FEATURED

Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan

Pada tahun 1950/60-an, Lamongan adalah medan pertarungan sengit Partai Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya ini bisa kita lihat dari hasil pemilu di Lamongan tahun 1955. Di pesta demokrasi yang diikuti oleh 48 partai politik ini, tiga besarnya adalah Masyumi, PKI, dan NU. 

Masyumi memperoleh 117 ribu suara, PKI 87 ribu, Partai NU 70 ribu. PNI yang menjual nama Bung Karno saja hanya mendapat 50 ribu suara. Bahkan di Pemilu Daerah tahun 1957, ketika suara Masyumi turun, suara PKI justru naik.

Dari semua partai itu, yang paling menonjol adalah PKI. Masyumi dan NU wajar mendapat banyak suara karena di Lamongan banyak kiai Muhammadiyah dan NU. PKI terhitung pendatang baru.

Koran PKI, Harian Rakjat, persis pada tanggal 30 September 1965 memuat berita “Delegasi 12 Ormas Wanita Lamongan Temui Pemerintah.”

Daerah Brondong pernah menjadi tujuan Turba para petinggi PKI pusat. Turba adalah program Turun ke Bawah, semacam riset untuk menyerap aspirasi masyarakat. Ini semua menunjukkan bahwa Lamongan adalah basis penting PKI.

Menurut laporan majalah Tempo edisi “Pengakuan Algojo 1965”, DN Aidit, ketua PKI yang terkenal itu, pernah berkampanye di alun-alun Lamongan. Aidit adalah seorang orator ulung. Kata-katanya memikat. Ketika berkampanye di Lamongan, ia berpidato menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Padahal Aidit bukan orang asli Jawa melainkan Belitung. 

Ia menyampaikan rencana PKI untuk membagi tanah sama rata untuk semua orang sesuai agenda reforma agraria. Tentu saja janji manis ini membius orang-orang Lamongan. Maka warga pun berbondong-bondong masuk PKI. Daerah Sugio, Sambeng, dan Tikung saat itu adalah basis PKI.

Celakanya, agenda mentah reforma agraria ini justru menyebabkan kericuhan di kalangan bawah. Banyak orang PKI menyerobot begitu saja tanah milik orang lain. Tak jarang sampai menyebabkan saling bunuh. 

Provokasi orang PKI makin lengkap karena mereka juga mengejek orang-orang NU dan Muhammadiyah. Lekra mengadakan pertunjukan ludruk yang sengaja digelar di samping masjid dengan lakon “Gusti Allah Mantu”.

Salah satu bagian dialognya yang terkenal: “Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”

Tentu saja ini memancing kemarahan luar biasa di kalangan santri.

Saat itu PKI berada di atas angin. Di dalam negeri, mereka partai besar. Di luar negeri, mereka mendapat dukungan dari Soviet dan Cina. Aidit adalah salah satu kandidat penerus Bung Karno. Apalagi Si Bung Besar juga merestui komunisme, sampai-sampai ia meracik jargon Nasakom. 

Mereka makin kuat setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno tahun 1960. Beberapa langkah lagi PKI akan berkuasa. Tapi semua kedigdayaan PKI itu seketika runtuh begitu terjadi Gestapu.

Ketika peristiwa Malam Jahanam itu terjadi, Lamongan masih tenang seperti hari biasa. Karena keterbatasan alat komunikasi saat itu, berita Gestapu baru menyebar di kalangan warga Lamongan tiga hari kemudian. Itu menjadi awal dari tragedi berdarah.

Kebencian orang NU dan Muhammadiyah kepada PKI yang sudah memuncak itu menemukan pelampiasannya. Dengan dukungan tentara, mereka membasmi orang-orang PKI. Banyak di antara tokoh PKI itu dibunuh oleh pendekar-pendekar NU dan Muhammadiyah. 

Di Desa Gempol Manis Sambeng, misalnya, penumpasan PKI dipimpin oleh tokoh NU, Kiai Ahmad dan pendekar Pemuda Ansor, Abdul Ubaid. Ketua PKI setempat ditangkap kemudian dibunuh. 

Di wilayah Pantura, penumpasan PKI dipimpin oleh Kiai Abdurrrahman Syamsuri, pendiri Pesantren (Muhammadiyah) Karangasem Paciran. Pendekar-pendekar Tapak Suci berjaga 24 jam di Pesantren Karangasem. Siap sedia menerima tugas. Mereka juga bahkan diperbantukan sampai wilayah Lamongan selatan.

Kiai Abdurrahman Syamsuri

Lanjut Baca Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan (bagian 2)

sejarah soto ayam lamongan DIREKTORI

Buku Gratis: Soto Ayam, Cara Hidup Orang Lamongan

Penulis: Mohammad Sholekhudin

Penerbit: Perpustakaan Nasional RI

Untuk membacanya, silakan klik gambar di bawah. Anda juga bisa mengunduhnya gratis dengan mendaftar lebih dulu di situs Perpusnas.

sejarah soto ayam lamongan
SEJARAH

Sejarah Desa Brondong yang Dulu Terkenal Angker

Pelabuhan Brondong, 1937

Sebelum tahun 1936, Desa Brondong hanya sebuah desa nelayan biasa di pesisir Lamongan. Tak ada yang istimewa. 

Tapi sebuah peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936 seketika mengubah wajah desa ini. Pada dini hari itu, kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Brondong. 

