OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Sejarah Soto Ayam Lamongan (1)

Di dalam semangkuk soto, ada sejarah panjang pertemuan aneka budaya, mulai dari Cina, Jawa, Belanda, hingga India. Begitu pula dengan soto ayam Lamongan.

Sebagian antropolog berpendapat, kata “soto” berasal dari bahasa Cina, cau-tu. Arti harfiahnya, sup rempah isi jeroan. Pada mulanya soto dibuat dari jeroan sapi, kerbau, atau babi. Makan jeroan adalah budaya kuliner Cina. Orang Eropa menganggap budaya ini menjijikkan karena menganggap jeroan adalah bagian hewan yang kotor, tidak sehat, dan harus dibuang.

Penjual soto zaman Belanda, sepertinya orang Madura.

Di tangan orang peranakan Cina, bagian hewan yang dibuang ini masih bisa diolah untuk dimakan. Pada zaman Belanda, daging sapi terlalu mahal untuk kebanyakan orang pribumi maupun orang keturunan Cina. Sampai sekarang, soto berbahan jeroan masih lestari, yaitu soto babat.

resep soto ayam lamongan
Soto babat RM Sedap

Resep sup jeroan ini kemudian diadopsi oleh kaum bangsawan pribumi dan orang Belanda tapi menggunakan daging sapi atau kerbau. Sampai sekarang soto kerbau masih lestari dan menjadi makanan khas Kudus, Jawa Tengah. Soto daging sapi bahkan masih banyak kita jumpai. Yang terkenal misalnya soto madura.

Soto kerbau Kudus Kedai Taman

Soto berbahan daging ayam diperkirakan muncul belakangan. Peperangan menyebabkan populasi sapi turun tapi populasi ayam tetap stabil karena ayam mudah dipiara. Soto ayam sebetulnya ada di mana-mana. Tapi soto ini menjadi maskot kuliner Lamongan karena kebetulan banyak orang Lamongan merantau dan berjualan soto ayam. Mereka inilah “Duta Soto”.

Munculnya Soto Ayam Lamongan

Soto Lamongan mulai terkenal sekitar tahun 1980 sampai 1990-an. Pada awalnya perantau Lamongan bekerja macam-macam. Ternyata mereka yang berjualan soto cepat bisa membangun rumah. Berita tentang parantau yang cepat kaya ini biasanya menyebar saat mudik Lebaran. Setelah Lebaran usai, mereka yang capek bertani di desa ikut ke Jakarta dan kota-kota lain untuk berjualan soto ayam.

Sejak itu penjual soto Lamongan membludak. Lebih-lebih sejak perantau ilegal di Malaysia banyak yang pulang kampung karena aturan yang semakin ketat.

Pengaruh kuliner Cina peranakan di resep soto ayam Lamongan masih bisa kita lihat dengan jelas sampai sekarang, misalnya pemakain soun, kecap, dan tauge. Tidak diragukan lagi, kecap dan soun adalah makanan yang diperkenalkan oleh orang peranakan Cina. 

Adapun pemakaian kunyit, jahe, lengkuas, serai, dan daun salam adalah tradisi kuliner Jawa yang tampaknya mendapat pengaruh dari India. Sementara jejak kuliner Eropa masih bisa kita lihat dari pemakaian ketumbar, merica, seledri, dan kubis.

Soto Lamongan H Abdul Aziz Tenggarong, Kalimantan Timur

Pengaruh Lamongan bisa kita lihat dari pemakaian ikan bandeng untuk menambah gurih kuahnya. Ini khas soto Lamongan sebagai daerah penghasil bandeng. Penggunaan bubuk koya yang berbahan kerupuk udang kelihatannya tidak hanya khas Lamongan melainkan pesisir utara Jawa Timur secara umum yang memang terkenal sebagai produsen udang.

Pada awalnya penggunaan koya tampaknya untuk menyiasati adanya sisa kerupuk udang yang tidak utuh dan tidak bisa dijual atau dihidangkan. Kita tahu, kerupuk udang bentuknya lebar. Kalau patah, masuk plastik afkir.

Lamongan sendiri selama ini bukanlah penghasil kerupuk udang yang terkenal. Merek-merek yang terkenal berasal dari Tuban dan Sidoarjo.

Soto ayam Lamongan, terutama di perantauan, selama ini terkenal dengan kuahnya yang pekat dan berminyak. Sebetulnya ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan penjual soto di perantauan. Soto Lamongan asalnya tidak begitu pekat minyaknya. Ini bisa kita lihat di soto-soto rumahan kalau ada yang punya hajat. 

soto ayam lamongan
Soto Lamongan Cak Man Cibubur

Soto ayam Lamongan yang otentik berbahan ayam kampung. Ayam jenis ini dagingnya sedikit, teksturnya alot, proteinnya tinggi, lemaknya sedikit. Maklum, karena ayam kampung banyak tingkah, pethakilan, makanannya juga macam-macam, suka mencuri biji padi dan jagung milik tetangga.

Sehingga, kuah soto ayam Lamongan yang otentik sebetulnya tidak banyak berminyak. Dagingnya alot, nggarai sliliten. Kulitnya bahkan seperti sandal. Dicokot, mendal. Tapi memang itulah soto yang otentik. Kuahnya encer, rasanya segar, enak di-uyup, tidak enek. Dagingnya tidak banyak karena satu ekor ayam biasanya dibagi untuk banyak orang. 

