SEJARAH

Sejarah Masuknya Islam ke Lamongan

Pada abad ke-11, wilayah Lamongan diperintah oleh Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Pada masa itu, penduduk Lamongan menganut agama sinkretisme Hindu Buddha. Ngimbang menjadi Daerah Istimewa. Di sini Airlangga membangun candi pemujaan yang sisanya masih bisa kita lihat sekarang di Candi Pataan. Agama Hindu-Buddha terus terpelihara sampai era Kerajaan Majapahit.

Pada abad ke-15, di masa Kesultanan Demak, Islam masuk wilayah Lamongan Selatan dan Tengah, dibawa oleh murid-murid Sunan Giri.

Salah satu murid Sunan Giri yang paling terkenal adalah Rangga Hadi yang kemudian menjadi Adipati Pertama Lamongan, dan dikenal seagai Mbah Lamong. Tradisi perayaan Mendak Sanggring di Ngimbang juga dibawa oleh murid Sunan Giri, Ki Buyut Terik.

Pada saat yang sama juga masuk wilayah Pantura timur (Paciran, Solokuro) pada abad ke-16, disebarkan oleh Sunan Drajat, Putra dari Sunan Ampel Surabaya.

Peninggalan Sunan Drajat masih bisa kita lihat di Museum Sunan Drajat di Paciran.

Sementara itu Islam juga masuk ke wilayah Brondong dibawa oleh pendakwah asal Baghdad yang tinggal di Sedayulawas, Syekh Abdul Qohar. Pada masa itu Sedayulawas adalah pelabuhan utama di wilayah Pantura. Anak dari Syekh Abdul Qohar juga kemudian menjadi pendakwah Islam yang dikenal sebagai Sunan Sendang Duwur. Peninggalan Sunan Sendang Duwur masih bisa dilihat di Masjid Sendang Duwur Paciran.

WISATA

Menikmati Semilir Angin Pantai di “Masjid Aola” Sedayulawas Brondong Lamongan

Secara fisik, masjid ini tidak besar dan tidak indah sebab masih dalam tahap pembangunan. Dindingnya belum dipoles. Tapi masjid ini istimewa. Layak disandingkan dengan masjid-masjid yang populer di Lamongan seperti Masjid Namira Tikung, Masjid Agung Alun-Alun Lamongan Kota, dan Masjid at-Taqwa Paciran.

Yang membuat masjid ini istimewa adalah lokasinya yang persis berada di pinggir laut sekaligus pinggir Jalan Raya Daendels. Persis seperti kafe Aola di Paciran. Lokasinya tepat di seberang Gedung Dakwah Muhammadiyah Brondong, di sebelah barat Pom Bensin Brondong.

Sebelah utara masjid awalnya adalah perairan yang kemudian diuruk dan dijadikan tempat parkir. Ini adalah bagian istimewanya. Di sepanjang sisinya ditanami pohon keres untuk peneduh. Di sore hari, jajaran pohon keres ini menyajikan siluet pemandangan pantai yang syahdu. Banyak musafir yang singgah di masjid ini, menggelar tikar, dan makan bersama keluarga, sambil menikmati semilir angin pantai. 

Masjid yang bernama Nur Islam ini masih masuk wilayah Sedayulawas dan tergolong “masjid Muhammadiyah”. Tapi tidak seperti kebanyakan masjid Muhammadiyah yang berdinding dan pintunya ditutup di luar jam salat, masjid ini selalu terbuka dan bisa menjadi tempat istirahat bagi musafir yang kecapekan. 

Bagian terasnya cukup luas sehingga jamaah bisa beristirahat, sekadar meluruskan punggung setelah berkendara lama. Angin pantai yang tak henti berembus menjadikan teras masjid ini lebih nyaman daripada  ruangan ber-AC. Kalau Anda kebetulan sedang berkendara di Jalan Daendels dan berada dekat Brondong dekat waktu salat, masjid ini bisa menjadi pilihan untuk beristirahat.

Di dekat masjid tidak ada warung makanan kecuali warung sate dan gule kambing Mak Mah. Ini sate kambing paling enak di wilayah Pantura. Tapi harganya cukup mahal, Rp50 ribu seporsi. Kalau mau lebih hemat, Anda bisa membungkus makanan di sepanjang Jalan Raya Daendels lalu menikmatinya di tempat parkir masjid Nur Islam.

Di depan masjid ada warung kecil yang menjual es degan dan cemilan. Sayangnya, warung ini sering tutup. Kalau mau membeli Aqua atau cemilan, Anda tinggal menyeberang jalan menuju ke Toserba Sunan Drajat. Ini jaringan toserba sejenis Indomaret milik Pesantren Sunan Drajat Paciran yang harganya lebih murah daripada Indomaret.

Selesai istirahat, sebelum melanjutkan perjalanan, jangan lupa mengisi kotak amal untuk membantu pembangunan masjid yang sangat berguna bagi musafir ini. 

sejarah soto ayam lamongan OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Sejarah Soto Lamongan (2): Pengaruh Cina

Tulisan ini adalah bagian dari buku Soto Lamongan yang diterbitkan oleh Perpusnas. Buku bisa diperoleh di sini.

