Jejak Gus Dur di Makam Joko Tingkir Lamongan
Orang Lamongan sekarang punya masjid baru di Plosowahyu, Lamongan Kota, yang diberi nama Masjid Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid.
Lamongan memang bukan kabupaten yang sangat penting bagi manusia langka asal Jombang ini. Namun, di sini ada jejak Gus Dur yang tak mungkin dihapus.
Semasa hidupnya, Gus Dur, sebagaimana orang NU pada umumnya, punya kebiasaan ziarah ke makam. Secara kocak ia bahkan dijuluki sebagai “arkeolog makam”.
Salah satu makam penting yang beberapa kali dia kunjungi adalah makam Mbah Anggungboyo di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran. Makam ini ia yakini sebagai petilasan Joko Tingkir.
(Petilasan tidak selalu berarti kuburan fisik, bisa jadi tempat penting yang pernah ditinggali.)

Joko Tingkir adalah nama muda Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang. Menurut dongeng, Joko Tingkir bertapa di Desa Pringgoboyo ini sebelum pergi ke Demak dan kemudian menjadi Sultan Pajang di Surakarta.
Setelah Pajang dikalahkan Mataram, masih menurut dongeng ini, ia menghabiskan masa tuanya di tempat ini.
Sebelum Gus Dur mengunjungi makam ini, yang diyakini sebagai makam Joko Tingkir hanya kuburan di Sragen, Jawa Tengah. Dibanding Lamongan, Sragen jelas jauh lebih dekat dengan pusat Kerajaan Pajang di Surakarta (Solo).
Lamongan dengan Surakarta memang dihubungkan oleh “jalan tol” Bengawan Solo. Tapi ilmu sejarah jelas tidak semudah utak-atik-matuk. Sejauh ini memang tidak ada prasasti atau catatan sejarah yang bisa digunakan untuk memverifikasi teori Gus Dur.
Tapi pendapat Gus Dur ini sudah kadung diyakini oleh orang Lamongan. Bupati Masfuk pada saat memimpin Persela bahkan menjadikannya sebagai dasar untuk menyebut Persela “Laskar Joko Tingkir”.
Spirit Joko Tingkir memang sangat sesuai dengan dunia sepakbola. Seperti trengginasnya Joko Tingkir muda saat menundukkan banteng dan buaya yang sedang mengamuk.
Yang menarik, Gus Dur mengunjungi makam ini pada 12 Mei 1999. Enam bulan setelah itu, ia diangkat menjadi Presiden RI. Mirip dengan dongeng Joko Tingkir yang bertapa di sini lalu menjadi Sultan Pajang.

Bahkan cerita di akhir kekuasaan Gus Dur juga mirip dengan Joko Tingkir. Ia dijatuhkan oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya menjadi presiden.
Ketika ia sudah tidak menjadi presiden, partai yang ia dirikan pun direbut oleh murid-murid politiknya sendiri. Persis seperti Joko Tingkir yang kerajaannya dihancurkan oleh anak angkatnya sendiri, yaitu Sutawijaya, pendiri Kesultanan Mataram.
Foto Gus Dur di atas berasal dari kanal Youtube Kiai Abdul Ghofur, pengasuh Ponpes Sunan Drajat. Mungkin ini adalah foto Gus Dur saat berkunjung ke Lamongan sebelum menjadi presiden. Yang menemani Gus Dur di depan itu adalah Kiai Ghofur muda. Keduanya masih langsing.
Rekaman ceramah Gus Dur tentang petilasan Joko Tingkir dimuat di Youtube GUDFAN CHANNEL. Untuk mendengarkan, klik tanda PLAY di bawah.
Foto & Rekonstruksi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Bupati Lamongan Yuhronur Efendi berencana akan “menghidupkan” kembali kapal Van der Wijck yang tenggelam di perairan Brondong tahun 1936. Entah bangkainya diangkat atau dijadikan wisata bawah air.