Tapi ayam kampung sekarang harganya mahal. Penjual soto bisa tekor kalau harus pakai ayam kampung. Mereka menyiasati dengan menggunakan ayam ternak yang harganya lebih murah, dagingnya lebih banyak, lemaknya juga lebih banyak, teksturnya lebih empuk. Hasilnya adalah soto yang berminyak. Apalagi jika bumbunya digongso dengan banyak minyak. Bisa sampai klembak-klembak.

Bahan bacaan:

https://journalofethnicfoods.biomedcentral.com/articles/10.1186/s42779-020-00067-z

BERITA

Sejarah Orang Cina di Lamongan

Warga Desa Sukosongo, Kembangbahu, Lamongan baru saja dibuat heboh dengan penemuan uang koin kuno. Uang-uang koin itu bertuliskan huruf Cina. Dari foto yang dimuat di media-media online, tampaknya uang koin itu ada yang berasal dari masa Dinasti Song. Dugaan ini berdasarkan bentuk tulisan di uang koin itu.

Dinasti Song berkuasa sebelum masa Kubilai Khan, pendiri Dinasti Yuan. Cucu Jengis Khan ini pernah mengirim utusan ke Singasari pada masa Raja Kertanegara. Utusan ini dikirim untuk membawa pesan agar Singasari tunduk dan membayar upeti kepada Kubilai Khan.

Namun, Kertanegara menolak tunduk. Ia bahkan memotong telinga utusan itu dan menyuruhnya pulang ke Cina. Aksi potong telinga ini adalah pesan tegas: Jawa tak mau tunduk kepada Cina. 

Semprul matamu picek! Enak wae njaluk upeti. Memange sopo kowe? Kira-kira begitu pesannya. 

Mendapati utusannya dipotong telinganya, Kubilai Khan murka. Sia Lan Kowe Olang! Belani-belaninya sama owe. Situ gak tahu siapa owe hah? Owe cucunya Jengis Khan hah!”

Maka ia pun mengirim belasan ribu tentara ke Jawa. Pasukan ini mendarat di Tuban dan Sedayu. Ada  ahli sejarah yang bilang, Sedayu ini adalah Sedayu Gresik, ada yang bilang Sedayulawas Brondong

Pada masa itu, butuh waktu berbulan-bulan bagi utusan yang dipotong telinganya itu untuk pulang ke Cina. Armada tempur juga butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke Jawa. Sehingga ketika pasukan bersenjata ini sampai di Jawa, mereka tidak tahu bahwa Kertanegara sudah dibunuh pemberontak. Singasari sudah terbelah menjadi dua kubu, kubu Jayakatwang dan kubu Raden Wijaya, menantu Kertanegara. 

Ketidaktahuan pasuka Cina terhadap politik lokal dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Ia menemui mereka dan berjanji akan tunduk kepada Kubilai Khan. Syaratnya, mereka harus membantunya mengalahkan Jayakatwang. Permintaan ini dipenuhi.

Pasukan Kubilai Khan pun membantunya mengalahkan Jayakatwang. Di saat tentara Cina sudah berkurang dan kecapekan, Raden Wijaya mengajak mereka untuk mengambil hadiah upeti buat Kubilai Khan. Tapi ini hanya tipuan. Di saat pasuka Cina lengah, mereka disergap oleh tentara Raden Wijaya.

Mereka kocar-kacir, ribuan orang mati. Sisanya yang masih hidup pulang lintang pukang dengan menanggung malu. Sementara Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit.

Entah uang kepeng di Kembangahu itu terkait dengan peristiwa ini atau tidak, yang pasti orang Cina memang sudah berinteraksi dengan orang Jawa, termasuk Lamongan, jauh sebelum orang-orang Portugis dan Belanda datang. 

Bahkan sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa yang berperan besar menyebarkan Islam ke Pulau Jawa adalah orang-orang Cina Muslim. Salah satu yang terkenal adalah rombongan Muslim di ekspedisi Laksamana Cheng Ho, yang juga pernah mampir ke Tuban.

Teori ini sebetulnya masuk akal mengingat Cina adalah bangsa yang sangat besar, mencakup wilayah yang sangat luas. Wilayah Cina yang berbatasan dengan Afghanistan, yang sekarang masuk Xinjiang, sudah mengenal Islam jauh lebih dulu daripada orang Nusantara.

Salah satu wilayah Lamongan yang banyak didiami orang Cina adalah Babat. Pada masa Belanda, Babat adalah poros ekonomi paling maju di Lamongan. Di sini mereka pada umumnya berdagang. Pada zaman Belanda, mereka menguasai perdagangan tembakau yang saat itu dihasilkan di wilayah pertanian di sekitar Babat. Salah satu dari mereka, Loe Soe Siang, memilih berjualan wingko. 

Usaha wingko ini diteruskan oleh dua anaknya. Di tangan anak laki-lakinya yang bernama Loe Lan Ing, wingko ini menjadi terkenal sampai sekarang. Sementara anak perempuannya, Loe Lan Hwa, pindah ke Semarang dan mendirikan usaha wingko di sana dengan merek Wingko Cap Sepoor, yang kemudian terkenal sebagai Wingko Babat Semarang. 

Ketika Gestapu meletus, sebagian orang keturunan Cina di Lamongan memilih pindah ke Surabaya. Sebab pada masa itu, hubungan mereka dengan orang pribumi rusak gara-gara Gestapu. Negara Cina dituduh mendalangi peristiwa ini. 

Ini sebetulnya prasangka yang tidak logis sebab orang-orang keturunan Cina di Indonesia ini tak punya sangkut paut dengan kebijakan Negara Cina. Mereka pindah ke Surabaya karena komunitas keturunan Cina di kota ini lebih banyak sehingga memberi rasa aman.