Lima orang nelayan setempat menjadi pahlawan dalam tragedi ini. Kaslibin, Matuwi, Troenoredjo, Sratip, dan Mardjuki berhasil menyelamatkan 140 penumpang. Hampir tiga kali lipat daripada yang bisa diselamatkan oleh tim SAR Belanda yang membawa pesawat amfibi dan kapal perang.

Nelayan Brondong (bercaping) bersama sebagian penumpang pribumi yang berhasil diselamatkan.

Sejak itu Brondong menjadi terkenal seantero Hindia Belanda. Peristiwa ini menyedot perhatian sampai setahun kemudian. Nama Brondong masih terus disebut-sebut di dalam investigasi yang tak pernah menemukan titik terang. Penyebab tenggelamnya kapal masih misterius. Kapal tiba-tiba oleng dan tenggelam begitu saja dalam tempo 10 menit.

Di tengah proses investigasi yang belum selesai, tiba-tiba pada tahun 1937, terjadi lagi kecelakaan. Kali ini sebuah pesawat tempur T13 milik marinir Belanda jatuh, menewaskan sembilan penumpangnya. Lokasinya tak jauh dari tempat tenggelamnya Van der Wijck. Sama-sama bulan Oktober. 

Bangkai pesawat T13 diangkat dengan kapal.

Dua kecelakaan besar ini membuat Brondong makin terkenal. Juga membuat banyak orang berpikir bahwa perairan Brondong adalah wilayah yang angker. 

Berkali-kali wartawan koran Belanda mendatangi desa ini. Salah satu arsip koran Belanda bahkan sampai menceritakan soal asal-usul Desa Brondong. Pada April 1939, ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh keturunan Kiai Brondong. Entah di mana tempatnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah kaum ningrat.

Kiai Brondong adalah leluhur masyarakat Brondong. Konon nama asalnya adalah Lanang Dangiran. Dia anak dari Raja Blambangan, Susuhunan Tawangalun. Blambangan merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di Banyuwangi. Tawangalun berkuasa di pertengahan abad ke-17. 

Pada saat itu Islam sudah masuk pesisir Lamongan sebab Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur sudah berdakwah di sini seabad sebelumnya. Ketika Blambangan dilanda peperangan, Lanang Dangiran melarikan diri dan terombang-ambing di Laut Jawa. Saking lamanya hidup di laut, tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong (biji jagung). 

Singkat cerita ia diselamatkan oleh kiai di pesisir Lamongan, diambil sebagai menantu, diajari Islam. Desa tempat ia diselamatkan ke darat itu dinamai Brondong. Di sini Lanang Dangiran juga memperoleh nama baru, Kiai Brondong. 

Menurut warga Brondong, leluhur mereka ini dimakamkan di Desa Brondong di kompleks makam Sentono, yang letaknya di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono. Tapi menurut koran Belanda ini, Kiai Brondong kemudian pindah ke Surabaya, berdakwah di sana, dan meninggal di sana. 

Makam Kiai Brondong

Ia dimakamkan di Kompleks Makam Botoputih, Pegirian, Surabaya. Di sana memang ada makam Kiai Ageng Brondong di kompleks makam yang namanya Sentono Agung.

(Foto: Doramasittah/Masri Masriansyah)

Wah, berarti makam kembar, dong. Jadi, versi mana nih yang benar?

SEJARAH

Foto Orang Lamongan yang Pergi ke Suriname Zaman Belanda

Ani/Mantup

Pada tahun 1890-1930, pemerintah Hindia Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname, Amerika Selatan, untuk bekerja di perkebunan milik Belanda di sana. Mereka dikirim ke Suriname untuk menggantikan pekerja asal India yang susah diatur. Belanda lebih menyukai pekerja asal Jawa karena mereka dikenal penurut.

Dasminah/Songo, Ngimbang. Foto ini aslinya buram. Diedit oleh KADOUYE_LAMONGAN. Jika Anda butuh jasa edit foto dan video profesional yang bisa edit apa saja, silakan hubungi WA 085604193406 atau Instagram kadouye_lamongan.

Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang di antaranya berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Doongpring (Kedungpring), dan Bangbau (Kembangbahu). Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.

Kamidjah/Gedong, Kedungpring   

Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.

Mbok Djasman/Blumbang, Kedungpring

Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Umur 20 tahun sudah bertatus mbok.

Kamisah/Deket

Tentu butuh keberanian, kenekatan, dan kepasrahan tingkat tinggi untuk memutuskan pergi bekerja ke suatu tempat entah di mana nun jauh di sana, lebih jauh daripada Mekkah yang mereka dengar ceritanya dari khotbah.

Karsih/Nglawan, Kembangbahu

Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air, dan berangkat dengan berlinang air mata. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.

Kasmidjah/Suruan, Kedungpring

Tapi sejarah berkata lain. Situasi politik yang kacau membuat hanya sebagian kecil yang bisa kembali ke Jawa. Banyak yang meninggal di sana selama masa kontrak. Sebagian besar selesai kontraknya dan tetap tinggal di Suriname, berkeluarga di sana, dan punya keturunan.

Kiatoen/Banaran, Babat

Sebagian dari mereka sempat dipulangkan ke Hindia Belanda (Indonesia) tapi tidak ke Jawa, melainkan ke Sumatera Barat. Tapi karena di sini hidup mereka lebih sulit, akhirnya mereka minta kembali ke Suriname.  

Marinah/Dinoyo, Deket

Data mereka sebetulnya cukup lengkap. Ada data keberangkatan, perusahaan tempat bekerja, tanggal kematian, data keluarga mereka yang memutuskan tinggal di Suriname, dan sebagainya.

