MENELUSURI JEJAK IBU SUNAN GIRI DI LAMONGAN
Berwisata religi bisa dilakukan dengan banyak cara. Mengunjungi makam-makam para pendahulu yang berjasa dalam penyebaran agama Islam, misalnya. Jika selama ini kita sering berziarah ke makam-makam sunan, bagaimana jika sekali-kali kita berziarah ke makam-makam ibu para sunan, orang yang berjasa melahirkan mereka.
Di Lamongan kita bisa melakukan hal ini. Bukan di makam ibu Sunan Drajat, satu-satunya Wali Songo di Lamongan, bukan juga ke makam ibu Sunan Sendang Duwur, melainkan ke makam ibu dari Sunan Giri, sunan yang menyebarkan agama Islam di Gresik.
Loh, bagaimana sunan yang menyiarkan agama Islam di Gresik, makam ibunya bisa berada di Lamongan? Nah, jadi begini ceritanya.
Cerita berawal dari Kerajaan Blambangan di bawah pimpinan Raja Minyak Senguru yang didera sebuah musibah. Putri cantik raja, Dewi Sekardadu, mengidap penyakit ganas yang sukar disembuhkan. Meski imbalannya cukup mengiurkan, yakni kalau lelaki akan dinikahkan dengan putri cantik tersebut, dan apabila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu, namun, tidak ada seorang tabib pun yang bisa mengobati.
Hingga akhirnya datang Maulana Ishaq dari Lempo (Aceh). Sebelum mengobati Dewi Sekardadu, ia memberikan syarat kepada raja. Ia ingin seluruh kerajaan mengikuti agamanya, agama Islam.
Raja yang ingin anaknya sembuh mengiyakan saja. Dewi Sekardadu pun sembuh dan seperti janji raja, Maulana Ishaq menikah dengan putrinya itu.
Dua tahun berselang, Dewi Sekardadu sedang hamil 4 bulan. Saat itu raja ingin mengusir Maulana Ishaq dari kerajaan. Rasa setengah hatinya menjadi muslim menjadi penyebabnya. Merasa tidak bisa melanjutkan siar sebebas dulu lagi, Maulana Ishaq pamit untuk siar agama ke arah timur.
Setelah 19 bulan 9 hari mengandung, Dewi Sekardadu melahirkan seorang bayi lelaki. Usia kandungannya memang tergolong lama. Saat itu di wilayah Blambangan sedang gempar-gemparnya pembunuhan bayi lelaki oleh kerajaan. Ini merupakan muslihat agar tidak ada keturunan dari Maulana Ishaq yang mewarisi tahta kerajaan. Agar tidak dibunuh, Dewi Sekardadu meminta pembantu kerajaan untuk menghanyutkan bayinya ke sungai.
Di Desa Dagang ibu dan anaknya bertemu
Sudah 15 tahun berlalu, Dewi Sekardadu pergi meninggalkan kerajaan untuk mencari Maulana Ishaq dan anaknya. Selain itu, ia juga tidak mau dinikahkan dengan anak Mahapati. Dewi Sekardadu berangkat ditemani dua orang pembantu kerajaan.
Dari sini banyak versi cerita bermunculan. Salah satunya versi yang mengatakan bahwa bayi Dewi Sekardadu tidak dihanyutkan di sungai, tapi dihanyutkan di laut. Lalu ia terdampar di pantai Gresik dan dipungut oleh warga sekitar. Dewi Sekardadu yang pergi mencarinya meninggal, jasadnya terdampar di pantai Buduran, Sidoarjo. Inilah cerita yang meyakinkan banyak orang bahwa jasad Dewi Sekardadu dimakamkan di Sidoarjo.
Sedangkan dalam buku dongeng yang disimpan oleh juru kunci makam Dewi Sekardadu di Lamongan, menceritakan rombongan Dewi Sekardadu berjalan menuju ke Gresik hingga sampai di Desa Dagang dan bertemu dengan anaknya yang sudah beranjak dewasa dan kelak menjadi Sunan Giri itu.
Dari Desa Dagang, rombongan Dewi Sekardadu melanjutkan perjalanan mencari Maulana Ishaq ke arah barat melewati hutan penuh gelagah (saat ini bernama Desa Glagah). Kebetulan hutan tersebut dekat dengan tempat tinggal Mbah Lamong (tokoh yang kelak namanya diabadikan menjadi nama kota ini, Lamongan) Sehingga tempat tinggal Mbah Lamong diberi nama Desa Deket.
Perjalanan dilanjutkan, kali ini rombongan sampai di hutan kelapa yang sangat singit. Singit dalam bahasa jawa artinya keramat (saat ini bernama Desa Keramat).
Keluar dari hutan kelapa, rombongan melewati hutan kembang. Kembang dalam bahasa jawa berarti bunga (saat ini bernama Desa Bunga). Beranjak dari sana, rombongan tersesat. Mereka berputar-putar di suatu tempat dan tak bisa menemukan jalan keluar. Sekarang tempat ini bernama Desa Puter Kembangbahu. Mereka mencoba peruntungan ke arah barat tapi malah mentok (bertemu jalan buntu), dihadang oleh sebuah gunung besar. Tempat mereka mentok ini sekarang bernama Desa Mantup. Merasa bingung, rombongan naik ke atas gunung dan beristirahat.
Cukup beristirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini mereka berhenti di daerah bekas Kerajaan Jonggolok. Dewi Sekardadu yang merupakan putri Kerajaan Blambangan dan seorang yang dermawan, dianggap sebagai orang yang berderajat oleh penduduk sekitar. Daerah ini sekarang bernama Desa Deket Agung, artinya dekat dengan orang yang berderajat.
Dari sana, Dewi Sekardadu dan rombongannya pergi ke arah utara sungai. Di tempat ini Dewi Sekardadu dijuluki Mbok Rondo Gondang. Mbok dalam bahasa jawa biasa digunakan untuk sapaan ibu. Rondo artinya janda, meskipun sebenarnya Dewi Sekardadu memiliki suami, namun karena mereka terpisah, maka orang sekitar tetap menyebut Dewi Sekardadu rondo. Sedangkan gondang artinya terusir, mungkin penduduk sekitar mengira Dewi Sekardadu pergi jauh meninggalkan Kerajaan Blambangan karena diusir. Istilah terakhir ini juga yang diabadikan sebagai nama desa tempat tinggal Dewi Sekardadu ini, yakni Desa Gondang.
Tak lama tinggal di sana, Dewi Sekardadu meninggal. Ia pun dimakamkan.
Tentu, kita tidak bisa menyebut dongeng ini sebagai kisah perjalanan hidup Dewi Sekardadu yang sebenarnya. Namun, jika menilik napak tilas perjalanan Dewi Sekardadu yang didukung dengan diabadikan menjadi nama-nama desa, dongeng ini bisa dijadikan bahan pengkajian.
Di makam Dewi Sekardadu di Lamongan, pada hari-hari biasa terlihat cukup sepi. Jika sedang tidak ada pengunjung, yang menonjol hanya bangunan bercat putih dengan lantai keramik putih. Luas bangunannya sekitar 64 meter persegi, berada di tengah-tengah tanah seluas kira-kira 144 meter persegi yang dikelilingi pagar bata. Makam ini jauh lebih kecil dan lebih sederhana jika dibandingkan dengan makam Dewi Sekardadu di Sidoarjo.
Jika Anda akan berkunjung ke makam Dewi Sekardadu ini, jangan lupa untuk mendatangi dulu juru kuncinya, Pak Yasak. Apalagi jika Anda ingin melihat makamnya secara langsung, hukum bertemu Pak Yasak malah wajib. Bukan apa-apa, tapi makamnya itu dikunci. Lah, Pak Yasak yang pegang kuncinya.
Konon, Dewi Sekardadu dikuburkan bersama dengan gamelannya, dua piring guritan, dan sebuah tombak. Ini merupakan salah satu wasiatnya sebelum meninggal. Wasiat lainnya, ia meminta bagi siapa saja yang ingin berbalas budi terhadap dirinya, cukup menyiratkan tanah di atas makamnya. Jika Anda ingin melakukannya, silahkan saja.