Sampai sekarang masih ada jejak makam orang-orang keturunan Cina generasi awal di Gunung Pegat, selatan Babat. Anda bisa simak videonya di Channel Youtube Yulius Kurniawan Kristianto, peneliti sejarah yang juga keturunan Cina Babat. Ia menyebut dirinya “Cireng” (Cina Ireng) karena hobinya ngeluyur berburu situs sejarah. 

*) Foto-foto hanya ilustrasi, koleksi Universitas Leiden

Bahan Bacaan:

http://lailahistoria-fib11.web.unair.ac.id/ 

https://www.researchgate.net/

SEJARAH

Sejarah Desa Sedayulawas-Brondong Lamongan

Walaupun kini hanya berupa sebuah desa kecil, Sedayulawas menyimpan sejarah kejayaan pesisir Lamongan di masa lalu. 

Pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit, pelabuhan Sedayu (Sidayu) adalah jalur ekspedisi penting di Nusantara. Ketika Kubilai Khan mengirim tentara untuk menyerang Kerajaan Singasari, pasukan Mongol diperkirakan mendarat di wilayah Tuban dan Sedayu.

Nama Sidayu diduga berasal dari kata “si-dayuh” yang berarti “tempat istirahat orang asing” karena pada masa itu tempat ini adalah pelabuhan besar. Status kota pelabuhan besar bertahan melewati era Kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, hingga Mataram. 

Dermaga Sedayu. Foto: Khai Rani

Namun status pelabuhan besar Sedayu sedikit demi sedikit surut. Pada saat yang sama, Sedayu yang berada di wilayah Gresik berkembang pesat menjadi kota kadipaten yang maju hingga punya gedung pemerintahan dan alun-alun yang masih bisa kita lihat wujudnya sampai sekarang. 

Sejak itu nama Sedayu identik dengan Sedayu Gresik. Untuk membedakan keduanya, Sedayu Lamongan disebut dengan Sedayu Lawas. Mirip jembatan Babat peninggalan Belanda yang kemudian disebut cincim lawas. 

Pada masa lalu, wilayah kecamatan Brondong dan Paciran barat masuk Kadipaten Tuban. Sementara Paciran timur masuk Kadipaten Sedayu Gresik.

Sedayulawas saat ini adalah bagian dari Kecamatan Brondong. Tapi sebetulnya cikal bakal Brondong berasal dari Sedayu. 

Dermaga Sedayulawas. Foto: Kawat Gigi

Pada saat Mataram dipimpin oleh Sultan Agung, pelabuhan Sedayu dipimpin oleh syahbandar bernama Ki Gedhe Buyut, yang juga dikenal sebagai Mbah Buyut Sentono. Ketika meninggal, ia dimakamkan di tempat yang sekarang ada di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono Brondong. 

Sepeninggal Mbah Buyut Sentono, yang menjadi syahbandar adalah adiknya yang bernama Ki Lanang Dangiran, yang punya nama lain Joko Brondong. 

Mbah Buyut Sentono dan Joko Brondong inilah leluhur orang Brondong-Sedayu. Kata “brondong” dalam bahasa Jawa berarti biji jagung matang. Bukan “laki-laki muda” sebagaimana makna lazim sekarang. 

Menurut legenda, Joko Brondong memperoleh julukan ini karena ia lama bertapa di laut, sampai tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong.

Pada masa Joko Brondong inilah pelabuhan ikan Brondong mulai dibangun. Pelan-pelan, bersamaan dengan surutnya pamor pelabuhan Sedayu, pelabuhan perikanan Brondong terus membesar sampai akhirnya menjadi pelabuhan nasional. 

Pada saat kapal Van Der Wijck tenggelam, pelabuhan ini terkenal seantero dunia karena menjadi tempat penyelamatan penumpang kapal. Sebagian besar penumpang kapal Belanda itu diselamatkan oleh nelayan Brondong dan Blimbing yang sehari-harinya berlabuh di sini. 

Warga setempat sekarang menyebut pelabuhan Brondong ini “boom lawas” karena saat ini semua aktivitas perikanan sudah dipindah ke pelabuhan baru yang lebih megah di sebelahnya. Pelabuhan baru ini disebut oleh warga setempat sebagai “boom anyar”.

Demikianlah, sebagaimana air laut, semua yang pasang akan surut, yang kecil akan tumbuh menjadi besar, yang baru akan menjadi lawas, semua silih berganti.

Bahan bacaan: 

http://repository.unair.ac.id/93702/2/21%20Sejarah%20Lamongan%20Fulltext.pdf 

https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/download/546/361/1319

SEJARAH

Sejarah Perahu Baja di Bengawan Solo Karanggeneng

Pada akhir musim kemarau tahun 2019 lalu warga Lamongan dihebohkan oleh penemuan tiga bangkai perahu baja di Bengawan Solo, di Desa Mertani, Kecamatan Karanggeneng. Hingga hari ini kita baru bisa menduga-duga sejarah perahu itu.

Kita memang punya masalah dalam dokumentasi sejarah. Namun, ada beberapa petunjuk yang bisa digunakan untuk menyusun kepingan sejarah perahu itu.

  • Perahu baja buatan Amerika

Perahu ini bukan buatan Belanda atau Jepang melainkan Amerika Serikat. Ini ditunjukkan oleh adanya cetakan logo MEB di badan perahu. Arkeolog Wicaksono Dwi Nugroho meyakini, logo MEB ini milik Marine Expeditionary Brigade, satuan marinir Amerika Serikat.

Wicaksono menduga, peristiwa tenggelamnya perahu ini terjadi ketika tentara Sekutu mendarat di Jawa Timur tahun 1945, untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang.