Ngaisah/Songo, Bluluk

Tapi kami hanya menampilkan data nama dan asal kecamatan. Beberapa nama desa mungkin tidak dikenal karena nama zaman Hindia Belanda bisa jadi berbeda dengan nama desa yang kita kenal sekarang.

Ning/Ngonko, Ngimbang

Nama kecamatan juga tidak selalu sama dengan kecamatan sekarang. Sidajoe (Sedayu), misalnya, pada zaman itu meliputi wilayah Lamongan Pantura.

Markillah/Banjaranyar, Sedayu

Dari arsip sejarah ini kita bisa menyaksikan bagaimana kerasnya hidup buyut-buyut kita. Status pekerja kontrak pada masa itu hanya satu tingkat di atas perbudakan. Belanda sendiri setengah abad sebelumnya masih mempekerjakan budak di Suriname. Mereka diganti dengan pekerja kontrak karena perbudakan resmi dilarang tahun 1860.

Sakirah/Babat

Di sana mereka bekerja di kebun tebu, kopi, kakao, pabrik gula, dll, seperti yang tampak di video berikut. Soundtrack video ini adalah lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, oleh penyanyi Belanda, Wieteke van Dort.

Lagu ini bercerita tentang makanan-makanan di Jawa: nasi goreng, sambel, kerupuk, lontong, sate babi, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpau, ketan, gula jawa.

Video berasal dari grup Sambung Roso Java-Suriname Indonesia.

Barangkali di antara pembaca ada yang punya buyut pergi ke Suriname dan pernah dengan ceritanya dari kakek-nenek? Jika sampeyan punya cerita, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com/

Atrap/Bandangan
(Kandangan? Sambeng)
Ponidin/Kramat,
Lamongan
Saridin/DalitRais/Sedayu
Saridjan/Sepat, Candiretto
(Tambakmenjangan, Sarirejo?)
Ramidin/Koloputih
(Karanggeneng)
Saridjan/Sukomalo, MojonanRasmie/Patalan
Sarimin/LamonganRebo/Rangkak, Turi
Sarman/Bejujar, KembangbahuReksosoedarmo/Ngimbang
Sidin/Sukobendo, NgimbangSadi/Kembangbahu
Singoredjo/Kradenan
(Kedungpring?)
Sakiman/Kalen, Kedungpring
Kasmidjah/SedayuSampan/Karanggeneng
Sitam/Pangean (Maduran)Saridin/Balan (Babat?)
Soeromedjo/Selagi, NgimbangLassiman/Menongo
Markati/SedayuMarsoepi/Bandung, Lamongan
Soewirio/NgimbangMartibin/Bessar (Besur, Sekaran?)
Martidjah/LamonganMarto/Mlati, Ngentir
Moeinah/TlogoanyarNaridin/Ngimbang
Sokarto/Gondang, NgimbangNgaido/Brumbun (Maduran?)
Somedjo/Gempalpendawo,
Ngimbang
Ripan/Kedungpring
Toidjojo/Kemesik, KembangbahuPare/Kembangbahu
Sani/KedungturiPartok/Ngimbang
Saridjah/SawoSinah/Bluluk
Mbok Sarimin/Nglawak
(Lawak/Ngimbang?)
Soepinah/Babat
Sidah/KarangkawisWasirah/Babat
Wagijo/SukorameWarsono/Suren (Bluluk?)
Masih ada beberapa puluh
nama lagi tapi tidak kami
tampilkan karena tidak ada
fotonya.
Wiroredjo/Tlatar, Ngimbang
SEJARAH

“TENGGELAMNYA” MONUMEN VAN DER WIJCK

Monumen Van Der WijckAnda tentu pernah mendengar tentang novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Meskipun novel yang menceritakan tentang kisah cinta Zainuddin dan Hayati ini hanya berupa cerita fiksi, kapal Van Der Wijck yang ada di cerita tersebut memang benar-benar ada. Dan benar-benar pernah tengelam di perairan pesisir Lamongan seperti yang diceritakan dalam novel tersebut. Di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, ada sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck.  Monumen tersebut dibangun pada tahun 1936 sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal yang namanya diambil dari nama Gurbenur Jenderal Hidia–Belanda itu tenggelam.

Monumen Van Der WijckKapal yang juga disebut dengan nama De Meeuw atau The Seagull, yang dalam bahasa Indonesia berati “Burung Camar”, sangat cocok untuk menggambarkan keanggunan kapal yang pada bulan Oktober 1936 tenggelam saat dalam perjalanan dari Bali menuju ke Semarang dan sempat bersinggah di Surabaya. Kapal besar dengan lebar 13,5 meter dan berat lebih dari 2,5 ton ini tengelam karena kebanyakan muatan orang. Korban meninggal sebanyak 4 orang, dan hilang di laut diperkirakan sekitar 50 orang dari sekitar 240 penumpang. Jumlah korban tidak diketahui pasti karena ada yang mengatakan banyak warga pribumi yang ikut hilang dan tak tercatat sebagai penumpang dalam kapal ini. Saat kapal mulai tenggelam, para nelayanlah yang membantu proses evakuasi dan menyelamatkan korban-korban yang bisa ditolong.

