan Drajat.
Gedung museum ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur, Soelarso, pada 30 Maret 1992. Terdapat sejumlah koleksi barang antik di museum ini. Mulai dari batu, keramik, fosil, hingga uang koin kuno zaman dahulu. Ada batu bencet, biasanya digunakan sebagai alat penunjuk waktu sholat pada masa lampau.

Terdapat juga koleksi sejumlah alat musik seperti Gamelan Singo Mengkok. Dinamai Singo Mengkok karena terdapat ukiran singo mengkok atau singa duduk. Pada zaman dulu, gamelan adalah perangkat penting untuk mendakwahkan Islam lewat pendekatan budaya.
Kesenian ini adalah sebuah akulturasi dari budaya Hindu, Buddha dan Islam, mengingat masyarakat sekitar dulu adalah pemeluk agama Hindu. Selain itu, terdapat juga kitab-kitab kuno yang ditulis di kulit sapi dan daun lontar yang berisi hikayat para nabi.
Benda antik lainnya adalah kain batik peninggalan Sunan Drajat. Motif batik Sunan Drajat terdiri atas bunga teratai, burung garuda, singa, mahkota dan kubah masjid. Sementara itu, kursi goyang yang digunakan istirahat Sunan Drajat terbuat dari bahan kayu jati, dan dibuat pada abad ke-14.
Dan, yang paling banyak menyedot perhatian di museum ini adalah bedhug. Bedhug ini dibuat oleh Pangeran Wonotirto, keturunan Sunan Drajat ke III sekitar abad ke-17.

Selain berfoto-foto, kita juga bisa menghabiskan waktu di museum dengan membaca buku yang sudah disediakan oleh Dinas Perpustakaan Lamongan. Untuk berkunjung ke musem sunan drajat, pengunjung tidak dikenakan biaya apapun, alias gratis!
Tiap hari museum ini selalu ramai dengan pengunjung, baik hari biasa maupun weekend.
Ayo! Ramaikan tempat budaya dan tradisi di Lamongan. Ajak teman-teman serta keluarga kalian untuk belajar dan mengenal bagian sejarah dari Lamongan.
Wasiat Sunan Drajat:
“Wenehono teken marang wong kang wutho”
“Wenehono mangan marang wong kang luwe”
“Wenehono Busono marang wong kang Mudha”
“Wenehono yupan marang wong kang kudhanan”
Mencari Jejak Joko Tingkir di Lamongan
Saat mendengar nama “Laskar Joko Tingkir” — julukan tim sepak bola Persela Lamongan — apa yang ada dibenak Anda? Ya, tentu Kota Lamongan. Cerita rakyat mengisahkan Joko Tingkir pernah singgah di salah satu desa di Kabupaten Lamongan tersebut, lebih tepatnya di Desa Pringgoboyo.
Sebenarnya banyak cerita yang berkembang tentang Joko Tingkir. Ada cerita yang menyatakan makam Joko Tingkir ada di Kompleks Pemakaman Butuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ada juga cerita bahwa makam tersebut ada di Dusun Dukoh, Desa Pringgoboyo, Maduran, Lamongan, Jawa Timur. Mana kisah yang paling benar? Wallahu A’lam.
Pada akhir September 2018, saya berkesempatan berkunjung ke tempat yang dipercayai warga sekitar sebagai pemakaman Mbah Anggungboyo atau Joko Tingkir di Lamongan. Saya bertemu juru kunci makamnya, Muslik. Ia sering menghabiskan waktunya di gubuk kecil dekat makam tersebut.
Ia bercerita panjang bahwa dulu seorang tokoh besar RI pernah berkunjung ke makam tersebut. Tokoh itu diantar oleh Yai Midkhol, kiai desa setempat, pada tahun 1996.
“Yai Midkhol bahkan sempat mendatangkan sejarawan dari luar negeri dan kerjasama dengan Pak Faried (Bupati Lamongan kala itu) untuk ngelacak kebenaran makam Joko Tingkir,” tuturnya.