Makam Dewi Sekardadu:
Desa Gondang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan.
Sekitar 1 km sebelah timur Wisata Waduk Gondang, bersebelahan dengan Masjid.
Rumah Pak Yasak:
Sekitar 100 meter sebelah timur makam Dewi Sekardadu, menghadap ke utara.
GUNUNG RATU, BUKIT TEMPAT LAHIRNYA GAJAH MADA
Siapa yang tak kenal dengan Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit itu? Nama besar yang ia miliki membuatnya dikenang di seluruh penjuru nusantara. Maka jangan heran jika di banyak tempat di Indonesia terdapat dongeng tentang kelahiran patih yang terkenal dengan sumpah palapanya itu. Dongeng-dongeng tersebut tersebar dengan mudah karena belum adanya sejarah yang pasti tentang kelahiran sang patih.
Beberapa tempat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara memiliki dongeng yang berbeda-beda. Ada yang menceritakan Gajah Mada sebenarnya putra kerajaan, ada juga yang berpendapat ia lahir dari orang tua biasa, bahkan versi lain menganggap Gajah Mada terlahir dari batu.
Di pulau Jawa, Lamongan merupakan salah satu kota yang memiliki dongeng tentang Gajah Mada. Di Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang, di atas sebuah bukit bernama Gunung Ratu, ada sebuah makam yang diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Dewi Andong Sari, ibu dari Gajah Mada.
Dewi Andong Sari merupakan salah satu selir raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Ia dibuang dan akan dibunuh karena fitnah yang menyebut ia hamil dari hasil perselingkuhan.
Tak sampai dibunuh, Dewi Andong Sari hanya diasingkan di atas bukit di dalam hutan oleh prajurit kerajaan. Bukit inilah yang sekarang disebut Gunung Ratu.
Tak lama tinggal di sana, Dewi Andong Sari melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat ia hendak turun dari bukit, Dewi Andong Sari menitipkan bayinya pada dua hewan peliharaan yang selama ini menemaninya, seekor kucing bernama condromowo dan seekor garangan (musang) putih.
Dalam dongeng yang tidak bisa diuji kebenarannya ini, Dewi Andong Sari bunuh diri di Gunung Ratu. Ia merasa bersalah telah membunuh kucing condromowo dan musang putih.
Sebelumnya, dua hewan ini telah melawan seekor ular besar yang hendak memangsa bayi Dewi Andong Sari hingga mulut mereka berlumuran darah. Tapi, Dewi Andong Sari yang baru tiba dari mandi, justru mengira peliharaannya tersebut telah memakan si bayi. Padahal bayi tersebut masih hidup dan tersembunyi di balik dedaunan.
Jejaka dari Desa Modo
Ki Gede Sidowayah seorang pamong desa saat itu yang menemukan bayi Dewi Andong Sari. Ia juga yang mengubur jasad wanita cantik itu, juga kucing dan musang yang telah mati.
Bayi Dewi Andong Sari oleh Ki Gede Sidowayah dititipkan kepada adik perempuannya, Janda Wara Wuri di Modo. Di sanalah anak Dewi Andong Sari dijuluki Joko Modo (seorang jejaka yang berasal dari Modo). Ketika menginjak dewasa, Joko Modo dibawa Ki Gede Sidowayah ke Malang untuk menjadi seorang prajurit Majapahit dan nantinya menjadi mahapatih dengan nama Gajah Mada.
Tak hanya versi Lamongan, nama Mada pada Gajah Mada oleh dongeng versi Bali yang tertulis dalam Teks Lontar Babat Gajah Maddha juga berasal dari desa yang bernama Maddha. Namun Desa Maddha yang dimaksud bukan Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, melainkan Desa Maddha yang terletak di dekat Gunung Semeru.
Suasana 17-an
Jalan menuju ke Gunung Ratu sedikit terjal. Untuk sampai ke sana, Anda harus melewati jalan bercadas dan paving sejauh 3 km.
Setelah sampai pun, Anda harus siap menaiki 100-an lebih anak tangga yang menuju ke atas Gunung Ratu. Warga sekitar percaya jika seseorang menghitung anak tangga ini, jumlah yang didapat akan berbeda dengan orang lainnya. Mungkin ini terjadi karena kecenderungan seseorang yang terganggu konsentrasinya ketika menghitung sesuatu secara berulang-ulang.
Percaya atau tidak Anda boleh datang dan mencobanya. Seorang teman saya menghitung 170 anak tangga, sedangkan Pak Sulaiman mengaku pernah menghitung dan mendapati 168.
Setelah dipugar, kompleks makam Dewi Andong Sari terlihat rapi. Banyaknya pepohonan tidak membuat jalan setapak dan dua tempat semacam pendopo kecil untuk beristirahat pengunjung menjadi kotor. Terlihat sekali, kompleks makam yang tidak luas ini dirawat dengan baik. Kuburan kucing conrdomowo dan musang putih yang mencolok di atas tanah tepat di samping jalanan keramik juga terawat.
Suasana Indonesia sangat terasa di sini. Bendera merah-putih dilingkarkan di beberapa batang pohon besar, juga di atap dan dinding pendopo. Di salah satu pendopo juga terpampang dua gambar Bapak Prokamator, Bung Karno, lengkap dengan garuda lambang negara. Bangunan luarnya banyak yang bercat merah dan putih, mirip seperti suasana saat 17-an.
Makam Dewi Andong Sari sendiri terdapat di dalam bangunan sebelah utara menghadap ke selatan. Di dalam bangunan ini, makam Dewi Andong Sari dihiasi dengan payung-payung kuning khas kerajaan. Selain itu, dalam bangunan yang luasnya hanya sekitar 4×4 meter ini juga terdapat 5 batang pohon besar yang menembus hingga ke atas atap. Nampaknya sebelum dipugar, 5 pohon ini sudah berdiri tegak dan memang sengaja tidak ditebang.
Oh iya, di area kompleks makam ini ada peraturan unik. Tamu tidak boleh mengganggu tamu, dan tamu tidak boleh mencari tamu. Anda yang datang dengan niat baik-baik tidak perlu pusing memikirkannya. Karena usut punya usut, dua larangan ini dibuat atas keresahan warga oleh orang yang mengaku ‘dukun’ dan sering mengganggu pengunjung di makam Dewi Andong Sari. Ada-ada saja ya, hehehe…
Rute menuju ke mkam Dewi Andong Sari:
Dari pasar Babat menuju ke arah Jombang sekitar 21 km
Di depan Kantor Koramil Kecamatan Ngimbang ada pertigaan kecil menuju ke arah timur
Makam Dewi Andong Sari berada 3 km sebelah timur pertigaan tersebut.
BABAT SI KOTA TUA
Seandainya predikat Kota Tua di Kabupaten Lamongan harus ada, mungkin Kecamatan Babat yang paling pantas untuk menyandangnya. Di balik hiruk-pikuknya sebagai pusat perdagangan Lamongan, wilayah yang dijuluki sebagai Kota Wingko ini menyimpan banyak cerita masa lampau yang dapat dilihat dari beberapa bangunan tuanya, seperti bangunan CTN, gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung.
Dengan melihat sekilas saja, kita akan tahu bangunan CTN yang terletak di Jalan Raya Babat ini merupakan bangunan yang sudah sangat tua. Dekorasi-dekorasi serta desain kuno terlihat mencolok dari setiap sisi bangunan tersebut.