Soto ayam Lamongan yang kita kenal hari ini adalah masakan khas Lamongan. Meski demikian, sisa pengaruh kuliner Cina masih bisa kita lihat dengan jelas sekali di dalam resepnya. Setidaknya ada lima komponen yang khas peranakan Cina. Ada yang sekadar tambahan opsional, yaitu soun dan taoge. Ada juga yang termasuk kategori bumbu penting yang sangat menentukan rasanya, yaitu koya, kecap, dan kucai.

Soun 

Orang Nusantara mengenal cara membuat soun (sohun) dan mi dari orang Cina. Soun memang ciri khas soto Lamongan tetapi bukan komponen resep yang menentukan rasa soto. Fungsinya hanya sebagai tambahan. Soto dengan soun maupun tidak, rasanya tidak berbeda. 

Banyak orang salah sebut atau salah kira. Mereka menyangka mi putih di dalam soto ayam Lamongan sebagai bihun padahal ini adalah soun. Bihun dan soun memang dua jenis mi yang bentuknya sangat mirip dan penyebutannya sering tertukar. Soun untuk soto ayam Lamongan biasanya dibuat dari kacang hijau (mung bean noodle). Warnanya lebih bening, teksturnya kenyal dan licin. Sementara bihun biasanya dibuat dari beras (rice noodle) atau jagung, lebih keruh daripada soun. 

Kecap

Kecap juga jelas berasal dari Cina. Kecap yang dipakai di resep soto Lamongan adalah kecap manis yang dibuat dari kedelai. Pada awalnya, yang disebut kecap (kôechiap) adalah kecap kedelai yang rasanya asin (kecap asin). Kecap ini kemudian berevolusi menjadi kecap manis untuk menyesuaikan dengan selera Nusantara. 

Meskipun kecap kadang tidak digunakan karena soal selera, bahan ini sangat penting karena menentukan rasa akhir dari soto. Soto dengan kecap dan tanpa kecap rasanya sangat berbeda. Di warung soto, biasanya kecap disediakan terpisah seperti sambal sehingga orang yang makan soto bisa memilih pakai kecap atau tidak. Di acara-acara resepsi pernikahan, soto Lamongan biasanya sudah ditambah sedikit kecap.

Koya

Ini adalah bagian yang paling khas dari soto ayam Lamongan. Koya berasal dari dua komponen yang sama-sama gurih, yaitu kerupuk udang goreng dan bawang putih goreng. Dua bahan ini dihaluskan begitu saja dan ditambahkan ke dalam soto saat dihidangkan. Begitu koya sudah bercampur dengan kuah, maka kuah soto akan menjadi kental sebab kerupuk udang dibuat dari tepung tapioka.

Koya adalah sebutan dalam bahasa Cina untuk makanan berbentuk bubuk. Ada dua macam koya yang kita kenal dalam makanan peranakan Cina. Yang pertama kue koya, kue berupa bubuk tepung yang dicetak begitu saja, tidak dalam bentuk adonan basah. Biasanya dihidangkan saat hari Lebaran. Kedua, koya bubuk kedelai yang biasa ditambahkan pada menu lontong cap gomeh.                   https://lh5.googleusercontent.com/-WJ6H5JKMHRw0jW4WpSZbHYGoDRfjVrWi_-hy-R2S3-CytF0u1PXvwh50hdv3IpYHt93BPnRXC1O6r7tMSJ_XUzdNNIJYdvOOaEHKVsmsmLih2W04RnB3UQH5d_XM4zCwp_jCArIDYkezr_RPg

Koya soto Lamongan. 

(Sumber https://www.lamonganpos.com/)

Selain tiga macam koya di atas, ada juga koya kelapa sangrai yang biasa ditambahkan ke dalam soto. Koya jenis ini adalah alternatif koya kerupuk udang. Namun, koya kelapa ini tidak lazim digunakan di Lamongan. Kalaupun ada warung soto yang menggunakannya, itu hanya untuk menyesuaikan selera konsumen. 

Koya adalah komponen khas soto ayam Lamongan yang penting. Lebih penting daripada kecap. Tanpa koya, soto ayam Lamongan rasanya memang sudah enak. Dengan tambahan koya, rasa soto menjadi lebih gurih. Bagi sebagian penggemar soto Lamongan, koya bahkan dianggap sebagai bumbu utama. Satu mangkuk soto bisa ditambah beberapa sendok penuh koya. 

Pemakaian koya di soto Lamongan pada awalnya kemungkinan besar adalah untuk memanfaatkan adanya sisa kerupuk udang afkir. Di Lamongan dan sekitarnya, kerupuk udang umumnya berukuran lebar-lebar. Kira-kira lebarnya setengah piring. Dihidangkan dengan cara diletakkan begitu saja di atas piring yang berisi nasi dan soto. 