Selama ini peristiwa tenggelamnya kapal Van der Wijck lebih banyak kita ingat sebagai kisah cinta gara-gara novel Hamka dan film yang dibintangi oleh Dik Pevita. Padahal sebetulnya peristiwa ini adalah kisah kemanusiaan dan heroisme dengan tokoh utamanya adalah para nelayan Brondong, Blimbing, dan sekitarnya.
Kapal Van Der Wijck dibuat di Rotterdam, Belanda, tahun 1921. Nama Van der Wijck berasal dari nama salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapal itu tenggelam pada saat berumur 15 tahun. Belum terlalu tua untuk ukuran kapal kargo pada masa itu.
Bulan Oktober tahun 1936, Van der Wijck berlayar dengan rute Bali-Surabaya-Semarang-Batavia- Palembang lewat Laut Jawa.

Tanggal 19 Oktober kapal berangkat dari Tanjung Perak Surabaya pukul sembilan malam. Membawa lebih dari 260 penumpang, campuran orang Eropa dan orang pribumi.
Muatan utamanya adalah buah-buahan dari Bali. Supaya buah tidak lekas busuk, beberapa jendela (porthole) di kanan kiri lambung kapal dibuka.
Pukul satu dini hari tanggal 20, kapal mengirimkan sinyal SOS ke Surabaya. Kapal miring. Tapi tidak ada informasi titik koordinatnya. Dihitung dari kecepatan rata-ratanya, kapal diperkirakan berada di wilayah perairan Lamongan.

Tapi yang aneh, kapal lain milik Belanda yang sedang berada di perairan itu, Plancius, tidak menerima sinyal radio SOS dari Van der Wijck.
Beberapa jam kemudian, sembilan pesawat Dornier dikirim ke lokasi. Dornier adalah pesawat amfibi yang bisa mendarat dan lepas landas di laut. Pesawat berangkat dari pangkalan militer Belanda di Morokembangan Surabaya.

Di sana mereka menemukan satu sekoci yang terombang-ambing di tengah laut, penuh sesak oleh 50-an orang. Padahal di kapal itu ada delapan sekoci.
Itu menunjukkan bahwa kapal tenggelam dalam tempo yang sangat cepat sehingga mereka tidak sempat menurunkan sekoci.
Ketika matahari sudah terbit, Brondong dan Blimbing gempar. Para nelayan yang biasanya pulang membawa ikan, pagi itu pulang membawa 140 orang yang habis tenggelam. Jumlah penumpang yang diselamatkan oleh nelayan itu lebih banyak daripada yang bisa diselamatkan oleh tim penyelamat Belanda.

Koran Belanda bahkan masih mendokumentasikan nama-nama nelayan yang menjadi pahlawan di tragedi ini. Kaslibin, nelayan Blimbing, berhasil menyelamatkan 53 orang. Modwie (Matuwi) menyelamatkan 32 orang. Troenoredjo menyelamatkan 22 orang. Sratit (Sratip) menyelamatkan 21 orang. Mardjiki (Mardjuki) menyelamatkan 17 orang. Nama-nama para nelayan ini juga disebut di novel Hamka.

Kapten kapal, Akkerman, juga berhasil diselamatkan nelayan sekitar pukul tujuh pagi. Ia hanya mengenakan baju tidur. Dari pakaian yang dikenakan kapten kapal ini jelas bahwa kapal Van der Wijck tenggelam mendadak tanpa tanda-tanda.

Ada sekitar 55 orang yang tidak diketahui nasibnya. Tapi jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari itu sebab banyak penumpang pribumi yang tidak terdata. Diduga mereka berada di bawah geladak dan ikut tenggelam bersama badan kapal seberat 2.500 ton sepanjang hampir 100 meter itu.
Ada banyak teori dan spekulasi mengenai penyebab tenggelamnya kapal ini. Misalnya, kapal kelebihan muatan dan lubang jendela kapal terbuka. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan proses tenggelamnya yang begitu cepat, hanya sekitar lima menit. Apalagi saat itu tidak ada badai.
Monumen yang Berfungsi Sebagai Mercusuar
Sebagai bentuk terima kasih kepada para nelayan itu, Belanda memberi imbalan berupa uang 3.000 gulden dan sembilan buah perahu. Uang tersebut pada masa itu nilanya kira-kira setara dengan seperempat miliar zaman sekarang. Setelah menerima imbalan ini, nelayan melakukan slametan.
Belanda juga membangun monumen di pelabuhan Brondong bertuliskan, “Tanda peringatan kepada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnya kapal Van der Wijck. Dd. 19/20 October 1936.”