Tidak ada yang tahu persis kapan bangunan yang merupakan Corps Tjadangan Nasional ini di bangun. Namun mungkin, bangunan yang dulu menjadi tempat asrama tentara ini sudah ada sekitar seabad yang lalu, di zaman Belanda.
Jangan membayangkan bangunan ini besar dan terawat seperti bangunan Lawang Sewu di Semarang, misalnya. Di balik kesamaannya menyimpan banyak cerita mistik, bangunan CTN mempunyai luas jauh lebih sempit yang terbagi menjadi dua area dengan pembatas pagar bambu, yakni area utara dan selatan.
Di area utara, saat ini digunakan sebagai tempat tinggal bagi petugas Koramil yang ditugaskan mengawasi bangunan ini. Selain bangunan tempat tinggal ini, sedikit ke belakang terdapat sebuah gudang yang beberapa bagian atap dan temboknya sudah mulai runtuh.
Menilik ke area selatan, terdapat bangunan yang lebih besar dengan pekarangan yang cukup luas. Sayangnya sejak sekitar tahun 1993, terakhir kali bangunan ini dijadikan sebagai asrama Koramil, bangunan serta pekarangannya tidak lagi terawat. Pekarangan yang dulu bersih, sekarang dipenuhi rumput-rumput liar. Sedang bangunannya sendiri kotor, banyak kotoran ayam di lantai, dan bagian tertentu sudah terlihat mulai runtuh.
Jika Anda mencoba mendekat pada bangunan tersebut, dua patung singa di kanan dan kiri sudah menyambut Anda. Motif dinding dan patung tentara Belanda yang terletak di bagian atas bangunan jelas menunjukkan identitas yang membangun sebelum direbut oleh tentara Jepang dan akhirnya jatuh ke tangan tentara Indonesia.
Sayangnya tiga pintu depan bangunan ini dikunci. Jadi Anda yang penasaran dan berharap bisa masuk ke dalam nampaknya harus gigit jari. Sebagai pengobat kecewa, Anda bisa berfoto di depan bangunan ini. Bangunan tua di zaman modern sangat cocok dijadikan sebagai latar belakang foto Anda.
Konon, gudang di area utara dan bangunan area selatan ini terkenal mistik. Beberapa orang mengaku pernah menejumpai makhluk menyerupai wanita, berjubah putih, berambut putih, dan bermata satu berkeliling di sana. Hmm, jika benar ada, mungkinkah ia arwah Noni Belanda seperti Noni Van Elen, hantu dalam film horor Lawang Sewu?
Sebagai kota kecamatan yang menjadi titik temu empat kabupaten, yakni Lamongan, Bojonegoro, Jombang, dan Tuban, wajar saja bila Kecamatan Babat merupakan kecamatan yang ramai, bukan hanya sekarang namun juga di masa lalu. Dari itu juga jangan heran jika dahulu terdapat sebuah gedung pertunjukan bioskop di kota ini.
Gedung Garuda namanya, terletak hanya 20 meter sebelah utara depan bangunan CTN, gedung ini pun tak kalah tua. Tahun 1986, gedung yang memiliki luas sekitar 500 meter persegi tersebut terakhir kali difungsikan sebagai bioskop. Sayang memang, akibat tidak memiliki peminat lagi bangunan yang bagian bawahnya bercat biru dan telah kusam ini harus kehilangan cerita masa lalunya.
Nampaknya patung garuda besar yang tak kalah kusam dan menempel di dinding bagian atas gedung tersebut tidak lagi menarik perhatian masyakat sekitar untuk datang dan menonton film di sana.
Saat ini, di dalam gedung Garuda sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa kemegahan sebagai satu-satunya gedung bioskop di Kota Babat dahulu. Di bagian depan hanya ada sebuah warung kopi. Sedangkan di dalam yang ada hanya dua arena bulu tangkis dan belasan kursi penonton, sisanya hanya tempat kosong yang lengang. Memang, sejak tidak menjadi gedung pertunjukan bioskop, gedung ini dialihfungsikan sebagai arena bulu tangkis, daripada nganggur.
Beranjak sedikit jauh ke arah tenggara, kita bisa menemui stasiun kereta api Babat. Tentu stasiun ini sudah tidak asing lagi bagi Anda masyarakat Lamongan yang gemar berpergian menggunakan alat transportasi berbadan panjang ini.
Stasiun Babat memiliki enam jalur rel yang masih aktif digunakan saat ini. Namun, jika Anda mencoba menyusuri daerah sekitar stasiun, Anda akan mendapati banyak jalur rel lainnya yang sudah tidak lagi digunakan. Di zaman belanda, jalur-jalur ini digunakan untuk mengangkut hasil bumi. Maklum, di masa itu, alat transportasi jarak jauh yang mudah diakses hanyalah kereta api.
Jika diamati, konstruksi di bagian dalam maupun bagian luar stasiun tidak terlihat ada sisa-sisa bangunan tua, berbeda dengan bangunan CTN dan gedung Garuda, stasiun ini terlihat jauh lebih modern. Apalagi sejak tahun 2002, saat stasiun yang masih menggunakan sistem persinyalan mekanik ini mulai ditangani oleh pemerintah daerah, pemugaran terus dilakukan. Namun, karena hal ini juga, stasiun Babat yang dulu termasuk stasiun kelas A, kini harus turun tingkat menjadi kelas B.
Saat ini stasiun terbesar di Kabupaten Lamongan ini merupakan tempat pemberhentian untuk kereta Kertajaya, KRD Bojonegoro, KRD Babat, Gumarang, dan KRDI AC.
Oh iya, jika Anda datang ke stasiun Babat lewat pertigaan sebelah tenggara pasar Babat, jangan lupakan juga keberadaan rumah panggung di kanan jalan sebelum sampai di stasiun. Unik memang, saat rumah-rumah masa kini menamankan pondasi beton yang kuat dan dalam, serta tembok bata yang megah, rumah panggung yang seluruhnya berjumlah empat ini masih tetap bertahan.
Keberadaan rumah-rumah panggung yang dibangun pada tahun 1918 ini tidak lepas dari keberadaan stasiun Babat. Rumah-rumah panggung ini merupakan rumah dinas bagi pegawai yang bekerja di stasiun. Sebenarnya ada 15 rumah dinas di kompleks ini, namun yang berupa rumah panggung hanya ada empat.
Konstruksi bangunannya: lantai, dinding, pintu, jendela, serta tiang, murni dari kayu jati. Karena tekstur kayu jati yang keras dan kuat, wajar jika rumah ini bisa bertahan hampir seratus tahun. Setiap satu rumah panggung ukurannya sekitar 15×10 meter persegi dengan tinggi 5 meter yang terbagi dalam beberapa petak di dalam rumah.
Untuk mempertahankan kekunoannya, konstruksi rumah panggung ini harus tetap asli. “Tidak boleh dirubah, paling hanya boleh dicat saja,” ujar Pak Sujud, penghuni salah satu rumah panggung.
Kemudahan transportasi di Babat saat ini membuat banyak pegawai stasiun memilih untuk pulang-pergi daripada tinggal di rumah dinas. “Makanya hanya 3 rumah saja (dari 15) yang dipakai dinas. Sisanya ditempati pensiunan,” tambah Pak Sujud yang sebelum pensiun sempat menjadi kepala stasiun pada tahun 1993.
Keempat rumah panggung ini berbentuk sama, persegi empat beratap genting tanah dan memiliki tinggi antara lantai dan tanah sekitar satu meter. Pekarangan untuk rumah-rumah panggung juga lebih luas di bandingkan dengan rumah dinas lainnya. Beberapa pohon yang ditanam di pekarangan juga membuat kesan asri dan kuno masih tetap melekat.