Fungsinya ganda. Selain sebagai lauk pendamping, kerupuk berukuran lebar juga untuk menutupi hidangan utamanya. Sehingga kalau irisan daging ayamnya hanya sedikit, hidangan itu tetap kelihatan sopan, tidak kelihatan pelit. Ini bagian dari seni menghormati tamu dengan cara hemat. Tentu tidak semua tuan rumah bisa menjamu tamunya dengan soto yang berisi irisan daging ayam dalam jumlah banyak. 

Kerupuk udang besar. (Sumber koleksi pribadi)

Kerupuk berukuran lebar sebetulnya merepotkan karena harus digoreng di dalam wajan besar dengan minyak yang sangat banyak. Saat sudah matang pun, kerupuk lebar masih merepotkan sebab kerupuk mudah patah. Karena ukurannya yang sangat lebar, kerupuk udang di acara-acara hajatan biasanya dimasukkan ke dalam plastik besar. Ukurannya sama dengan karung gula pasir. Sampai sekarang orang pedesaan Lamongan menyebut semua jenis plastik bening ukuran besar sebagai “plastik kerupuk”.

Di dapur selalu ada dua plastik kerupuk. Satu untuk kerupuk udang utuh. Satunya lagi untuk kerupuk udang afkir yang sudah cuil. Jika sudah patah, kerupuk tidak layak lagi dihidangkan kepada tamu dan hanya untuk dimakan sendiri. Kondisi inilah yang tampaknya pada awalnya melahirkan koya kerupuk udang, yang ternyata malah membuat soto menjadi lebih gurih. 

Sekarang tentu saja koya di warung soto ayam Lamongan tidak dibuat dari remah kerupuk udang melainkan dari kerupuk udang utuh. Sekarang kerupuk udang banyak yang berukuran kecil-kecil, tidak selebar piring. Untuk bahan koya, ukuran kerupuk udang menjadi tidak lagi penting. Biasanya pemilik warung soto membeli kerupuk udang curah dalam jumlah besar. 

Taoge 

Taoge tidak selalu ada di soto ayam Lamongan yang dijual di warung-warung. Akan tetapi soto ayam di desa-desa di Lamongan di acara-acara hajatan pada umumnya masih menggunakan taoge, selain irisan kubis dan soun. Sebagian besar menggunakan taoge kecil seperti yang digunakan untuk rawon. Ada juga yang menggunakan taoge panjang. Karena jumlahnya hanya sedikit, taoge tidak begitu mempengaruhi rasa akhir dari soto. 

Taoge juga merupakan komponen tradisi dapur Cina. Konon Laksamana Cheng Ho pada saat melakukan ekspedisi akbarnya selalu menanam taoge di kapal dan menjadikannya sebagai menu wajib untuk menjaga kesehatan para pelaut. Taoge memang termasuk sayuran bergizi tinggi karena berasal dari biji kacang hijau yang memang kaya gizi. 

Kucai

Hingga tahun 1980-an, daun kucai masih umum ditanam di pekarangan rumah di desa-desa Lamongan. Daunnya digunakan seperti bawang daun untuk menyedapkan masakan, termasuk soto ayam. Aromanya cukup kuat sehingga sedikit saja bisa membuat masakan jadi lebih lezat. Penggunaan daun kucai (kow choi) pada mulanya juga merupakan kebiasaan dapur peranakan Tionghoa. 

Namun, sekarang daun kucai jarang tersedia. Resep-resep soto ayam Lamongan zaman sekarang pada umumnya menggunakan bawang daun cincang. Dari bukti-bukti di atas tampak bahwa pengaruh tradisi Cina di dalam resep soto memang sangat dominan. Tidak berlebihan jika disebut bahwa soto memang berasal dari dapur peranakan Cina.

Daun kucai. (Sumber https://intisari.grid.id/)

Secara umum pengaruh budaya Cina di Lamongan sebetulnya tidak begitu dominan. Yang lebih banyak dipengaruhi budaya Cina adalah Tuban, kabupaten tetangga. Di wilayah Kabupaten Lamongan, populasi warga keturunan Cina tidak begitu banyak. Di Lamongan pesisir pun populasi mereka tidak begitu banyak. Mereka hanya terkonsentrasi di kota Kecamatan Babat.  