Monumen ini sebetulnya adalah mercusuar kecil. Bagian atapnya datar. Lampu minyak ditaruh di bagian atap ini, berfungsi sebagai pedoman arah bagi para nelayan di laut.
Mercusuar ini dibangun atas permintaan nelayan Brondong. Mereka memintanya karena saat pulang dari berlayar, mereka biasanya berpatokan pada mercusuar Tuban. Setelah hampir mencapai pantai, mereka baru bergerak ke timur ke arah Brondong. Dengan mercusuar di Brondong itu mereka berharap bisa menghemat waktu.

Beberapa ratus meter dari monumen ini, di laut juga dibangun mercusuar kecil. Adanya dua lampu ini untuk memudahkan navigasi bagi nelayan.

Sekarang monumen ini masih tegak seperti aslinya tapi tenggelam oleh bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bahkan orang Brondong sendiri zaman sekarang tidak begitu perhatian kepada monumen ini. Apalagi tahu fungsi aslinya sebagai mercusuar.
Sekarang lokasi pelabuhan ini sudah pindah ke barat, ke Boom Anyar. Jika kapal ini kelak bisa dihidupkan lagi, dua mercusuar ini juga patut dihidupkan kembali sebagai bagian dari ziarah masa lalu.


Video & Foto Banjir Lamongan Zaman Dulu
Sejak dulu Lamongan adalah wilayah langganan banjir besar. Sebelum ada sudetan Sedayu Lawas, Kecamatan Laren nyaris setiap tahun dilanda banjir. Banjir tidak cuma dalam hitungan beberapa minggu tapi sampai beberapa bulan, bahkan sampai akhir musim penghujan.
Selama banjir, moda transportasi andalan adalah prau ethek (perahu mesin). Banjir menenggelamkan tambak dan sawah di puluhan desa. Kalau sedang banjir, para petani padi beralih profesi mencari ikan. Di sawah yang kebanjiran, mereka sering mendapatkan ikan besar-besar yang melarikan diri dari tambak yang tenggelam.
Bagi orang dewasa, banjir adalah bencana. Tapi bagi anak-anak, itu serupa hari raya. Mereka libur sekolah. Setiap hari bluron, bermain sampan gedebok pisang, dan mancing ikan.
Salah satu banjir parah pernah melanda Desa Pangkatrejo dan Parengan tahun 1994, yang dulu masih masuk wilayah Kecamatan Sekaran. Kebetulan dua desa ini posisinya lebih rendah daripada permukaan air pasang Bengawan Solo dan diapit tanggul kiri kanan. Maka ketika tanggul Bengawan jebol, dua desa ini seperti perahu yang tenggelam.

Air nyaris mencapai atap rumah. Orang-orang Laren yang hendak ke Pucuk harus naik perahu melewati Pangkatrejo dan Parengan.
Jalan Raya Laren-Gampang tenggelam. Mereka yang berani melewatinya harus berhadapan dengan resiko hanyut ke Bengawan karena aliran bah sangat deras.