Seperti halnya bangunan CTN, keberadaan gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung sebagai bangunan-bangunan tua juga tidak lepas dari cerita mistik. Benar atau tidaknya saya juga tak tahu pasti. Jika ada dua golongan untuk menyebut orang yang bisa dan tidak bisa melihat hal-hal mistik, mungkin saya termasuk dalam golongan kedua. Bagaimana dengan Anda? Jika Anda termasuk dalam golongan pertama, tertarik untuk membuktikannya?
SUNAN DRAJAT, WALI PUJANGGA DARI LAMONGAN
Jika kita melakukan ziarah Walisongo, kita akan banyak berkeliling Jawa Timur. Karena memang lima dari sembilan makam wali tersebut berada di provinsi ini. Salah satunya adalah makam Sunan Drajat.
Makam Sunan yang bernama asli Raden Qosim ini berada di desa Drajat, kecamatan Paciran, Lamongan. Berada sekitar 1 km sebelah selatan pertigaan Drajat di Pantura (Pantai Utara) Lamongan, atau sekitar 29 km sebelah utara pertigaan Sukodadi.
Saat memasuki kompleks makam Sunan Drajat, kita akan disambut dengan bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu dan batuan yang tersusun tanpa semen. Bangunan ini memang menjadi ciri khas makam yang dipugar tahun 1992 tersbut. Berbeda dengan kompleks makam Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Bonang di Tuban yang merupakan ayah dan saudara kandung Sunan Drajat. Kompleks makam dua sunan tersebut tampak lebih modern.
Pepohonan yang rindang menjadi peneduh di kompleks makam ini. Cukup membuat sejuk, mengingat daerah Drajat yang termasuk pesisir mempunyai cuaca yang panas. Dari gerbang masuk, kita akan melewati jalan setapak menuju ke makam Sunan Drajat. Di kiri kanan jalan setapak ini kita bisa melihat banyak makam lain dan di antara pepohonan.
Di sepanjang jalan menuju ke makam ini juga kita akan menaiki beberapa anak tangga. Di setiap tingkatan anak tangga tersebut, kita akan menemui tulisan satu demi satu dari tujuh filosofi ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan Islam.
Ketujuh filosofi itu adalah:
- Memangun resep tyasing sasomo (Kita harus selalu membuat senag hati orang lain).
- Jroning suka kudu eling lan waspada (Dalam suasana riang, kita harus ingat dan waspada).
- Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan mencapai cita-cita luhur, kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
- Meper hardaning pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora hawa nafsu).
- Heneng-hening-henung (Dalam keadaan diam, kita akan memperoleh keheningan dan dalam hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
- Mulya guna panca waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin akan kita capai dengan sholat lima waktu).
- Menehana teken marang wong kang wuta, Menehana mangan marang wong kang luwe, Menehana busana marang wong kang weda, Menehana ngiyop marang wong kang kodanan.
Saya orang Jawa tulen asli Lamongan tapi hanya filosofi terakhir ini saja yang saya tahu artinya dengan pasti: Berikan tongkat pada orang yang buta, berikan makan pada orang yang lapar, berikan pakaian pada orang yang telanjang, serta beri naungan pada orang yang kehujanan.
Maksud dari filosofi ini adalah: Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, Serta beri perlindungan pada orang yang menderita.
Sunan Drajat menyiarkan agama Islam lewat tembang-tembang macapat yang berbentuk pangkur. Masyarakat yang dulunya memiliki kepercayaan animisme-dinamisme ‘tersihir’ dengan nada-nada pangkur yang berisi kandungan Al-Qur’an yang dibawakan olehnya.
Sunan Drajat juga dikenal dengan tutur katanya yang menyejukkan. Oleh karena itu, ia mendapat julukan Sunan Mayang Madu dari Raden Patah, sultan Kerajaan Demak. “Mayang berati kembang (bunga) dan madu berarti mengobati. Ini sebagai ungkapan yang menggambarkan setiap tutur beliau yang menyejukkan,” ucap Pak Edi, juru kunci makam Sunan Drajat.
Sunan Drajat menggunakan media gamelan untuk iringan tembang mocopatnya. Dan gamelan-gamelan tersebut masih tersimpan di dalam museum yang letaknya di sebelah timur makam. Selain gamelan, di dalam museum juga terdapat kitab-kitab yang dulunya milik Sunan Drajat, juga keramik dalam bentuk piring, mangkuk, sendok, dan lain-lain. Selain barang tersebut, masih banyak peninggalan Sunan Drajat lainnya di museum ini.
Makam Sunan Drajat ini di buka setiap hari 24 jam, namun untuk museumnya hanya buka pagi hingga menjelang petang. Makam ini jarang terlihat sepi oleh pengunjung, dan akan sangat ramai di hari-hari besar islam seperti di bulan Rajab atau Romadhon.
Selain pengunjung dari Lamongan sendiri, banyak juga pengunjung yang berasal dari luar kota. Mereka biasanya datang dalam rangka ziarah Walisongo. Seperti yang dilakukan oleh Santri dari Pondok Pesantren di Gondang Legi, Malang. “Ini kunjungan keempat kami setelah mendatangi makam-makam lainnya,” kata Ahmad, salah panitia dari Pesantren tersebut.
Setelah selesai berkunjung, sepanjang jalan keluar dari makam, kita akan melewati pedagang-pedagang yang menjual aneka oleh-oleh baik berupa makanan atau pakaian seperti di kebanyakan makam Walisongo lainnya.
Untuk masuk ke dalam makam sebenarnya tidak dikenakan biaya alias gratis. Namun, apabila Anda datang dengan mengunakan kendaraan pribadi mobil atau bus seperti rombongan dari Pesantren Gondang Legi tadi, Anda akan dikenakan biaya parkir Rp 50.000 dan Rp 1.000 per orang. Makam ini bisa dibilang wajib untuk dimasukkan ke dalam daftar wisata religi Anda. Apalagi jika Anda sedang berada tidak jauh dari wilayah Lamongan.
Rute dari Terminal Bungurasih:
– Naik bus kota jurusan Osowilangun, pilih yang lewat tol. Tarif Rp 5.000,- (AC PATAS).
– Dari Osowilangun, naik bus mini warna hijau jurusan Paciran, minta turun Drajat (bilang Kondektur). Ongkos Rp 9.000,-
– Dari jalan raya ke makam Sunan Drajat bisa naik ojek atau jalan kaki, sekitar 1 km.
KADET SOEWOKO, PAHLAWAN LOKAL YANG MENGINSPIRASI
Di tahun 1948 Agresi Militer Belanda II berlangsung. Kejadian ini dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk tetap menguasai Indonesia dengan tidak mengakui perjanjian Renville. Kita tahu, Yogyakarta – sebagai ibukota saat itu – menjadi kota yang paling gencar diserbu pihak Belanda. Sebagai contoh, saat pasukan Belanda menyerang pangkalan udara Maguwoharjo (lapangan udara Adisucipto). Dalam peristiwa tersebut tercatat 128 tentara Indonesia terenggut nyawanya. Tak hanya Yogyakarta, banyak daerah lain yang juga meninggalkan duka, salah satunya Lamongan.