Di sebelah makam tersebut terdapat pohon yang oleh warga sekitar disebut Dandu dan Pohon Asam yang begitu besar kurang lebih memiliki tinggi 50 meter dengan diameter kurang lebih 2 meter.
Rencananya akhir tahun 2018 dengan menggunakan uang Pemda, Bupati ingin makam Joko Tingkir dibuat untuk wisata religi.
ZIARAH WALI DI MAKAM AYAH SUNAN GIRI
Di pantai utara Lamongan, selain makam Sunan Drajat dan makam Sunan Sendang Duwur, juga terdapat makam yang dipercayai oleh masyarakat sekitar sebagai tempat bersemayamnya jasad Syekh Maulana Ishaq, ayah dari sunan Giri. Mari kita kunjungi.
—
Sebenarnya tak hanya di Lamongan, makam yang dipercayai sebagai “rumah terakhir” Syekh Maulana Ishaq juga bisa ditemui di banyak tempat. Beberapa di antaranya yakni di Gresik, Situbondo, Klaten, Bantul, Wonosobo, Pemalang, Banyumas, Cirebon, dan lain-lain. Namun, Di Lamongan, selain bisa belajar dari dongeng yang beredar di masyarakat, kita juga disuguhi dengan pemandangan nan elok di mata.
Lokasi makam Syekh Maulana Ishaq ini berada di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren, Kecamatan Paciran. Lokasinya tidak jauh dari makam Sunan Drajat, hanya sekitar 2 km sebelah Timur atau tak lebih dari 10 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Kita akan dibuat “adem panas” sesaat setelah sampai di area makam. Tentu, bukan adem panas dalam arti demam, maksud saya. Namun, adem karena sepoi angin dari laut yang menghampar di depan area makam. Dan panas karena daerah pesisir Lamongan memang memiliki suhu udara yang cukup untuk membuat Anda gerah, terlebih di siang hari.
Menurut legenda yang diceritakan oleh H. Askur, juru kunci makam, Syekh Maulana Ishaq sampai di Pesisir Lamongan setelah diusir dari kerajaan Blambangan. Sebelumnya, seperti cerita pada versi-versi lain, Syekh Maulana Ishaq menikah dengan anak Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, setelah berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja tersebut dari penyakit ganas yang diderita sekian lama.
Akhirnya Syekh Maulana Ishaq pun menikah dengan Dewi Sekardadu seperti yang sudah disayembarakan sang raja sebelumnya: bahwa jika yang dapat menyembuhkan adalah seorang perempuan, maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Sedangkan, jika laki-laki akan dinikahkan dengan putri cantik tesebut. Satu permintaan lain Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu disanggupi oleh sang raja, selain hadiah sayembara adalah agar ia diberikan kebebasan untuk siar agama Islam di wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan. Padahal, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang menganut ajaran Hindu.
Dua tahun berselang, saat Dewi Sekardadu sedang hamil muda (mengandung Sunan Giri), sang raja mulai gelisah. Ketidaksepahaman akan agama yang disiarkan menantunya, membuat ia ingkar akan janji yang pernah ia sepakati dulu. Imbasnya, Syekh Maulana Ishaq pun diusir dari kerajaan.
Sebelum pergi, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada istrinya. Jika suatu saat Dewi Sekardadu ingin menemuinya, ia harus berjalan menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebab Syekh Maulana Ishaq akan melanjutkan syiarnya di sekitar sana.
“Setelah menempuh perjalanan jauh, Dewi Sekardadu akhirnya bertemu dengan suaminya di desa ini,” tutur H Askur saat bercerita di makam Syekh Maulana Ishaq. Lanjut ia bercerita, setelah kembali berpisah dengan istri untuk melanjutkan syiar agama ke daerah lain, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada dua muridnya. Jika suatu saat ia meninggal dunia, ia ingin dimakamkan di tempat yang sama saat bertemu dengan Dewi Sekardadu dulu, yakni di desa yang saat ini bernama Desa Kemantren. Selain makam Syekh Maulana Ishaq, di tempat yang sama secara berdampingan juga terdapat makam dua murid ayah Sunan Giri tersebut.