Jauh sebelum itu, Lamongan pernah dilanda banjir besar pada tahun 1966. Bencana ini diawali oleh jebolnya tanggul di Desa Truni, Babat sehingga ada yang menyebutnya “Banjir Truni”. Ini banjir besar karena secara bersamaan melanda Kecamatan Babat, Pucuk, Karangbinangun, Laren, Karanggeneng, Glagah, bahkan hampir masuk ke Lamongan Kota.
Kereta api di Babat sampai berhenti beroperasi. Orang-orang Laren sampai mengungsi ke utara ke Kecamatan Brondong dan Paciran.
Di Facebook ada yang membagikan video banjir besar waktu itu. Tapi kami belum bisa memverifikasi apakah benar ini banjir besar di Lamongan tahun 1966. Mungkin ada yang bisa membantu? Atau punya foto banjir zaman dulu?
Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian VI: Makam Sunan Drajat
Seri foto-foto lawas kali ini kita tutup dengan foto-foto makam Sunan Drajat. Kapan-kapan insyaallah akan kita sambung lagi.
Foto-foto berikut ini didokumentasikan oleh Belanda tahun 1941. Detail sekali. Semua bagian didokumentasikan. Inilah ketekunan dan ketelitian orang Belanda. Bahkan bagian pojok langit-langit dan pasak tiang pun difoto.
Jumlah foto aslinya sekitar seratus. Tapi di sini kami hanya menampilkan beberapa puluh saja.
Sunan Drajat selama ini lebih banyak kita kenal seperti siluet saja. Kita hanya tahu dia tokoh besar di zamannya. Kita mengunjungi makamnya agar kecipratan karomahnya. Tapi hanya sedikit saja yang secara serius menelaah dakwahnya.
Sunan Drajat adalah seorang pujangga dan seniman. Dia terkenal dengan wejangannya, “Wenehono teken marang wong kang wuto”. Berilah tongkat pada orang yang buta… dst.
Di samping wejangan legendaris ini, Sunan Drajat sebetulnya juga menulis sebuah karya penting, yaitu Layang Anbiya (Kisah Para Nabi). Naskah aslinya masih tersimpan di Museum Sunan Drajat di kompleks makam.
Kisah para nabi ini ditulis dalam bahasa Jawa, beraksara Arab. Dibacakan Sunan Drajat dalam bentuk tembang Jawa dengan iringan gamelan sehingga orang-orang Pantura yang saat itu beragama Hindu tertarik mengikuti dakwahnya.
Kita bisa membayangkan orang-orang dari Solokuro, Sendang, Kemantren, dan sekitarnya datang berbondong-bondong mendengarkan tembang-tembang yang berkisah tentang Nabi Ibrahim dibakar, Nabi Yusuf dipenjara, Nabi Musa mengalahkan para penyihir.
Mengesankan sekali.
Seperangkat gamelan ini juga masih tersimpan dengan baik di Museum Sunan Drajat.


































Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian V: Babat-Ngimbang-Mantup
Pada masa Belanda, Babat adalah poros penting karena menghubungkan Lamongan, Bojonegoro, Tuban, dan Jombang. Itu sebabnya stasiun kereta api di Babat dibangun lebih besar daripada stasiun di Lamongan Kota.
Pada masa itu, Belanda juga membangun rel kereta api yang menghubungkan Jombang-Ngimbang-Babat-Tuban melewati Bengawan Solo. Kita mengenal jembatan ini dengan nama Cincim Lawas.
Ngimbang pada masa itu juga bernilai strategis bagi Belanda karena merupakan penghasil gula, komoditas ekspor penting pada masa itu.
Foto nomor 1, 2, 3 adalah Cincim Lawas. Bukan jembatan Widang-Babat yang sekarang dilewati bus antarkota. Kemungkinan, tentara Belanda berfoto setelah berhasil menguasai Babat pada saat agresi militer tahun 1948.



Foto 4, kantor pos Babat yang menempati rumah R. Soedjoed. Tahun 1930. Kami belum menemukan informasi tentang Pak Sujud ini. Mungkin dia adalah kepala jawatan kantor pos pada masa itu.

Foto nomor 4b, rumah sakit milik tentara Belanda. Beberapa referensi menyebut bangunan ini sekarang menjadi kantor Polsek Babat.

Gambar stasiun spoor Babat dan halte spoor Kedungpring di bawah ini diambil dari Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia.


Gambar nomor 5, Bengawan Solo. Dilukis oleh Ver Huell pada tahun 1824. Gambar aslinya tidak berwarna.

Lokasi Bengawan Solo yang dilukis ini mungkin ada di Babat. Sebab lokasinya merupakan penyeberangan, dan yang tampak di lukisan itu adalah para ningrat.
Foto nomor 6, 7, dan 8, iring-iringan tentara Belanda di Ngimbang. Bertanggal 19 Desember 1948. Menurut sejarah, marinir Belanda didaratkan di Jenu, Tuban lalu menyerang Babat lewat Cincim Lawas Babat.
Dua foto di bawah adalah tentara Belanda di wilayah Babat.


Dari Babat mereka bergerak ke selatan ke arah Ngimbang. Tidak langsung menyerang Lamongan lewat Pucuk-Sukodadi. Jadi kemungkinan besar ini adalah iring-iringan tentara dari Babat menuju Ngimbang.



Foto nomor 9, bendera pejuang Lamongan. Berbahan karung goni, bertuliskan “Pertahanan Rakjat Ngimbang LMG”. (Ah, tiba-tiba rasanya ingin menangis membayangkan perjuangan mereka).