Lamongan merupakan bagian wilayah pertempuran Brigade Ronggolawe daerah Operasi Timur (DOT) yang dipimpin oleh kapten Soekarsono selaku Komandan Komando Distrik Militer (KDM). Dari sanalah, 28 Maret 1949 malam, terjadi serangan umum ke Kota Lamongan yang melibatkan pasukan Tamtomo. Salah satunya pasukan yang dipimpin oleh Kadet Soewoko yang setelah serangan tersebut ditugaskan di daerah Laren.
Kadet Soewoko memang tak sepopuler Bung Tomo yang merupakan pahlawan Surabaya. Namun keberaniannya dalam melawan pasukan Belanda cukup membuat banyak orang, khususnya masyarakat Lamongan terinspirasi.
Kadet Soewoko bukan asli Lamongan. Ia lahir di Desa Lumbangsari, Krebet, Malang tahun 1928. Ia juga lulus dari sekolah kadet – calon perwira – di kota tersebut.
Tanggal 4 Maret 1949, Kadet Soewoko dan pasukannya tiba di Desa Laren. Setelah lima hari di sana, saat beristirahat di sebuah langgar (surau), mereka mendengar berita dari para penduduk bahwa ada sebuah truk power wagon yang dikendarai oleh tujuh serdadu Belanda terperosok ke dalam parit di jalan dekat Desa Parengan. Desa ini dulu berada di wilayah Kecamatan Sekaran, namun sekarang sudah masuk dalam wilayah Kecamatan Maduran.
Mendengar berita tersebut, Kadet Soewoko berserta pasukannya bersiap untuk melakukan serangan. Sayangnya, mereka yang berjumlah delapan orang harus ditinggal satu. Dan yang ditinggal saat itu adalah Soemarto. Bukan karena apa-apa, ia ditinggal lantaran persediaan senjata saat itu hanya tujuh buah.
Menjelang siang hari itu, Segera pasukan Kadet Soewoko bergegas mendekati parit tempat truk serdadu Belanda terperosok. Karena Desa Parengan dan Desa Laren dipisahkan oleh Bengawan Solo, mereka harus menaiki perahu.
Saat ini, jika Anda sedang berada di Desa Laren dan menuju ke Desa Parengan atau sebaliknya, tentu tidak harus menaiki perahu lagi. Karena sudah ada sebuah jembatan penyeberangan untuk menghubungkan dua desa tersebut.
Dari jarak jauh sebenarnya serdadu Belanda sudah terlihat. Namun untuk mendapatkan jarak tembak yang ideal, mereka sepakat untuk lebih mendekat dan berencana akan menyerang dengan tembakan salvo.
Saat sudah cukup dekat, kira-kira 100 m, Kadet Soewoko dan pasukannya yang berlindung di gundukan tanah bersiap melaksanakan rencana mereka. Namun celakannya, saat itu telah datang truk power wagon serdadu Belanda lain yang akan membantu menarik truk yang terperosok tadi. Maklum, tujuh serdadu Belanda dan beberapa penduduk setempat yang dipaksa untuk menarik truk tidak mampu menarik keluar dari parit. Saat itu bukan tujuh lagi serdadu Belanda yang harus dihadapi oleh pasukan Kadet Soewoko, melainkan berjumlah tiga puluh tujuh orang.
Meski begitu, pasukan Kadet Soewoko tidak berinisiatif untuk mundur. Mereka masih menunggu saat truk yang terperosok ditarik oleh truk lainnya. Dan “Tembak!” Kata yang terlontar dari mulut Kadet Soewoko sebagai aba-aba pasukannya untuk menyerang.
Serdadu Belanda tidak sedikit yang terjungkal terterkena tembakan. Awalnya mereka yang terkejut hanya bisa diam. Namun karena kesigapannya, tak lama setelah itu serdadu Belanda berbalik menyerang. Bahkan mereka berhasil mengepung pasukan Kadet Soewoko dari samping dan belakang.
Hari sudah mulai gelap, jarak sekitar 10 meter ke depan saja sudah tidak terlihat. Karena sudah terdesak dan merasa mundur pun sia-sia, Kadet Soewoko menginstruksikan pasukannya untuk menerobos dan berlari menembus pasukan Belanda. “Terobos, dan lari menuju Desa Gumantuk,” begitu instruksi yang diberikan Kadet Soewoko.
Dua dari mereka berhasil lolos, satu berpura-pura mati, sedangkan Kadet Soewoko sendiri harus terkapar setelah kedua lengannya tertembus peluru serdadu Belanda. Beberapa serdadu mendekatinya dan menanyakan namanya. Anehnya, tidak tahu apa yang ada di pikiran Kadet Soewoko, dia menjawab “Soewignyo.” Soewignyo sendiri sebenarnya nama dari kepala staf KDM.
Tentara Belanda ingin membawa Kadet Soewoko ke markas mereka di Sukodadi. Sokodadi merupakan nama sebuah desa/kecamatan yang terletak di sebelah barat Kota Lamongan. Namun Kadet Soewoko menolak, “Tidak. Saya tidak mau menyerah. Bunuh saya,” begitulah ucapan Kadet Soewoko yang masih diingat oleh Soeyono, prajurit yang berpura-pura mati.
Kadet Soewoko akhirnya ditusuk sangkur di bagaian dada kiri, dan ditembak di pipinya. Ia pun harus gugur bersama tiga prajurit lain.
Kita mungkin sepakat, apa yang dilakukan oleh Kadet Soewoko merupakan sebuah perjuangan yang perlu diabadikan. Untuk itu di Desa Gumantuk, di tempat bersemayamnya jasad Kadet Soewoko dan tiga prajuritnya: Soekaeri, Widodo, dan Lasiban, dibangun sebuah tugu sebagai bentuk berdukanya masyarakat Lamongan. Karena dianggap mati syahid, mereka dikubur dengan pakaian yang mereka pakai, tanpa dimandikan. Tugu ini terletak di perempatan kecil yang menghubungkan Desa Gumantuk dan Desa Kanugrahan dari arah utara dan selatan. Tugu yang terletak sekitar 0,5 km sebelah timur perempatan Desa Dempel, dan 10 km sebelah barat pertigaan Desa Sumberwudi ini berbentuk persegi yang memiliki tinggi kurang lebih 3 meter dan dikelilingi rumput liar.
Di Kota Lamongan, Anda juga bisa melihat patung Kadet Soewoko. Patung setinggi 4 m bercat abu-abu ini memperlihatkan Kadet Soewoko berdiri gagah dengan memegang senjata api. Anda dapat kapan saja datang dan melihat patung ini, karena patung yang terletak di jalan raya Lamongan – Surabaya ini, dapat dilihat dari jalan raya. letaknya sekitar 500 meter dari pertigaan bunderan Lamongan, di sebelah timur jalan. Tepat di sebelah barat patung ini juga ada sebuah jalan kecil bernama Jalan Kadet Soewoko.
Bagi Anda pengemar sepakbola Indonesia, khususnya suporter Persela Lamongan, tentu tidak asing dengan logo bergambar orang memakai blangkon sembari menunjukkan jarinya ke atas. Juga bagi suporter tim Persebaya Surabaya, pasti tahu logo orang dengan ekspresi garang yang menggunakan ikat kepala berwarna hijau. Gambar kedua orang itu terinspirasi dari Kadet Soewoko. Maka tidak berlebihan jika pahlawan lokal yang satu ini sangat menginspirasi.
Bukan itu saja, untuk tetap mengenang perjuangan Kadet yang meninggal di usia 21 tahun tersebut, Pemerintah Kota Lamongan mengadakan acara bertajuk “Napak Tilas Kadet Soewoko.” Acara yang mirip dengan gerak jalan ini diadakan setiap tahun sekali. Pesertanya berasal dari berbagai instansi. Jarak rutenya pun cukup jauh sekitar 25 km. Start dari lokasi tugu Kadet Soewoko dan finish di Makodim 0812 Lamongan.
Sejarah Masuknya Islam ke Lamongan