Monumen berbentuk persegi panjang yang menjulang ke atas ini merupakan salah satu dari monumen bersejarah di Indonesia. Memang, apabila dibandingkan dengan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Tugu Pahlawan di Surabaya, Monumen Bandung Lautan Api di Bandung, atau Monumen Palagan Ambarawa di Semarang, tentu Monumen Van Der Wijck ini lebih sederhana dan tidak sepopuler keempat monumen di atas. Tapi Monumen Van Der Wijck ini memiliki keunikan cerita tersendiri yang berbeda dibanding empat monumen itu.

Monumen Van Der WijckJika Monas, Tugu Pahlawan, Monumen Bandung Lautan Api, serta Monumen Palagan Ambarawa memiliki makna perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda, monumen Van Der Wijck lebih bercerita tentang perjuangan nelayan Brondong membantu penumpang kapal Belanda yang tenggelam.

Ironisnya, tidak banyak masyarakat sekitar Brondong yang tahu tentang cerita yang tersimpan di balik monumen ini. Bahkan ada yang tidak tahu tentang keberadaan monumen tersebut. Memang monumen yang tigginya hanya sekitar 4 meter ini tidak begitu menonjol, bahkan lebih rendah dari sebuah menara yang berada tepat di sebelahnya. Saat pertama kali kita melihatnya, tidak terkesan bahwa monumen tersebut memiliki cerita yang melegenda. Padahal jika dilihat dari sudut pandang sejarah yang ada, monumen ini bisa dijadikan ikon tersendiri bagi masyarakat Brondong selain Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Monumen ini bisa kapan saja Anda kunjungi, karena memang terbuka untuk umum. Untuk mengunjunginya pun tidak dikenakan biaya alias gratis. Lokasinya di area Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, sekitar 15 km sebelah timur Tuban, atau sekitar 84 km sebelah barat
shipsandharbours.com
shipsandharbours.com

Surabaya. Berada persis di belakang gerbang masuk TPI dan bersebelahan dengan kantor Perum Prasarana Perikanan Samudera, membuat monumen ini sangat mudah ditemukan. Selain melihat monumen ini Anda juga bisa sekalian berbelanja ikan secara langsung di pedagang ikan laut yang letaknya tidak lebih dari 100 meter dari monumen.

Meskipun terlihat sepi dari pengunjung, monumen ini layak Anda kunjungi, terutama jika Anda pencinta wisata sejarah atau jika Anda ingin tahu sejarah yang menginspirasi Hamka menulis novel.

SEJARAH

WISATA RELIGI: MAKAM SUNAN SENDANG DUWUR

Selama ini Lamongan terkenal sebagai daerah wisata religi karena di sini ada makam salah satu Walisongo, yaitu Sunan Drajat. Sebetulnya, selain Sunan Drajat, masih ada satu lagi makam sunan di sini, yaitu Sunan Sendang Duwur.

Sunan yang bernama asli Raden Nur Rahmad ini wafat pada tahun 1535 Masehi. Ia sempat hidup satu zaman dengan Sunan Drajat yang wafat pada tahun 1522 Masehi. Gelar Sunan Sendang Duwur itu pun ia peroleh dari Sunan Drajat, karena memang andilnya yang besar dalam perkembangan agama Islam di Jawa Timur, khususnya di wilayah Lamongan.

Jika makam Sunan Drajat berada di Desa Drajat, makam Sunan Sendang Duwur berlokasi di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Dari Wisata Bahari Lamongan (WBL), kita harus menuju ke arah barat lalu belok di pertigaan Sendang Duwur. Dari pertigaan, kira-kira jaraknya empat kilometer. Jalanan yang sudah beraspal memudahkan kita untuk mengakses lokasi. Untuk masuk ke makam, kita tidak dipungut biaya alias gratis.

Apabila dibandingkan dengan Makam Sunan Drajat, bangunan Makam Sunan Sendang Duwur terlihat lebih minimalis dan artistik, serta dengan suasana yang lebih sepi. Di depan makam terpampang gapura yang berbentuk tugu bentar. Setelah melewati gapura tersebut, kita akan disambut lagi dengan gapura paduraksa dengan hiasan ukiran kayu jati. Juga dua buah batu hitam berbentuk kepala kala yang membuat kesan Hindu masih terasa di dalamnya. Makam Sunan Sendang Duwur sendiri terletak di belakang. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati sebuah gerbang kayu lagi.

Di area makam ini terdapat sumur giling dengan ketinggian sekitar 35 meter. Disebut “sumur giling” karena air ditimba ke atas dengan cara ditarik kumparan tali yang diputar seperti gilingan. Selain itu ada juga sumur kecil “paidon” yang lebarnya tidak sampai satu meter. Menurut cerita, lubangan ini dulu adalah tempat meludahnya Sunan Sendang Duwur. (Dalam bahasa Jawa, ludah disebut idu, tempat meludah disebut paidon.)

Ada yang mengatakan bahwa sumber air dari lubangan itu tidak pernah habis. Namun menurut warga setempat, air di dalam lubangan ini tidak pernah habis karena memang selalu diisi. Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi kepercayaan pengunjung bahwa air tersebut memiliki banyak manfaat, salah satunya membuat awet muda dan menyembuhkan penyakit.

Tepat di sebelah makam, berdiri  kokoh masjid yang cukup besar. Pembangunan masjid ini tidak lepas dari peranan Sunan Sendang Duwur. Menurut cerita, Sunan Sendang Duwur memindahkan sendiri masjid ini dari Mantingan, Jepara, Jawa Tengah, dalam waktu kurang dari satu malam. Sumber lain mengatakan pemindahan masjid ini diprakasai oleh Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur. Konstruksi masjid ini sebagian telah diganti karena memang usianya yang sudah tua, yaitu 481 tahun (masjid dibangun pada tahun 1531 M). Konstruksi aslinya masih tersimpan di dalam area makam.