Foto nomor 10, lokasi jalan tidak diketahui. Tapi melihat bentuknya, sepertinya ini adalah Gunung Girik Ngimbang. Ataukah Gunung Pegat?

Foto nomor 11, upacara penghormatan tentara Belanda terhadap dua kawan mereka, T.C. Rozeboom dan M.J. Skirt, yang tewas terkena ranjau di Ngimbang.
Foto-foto perang ini sesuai dengan catatan sejarah. Babat jatuh dengan mudah ke tangan marinir Belanda. Makanya mereka berfoto petantang-petenteng di Cincim Lawas. Tapi di Ngimbang, mereka mendapatkan perlawanan sengit sampai ada yang tewas.
Hormat kepada para pejuang Ngimbang!

Foto di bawah ini adalah makam marinir Belanda di Babat. Menurut pengamat sejarah Babat, Yulius Kurniawan Kristianto, lokasi makam ini ada di depan kompleks Gedung Sanggar Pramuka Kota Babat, kemudian dipindah ke Lamongan.

Foto nomor 12 dan 13 ini adalah aktivitas di penambangan yodium di Mantup. Bertanggal 22 April 1913. Lokasi tepatnya belum teridentifikasi. Mungkin kawan-kawan di Mantup bisa membantu?


Foto nomor 14 adalah salah satu desa di Ngimbang. Difoto antara tahun 1920-1939.

Foto nomor 15 ini adalah sebuah desa di Lamongan. Melihat latar belakangnya yang berupa pegunungan, mungkin lokasinya berada di Ngimbang. Kawan-kawan di Ngimbang atau Lamongan Selatan mungkin bisa mengidentifikasi gunung ini?

Foto nomor 16 berikut adalah foto udara Mantup bertanggal 5 Januari 1949, dijepret dari pesawat tempur Belanda.

Jika Anda memiliki informasi tambahan untuk melengkapi tulisan ini, sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com
Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian IV: Lamongan Kota
Foto-foto perang di bawah ini berasal dari Institut Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie). Bertarikh 1949 bulan Januari. Pada saat itu Belanda melancarkan serangan ke wilayah-wilayah strategis di Jawa Timur, salah satunya ke Lamongan.
Kita menyebut operasi ini “Agresi Militer” karena mereka mengkhianati Perjanjian Linggarjati mengenai kedaulatan Indonesia. Tapi Belanda menyebutnya “Operasi Pembersihan” karena menganggap Tentara Nasional Indonesia sebagai perusuh.
Dilihat dari tanggal foto, perang ini berlangsung setidaknya selama dua hari, yakni tgl 17 dan 18 Januari. Di foto ini tampak pasukan Belanda berhasil memukul mundur TNI.

Foto nomor 1 dan 2, tentara Belanda memasuki Lamongan dengan latar belakang markas TNI yang dilalap api. Menurut sejarah, Belanda menyerang Lamongan dari Tuban, ke Babat, lalu bergerak ke Ngimbang, Mantup, baru ke Lamongan.
Jadi kemungkinan markas TNI ini adalah bangunan di wilayah selatan Lamongan Kota. Mungkinkah ini gedung yang sekarang menjadi markas Polres Lamongan?


Foto nomor 4, tentara Belanda menjinakkan bom.

Foto nomor 5, tentara Belanda melewati sebuah jembatan yang hancur sehabis dibom. Lokasi tidak diketahui.

Foto nomor 6, sebuah jip Belanda ringsek setelah menabrak ranjau.

Foto nomor 7 adalah foto udara Kota Lamongan, bertanggal 29 Desember 1948, atau 19 hari sebelum Belanda melakukan serangan darat ke Lamongan. Dilihat dari ruas jalan rayanya, kelihatannya ini adalah wilayah sebelah timur alun-alun Lamongan. Lewat foto udara, Belanda tampaknya sedang menandai tempat-tempat yang akan menjadi target serangan.

Foto-foto di bawah ini tidak berhubungan dengan perang di atas.
Foto nomor 8, dua orang Eropa sedang minum teh di hotel di Lamongan. Tahun 1909. Kabarnya ini adalah Hotel Bharata, di Jalan Lamongrejo, Lamongan Kota. Tapi saat ini hotel tersebut sudah tidak beroperasi.