Warisan kuliner peranakan Cina di Lamongan adalah wingko. Sampai sekarang Wingko Babat Loe Lan Ing, yang sudah berdiri sejak seabad lalu, masih menjadi ikon oleh-oleh Babat dan Lamongan. Bahkan kota Babat dijuluki sebagai Kota Wingko. Dilihat dari sejarahnya, wingko berasal dari makanan khas dapur peranakan Cina, bibingka, yakni kue berbahan beras ketan.

https://lh5.googleusercontent.com/JyVsxsgslDQ1E7zUDU3y6L0OpS7vC6yLGIJeerNgzn32UJGnl-qcV9ZLct0aZ1gMjhknGF1J9g3j14aN35iX4RgyQXh740uu3J7jeIHFpDthb7nejvbda9S8_vOtuhn7ysB_PwowBfFaA-s0Ag

Wingko Babat Loe Lan Ing. (Sumber https://www.instagram.com/loelaning/)

Di Tuban, populasi warga keturunan Cina cukup banyak. Bahkan di alun-alun Tuban ada kelenteng berusia dua abad yang masih digunakan sembahyang hingga hari ini. Dalam hal warisan kuliner Tionghoa, Tuban lebih kaya daripada Lamongan. Di sini ada pabrik kecap legendaris Cap Laron yang sudah berdiri sejak tahun 1945 dan masih terkenal hingga sekarang. Tuban juga terkenal sebagai penghasil kerupuk udang dan terasi udang yang enak. Usaha-usaha ini banyak ditekuni oleh warga keturunan Tionghoa.

https://lh6.googleusercontent.com/QWKvXSzBXz8shB6KMRaCJV8paugJbfj-i3S2S4qpHBqQzYB2v92b_jg17lntTSG_3aWKaONQdMLzUvfYOywq0AHR9EFFnqu7nyOma_siXvIJqlsShVmJj1Npa3RAqFwA9FeHto72axRWh3RMbA

Kecap Manis Cap Laron. 

(Sumber https://www.facebook.com/kecaplaron45/)

Tuban lebih banyak dihuni warga keturunan Cina karena memang letak Tuban persis di pantai yang menjadi pelabuhan penting zaman dulu. Ekspedisi besar pelaut Cina biasanya singgah di Pelabuhan Tuban. Di sini para pelaut itu singgah dan sebagian bermukim. Tradisi dapur Lamongan tampaknya mendapat pengaruh tradisi dapur Cina secara tidak langsung lewat Tuban. 

Pengaruh India dan Belanda 

Salah satu komponen utama resep soto ayam Lamongan yang penting adalah kunyit. Kunyit inilah yang membuat warna soto ayam Lamongan kuning keemasan, baunya harum, dan rasanya melekat di lidah. Pemakaian kunyit di dalam masakan adalah tradisi lokal Jawa yang pada mulanya diperkirakan terpengaruh dari tradisi India. 

Adapun pengaruh kuliner Belanda masih bisa kita lihat dari pemakaian kubis dan seledri. Kedua bahan ini adalah komponen yang biasa digunakan orang Belanda untuk membuat sup. Irisan kubis memang khas soto Lamongan tetapi bukan komponen utama yang menentukan rasa. Fungsinya hanya sebagai tambahan seperti soun dan taoge. Pakai kubis atau tidak, rasa soto Lamongan tidak berbeda. 

Sebetulnya di resep soto juga ada tradisi khas Lamongan lain di luar koya, yaitu penambahan bandeng sebagai penyedap rasa. Kebetulan Lamongan adalah penghasil ikan bandeng. Saat musim panen, harga bandeng sangat murah dan sering dimanfaatkan sebagai penyedap soto. Ikan ini ditambahkan ke dalam soto dengan cara direbus atau digoreng lalu dihaluskan dan dicampurkan ke dalam kuah. Fungsinya mirip koya kerupuk udang, yaitu untuk menambah lezat kuah soto. 

Karena bandeng sudah dihaluskan, kita tidak bisa melihat wujud ikan ini. Kita hanya bisa merasakan citarasa gurihnya di dalam kuah. Namun, sebagian besar soto ayam Lamongan yang dijual di kota-kota besar tidak menggunakan bandeng di resepnya. Di kota, bandeng memang selalu tersedia tetapi harganya cukup mahal. Rasa soto memang jadi lebih lezat tapi biaya produksi soto jadi lebih mahal.

Dari komponen-komponen di atas, kita bisa melihat bahwa soto ayam Lamongan adalah masakan yang memadukan aneka tradisi. Di dalam semangkuk soto Lamongan ada tradisi dapur Cina, Belanda, India, hingga Lamongan sendiri. Hasil akhirnya adalah masakan yang lezatnya lengkap: gurih kaldu, harum rempah, dan menyegarkan. 

FEATURED

Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan

Pada tahun 1950/60-an, Lamongan adalah medan pertarungan sengit Partai Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya ini bisa kita lihat dari hasil pemilu di Lamongan tahun 1955. Di pesta demokrasi yang diikuti oleh 48 partai politik ini, tiga besarnya adalah Masyumi, PKI, dan NU. 

Masyumi memperoleh 117 ribu suara, PKI 87 ribu, Partai NU 70 ribu. PNI yang menjual nama Bung Karno saja hanya mendapat 50 ribu suara. Bahkan di Pemilu Daerah tahun 1957, ketika suara Masyumi turun, suara PKI justru naik.

Dari semua partai itu, yang paling menonjol adalah PKI. Masyumi dan NU wajar mendapat banyak suara karena di Lamongan banyak kiai Muhammadiyah dan NU. PKI terhitung pendatang baru.