Pada abad ke-11, wilayah Lamongan diperintah oleh Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Pada masa itu, penduduk Lamongan menganut agama sinkretisme Hindu Buddha. Ngimbang menjadi Daerah Istimewa. Di sini Airlangga membangun candi pemujaan yang sisanya masih bisa kita lihat sekarang di Candi Pataan. Agama Hindu-Buddha terus terpelihara sampai era Kerajaan Majapahit.

Pada abad ke-15, di masa Kesultanan Demak, Islam masuk wilayah Lamongan Selatan dan Tengah, dibawa oleh murid-murid Sunan Giri.

Salah satu murid Sunan Giri yang paling terkenal adalah Rangga Hadi yang kemudian menjadi Adipati Pertama Lamongan, dan dikenal seagai Mbah Lamong. Tradisi perayaan Mendak Sanggring di Ngimbang juga dibawa oleh murid Sunan Giri, Ki Buyut Terik.

Pada saat yang sama juga masuk wilayah Pantura timur (Paciran, Solokuro) pada abad ke-16, disebarkan oleh Sunan Drajat, Putra dari Sunan Ampel Surabaya.

Peninggalan Sunan Drajat masih bisa kita lihat di Museum Sunan Drajat di Paciran.

Sementara itu Islam juga masuk ke wilayah Brondong dibawa oleh pendakwah asal Baghdad yang tinggal di Sedayulawas, Syekh Abdul Qohar. Pada masa itu Sedayulawas adalah pelabuhan utama di wilayah Pantura. Anak dari Syekh Abdul Qohar juga kemudian menjadi pendakwah Islam yang dikenal sebagai Sunan Sendang Duwur. Peninggalan Sunan Sendang Duwur masih bisa dilihat di Masjid Sendang Duwur Paciran.
Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan
Pada tahun 1950/60-an, Lamongan adalah medan pertarungan sengit Partai Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya ini bisa kita lihat dari hasil pemilu di Lamongan tahun 1955. Di pesta demokrasi yang diikuti oleh 48 partai politik ini, tiga besarnya adalah Masyumi, PKI, dan NU.
Masyumi memperoleh 117 ribu suara, PKI 87 ribu, Partai NU 70 ribu. PNI yang menjual nama Bung Karno saja hanya mendapat 50 ribu suara. Bahkan di Pemilu Daerah tahun 1957, ketika suara Masyumi turun, suara PKI justru naik.