Ini salah satu teori.

LamonganPos punya teori lain (Ampuuun, Pak Wicaksono!) Bisa jadi perahu itu tak ada hubungannya dengan tentara Sekutu, melainkan memang dipakai tentara Belanda.

Sebab selama agresi militer Belanda banyak menggunakan alat tempur buatan Amerika. Bantuan Amerika ini adalah bagian dari paket Marshall Plan yang diberikan kepada negara-negara yang terdampak PD II.

Pertanyaanya, ngapain Belanda di Karanggeneng?

  • Mungkin terkait agresi militer 1948

Sebagai gambaran utuh, mari kita lihat peristiwa agresi militer Belanda tahun 1948. Pada tanggal  18 dan 19 Desember pasukan marinir Belanda mendarat di Glondong, Jenu, Tuban. Mereka memulai operasi militer yang diberi sandi “Burung Camar”.

Foto nomor 1 dan 2 adalah pendaratan marinir Belanda di Jenu dari koleksi Sjilvends.nl/

Dari Jenu, marinir Belanda berpencar. Sebagian ke arah Jawa Tengah, sebagian ke Tuban kota lalu ke Babat lewat Cincim Lawas.

Marinir Belanda di Cincim Lawas, Babat.

Setelah menguasai Babat, mereka tidak langsung menyerang Lamongan lewat Pucuk-Sukodadi, melainkan bergerak ke Ngimbang dan Mantup.

Marinir Belanda di Ngimbang.

Dari Mantup, mereka baru menyerbu Lamongan lewat Tikung. Dari Lamongan, mereka bergerak ke Sukodadi dan Karanggeneng. Rute serangan yang sulit ditebak. Tampaknya untuk mengecoh TNI.

Marinir Belanda di Mantup, menuju ke Lamongan.

Jadi, mungkin perahu baja ini bagian dari pasukan yang dikirim ke Karanggeneng pada Operasi Burung Camar itu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana perahu itu bisa tenggelam?

  • Mungkin tenggelam akibat baku tembak

Di lokasi penggalian ditemukan juga peluru. Beberapa media melaporkan, salah satu perahu ada bagian yang rusak seperti bekas tembakan. Mungkin saat itu ada baku tembak yang menyebabkan perahu itu tenggelam. Apalagi menurut cerita turun-temurun di kalangan warga setempat, dulu di tempat ini pernah ada baku tembak di zaman Belanda.

Di video amatir di Youtube di bawah, menit 2.05 tampak ada bagian perahu yang bolong bundar simetris. Mungkin bekas ditembus peluru lalu lubangnya melebar karena karat. Tapi ini hanya spekulasi yang sulit dipastikan.

  • Perahu multifungsi

Ada tiga buah perahu yang ditemukan di sini. Dua perahu disambung jadi satu di bagian buritan yang memang punya pengait. Dilihat dari bentuknya, perahu ini adalah perahu serbu (assault boat).

Perahu serbu ini multifungsi. Bisa untuk menyeberangkan tentara seperti ilustrasi nomor 4. Ini bukan foto tentara Belanda di Karanggeneng melainkan foto tentara Amerika di Eropa saat PD II melawan Jerman.

Kalau 6 buah perahu dikaitkan satu sama lain, fungsinya seperti rakit yang bisa mengangkut satu buah mobil.

Kalau beberapa puluh perahu dijajar, fungsinya seperti jembatan apung (pontoon bridge) yang bisa dilewati oleh kendaraan perang dalam jumlah banyak seperti ilustrasi nomor 5.

Tapi  tampaknya di Karanggeneng ini armada marinir Belanda tidak begitu banyak karena sebagian besar wilayah Lamongan saat itu praktis sudah mereka kuasai. Mereka ke Karanggeneng hanya untuk berpatroli.

Foto nomor 6 dibuat sebelum tahun 1920. Universitas Leiden memberi keterangan foto ini “Bengawan Solo Karanggeneng Jawa Tengah”. Tapi desa-desa bernama Karanggeneng di Jawa Tengah tidak memiliki jembatan penyeberangan melintasi Bengawan Solo. Jadi kemungkinan ini adalah Karanggeneng Lamongan.

Dari foto ini tampak jelas bahwa “tambangan” Karanggeneng sudah biasa dipakai Belanda untuk menyeberangkan kendaraan.

Jika Anda punya informasi atau analisis lain, silakan sampaikan di kolom komentar atau sampaikan lewat email redaksi@lamonganpos.com

SEJARAH

Lele Lamongan, Ikan Keramat Pembawa Selamat

Ikan lele adalah hewan bertuah bagi orang Lamongan. Ikan ini, bersama bandeng, menjadi lambang Kabupaten Lamongan. Para perantau Lamongan terkenal sebagai penjual pecel lele di mana-mana, bahkan sampai di Bulan hehe…

Foto: @Trida_dha

Bagi sebagian orang Lamongan, ikan lele adalah hewan dengan kasta tertinggi, mirip sapi bagi orang Hindu. Saya punya beberapa kawan orang asli Lamongan yang pantang makan lele. Turun temurun sejak zaman kakek-buyutnya. Mirip orang Hindu yang tak makan daging sapi.

Bupati Fadeli juga termasuk yang punya pantangan ini. Di acara “1.000 Penyet Lele Massal” Juli 2019, Fadeli mengaku terus terang tak mau makan lele. “Karena saya orang Lamongan asli, pantang makan lele. Sambele tak pangan, tapi iwake sampeyan sing mangan,” katanya.