Koran PKI, Harian Rakjat, persis pada tanggal 30 September 1965 memuat berita “Delegasi 12 Ormas Wanita Lamongan Temui Pemerintah.”

Daerah Brondong pernah menjadi tujuan Turba para petinggi PKI pusat. Turba adalah program Turun ke Bawah, semacam riset untuk menyerap aspirasi masyarakat. Ini semua menunjukkan bahwa Lamongan adalah basis penting PKI.

Menurut laporan majalah Tempo edisi “Pengakuan Algojo 1965”, DN Aidit, ketua PKI yang terkenal itu, pernah berkampanye di alun-alun Lamongan. Aidit adalah seorang orator ulung. Kata-katanya memikat. Ketika berkampanye di Lamongan, ia berpidato menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Padahal Aidit bukan orang asli Jawa melainkan Belitung. 

Ia menyampaikan rencana PKI untuk membagi tanah sama rata untuk semua orang sesuai agenda reforma agraria. Tentu saja janji manis ini membius orang-orang Lamongan. Maka warga pun berbondong-bondong masuk PKI. Daerah Sugio, Sambeng, dan Tikung saat itu adalah basis PKI.

Celakanya, agenda mentah reforma agraria ini justru menyebabkan kericuhan di kalangan bawah. Banyak orang PKI menyerobot begitu saja tanah milik orang lain. Tak jarang sampai menyebabkan saling bunuh. 

Provokasi orang PKI makin lengkap karena mereka juga mengejek orang-orang NU dan Muhammadiyah. Lekra mengadakan pertunjukan ludruk yang sengaja digelar di samping masjid dengan lakon “Gusti Allah Mantu”.

Salah satu bagian dialognya yang terkenal: “Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”

Tentu saja ini memancing kemarahan luar biasa di kalangan santri.

Saat itu PKI berada di atas angin. Di dalam negeri, mereka partai besar. Di luar negeri, mereka mendapat dukungan dari Soviet dan Cina. Aidit adalah salah satu kandidat penerus Bung Karno. Apalagi Si Bung Besar juga merestui komunisme, sampai-sampai ia meracik jargon Nasakom. 

Mereka makin kuat setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno tahun 1960. Beberapa langkah lagi PKI akan berkuasa. Tapi semua kedigdayaan PKI itu seketika runtuh begitu terjadi Gestapu.

Ketika peristiwa Malam Jahanam itu terjadi, Lamongan masih tenang seperti hari biasa. Karena keterbatasan alat komunikasi saat itu, berita Gestapu baru menyebar di kalangan warga Lamongan tiga hari kemudian. Itu menjadi awal dari tragedi berdarah.

Kebencian orang NU dan Muhammadiyah kepada PKI yang sudah memuncak itu menemukan pelampiasannya. Dengan dukungan tentara, mereka membasmi orang-orang PKI. Banyak di antara tokoh PKI itu dibunuh oleh pendekar-pendekar NU dan Muhammadiyah. 

Di Desa Gempol Manis Sambeng, misalnya, penumpasan PKI dipimpin oleh tokoh NU, Kiai Ahmad dan pendekar Pemuda Ansor, Abdul Ubaid. Ketua PKI setempat ditangkap kemudian dibunuh. 

Di wilayah Pantura, penumpasan PKI dipimpin oleh Kiai Abdurrrahman Syamsuri, pendiri Pesantren (Muhammadiyah) Karangasem Paciran. Pendekar-pendekar Tapak Suci berjaga 24 jam di Pesantren Karangasem. Siap sedia menerima tugas. Mereka juga bahkan diperbantukan sampai wilayah Lamongan selatan.

Kiai Abdurrahman Syamsuri

Lanjut Baca Sejarah PKI, Masyumi, dan NU di Lamongan (bagian 2)

resep soto lamongan OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Resep Soto Ayam Lamongan (2)

Resep soto ayam berubah sedikit demi sedikit, menyesuaikan tradisi lokal. Untuk mengetahui adaptasi resep soto ayam dari masa ke masa, kita bisa melihat resep soto ayam di buku babon resep Nusantara warisan Bung Karno, Mustikarasa

Di buku ini komponen bumbu soto ayam terbilang minimalis. Hanya bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, daun bawang, lada (merica), cengkeh, kayumanis, garam, kecap. 

Di dapur Lamongan, komponen cengkih dan kayumanis tidak lazim digunakan karena memang dua rempah ini jarang tersedia di dapur. Walaupun tidak menggunakan cengkeh dan kayumanis, resep soto ayam Lamongan lebih kaya rempah daripada resep Mustikarasa. Sebab resepnya juga berisi kemiri, lengkuas, ketumbar, daun serai, daun jeruk, seledri, jeruk nipis, dan kerupuk udang. 

Walaupun bumbunya banyak sekali, resep soto ayam Lamongan sebetulnya fleksibel. Kalau sebuah bahan tidak tersedia, bahan itu boleh diganti dengan yang sejenisnya. Hasilnya tetap soto ayam yang enak.