Dekat dengan laut
Tidak ada peninggalan-peninggalan kuno pada makam yang dipugar tahun 2012 ini, kecuali makam itu sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan makam Sunan Drajad dan makam Sunan Sendang Duwur yang identik dengan batu-batu dan kayu bernilai historis tinggi. Bangunan utama makam Syekh Maulana Ishaq hanya berupa bangunan persegi dengan tiang-tiang beton tanpa dinding di tiga sisinya dan beratap genting, dengan alas karpet dan sajadah. Luas bangunan ini sekitar 100 m2. Mirip seperti bangunan sebuah pendopo.
Makam Syekh Maulana Ishaq sendiri ditutup dengan kelambu berwarna putih bersama makam dua muridnya. Untuk dapat melihat lebih dekat tiga makam ini, Anda harus menuruni beberapa anak tangga. Sebab makam-makam ini berada di tempat yang agak menjorok ke bawah. Selain bangunan utama, di area makam juga terdapat sebuah masjid, dan gedung Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) yang bangunannya masih belum rampung.
Terlepas dari dongeng yang ada, area sekitar makam juga memiliki pamandangan yang indah. Terlebih di sebelah utara. Dari makam, Anda hanya perlu berjalan sekitar 100 m melewati jalan yang terbuat dari batu kapur. Dari sana, jika melihat ke arah utara, Anda akan berhadapan langsung dengan laut yang terbentang luas. Sebenarnya dari makam pun laut sudah tampak jelas, sebab jaraknya memang cukup dekat. Sementara jika Anda beralih pandang ke selatan, akan terlihat tiga bangunan besar berdiri berdampingan (masjid, bangunan utama makam, dan gedung TPQ) dengan latar belakang pegunungan di Desa Drajat.
Menengok ke arah timur, Anda akan mendapati perahu-perahu para nelayan yang sedang diparkir. Jika beruntung, Anda bisa juga melihat nelayan menaiki perahu-perahu tersebut berangkat mencari ikan yang – mengutip sajak Zawawi Imron – kepergiannya setiap kali meninggalkan debur gelombang di laut dada isterinya. Jika Anda datang di waktu senja, matahari terbenam di balik rumah-rumah warga yang terletak di pinggir pantai dengan latar depan perahu-perahu nelayan juga sudah menunggu di arah barat. Tentu akan menambah suasana nyaman untuk melepas rasa lelah, bukan?
Apabila Anda ingin dapat suasana ramai di area makam ini, datanglah di akhir pekan – Sabtu dan Minggu. “Di hari-hari masuk kerja, di sini (makam Syekh Maulana Ishaq) relatif sepi. Pengunjung dari luar kota mungkin satu – dua orang saja, sisanya penduduk sekitar,” terang H Askur.
Anda bisa datang ke makam Syekh Maulana Ishaq di Lamongan ini dengan kendaraan umum maupun pribadi. Jika dengan kendaraan pribadi, Anda bisa langsung membawanya masuk ke area parkir. Namun untuk yang membawa mobil atau bus, perlu lebih berhati-hati. Sebab jalan masuk ke makam tidak begitu lebar. Jaraknya kira-kira 6 km sebelah timur WBL. Jika sudah sampai di Desa Kemantren, ada papan petunjuk di depan Jalan Maulana Ishaq, yang mengarahkan Anda ke makam.
Sementara jika naik angkutan umum, Anda bisa minta turun langsung di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren. Dari pertigaan desa tersebut, Anda tinggal berjalan 100 m ke arah utara. Seperti di tempat makam di Lamongan lainnya, untuk masuk Anda tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis tis tis!