Beda dengan orang Hindu yang tak makan daging sapi karena agama, pantangan makan lele bagi wong Lamongan erat kaitannya dengan cerita rakyat atau folklor. Salah satu versi dongeng yang terkenal menceritakan:

Alkisah, Sunan Giri bertamu di rumah Mbok Rondo Barang di wilayah Karangbinangun, Lamongan. Ketika ia pulang, di tengah jalan ia menyadari kerisnya tertinggal di rumah Mbok Rondo. Ia pun meminta salah satu orang kepercayaannya, Ki Bayapati, untuk mengambil pusaka itu. Ki Bayapati pun datang ke rumah Mbok Rondo untuk mengambilnya. Tapi, ia keburu dikira mau mencuri pusaka itu sehingga ia dikejar-kejar oleh warga.

Untuk menghindari amukan massa, ia melarikan diri dan melompat ke dalam kolam yang berisi banyak ikan lele di daerah Glagah. Di kolam ini ia selamat dari kejaran warga.

Karena merasa diselamatkan oleh lele-lele itu, Ki Bayapati bersumpah, ia dan anak-turunnya tidak akan makan ikan lele.

Cerita Ki Bayapati ini memang hanya dongeng, tapi di Lamongan ada prasasti yang menyatakan bahwa orang Lamongan zaman dulu memang menyucikan ikan. Prasasti itu diperkirakan berasal dari era Raja Majapahit Jayanegara sekitar abad ke-14.

Foto:dennycaturprabowo

Isi prasasti itu, yang dituliskan kembali oleh Muhammad Yamin dalam Buku “Tata Negara Majapahit Parwa I & II” (1962), menuliskan: “… pamūjā hyang iwak, sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri Çrī Mahārāja..”

Artinya kurang lebih: … pemujaan [kepada] hyang iwak, pemujaan yang tiada hentinya sebagai tanda setia kepada maharaja…”.

Peneliti sejarah menduga, ikan suci yang dimaksud dalam prasasti itu ada kaitannya dengan ikan lele.

Menurut Denny Catur Prabowo, peneliti sejarah Lamongan, pemujaan kepada ‘hyang iwak’ ini karena masyarakat Lamongan zaman dulu hidupnya bergantung pada sungai, yaitu Bengawan Solo dan anak sungainya, Bengawan Jero, serta Kali Brantas. Mungkin mirip pemujaan kepada Dewi Sri (Dewi Kesuburan) di masyarakat petani.

Di luar kepercayaan itu, makan atau berpantang ikan lele lebih merupakan pilihan pribadi. Saya sendiri asli cah Laren, pinggiran Bengawan Solo, tapi senang makan lele. Dibotok atau digoreng sama enaknya. Apalagi lele adalah salah satu ikan yang kaya protein, asam lemak omega 3, omega 6, vitamin, dan gizi lain.

Berpantang atau tidak, lele tetap hewan keramat bagi orang Lamongan. Dulu lele menyelamatkan hidup Ki Bayapati. Sekarang lele menghidupi para perantau Lamongan. Kekeramatan yang sama, hanya beda bentuknya.

MEGILAN

Jejak Gus Dur di Makam Joko Tingkir Lamongan

Orang Lamongan sekarang punya masjid baru di Plosowahyu, Lamongan Kota, yang diberi nama Masjid Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid.

Lamongan memang bukan kabupaten yang sangat penting bagi manusia langka asal Jombang ini. Namun, di sini ada jejak Gus Dur yang tak mungkin dihapus.

Semasa hidupnya, Gus Dur, sebagaimana orang NU pada umumnya, punya kebiasaan ziarah ke makam. Secara kocak ia bahkan dijuluki sebagai “arkeolog makam”.

Salah satu makam penting yang beberapa kali dia kunjungi adalah makam Mbah Anggungboyo di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran. Makam ini ia yakini sebagai petilasan Joko Tingkir.

(Petilasan tidak selalu berarti kuburan fisik, bisa jadi tempat penting yang pernah ditinggali.)

Joko Tingkir adalah nama muda Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang. Menurut dongeng, Joko Tingkir bertapa di Desa Pringgoboyo ini sebelum pergi ke Demak dan kemudian menjadi Sultan Pajang di Surakarta.

Setelah Pajang dikalahkan Mataram, masih menurut dongeng ini, ia menghabiskan masa tuanya di tempat ini.

Sebelum Gus Dur mengunjungi makam ini, yang diyakini sebagai makam Joko Tingkir hanya  kuburan di Sragen, Jawa Tengah. Dibanding Lamongan, Sragen jelas jauh lebih dekat dengan pusat Kerajaan Pajang di Surakarta (Solo).

Lamongan dengan Surakarta memang dihubungkan oleh “jalan tol” Bengawan Solo. Tapi ilmu sejarah jelas tidak semudah utak-atik-matuk. Sejauh ini memang tidak ada prasasti atau catatan sejarah yang bisa digunakan untuk memverifikasi teori Gus Dur.

Tapi pendapat Gus Dur ini sudah kadung diyakini oleh orang Lamongan. Bupati Masfuk pada saat memimpin Persela bahkan menjadikannya sebagai dasar untuk menyebut Persela “Laskar Joko Tingkir”.

Spirit Joko Tingkir memang sangat sesuai dengan dunia sepakbola. Seperti trengginasnya Joko Tingkir muda saat menundukkan banteng dan buaya yang sedang mengamuk.

Yang menarik, Gus Dur mengunjungi makam ini pada 12 Mei 1999. Enam bulan setelah itu, ia diangkat menjadi Presiden RI. Mirip dengan dongeng Joko Tingkir yang bertapa di sini lalu menjadi Sultan Pajang.