Foto nomor 9, kantor pos Lamongan. Tahun 1930.

Foto nomor 10, Masjid Agung Lamongan, tahun 1927.

Foto nomor 11, sebuah telaga di Lamongan. Tahun 1927. Lokasi tidak bisa dipastikan. Mungkin Telaga Bandung.

Foto nomor 12, acara perayaan pengangkatan bupati di Lamongan. Tahun 1910.

Foto nomor 13, para pejabat inspektur Belanda di Lamongan. Tahun 1909. Lokasi tidak teridentifikasi. Mungkin Balai Kota Lamongan. Mungkin di Lamongan pinggiran.

Foto nomor 14, jamuan makan bersama Gubernur Jenderal D. Fock di Balai Kota Lamongan. Tahun 1922.

Foto nomor 15, alun-alun Lamongan. Tahun 1924. Tampak di kejauhan adalah menara air yang selama ini cuma kita sebut “menara” saja karena tidak tahu fungsi aslinya.

Jika Anda memilik informasi tambahan untuk melengkapi tulisan ini, silakan sampaikan di kolom komentar atau email redaksi@lamonganpos.com
Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian III: Brondong 1947

Foto-foto udara ini bertahun 1947 bulan Januari. Beberapa bulan sebelum Belanda melancarkan agresi militer besar-besaran.
Foto nomor 8 ini keterangannya “difoto antara Paciran dan Brondong”. Melihat bentuk tanjungnya, sepertinya ini adalah Tanjung Kodok, bukan pantai di Brondong.
Yang paling menarik dianalisis adalah foto nomor 7. Di foto itu tampak ada bangunan yang hancur. Mungkin akibat dibom sebab ada badan bangunan yang rompal dan nggelempang. Seperti kubah masjid. Lokasinya sulit dipastikan karena keterbatasan petunjuk.
Ada kemungkinan ini foto wilayah Kecamatan Paciran mengingat Kecamatan Brondong hanya punya sedikit ruas Jalan Deandels yang berada persis di tepi pantai.
Bagi Belanda, Brondong bernilai strategis karena punya pelabuhan. Tapi Brondong dan Paciran saat itu memang menjadi basis pejuang. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Kiai Amin Tunggul, komandan Laskar Hizbullah, yang gugur ditembak tentara Belanda pada tahun 1949.
Nama Kiai Amin kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Lamongan Kota. Juga menjadi nama pesantren di Tunggul yang dikelola oleh keturunannya.
Jika Anda punya informasi untuk menambahi tulisan ini, sampaikan analisis di kolom komentar atau ke email kami redaksi@lamonganpos.com








Foto-Foto Lamongan Zaman Belanda Bagian II: Paciran 1947-1949

Foto-foto udara ini didokumentasikan Belanda tahun 1949. Artinya foto ini dibuat tahun 1949 atau sebelumnya. Di koleksi yang sama, ada juga foto-foto udara wilayah Brondong dan Tuban bertahun 1947. Jika foto-foto itu dibuat di waktu yang sama, berarti tahun pembuatannya 1947, hanya saja baru dicatat di dokumentasi tahun 1949.
Walaupun Indonesia saat itu sudah memproklamasikan kemerdekaan, sebetulnya kita belum benar-benar merdeka. Belanda masih belum sepenuhnya pergi dari Indonesia. Belanda sendiri tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 melainkan pada akhir 1949.
Dari foto-foto berbagai sudut ini kita bisa menyimpulkan bahwa pesawat Belanda terbang rendah berputar-putar di atas Paciran. Kenapa Belanda memotret jembatan-jembatan di Paciran?
Apakah saat itu Paciran mau dibom atau barusan dibom? Gak mungkin ‘kan tentara Belanda mau beli rujak Mak Tas. Tahun 1947 Belanda memang melakukan agresi militer yang salah satu targetnya adalah daerah-daerah strategis di Jawa Timur.
Pada masa itu, mengebom jembatan adalah “protap perang”. Tujuannya untuk menghentikan pergerakan tentara musuh.
Ada kemungkinan foto ini dibuat sesudah Paciran dibom. Sebab jembatan tampak rusak dan disambung sementara dengan kayu, tidak bisa dilalui mobil. Lihat foto nomor 3, 8, 11, 13, 15.