Makam Sunan Sendang Duwur memang menyimpan banyak cerita. Selain memang karena Sunan Sendang Duwur sendiri merupakan ikon penting Desa Sendang Duwur. Tempat ini bisa dimasukkan ke dalam daftar wisata religi selain makam para Walisongo.

SEJARAH

(BUKU) Islamic Antiquities of Sendang Duwur

Ini buku klasik terbitan tahun 1975. Sudah setengah abad yang lalu tapi masih terus relevan sampai sekarang. Karena memang situs Masjid Sendang Duwur masih terus dikunjungi peziarah sampai sekarang, nanti, dan seterusnya.

Buku ini ditulis oleh ahli purbakala terkemuka, Uka Tjandrasasmita, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Sekarang versi terjemahan bahasa Indonesia sudah tersedia. Judulnya Peninggalan Purbakala Islam Sendang Duwur, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Bisa dibeli online

Kalau tidak keberatan membaca bahasa Inggrisnya, Anda cukup membaca Islamic Antiquities of Sendang Duwur saja. Berkasnya bisa dicari di internet. Kalau tidak bisa menemukannya, silakan hubungi kami di redaksi@lamonganpos.com

Sebelum berkunjung ke Masjid Sendang Duwur, sebaiknya Anda membaca buku ini lebih dulu. Dengan begitu, ketika Anda sampai di Masjid Sendang, Anda bisa mengamati setiap objek dengan ilmu yang sudah ada di kepala. 

Contoh kecil, kalau Anda masuk di kompleks makam, maka Anda akan melewati beberapa gapura. Gapura pertama berbentuk gapura bentar (gapura tidak beratap yang bbiasa dijumpai di candi Hindu). Gapura kedua berupa gapura paduraksa (gapura beratap). Gapura ini tidak memiliki ukiran sayap garuda di sebelah kiri dan kanannya. 

Dari buku Uka Tjandrasasmita kita tahu bahwa dulunya gapura ini punya sayap garuda. Tapi sayap ini runtuh pada saat gempa besar tahun 1940. Di buku Tjandrasasmita, kita masih bisa melihat foto asli gapura ini pada saat masih punya sayap. Foto ini dibuat pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda.

Contoh kedua, pada masa lalu di depan gerbang kompleks ini ada patung singa dengan posisi duduk. Kita sekarang mengenalnya dengan sebutan singo mengkok, yang sekarang menjadi motif khas batik Lamongan. Sekarang patung singa ini sudah tidak ada di kompleks Masjid Sunan Sendang karena sudah dipindah ke Museum Nasional, Jakarta.

Masih ada banyak pengetahuan menarik lainnya, yang hanya akan kita ketahui kalau kita membaca buku ini. Kalau kita cuma berziarah ke makam tanpa membaca lebih dulu, kita hanya akan datang sebagai tukang foto.

DIREKTORI

(BUKU) Batik Lamongan: Jejak Ekonomi Kreatif Warisan Sunan Sendang 

Buku ini buuuwagus sekali. Sayang sekali, entah kenapa buku ini tidak begitu terkenal. Mungkin karena diterbitkan oleh penerbit lokal, Pustaka Wacana, yang markasnya di Desa Brangsi, Kecamatan Laren. Bahkan kami saja baru mengetahui buku ini setelah melakukan riset mengenai batik Sendang. Seandainya kami tidak melakukan riset, kami mungkin tidak akan tahu ada buku bagus ini. 

Buku ini ditulis oleh Sifwatir Rif’ah, dosen Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran, wong Sendang asli. Kedua orangtua Rif’ah adalah penerima hadiah Upakarti dari Presiden Soeharto atas dedikasinya menghidupkan kembali batik Sendang yang sempat mati suri puluhan tahun.

Rif’ah sendiri saat ini adalah pemilik rumah batik Sendang Cahaya Utama. Jadi, buku ini memang ditulis oleh orang yang punya otoritas di bidangnya. 

Buku ini membahas batik Sendang secara sangat lengkap, mulai dari sejarahnya, sampai dengan kondisi mutakhir. Walaupun ini bukan buku sejarah, paparannya lebih menarik daripada buku-buku sejarah Lamongan yang pernah ada. 

Menurut penelusuran Rif’ah, batik Sendang pertama kali diperkenalkan oleh istri Sunan Sendang, yaitu Raden Ajeng Tilarsih pada abad ke-16. Jadi batik Sendang sudah berusia sekitar lima abad. Batik Sendang sempat mati sejak Gestapu sampai awal tahun 1980. Kemudian batik ini dihidupkan kembali di masa kepemimpinan Bupati Moh. Safi’i Asari. 

Buku ini bisa sangat cocok untuk referensi mengenai sejarah dan budaya Lamongan. Anda bisa membacanya di Perpustakaan IAI Tarbiyatut Tholabah Kranji. Atau hubungi Pustaka Wacana di WA 085731201677 atau email pustakawacana6@gmail.com

SEJARAH

Makam Joko Tingkir di Lamongan dan Kontroversinya: Dicetuskan Gus Dur, Dipopulerkan Masfuk

Selama ini sebagian besar warga Lamongan percaya makam Joko Tingkir ada di Lamongan. Tepatnya di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran. Google Maps klik di sini. Apalagi Persela dijuluki Laskar Joko Tingkir. 