Bahkan cerita di akhir kekuasaan Gus Dur juga mirip dengan Joko Tingkir. Ia dijatuhkan oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya menjadi presiden.

Ketika ia sudah tidak menjadi presiden, partai yang ia dirikan pun direbut oleh murid-murid politiknya sendiri. Persis seperti Joko Tingkir yang kerajaannya dihancurkan oleh anak angkatnya sendiri, yaitu Sutawijaya, pendiri Kesultanan Mataram.

Foto Gus Dur di atas berasal dari kanal Youtube Kiai Abdul Ghofur, pengasuh Ponpes Sunan Drajat. Mungkin ini adalah foto Gus Dur saat berkunjung ke Lamongan sebelum menjadi presiden. Yang menemani Gus Dur di depan itu adalah Kiai Ghofur muda. Keduanya masih langsing.

Rekaman ceramah Gus Dur tentang petilasan Joko Tingkir dimuat di Youtube GUDFAN CHANNEL. Untuk mendengarkan, klik tanda PLAY di bawah.

SEJARAH

Foto & Rekonstruksi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Bupati Lamongan Yuhronur Efendi berencana akan “menghidupkan” kembali kapal Van der Wijck yang tenggelam di perairan Brondong tahun 1936. Entah bangkainya diangkat atau dijadikan wisata bawah air.

Selama ini peristiwa tenggelamnya kapal Van der Wijck lebih banyak kita ingat sebagai kisah cinta gara-gara novel Hamka dan film yang dibintangi oleh Dik Pevita. Padahal sebetulnya peristiwa ini adalah kisah kemanusiaan dan heroisme dengan tokoh utamanya adalah para nelayan Brondong, Blimbing, dan sekitarnya.

Kapal Van Der  Wijck dibuat di Rotterdam, Belanda, tahun 1921. Nama Van der Wijck berasal dari nama salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapal itu tenggelam pada saat berumur 15 tahun. Belum terlalu tua untuk ukuran kapal kargo pada masa itu.

Bulan Oktober tahun 1936, Van der Wijck berlayar dengan rute Bali-Surabaya-Semarang-Batavia- Palembang lewat Laut Jawa.

Penumpang hendak naik kapal Van der Wijck saat bersandar di Semarang.

Tanggal 19 Oktober kapal berangkat dari Tanjung Perak Surabaya pukul sembilan malam. Membawa lebih dari 260 penumpang, campuran orang Eropa dan orang pribumi.

Muatan utamanya adalah buah-buahan dari Bali. Supaya buah tidak lekas busuk, beberapa jendela (porthole) di kanan kiri lambung kapal dibuka.

Pukul satu dini hari tanggal 20, kapal mengirimkan sinyal SOS ke Surabaya. Kapal miring. Tapi tidak ada informasi titik koordinatnya. Dihitung dari kecepatan rata-ratanya, kapal diperkirakan berada di wilayah perairan Lamongan.

Tapi yang aneh, kapal lain milik Belanda yang sedang berada di perairan itu, Plancius, tidak menerima sinyal radio SOS dari Van der Wijck.

Beberapa jam kemudian, sembilan pesawat Dornier dikirim ke lokasi. Dornier adalah pesawat amfibi yang bisa mendarat dan lepas landas di laut. Pesawat berangkat dari pangkalan militer Belanda di Morokembangan Surabaya.

Di sana mereka menemukan satu sekoci yang terombang-ambing di tengah laut, penuh sesak oleh 50-an orang. Padahal di kapal itu ada delapan sekoci.

Itu menunjukkan bahwa kapal tenggelam dalam tempo yang sangat cepat sehingga mereka tidak sempat menurunkan sekoci.  

Ketika matahari sudah terbit, Brondong dan Blimbing gempar. Para nelayan yang biasanya pulang membawa ikan, pagi itu pulang membawa 140 orang yang habis tenggelam. Jumlah penumpang yang diselamatkan oleh nelayan itu lebih banyak daripada yang bisa diselamatkan oleh tim penyelamat Belanda.

Koran Belanda bahkan masih mendokumentasikan nama-nama nelayan yang menjadi pahlawan di tragedi ini. Kaslibin, nelayan Blimbing, berhasil menyelamatkan 53 orang. Modwie (Matuwi) menyelamatkan 32 orang. Troenoredjo menyelamatkan 22 orang. Sratit (Sratip) menyelamatkan 21 orang. Mardjiki (Mardjuki) menyelamatkan 17 orang. Nama-nama para nelayan ini juga disebut di novel Hamka.

Kapten kapal, Akkerman, juga berhasil diselamatkan nelayan sekitar pukul tujuh pagi. Ia hanya mengenakan baju tidur. Dari pakaian yang dikenakan kapten kapal ini jelas bahwa kapal Van der Wijck tenggelam mendadak tanpa tanda-tanda.

Sebagian penumpang pribumi yang diselamatkan nelayan.

Ada sekitar 55 orang yang tidak diketahui nasibnya. Tapi jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari itu sebab banyak penumpang pribumi yang tidak terdata. Diduga mereka berada di bawah geladak dan ikut tenggelam bersama badan kapal seberat 2.500 ton sepanjang hampir 100 meter itu.

Ada banyak teori dan spekulasi mengenai penyebab tenggelamnya kapal ini. Misalnya, kapal kelebihan muatan dan lubang jendela kapal terbuka. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan proses tenggelamnya yang begitu cepat, hanya sekitar lima menit. Apalagi saat itu tidak ada badai.