Ayam

Sampai sekarang, di Lamongan pedesaan, soto ayam untuk hajatan masih mempertahankan resep aslinya menggunakan ayam kampung. Sebab memang di desa masih mudah mendapatkan ayam kampung. Kalaupun seseorang tidak memelihara ayam di rumah, ia mudah membelinya dari tetangga atau di pasar.

Di pasar, ayam kampung dijual dalam keadaan hidup. Sehingga pembeli bisa memilih ayam yang paling bagus dan sehat. Juga bisa memilih jenis kelaminnya. Ayam pejantan (jago) pada umumnya lebih disukai karena kaldunya lebih enak daripada ayam betina (babon). 

Ayam kampung jago

Di Lamongan, memelihara ayam kampung tidak begitu repot. Makanan utamanya adalah dedak (bekatul) yang merupakan hasil samping penggilingan padi. Kawasan pinggir Bengawan adalah penghasil padi yang utama di Lamongan. 

Kaldu ayam kampung aromanya sedap, rasanya gurih, bening, tidak begitu berminyak. Bahkan dengan bumbu garam saja tanpa tambahan bumbu macam-macam pun, rebusan ayam kampung rasanya sudah lezat. Daging ayam kampung juga liat. Cocok untuk irisan soto. Jika diiris kecil-kecil, tipis, menyerong, daging tidak mudah ambyar. 

Kulit ayam kampung juga liat karena banyak mengandung kolagen. Bisa diiris tipis-tipis dan tetap utuh. Beda dengan kulit ayam potong yang praktis tidak bisa diiris-iris karena sangat lembek dan banyak lemak.

Akan tetapi soto ayam Lamongan di kota-kota besar hanya sedikit yang masih mempertahankan komponen ayam kampung. Biasanya warung-warung yang masih menggunakan ayam kampung asli ini akan menyebut warungnya sebagai “Warung Soto Ayam Kampung Asli”. Ayam kampung asli ini untuk membedakannya dari warung-waung soto yang menggunakan ayam kampung super.

Ayam joper

Ayam kampung super adalah jenis ayam ternak yang paling banyak digunakan untuk soto ayam Lamongan di kota-kota besar. Harganya lebih murah daripada ayam kampung asli sehingga harga jual soto masih bisa dipertahankan di bawah Rp 15.000 seporsi.

Ayam kampung super ini memiliki sifat mirip ayam kampung dalam hal citarasa kaldu dan tekstur. Biasa disebut juga ayam jowo super atau ayam joper. Ayam ini hasil persilangan antara ayam kampung asli dan ayam petelur. 

Ayam joper pertumbuhan badannya terbilang cepat, seperti ayam pedaging. Usia 2 bulan sudah bisa dipotong. Harganya lebih murah daripada ayam kampung asli.

Sebagian kecil penjual soto ayam menggunakan daging ayam petelur yang sudah tidak produktif. Ayam jenis ini kadang disebut ayam merah karena biasanya bulunya berwarna merah bata. Dagingnya lebih tebal daripada daging ayam kampung karena ayam petelur biasanya memang lebih gemuk.

Daging ayam jenis ini juga liat karena kandungan kolagennya (serat daging) tinggi seperti ayam kampung tua. Tidak mudah ambyar kalau diiris tipis-tipis.

Ayam jenis ini sering menjadi alternatif ayam kampung karena harganya paling murah dibandingkan ayam joper atau ayam kampung asli. 

Di kalangan peternak ayam petelur, ayam yang sudah afkir ini biasanya dijual sebagai bahan naget, sosis, atau bakso. Daging digiling lebih dulu lalu diolah dalam bentuk lain sehingga tekstur aslinya sudah hilang. Kalau dijual dalam bentuk daging ayam biasa, daging ayam kawak ini tidak begitu laku karena alot dan kalau direbus butuh waktu lama untuk matang. 

Bagi penjual soto, tekstur yang alot ini bukan masalah besar. Sebab daging ayam tidak dihidangkan dalam potongan besar-besar tapi diiris kecil-kecil. Cara menyiasatinya cukup dengan direbus lebih lama supaya daging tidak terlalu alot. 

Di antara jenis ayam-ayam ternak, ayam broiler (ayam potong atau biasa disebut ayam negeri) terbilang paling tidak cocok untuk soto ayam. Dagingnya terlalu empuk sehingga mudah ambyar kalau diiris kecil-kecil. 

Meski demikian, kalau kita hendak memasak soto untuk dimakan sendiri, kita tetap bisa menggunakan daging ayam potong yang banyak dijual di pasar. Hasilnya tetap soto yang enak. 

Agar dagingnya tidak mudah ambyar saat diiris, ayam yang sudah direbus dan diambil kaldunya itu bisa digoreng agar teksturnya lebih liat. Atau, kalau kita menghindari gorengan, daging ayam rebusan itu bisa dipanggang untuk mengurangi kadar airnya sehingga teksturnya lebih liat dan mudah diiris. 