Makam Joko Tingkir ini sekarang bahkan sudah menjadi tujuan sebagian orang untuk tirakatan. Dulu pada masa jayanya Persela, sebelum bertanding, tim Persela biasanya nyekar dulu ke makam Joko Tingkir di Pringgoboyo.

Apakah memang benar ini makam Joko Tingkir?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Jawaban ringkasnya, wallahu a’lam. Tapi berdasarkan penelusuran sejarah, bisa jadi tidak. 

Jika ini bukan makam Joko Tingkir, kenapa selama ini dipercaya sebagai makamnya?

Asal-Usul Kepercayaan Makam Joko Tingkir di Lamongan

Ceritanya bermula dari pengakuan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Semasa hidupnya Gus Dur dikenal sebagai orang yang gemar melakukan ziarah kubur. Sampai-sampai ia dijuluki arkeolog makam.

Sebetulnya kebiasaan ini tidak khas Gus Dur. Orang-orang NU pada umumnya juga senang melakukan ziarah kubur. Kebiasaan Gus Dur ini menjadi istimewa karena dia tokoh besar. Apalagi dia semasa hidupnya terkenal sosok cendekiawan kosmopolit. 

Sebelum menjadi Presiden, Gus Dur beberapa kali mengunjungi makam di Desa Pringgoboyo ini. Ia ditemani oleh pendekar muda NU yang kelak kita kenal sebagai Gus Muwafiq. Pada waktu itu kunjungan Gus Dur ke desa ini belum menjadi berita nasional karena Gus Dur belum menjadi presiden. Yang menarik, Gus Dur diangkat menjadi presiden oleh MPR beberapa bulan setelah berziarah ke makam ini. Mereka yang percaya dengan karomah para wali lalu mengaitkan pengangkatan Gus Dur ini dengan ziarah makam Joko Tingkir ini. 

Orang Lamongan baru menjadi tertarik dengan makam ini justru setelah Gus Dur tidak lagi menjadi presiden. Setidaknya ia dua kali menyebut makam di Desa Pringgoboyo ini sebagai makam Joko Tingkir. Satu kali lewat sebuah tulisan, dan satu kali lewat sebuah ceramah di Gresik. Dua-duanya diucapkan setelah dia tidak menjadi presiden.

Rekaman ceramah Gus Dur bisa didengar di sini. Silakan klik tanda PLAY. 

Tulisan Gus Dur yang menyebut Joko Tingkir sebetulnya tulisan sosial politik yang serius. Meskipun di tulisan ini ia salah menyebut nama desa Pringgoboyo, pembaca masih bisa menangkap maksudnya. Tulisan ini juga sebetulnya tidak ada kaitannya dengan ziarah kubur melainkan terkait dengan sikap politiknya. Walaupun ia tidak lagi berada di pemerintahan, ia tetap bisa bekerja untuk masyarakat lewat lembaga sosial swadaya. Hal ini sudah dicontohkan oleh Joko Tingkir pada masa lalu.

Menurut sejarah, Joko Tingkir (yang lebih dikenal dengan nama besarnya, Sultan Hadiwijaya Raja Pajang) digulingkan dari kekuasaannya oleh Sutawijaya  (pendiri Kerajaan Mataram). Setelah tidak lagi menjadi raja, ia menyingkir dari keramaian politik dan tinggal di Desa Pringgoboyo ini. Di sini ia mendirikan pesantren dan mengajari warga sekitar. Ia tinggal di desa ini sampai meninggal dan dimakamkan di sini.

Gus Dur menyebut nama Joko Tingkir ini dalam kaitannya sebagai role model. Kebetulan sekali cerita hidup Gus Dur mirip sekali dengan Joko Tingkir. Keduanya dijatuhkan dari kursi oleh orang yang dulu mengangkatnya. Joko Tingkir dijatuhkan oleh Sutawijaya, anak angkatnya sendiri. Sementara Gus Dur dijatuhkan oleh MPR yang setahun sebelumnya mengangkatnya jadi presiden. Setelah dijatuhkan dari kekuasaannya, keduanya menjauh dari dunia politik tapi masih melanjutkan kerja sosial untuk masyarakat lewat cara non-pemerintahan.

Bagaimana Joko Tingkir Bisa Sampai Lamongan? 

Bukankah Lamongan jauh sekali dari Kerajaan Pajang di Sukoharjo dekat Solo?

Menurut salah satu versi sejarah, orangtua Joko Tingkir berasal dari Madura. Pada saat muda, ia merantau ke Kerajaan Demak. Ia berangkat ke pusat kerajaan pada masa itu lewat Bengawan Solo. Muara Bengawan Solo pada masa itu berada di Selat Madura. Baru pada zaman Belanda, muara Bengawan Solo dipindah ke Ujungpangkah Gresik untuk menghindari pendangkalan Selat Madura. 

Saat bepergian lewat Bengawan Solo, Joko Tingkir biasa beristirahat di tengah perjalanan, di tempat yang sekarang menjadi Desa Pringgoboyo, Maduran. Menurut legenda, pada saat berangkat menuju pusat Kerajaan Demak, di sepanjang Bengawan Solo ia bertarung mengalahkan 40 ekor buaya. Kekuatan fisiknya ini menjadi salah satu bekal yang mengantarkannya menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Ketika dia kalah perang dari Sutawijaya, ia pulang ke tanah asalnya di Madura. Setelah merasa cukup kuat,  ia berangkat kembali untuk merebut kekuasaannya yang direbut oleh Sutawijaya. Seperti biasa, ia berangkat lewat Bengawan Solo. Sampai di Pringgoboyo, ia singgah di sini. Pada saat tidur di sini, dia bermimpi bertemu gurunya yang melarang dia kembali berebut kekuasaan lagi. Karena nasihat ini, Joko Tingkir akhirnya mengurungkan niat kembali ke Pajang. Ia memutuskan tinggal di Pringgoboyo, mendirikan pesantren di sini, menjadi guru, sampai meninggal di sini.