Monumen yang Berfungsi Sebagai Mercusuar

Sebagai bentuk terima kasih kepada para nelayan itu, Belanda memberi imbalan berupa uang 3.000 gulden dan sembilan buah perahu. Uang tersebut pada masa itu nilanya kira-kira setara dengan seperempat miliar zaman sekarang. Setelah menerima imbalan ini, nelayan melakukan slametan.

Belanda juga membangun monumen di pelabuhan Brondong bertuliskan, “Tanda peringatan kepada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnya kapal Van der Wijck. Dd. 19/20 October 1936.”

Monumen ini sebetulnya adalah mercusuar kecil. Bagian atapnya datar. Lampu minyak ditaruh di bagian atap ini, berfungsi sebagai pedoman arah bagi para nelayan di laut.

Mercusuar ini dibangun atas permintaan nelayan Brondong. Mereka memintanya karena saat pulang dari berlayar, mereka biasanya berpatokan pada mercusuar Tuban. Setelah hampir mencapai pantai, mereka baru bergerak ke timur ke arah Brondong. Dengan mercusuar di Brondong itu mereka berharap bisa menghemat waktu.

Beberapa ratus meter dari monumen ini, di laut juga dibangun mercusuar kecil. Adanya dua lampu ini untuk memudahkan navigasi bagi nelayan.

Foto: FB Kabar Blimbing

Sekarang monumen ini masih tegak seperti aslinya tapi tenggelam oleh bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bahkan orang Brondong sendiri zaman sekarang tidak begitu perhatian kepada monumen ini. Apalagi tahu fungsi aslinya sebagai mercusuar.

Sekarang lokasi pelabuhan ini sudah pindah ke barat, ke Boom Anyar. Jika kapal ini kelak bisa dihidupkan lagi, dua mercusuar ini juga patut dihidupkan kembali sebagai bagian dari ziarah masa lalu.

SEJARAH

Video & Foto Banjir Lamongan Zaman Dulu

Sejak dulu Lamongan adalah wilayah langganan banjir besar. Sebelum ada sudetan Sedayu Lawas, Kecamatan Laren nyaris setiap tahun dilanda banjir. Banjir tidak cuma dalam hitungan beberapa minggu tapi sampai beberapa bulan, bahkan sampai akhir musim penghujan.

Selama banjir, moda transportasi andalan adalah prau ethek (perahu mesin). Banjir menenggelamkan tambak dan sawah di puluhan desa. Kalau sedang banjir, para petani padi beralih profesi mencari ikan. Di sawah yang kebanjiran, mereka sering mendapatkan ikan besar-besar yang melarikan diri dari tambak yang tenggelam.

Bagi orang dewasa, banjir adalah bencana. Tapi bagi anak-anak, itu serupa hari raya. Mereka libur sekolah. Setiap hari bluron, bermain sampan gedebok pisang, dan mancing ikan.

Salah satu banjir parah pernah melanda Desa Pangkatrejo dan Parengan tahun 1994, yang dulu masih masuk wilayah Kecamatan Sekaran. Kebetulan dua desa ini posisinya lebih rendah daripada permukaan air pasang Bengawan Solo dan diapit tanggul kiri kanan. Maka ketika tanggul Bengawan jebol, dua desa ini seperti perahu yang tenggelam.

pangkatrejo.blogspot.com

Air nyaris mencapai atap rumah. Orang-orang Laren yang hendak ke Pucuk harus naik perahu melewati Pangkatrejo dan Parengan.

Jalan Raya Laren-Gampang tenggelam. Mereka yang berani melewatinya harus berhadapan dengan resiko hanyut ke Bengawan karena aliran bah sangat deras.

pangkatrejo.blogspot.com

Jauh sebelum itu, Lamongan pernah dilanda banjir besar pada tahun 1966. Bencana ini diawali oleh jebolnya tanggul di Desa Truni, Babat sehingga ada yang menyebutnya “Banjir Truni”. Ini banjir besar karena secara bersamaan melanda Kecamatan Babat, Pucuk, Karangbinangun, Laren, Karanggeneng, Glagah, bahkan hampir masuk ke Lamongan Kota.

Kereta api di Babat sampai berhenti beroperasi. Orang-orang Laren sampai mengungsi ke utara ke Kecamatan Brondong dan Paciran.

Di Facebook ada yang membagikan video banjir besar waktu itu. Tapi kami belum bisa memverifikasi apakah benar ini banjir besar di Lamongan tahun 1966. Mungkin ada yang bisa membantu? Atau punya foto banjir zaman dulu?

Lintang Panjerino.
SEJARAH

Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian VI: Makam Sunan Drajat

Seri foto-foto lawas kali ini kita tutup dengan foto-foto makam Sunan Drajat. Kapan-kapan insyaallah akan kita sambung lagi.

Foto-foto berikut ini didokumentasikan oleh Belanda tahun 1941. Detail sekali. Semua bagian didokumentasikan. Inilah ketekunan dan ketelitian orang Belanda. Bahkan bagian pojok langit-langit dan pasak tiang pun  difoto.

Jumlah foto aslinya sekitar seratus. Tapi di sini kami hanya menampilkan beberapa puluh saja.

Sunan Drajat selama ini lebih banyak kita kenal seperti siluet saja. Kita hanya tahu dia tokoh besar di zamannya. Kita mengunjungi makamnya agar kecipratan karomahnya. Tapi hanya sedikit saja yang secara serius menelaah dakwahnya.

Sunan Drajat adalah seorang pujangga dan seniman. Dia terkenal dengan wejangannya, “Wenehono teken marang wong kang wuto”. Berilah tongkat pada orang yang buta… dst.