Intinya, resep ayam Lamongan itu fleksibel. Tidak kaku. Kaupun tak ada ayam kampung, ayam ternak pun jadi. 

Daging ayam kampung yang asli sulit didapat di pasar. Yang biasanya dijual di pasar adalah daging ayam broiler atau ayam joper. Kalau kita mau membeli daging ayam kampung asli, kita bisa memesannya di penjual daging ayam yang memotong sendiri ayamnya. Biasanya mereka punya koneksi ke penjual ayam kampung asli. 

Bawang Putih, Bawang Merah

Dua jenis bawang ini pasangan yang sulit dipisahkan di dalam resep masakan-masakan Nusantara, tak terkecuali soto ayam Lamongan. Orang Lamongan menyebutnya sebagai pasangan kata yang tidak dipisahkan, yakni “bawang-brambang”. Bawang adalah bawang putih. Brambang adalah bawang merah. 

Bawang merah dan bawang putih terutama diperlukan di dalam bumbu awal yang akan ditumis. Bawang putih goreng juga diperlukan pada saat pembuatan bubuk koya. Bawang merah goreng kadang juga ditaburkan ke dalam soto yang akan dihidangkan. Tetapi taburan bawang merah goreng ini tidak selalu ada di resep soto ayam Lamongan.

Kombinasi bawang merah dan bawang putih ini adalah penyedap rasa soto nomor dua setelah kaldu ayam. Kedua bawang ini diulek bersama bumbu lain sampai halus kemudian ditumis. 

Proses pemanasan yang terkontrol akan membuat sebagian komponen senyawa sulfur organik di bawang-brambang berubah menjadi senyawa aromatik. Inilah yang menyebabkan bawang-brambang membuat masakan apa pun menjadi sedap.

Proses pemanasan ini harus terkontrol. Tidak boleh terlalu panas dan terlalu lama sebab bawang-brambang mudah gosong dan kehilangan aroma sedapnya. Bumbu ini ditumis tanpa perlu menunggu minyak mendidih lebih dulu. 

Selama ditumis, bumbu harus terus diaduk agar tidak ada bagian yang gosong. Di resep-resep masak, penumisan bawang-brambang biasanya dianjurkan sampai munculnya bau harum. Bau harum ini tak lain adalah senyawa aromatik yang berasal dari sulfur organik bawang. 

Di resep soto, bawang putih diperlukan dua kali. Pertama untuk membuat bumbu halus. Kedua, untuk membuat koya dengan cara digoreng dulu lalu dihaluskan bersama kerupuk udang.

Bawang merah juga diperlukan dua kali. Pertama untuk membuat bumbu halus. Kedua, untuk taburan pada saat soto dihidangkan. Namun, tidak semua resep soto menggunakan taburan bawang merah goreng. Ini hanya salah satu mazhab. 

Kunyit, Jahe, Lengkuas

Ketiga jenis empon ini banyak ditanam di pekarangan rumah di desa-desa di Lamongan. Ketiganya termasuk komponen soto Lamongan yang penting. Sama pentingnya dengan bawang merah dan bawang putih. Kombinasi empon-empon ini membuat soto ayam Lamongan berwarna kuning dan beraroma harum. 

Agar soto berwarna kuning keemasan, ibu-ibu zaman dulu biasa memilih kunyit yang sudah tua. Biasanya ditandai dengan warna jingga yang lebih pekat. Kunyit ini diambil dari tanaman yang sudah berbunga. Kalau kunyitnya kurang tua, warna kuning soto agak pudar. Kurang menggoda.

Begitu pula dalam pemilihan jahe dan lengkuas. Keduanya juga diambil dari tanaman yang sudah tua. Empon yang tua aromanya lebih kuat. 

Kita sekarang mungkin tidak begitu memperhatikan tua-mudanya kunyit, jahe, atau lengkuas. Ini wajar karena kita hari ini memperoleh kunyit dari toko. Kita tidak tahu tanaman kunyit, apalagi mengetahui empon yang tua atau muda. 

Ada tiga cara dalam meracik bumbu empon. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. 

Cara ulek-tumis

Empon diulek (atau sekarang diblender) bersama bumbu lain lalu ditumis. Cara ini membuat aroma empon lebih menyatu dengan kuah secara sempurna. Aroma soto juga jadi lebih sedap karena proses pemanasan akan membuat zat-zat aromatik di dalam empon menjadi lebih harum. 

Kelebihan lain, soto menjadi lebih tahan lama, tidak cepat basi. Kelemahannya, cara ini membuat ampas soto lebih banyak. 

Cara geprek-cemplung

Empon digeprek dan dicemplungkan ke dalam kuah soto. Ada yang langsung digeprek, ada juga yang dibakar dulu baru digeprek. Empon dipanggang dulu tujuannya agar aromanya menjadi lebih harum. 