Dari semua partai itu, yang paling menonjol adalah PKI. Masyumi dan NU wajar mendapat banyak suara karena di Lamongan banyak kiai Muhammadiyah dan NU. PKI terhitung pendatang baru.
Koran PKI, Harian Rakjat, persis pada tanggal 30 September 1965 memuat berita “Delegasi 12 Ormas Wanita Lamongan Temui Pemerintah.”
Daerah Brondong pernah menjadi tujuan Turba para petinggi PKI pusat. Turba adalah program Turun ke Bawah, semacam riset untuk menyerap aspirasi masyarakat. Ini semua menunjukkan bahwa Lamongan adalah basis penting PKI.
Menurut laporan majalah Tempo edisi “Pengakuan Algojo 1965”, DN Aidit, ketua PKI yang terkenal itu, pernah berkampanye di alun-alun Lamongan. Aidit adalah seorang orator ulung. Kata-katanya memikat. Ketika berkampanye di Lamongan, ia berpidato menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Padahal Aidit bukan orang asli Jawa melainkan Belitung.
Ia menyampaikan rencana PKI untuk membagi tanah sama rata untuk semua orang sesuai agenda reforma agraria. Tentu saja janji manis ini membius orang-orang Lamongan. Maka warga pun berbondong-bondong masuk PKI. Daerah Sugio, Sambeng, dan Tikung saat itu adalah basis PKI.

Celakanya, agenda mentah reforma agraria ini justru menyebabkan kericuhan di kalangan bawah. Banyak orang PKI menyerobot begitu saja tanah milik orang lain. Tak jarang sampai menyebabkan saling bunuh.
Provokasi orang PKI makin lengkap karena mereka juga mengejek orang-orang NU dan Muhammadiyah. Lekra mengadakan pertunjukan ludruk yang sengaja digelar di samping masjid dengan lakon “Gusti Allah Mantu”.
Salah satu bagian dialognya yang terkenal: “Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”
Tentu saja ini memancing kemarahan luar biasa di kalangan santri.

Saat itu PKI berada di atas angin. Di dalam negeri, mereka partai besar. Di luar negeri, mereka mendapat dukungan dari Soviet dan Cina. Aidit adalah salah satu kandidat penerus Bung Karno. Apalagi Si Bung Besar juga merestui komunisme, sampai-sampai ia meracik jargon Nasakom.
Mereka makin kuat setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno tahun 1960. Beberapa langkah lagi PKI akan berkuasa. Tapi semua kedigdayaan PKI itu seketika runtuh begitu terjadi Gestapu.

Ketika peristiwa Malam Jahanam itu terjadi, Lamongan masih tenang seperti hari biasa. Karena keterbatasan alat komunikasi saat itu, berita Gestapu baru menyebar di kalangan warga Lamongan tiga hari kemudian. Itu menjadi awal dari tragedi berdarah.
Kebencian orang NU dan Muhammadiyah kepada PKI yang sudah memuncak itu menemukan pelampiasannya. Dengan dukungan tentara, mereka membasmi orang-orang PKI. Banyak di antara tokoh PKI itu dibunuh oleh pendekar-pendekar NU dan Muhammadiyah.
Di Desa Gempol Manis Sambeng, misalnya, penumpasan PKI dipimpin oleh tokoh NU, Kiai Ahmad dan pendekar Pemuda Ansor, Abdul Ubaid. Ketua PKI setempat ditangkap kemudian dibunuh.
Di wilayah Pantura, penumpasan PKI dipimpin oleh Kiai Abdurrrahman Syamsuri, pendiri Pesantren (Muhammadiyah) Karangasem Paciran. Pendekar-pendekar Tapak Suci berjaga 24 jam di Pesantren Karangasem. Siap sedia menerima tugas. Mereka juga bahkan diperbantukan sampai wilayah Lamongan selatan.

Lanjut Baca Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan (bagian 2)
Buku Gratis: Soto Ayam, Cara Hidup Orang Lamongan
Penulis: Mohammad Sholekhudin
Penerbit: Perpustakaan Nasional RI
Untuk membacanya, silakan klik gambar di bawah. Anda juga bisa mengunduhnya gratis dengan mendaftar lebih dulu di situs Perpusnas.

Sejarah Desa Brondong yang Dulu Terkenal Angker

Sebelum tahun 1936, Desa Brondong hanya sebuah desa nelayan biasa di pesisir Lamongan. Tak ada yang istimewa.
Tapi sebuah peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936 seketika mengubah wajah desa ini. Pada dini hari itu, kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Brondong.
Lima orang nelayan setempat menjadi pahlawan dalam tragedi ini. Kaslibin, Matuwi, Troenoredjo, Sratip, dan Mardjuki berhasil menyelamatkan 140 penumpang. Hampir tiga kali lipat daripada yang bisa diselamatkan oleh tim SAR Belanda yang membawa pesawat amfibi dan kapal perang.

Sejak itu Brondong menjadi terkenal seantero Hindia Belanda. Peristiwa ini menyedot perhatian sampai setahun kemudian. Nama Brondong masih terus disebut-sebut di dalam investigasi yang tak pernah menemukan titik terang. Penyebab tenggelamnya kapal masih misterius. Kapal tiba-tiba oleng dan tenggelam begitu saja dalam tempo 10 menit.
Di tengah proses investigasi yang belum selesai, tiba-tiba pada tahun 1937, terjadi lagi kecelakaan. Kali ini sebuah pesawat tempur T13 milik marinir Belanda jatuh, menewaskan sembilan penumpangnya. Lokasinya tak jauh dari tempat tenggelamnya Van der Wijck. Sama-sama bulan Oktober.


Dua kecelakaan besar ini membuat Brondong makin terkenal. Juga membuat banyak orang berpikir bahwa perairan Brondong adalah wilayah yang angker.
Berkali-kali wartawan koran Belanda mendatangi desa ini. Salah satu arsip koran Belanda bahkan sampai menceritakan soal asal-usul Desa Brondong. Pada April 1939, ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh keturunan Kiai Brondong. Entah di mana tempatnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah kaum ningrat.