Dalam pandangan Gus Dur dan orang-orang NU, Joko Tingkir ini adalah wali. Seorang yang dimuliakan. Inilah alasan kenapa dulu Kyai Muwafiq marah besar ketika ada yang membuat lagu guyonan Joko Tingkir Ngombe Dawet. Walaupun pantun lagu itu tidak menghina Joko Tingkir, menurut Muwafiq, lirik lagu itu tidak menghormati Joko Tingkir sebagai wali besar.

Apakah Ada Bukti Sejarah di Makam Joko Tingkir?

Sayangnya, sejauh ini tidak ada bukti sejarah yang menguatkan teori Gus Dur. Teori Gus Dur ini hanya didasarkan pada tafsir tembang zaman dulu Sigro Milir yang populer di kalangan warga NU. Tapi sejauh ini tidak ada catatan sejarah mengenai akhir hayat Sultan Hadiwijaya di daerah ini. Nisan dan bebatuan di sekitar makam juga tidak menunjukkan adanya tanda-tanda ini makan Sultan Hadiwijaya.

Selama ini Sultan Hadiwijaya diyakini dimakamkan di Sragen. Secara geografis, ini lebih bisa diterima karena lokasinya yang dekat dari pusat Kerajaan Pajang di Sukoharjo.

Persoalan sejarah tidak semudah utak-atik-matuk. Ini tidak hanya terjadi pada soal Joko Tingkir tapi juga tokoh-tokoh lain. Misalnya, warga Lamongan meyakini Patih Gajah Mada (baca Gajah Modo) yang terkenal itu berasal dari daerah Modo, Lamongan. Keterbatasan catatan sejarah membuat semua dugaan itu selamanya akan wallahu a’lam.

Tapi karena pendapat soal Joko Tingkir ini diucapkan oleh Gus Dur, maka mudah dipahami jika sebagian besar orang kemudian percaya begitu saja. Bagi orang Lamongan, pendapat Gus Dur ini dianggap sebagai referensi yang menguntungkan Lamongan. 

Pada saat Masfuk memimpin Persela, ia menamai tim sepakbola Lamongan ini sebagai “Laskar Joko Tingkir”. Sebelum itu Persela sempat gonta-ganti julukan tapi tidak ada yang membawa hoki. Ndilalah sejak namanya diganti Laskar Joko Tingkir, Persela menjadi benar-benar trengginas mengalahkan tim-tim besar sepakbola sampai masuk Liga Satu. Persis seperti Joko Tingkir yang bertarung melawan 40 ekor buaya selama menyusuri Bengawan Solo.

Tapi, semua yang mendapat tuah dari Joko Tingkir ini juga mengalami nasib seperti Joko Tingkir di masa tuanya. Masa jayanya sebagai Sultan Hadiwijaya tidak bertahan lama. Gus Dur juga hanya menjadi presiden selama satu tahun. Begitu pula Persela yang tidak bisa bertahan lama di Liga Satu dan akhirnya turun kelas kembali ke Liga Dua.

SEJARAH

Sejarah Bangkai Pesawat Tempur di Desa Weru, Paciran, Lamongan 

Hari Minggu, 21 Mei kemarin, nelayan Desa Weru Kecamatan Paciran Lamongan menemukan bangkai pesawat tempur saat melaut. Lokasi penemuan sekitar 12 mil dari pantai.

Penemuan ini menambah daftar bangkai alat tempur yang ditemukan di wilayah Lamongan. Tahun 2019 lalu, warga Desa Mertani Karanggeneng juga menemukan perahu baja di Bengawan Solo. Awalnya perahu baja ini diduga milik tentara Sekutu yang sedang di Jawa untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang pada tahun 1945. Dugaan ini didasarkan pada cap yang menunjukkan perahu ini buatan Amerika.

Namun berdasarkan penelusuran sejarah yang kami lakukan, bangkai perahu baja ini kami duga kuat milik tentara Belanda yang digunakan pada saat agresi militer sesudah kemerdekaan RI. Pada masa itu Belanda memang banyak menggunakan alat tempur buatan Amerika. Ini bagian dari bantuan Amerika yang diberikan kepada negara-negara sekutunya selama Perang Dunia II.

Selengkapnya tentang Sejarah Perahu Baja bisa dibaca di sini

Bagaimana dengan bangkai pesawat di Weru ini?

Pada awalnya masyarakat Weru menduga bangkai pesawat itu ada hubungannya dengan penuturan orang-orang tua dulu bahwa di desa ini ada tangsi (barak militer) zaman Belanda. Namun, sepertinya dugaan ini sulit dihubungkan. Seandainya pun di Weru pernah ada tangsi, sejauh ini tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan desa ini pernah menjadi pangkalan pesawat tempur. 

Kemungkinan Pertama: Pesawat Tempur Belanda


Dugaan paling kuat sejauh ini baru dikemukakan oleh Zaki Yamani, pegiat komunitas sejarah Begandring, Surabaya. Menurut dugaannya, bangkai pesawat itu adalah potongan sayap pesawat milik Belanda yang jatuh di laut Jawa pada tahun 1941. 