Universitas Leiden tidak memberi keterangan apa-apa tentang foto ini. Hanya lokasinya Paciran. Tampaknya ini Kecamatan Paciran, bukan Desa Paciran. Sebab foto nomor 18 dan 19 kemungkinan besar adalah jembatan di pertigaan Pasar Blimbing.
Kesimpulan ini didasarkan pada bentuk kelokan sungai, serta sudut yang dibentuk oleh sungai, jembatan, dan jalan raya menuju ke Laren.


Adapun jembatan yang disambung kayu pada foto nomor 3, 8, 11, 13, 15 tampaknya adalah jembatan Kranji, bukan jembatan Mak Tas Paciran. Kesimpulan ini didasarkan pada bentuk kelokan sungainya.
Yang masih tanda tanya adalah jembatan di foto nomor 6. Tampaknya itu Jembatan Tunggul. Di foto ini tampak jelas jalan raya itu dipasangi barikade kayu untuk menghalangi kendaraan lewat. Kelihatannya ini memang situasi perang.

Mungkin saja asap yang membubung tinggi di gambar nomor 2 dan 9 pun ada kaitannya dengan situasi perang.











Di foto nomor 23 ini tampak jelas lokasinya adalah dermaga. Ini foto jarak dekat yang paling jelas. Kalau di-zoom in, tampak ada banyak orang di dermaga yang memandang ke arah pesawat. Sepertinya ini di Weru?

Foto terakhir ini tidak terkait dengan foto-foto di atas. Foto Tanjung Kodok ini dibuat pada tahun 1935.

Jika Anda punya analisis lain atau punya informasi untuk melengkapi foto ini, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com
Foto-foto Lamongan Zaman Belanda (Bagian I): Masjid Sendang Dhuwur
Dalam beberapa seri ke depan, Lamongan Pos akan menampilkan arsip foto-foto lawas Lamongan era Belanda. Foto-foto ini berasal dari arsip Universitas Leiden, Belanda.
Bagian pertama ini berisi foto-foto masjid dan makam Sunan Sendang Dhuwur yang ada di Desa Sendang Dhuwur, Kecamatan Paciran. Masjid yang dibangun pada tahun 1561 M ini merupakan peninggalan bersejarah yang masih terawat dengan baik hingga saat ini.
Sunan Sendang Duwur adalah salah satu murid Sunan Drajat. Dari tampilan fisik masjid yang mirip candi, kita bisa melihat kebijaksanaan Sunan Sendang dalam berdakwah. Budaya Hindu-Buddha yang sudah dipeluk masyarakat setempat tidak dilenyapkan tapi diselaraskan dengan Islam.













Pridjetan, Waduk Tua Peninggalan Belanda

Kalau saja tidak ada kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda ke tempat ini tahun 2018, mungkin kita tidak akan tahu bahwa di Lamongan ada waduk peninggalan Belanda yang masih berfungsi sampai sekarang. Selama ini kita cuma tahu Waduk Gondang dan Bendungan Babat.

Menteri Belanda itu, Stephanus Abraham Blok, jauh-jauh pergi ke pelosok Lamongan karena kakek buyutnya adalah insinyur yang dulu ikut membangun waduk ini. Bahkan nenek buyutnya, Mevr. JF A Dligoor, meninggal pada tahun 1930 dan dimakamkan di sini. Sampai sekarang makam ini masih terawat dengan baik.

Waduk ini mulai dibangun tahun 1910 dan diresmikan pada 1917. Jadi usianya sudah satu abad dan sampai hari ini masih berfungsi dengan baik. Termasuk salah satu bendungan tertua di Indonesia.

Waduk seluas 320 hektare itu terletak di wilayah tiga desa, dua kecamatan, yaitu Desa Tenggerejo dan Mlati (Kedungpring) dan Desa Girik (Ngimbang). Dulu dibangun untuk mengairi lahan pertanian tebu yang pada masa itu merupakan komoditas ekspor yang penting. Sekarang waduk ini berfungsi sebagai tandon air untuk lahan sawah padi dan palawija di sekitarnya, yang meliputi wilayah Kedungpring, Sugio, dan Modo.

Lanskapnya yang masih asri membuat tempat ini cocok buat kegiatan bersepeda dan berwisata alam. Google Maps klik di sini.