Kiai Brondong adalah leluhur masyarakat Brondong. Konon nama asalnya adalah Lanang Dangiran. Dia anak dari Raja Blambangan, Susuhunan Tawangalun. Blambangan merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di Banyuwangi. Tawangalun berkuasa di pertengahan abad ke-17.
Pada saat itu Islam sudah masuk pesisir Lamongan sebab Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur sudah berdakwah di sini seabad sebelumnya. Ketika Blambangan dilanda peperangan, Lanang Dangiran melarikan diri dan terombang-ambing di Laut Jawa. Saking lamanya hidup di laut, tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong (biji jagung).
Singkat cerita ia diselamatkan oleh kiai di pesisir Lamongan, diambil sebagai menantu, diajari Islam. Desa tempat ia diselamatkan ke darat itu dinamai Brondong. Di sini Lanang Dangiran juga memperoleh nama baru, Kiai Brondong.
Menurut warga Brondong, leluhur mereka ini dimakamkan di Desa Brondong di kompleks makam Sentono, yang letaknya di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono. Tapi menurut koran Belanda ini, Kiai Brondong kemudian pindah ke Surabaya, berdakwah di sana, dan meninggal di sana.

Ia dimakamkan di Kompleks Makam Botoputih, Pegirian, Surabaya. Di sana memang ada makam Kiai Ageng Brondong di kompleks makam yang namanya Sentono Agung.


Wah, berarti makam kembar, dong. Jadi, versi mana nih yang benar?
Foto Orang Lamongan yang Pergi ke Suriname Zaman Belanda

Pada tahun 1890-1930, pemerintah Hindia Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname, Amerika Selatan, untuk bekerja di perkebunan milik Belanda di sana. Mereka dikirim ke Suriname untuk menggantikan pekerja asal India yang susah diatur. Belanda lebih menyukai pekerja asal Jawa karena mereka dikenal penurut.

Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang di antaranya berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Doongpring (Kedungpring), dan Bangbau (Kembangbahu). Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.

Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.

Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Umur 20 tahun sudah bertatus mbok.

Tentu butuh keberanian, kenekatan, dan kepasrahan tingkat tinggi untuk memutuskan pergi bekerja ke suatu tempat entah di mana nun jauh di sana, lebih jauh daripada Mekkah yang mereka dengar ceritanya dari khotbah.

Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air, dan berangkat dengan berlinang air mata. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.

Tapi sejarah berkata lain. Situasi politik yang kacau membuat hanya sebagian kecil yang bisa kembali ke Jawa. Banyak yang meninggal di sana selama masa kontrak. Sebagian besar selesai kontraknya dan tetap tinggal di Suriname, berkeluarga di sana, dan punya keturunan.

Sebagian dari mereka sempat dipulangkan ke Hindia Belanda (Indonesia) tapi tidak ke Jawa, melainkan ke Sumatera Barat. Tapi karena di sini hidup mereka lebih sulit, akhirnya mereka minta kembali ke Suriname.

Data mereka sebetulnya cukup lengkap. Ada data keberangkatan, perusahaan tempat bekerja, tanggal kematian, data keluarga mereka yang memutuskan tinggal di Suriname, dan sebagainya.

Tapi kami hanya menampilkan data nama dan asal kecamatan. Beberapa nama desa mungkin tidak dikenal karena nama zaman Hindia Belanda bisa jadi berbeda dengan nama desa yang kita kenal sekarang.

Nama kecamatan juga tidak selalu sama dengan kecamatan sekarang. Sidajoe (Sedayu), misalnya, pada zaman itu meliputi wilayah Lamongan Pantura.

Dari arsip sejarah ini kita bisa menyaksikan bagaimana kerasnya hidup buyut-buyut kita. Status pekerja kontrak pada masa itu hanya satu tingkat di atas perbudakan. Belanda sendiri setengah abad sebelumnya masih mempekerjakan budak di Suriname. Mereka diganti dengan pekerja kontrak karena perbudakan resmi dilarang tahun 1860.

Di sana mereka bekerja di kebun tebu, kopi, kakao, pabrik gula, dll, seperti yang tampak di video berikut. Soundtrack video ini adalah lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, oleh penyanyi Belanda, Wieteke van Dort.
Lagu ini bercerita tentang makanan-makanan di Jawa: nasi goreng, sambel, kerupuk, lontong, sate babi, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpau, ketan, gula jawa.
Barangkali di antara pembaca ada yang punya buyut pergi ke Suriname dan pernah dengan ceritanya dari kakek-nenek? Jika sampeyan punya cerita, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com/
![]() | ![]() |
Atrap/Bandangan (Kandangan? Sambeng) | Ponidin/Kramat, Lamongan |
![]() | ![]() |
Saridin/Dalit | Rais/Sedayu |
![]() | ![]() |
Saridjan/Sepat, Candiretto (Tambakmenjangan, Sarirejo?) | Ramidin/Koloputih (Karanggeneng) |
![]() | ![]() |
Saridjan/Sukomalo, Mojonan | Rasmie/Patalan |
![]() | ![]() |
Sarimin/Lamongan | Rebo/Rangkak, Turi |
![]() | ![]() |
Sarman/Bejujar, Kembangbahu | Reksosoedarmo/Ngimbang |
![]() | ![]() |
Sidin/Sukobendo, Ngimbang | Sadi/Kembangbahu |
![]() | ![]() |
Singoredjo/Kradenan (Kedungpring?) | Sakiman/Kalen, Kedungpring |
![]() | ![]() |
Kasmidjah/Sedayu | Sampan/Karanggeneng |
![]() | ![]() |
Sitam/Pangean (Maduran) | Saridin/Balan (Babat?) |
![]() | ![]() |
Soeromedjo/Selagi, Ngimbang | Lassiman/Menongo |
![]() | ![]() |
Markati/Sedayu | Marsoepi/Bandung, Lamongan |
![]() | ![]() |
Soewirio/Ngimbang | Martibin/Bessar (Besur, Sekaran?) |
![]() | ![]() |
Martidjah/Lamongan | Marto/Mlati, Ngentir |
![]() | ![]() |
Moeinah/Tlogoanyar | Naridin/Ngimbang |
![]() | ![]() |
Sokarto/Gondang, Ngimbang | Ngaido/Brumbun (Maduran?) |
![]() | ![]() |
Somedjo/Gempalpendawo, Ngimbang | Ripan/Kedungpring |
![]() | ![]() |
Toidjojo/Kemesik, Kembangbahu | Pare/Kembangbahu |
![]() | ![]() |
Sani/Kedungturi | Partok/Ngimbang |
![]() | ![]() |
Saridjah/Sawo | Sinah/Bluluk |
![]() | ![]() |
Mbok Sarimin/Nglawak (Lawak/Ngimbang?) | Soepinah/Babat |
![]() | ![]() |
Sidah/Karangkawis | Wasirah/Babat |
![]() | ![]() |
Wagijo/Sukorame | Warsono/Suren (Bluluk?) |
![]() | Masih ada beberapa puluh nama lagi tapi tidak kami tampilkan karena tidak ada fotonya. |
Wiroredjo/Tlatar, Ngimbang |