Pesawat jenis Martin 166 WH-3 itu terbang dari Singkawang menuju Palembang pada tanggal 23 Desember 1941. Data ini tercatat di situs Aviation Safety. Dilihat dari bentuknya, bangkai pesawat itu memang sesuai dengan bentuk sayap pesawat Martin 166. 

Awalnya nelayan menyangka bagian baling-baling itu adalah baling-baling utama di depan pilot. Tapi sebetulnya ini adalah baling-baling samping.

Dilihat dari kerangka bagian dalamnya (ragangan), sepertinya ini memang cocok dengan kerangka Martin 166.

Cuma, yang jadi pertanyaan, kenapa pesawat itu jatuh di perairan Lamongan? Padahal pesawat itu terbang dari Singkawang, di pesisir barat Kalimantan, menuju ke Palembang, Sumatera Selatan. Pertanyaan ini masih belum bisa dijawab. Mungkin pesawat itu dikejar oleh pesawat tempur Jepang.  

Spekulasi ini masih bisa diterima mengingat pada hari itu Jepang mengebom pangkalan udara Belanda di Singkawang. Beberapa pesawat Belanda yang masih selamat dilarikan ke pangkalan udara Belanda di Palembang. Jadi memang terbangnya pesawat Belanda dari Singkawang ke Palembang ini bukan penerbangan biasa melainkan penerbangan darurat dalam rangka melarikan diri. 

Pada bulan Desember 1941, Jepang melakukan agresi militer ke semua wilayah Sekutu. Pada tanggal 7 Desember penerbang-penerbang Jepang mengebom pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor. Setelah itu mereka merangsek ke Asia Tenggara yang saat itu dikuasai oleh Inggris, Amerika, dan Belanda. Pangkalan militer Belanda di Singkawang menjadi target awal karena tempatnya yang strategis. Dari sini, Jepang kemudian merangsek ke Jawa dan Sumatera. 

Kemungkinan Kedua: Pesawat Tempur Jepang

Pada saat Perang Dunia kedua itu, kekuatan tempur Belanda jauh di bawah kekuatan tempur Jepang, baik dalam hal mental pasukan maupun peralatan. Maka Singkawang pun jatuh ke tangan Jepang dengan mudah. Setelah itu, selama Februari dan Maret 1942, terjadi beberapa kali pertempuran besar di laut Jawa antara kapal-kapal perang Jepang melawan kapal perang Sekutu. Ini adalah pertempuran laut terbesar selama Perang Dunia ke-2. Bisa dibayangkan, pada saat itu di laut Jawa hilir mudik kapal-kapal perang Sekutu dan Jepang. Dalam pertempuran besar ini, Sekutu keok. Kapal-kapal tempur mereka ditenggelamkan oleh tentara Jepang. Hingga akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.

Di pertempuran Laut Jawa ini Jepang maupun Sekutu juga mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya. Walaupun Jepang menang besar, beberapa kapal perang mereka juga tenggelam. Mungkin ada juga pesawat tempur Jepang yang jatuh dan tidak tercatat. Beberapa pesawat tempur Jepang era Perang Dunia kedua juga memiliki desain yang mirip dengan bangkai yang ditemukan di Weru, misalnya Mitsubishi G4M. 

Salah satu lokasi Pertempuran Laut Jawa adalah di perairan Lamongan-Gresik-Bawean. Pertempuran ini melibatkan belasan kapal perang. Di perairan inilah kapal perang Belanda De Ruyter yang dipimpin oleh panglima perang mereka, Karel Doorman, ditenggelamkan oleh pasukan Jepang. Jadi, Laut Jawa sebelah utara Lamongan memang penuh dengan bangkai bom dan kendaraan tempur. 

Kelemahan utama dari dugaan ini adalah kita tidak memiliki referensi mengenai pesawat tempur yang jatuh dalam pertempuran ini.

Kemungkinan Kecil: Pesawat Belanda Saat Agresi Militer

Setelah kemerdekaan RI, Belanda masih berusaha menguasai kembali Jawa lewat dua kali agresi militer tahun 1947 dan 1949. Selama agresi militer ini, Belanda juga menyerang pesisir Lamongan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Foto-foto di bawah ini adalah dokumentasi tentara Belanda yang dijepret dari pesawat tempur. 

Apakah ada pesawat Belanda yang jatuh saat operasi ini? Kemungkinan besar tidak. Saat itu Belanda menyerang dengan tiba-tiba. Pejuang Lamongan saat itu juga tidak punya senjata untuk menjatuhkan pesawat. Apalagi bagkai pesawat ini ditemukan di tengah laut. 

Ini adalah foto Jembatan di Tunggul yang disambung sementara.
Mungkin baru saja dibom oleh Belanda.
Di foto ini tampak jelas orang-orang di pantai melihat ke arah pesawat.
Kemungkinan besar foto ini lokasinya di Weru.

Kemungkinan Paling Kecil: Pesawat Zaman Hindia Belanda

Satu tahun setelah kapal Van der Wijck tenggelam tahun 1936 di perairan Brondong, sebuah pesawat tempur Belanda jenis T2 tenggelam di sekitar tempat yang sama. Tapi bangkai pesawat ini sudah diangkat menggunakan kapal Belanda. Jadi ini jelas bukan pesawat jenis T2 yang jatuh itu. Desain pesawat juga berbeda dari bangkai yang ditemukan di Weru.