Di samping wejangan legendaris ini, Sunan Drajat sebetulnya juga menulis sebuah karya penting, yaitu Layang Anbiya (Kisah Para Nabi). Naskah aslinya masih tersimpan di Museum Sunan Drajat di kompleks makam.

Kisah para nabi ini ditulis dalam bahasa Jawa, beraksara Arab. Dibacakan Sunan Drajat dalam bentuk tembang Jawa dengan iringan gamelan sehingga orang-orang Pantura yang saat itu beragama Hindu tertarik mengikuti dakwahnya.

Kita bisa membayangkan orang-orang dari Solokuro, Sendang, Kemantren, dan sekitarnya datang berbondong-bondong mendengarkan tembang-tembang yang berkisah tentang Nabi Ibrahim dibakar, Nabi Yusuf dipenjara, Nabi Musa mengalahkan para penyihir.

Mengesankan sekali.

Seperangkat gamelan ini juga masih tersimpan dengan baik di Museum Sunan Drajat.

Pohon beringin di foto ini tampaknya adalah beringin yang sama dengan yang ada di depan makam saat ini.
Kalimasada.
SEJARAH

Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian V: Babat-Ngimbang-Mantup

Pada masa Belanda, Babat adalah poros penting karena menghubungkan Lamongan, Bojonegoro, Tuban, dan Jombang. Itu sebabnya stasiun kereta api di Babat dibangun lebih besar daripada stasiun di Lamongan Kota.

Pada masa itu, Belanda juga membangun rel kereta api yang menghubungkan Jombang-Ngimbang-Babat-Tuban melewati Bengawan Solo. Kita mengenal jembatan ini dengan nama Cincim Lawas.

Ngimbang pada masa itu juga bernilai strategis bagi Belanda karena merupakan penghasil gula, komoditas ekspor penting pada masa itu.

Foto nomor 1, 2, 3 adalah Cincim Lawas. Bukan jembatan Widang-Babat yang sekarang dilewati bus antarkota. Kemungkinan, tentara Belanda berfoto setelah berhasil menguasai Babat pada saat agresi militer tahun 1948.

Foto 4, kantor pos Babat yang menempati rumah R. Soedjoed. Tahun 1930. Kami belum menemukan informasi tentang Pak Sujud ini. Mungkin dia adalah kepala jawatan kantor pos pada masa itu.

Foto nomor 4b, rumah sakit milik tentara Belanda. Beberapa referensi menyebut bangunan ini sekarang menjadi kantor Polsek Babat.

Gambar stasiun spoor Babat dan halte spoor Kedungpring di bawah ini diambil dari Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia.

Gambar nomor 5, Bengawan Solo. Dilukis oleh Ver Huell pada tahun 1824. Gambar aslinya tidak berwarna.

Lokasi Bengawan Solo yang dilukis ini mungkin ada di Babat. Sebab lokasinya merupakan penyeberangan, dan yang tampak di lukisan itu adalah para ningrat.

Foto nomor 6, 7, dan 8, iring-iringan tentara Belanda di Ngimbang. Bertanggal 19 Desember 1948. Menurut sejarah, marinir Belanda didaratkan di Jenu, Tuban lalu menyerang Babat lewat Cincim Lawas Babat.

Dua foto di bawah adalah tentara Belanda di wilayah Babat.

Dari Babat mereka bergerak ke selatan ke arah Ngimbang. Tidak langsung menyerang Lamongan lewat Pucuk-Sukodadi. Jadi kemungkinan besar ini adalah iring-iringan tentara dari Babat menuju Ngimbang.

Foto nomor 9, bendera pejuang Lamongan. Berbahan karung goni, bertuliskan “Pertahanan Rakjat Ngimbang LMG”. (Ah, tiba-tiba rasanya ingin menangis membayangkan perjuangan mereka).

Foto nomor 10, lokasi jalan tidak diketahui. Tapi melihat bentuknya, sepertinya ini adalah Gunung Girik Ngimbang. Ataukah Gunung Pegat?

Foto nomor 11, upacara penghormatan tentara Belanda terhadap dua kawan mereka, T.C. Rozeboom dan M.J. Skirt, yang tewas terkena ranjau di Ngimbang.

Foto-foto perang ini sesuai dengan catatan sejarah. Babat jatuh dengan mudah ke tangan marinir Belanda. Makanya mereka berfoto petantang-petenteng di Cincim Lawas. Tapi di Ngimbang, mereka mendapatkan perlawanan sengit sampai ada yang tewas.

Hormat kepada para pejuang Ngimbang!

Foto di bawah ini adalah makam marinir Belanda di Babat. Menurut pengamat sejarah Babat, Yulius Kurniawan Kristianto, lokasi makam ini ada di depan kompleks Gedung Sanggar Pramuka Kota Babat, kemudian dipindah ke Lamongan.

Foto nomor 12 dan 13 ini adalah aktivitas di penambangan yodium di Mantup. Bertanggal 22 April 1913. Lokasi tepatnya belum teridentifikasi. Mungkin kawan-kawan di Mantup bisa membantu?

Foto nomor 14 adalah salah satu desa di Ngimbang. Difoto antara tahun 1920-1939.

Foto nomor 15 ini adalah sebuah desa di Lamongan. Melihat latar belakangnya yang berupa pegunungan, mungkin lokasinya berada di Ngimbang. Kawan-kawan di Ngimbang atau Lamongan Selatan mungkin bisa mengidentifikasi gunung ini?

Foto nomor 16 berikut adalah foto udara Mantup bertanggal 5 Januari 1949, dijepret dari pesawat tempur Belanda.

Jika Anda memiliki informasi tambahan untuk melengkapi tulisan ini, sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com