Cara geprek ini bisa menjaga kuah soto lebih bening sebab ampasnya tidak banyak. Namun cara ini membutuhkan empon lebih banyak. Walaupun sudah digeprek, tetap ada sari patinya yang tertahan di dalam empon. 

Cara parut-cemplung

Empon tidak digeprek atau diulek tetapi diparut dan langsung dimasukkan ke dalam kuah pada saat proses memasak pada tahap akhir. Empon tidak ikut ditumis. Tujuannya agar aroma empon tidak banyak yang menguap akibat panas. 

Kelebihannya, cara ini membuat soto menjadi lebih sehat karena kuahnya punya khasiat seperti jamu. Zat-zat obat di dalam empon tidak banyak yang terurai oleh panas. 

Bawang prei/bawang daun/kucai dan seledri

Dari ketiga jenis daun bawang di atas, yang paling sering digunakan adalah bawang daun. Dicincang kecil-kecil bersama seledri lalu ditaburkan di kuah soto pada tahap penyajian. 

Yang paling jarang digunakan adalah kucai karena saat ini sulit dicari. Dulu di tahun 1980-an kucai masih sering digunakan karena masih banyak ditanam di pekarangan rumah di desa-desa. Aroma kucai mirip bawang putih sehingga sedikit saja sudah bisa membuat soto jadi lebih sedap. 

Daun jeruk purut, serai, salam

Dari tiga daun aromatik di atas, setidaknya harus ada daun jeruk dan serai. Daun salam boleh tidak disertakan kalau memang tidak ada. Biasanya daun aromatik ini ikut ditumis bersama bumbu. Daun jeruk dibuang tulang daunnya lebih dulu, sementara serai digeprek lebih dulu agar minyak atsirinya (zat aromanya) keluar. 

Dari komponen di atas, kita bisa melihat bahwa resep soto ayam Lamongan menggunakan banyak sekali bumbu aromatik, mulai dari kunyit, jahe, lengkuas, serai, daun jeruk, daun salam, hingga seledri. Karena itulah aroma soto ayam Lamongan harum sekali.

Kemiri

Ini juga komponen penting dari resep soto. Kemiri sifatnya mirip kacang tanah, mengandung banyak pati, lemak, dan protein. Rasanya lebih enak jika disangrai lebih dulu atau ditumis bersama bumbu halus. Kemiri memberi rasa gurih pada kuah soto karena banyak mengandung minyak dan protein.

Biji ketumbar dan merica

Saat ini sebagian besar dapur era Cookpad lebih banyak menggunakan ketumbar dan merica bubuk dalam kemasan yang praktis. Tinggal tuang ke dalam masakan seperti yang dilakukan Rudy Choirudin di layar televisi. 

Bagaimanapun juga, untuk resep soto yang otentik, biji ketumbar dan merica utuh jauh lebih bagus sebab rasa dan aromanya lebih kuat. Kalau biji ketumbar dan merica sudah dihaluskan, sebagian zat aromatiknya sudah berkurang. 

Kerupuk udang, udang utuh, ikan bandeng

Kerupuk udang adalah komponen wajib sebab merupakan bahan utama koya. Adapun udang dan ikan bandeng bukan komponen wajib. Kalau tersedia, bisa ditambahkan supaya soto makin gurih. 

Caranya, udang atau bandeng direbus bersama ayam lalu dihaluskan dan dicampurkan ke dalam kuah. Bisa juga udangnya ditumis lebih dulu baru diulek dan dimasukkan ke dalam kuah. Ikan bandeng bisa digoreng lebih dulu kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam kuah. Cara kedua ini bisa mengurangi bau lumpur dari ikan bandeng. 

Jeruk nipis atau asam jawa

Rasa soto menjadi lebih segar jika ditambah perasan jeruk nipis pada saat dihidangkan. Sebetulnya unsur asam bisa juga ditambahkan langsung ke dalam kuah pada saat proses memasak. Bisa menggunakan asam jawa yang masih mentah atau asam kawak. 

Jika yang digunakan adalah asam jawa mentah, bahan ini perlu direbus dulu sampai empuk, lalu dilumat dengan air panas kemudian airnya ditambahkan ke dalam kuah. 

Jika yang digunakan adalah asam kawak, bahan ini bisa langsung dilumat dengan air panas dan diambil airnya untuk ditambahkan ke dalam kuah. Kalau di dalam kuahnya sudah ada unsur asam, soto tidak perlu lagi ditambah dengan perasan jeruk nipis.

Penambahan asam jawa dan jeruk nipis berbeda waktunya. Asam jawa bisa dimasukkan langsung ke dalam kuah saat proses memasak. Sebab, kandungan utama zat asam pada asam jawa adalah asam-asam organik yang tahan panas. Rasanya tetap kecut walaupun dididihkan lama pada saat proses memasak. 

Beda halnya dengan perasan jeruk nipis yang mengandung asam-asam organik yang mudah terurai oleh panas. Rasa kecutnya berkurang jika dipanaskan lama. Apalagi di warung, biasanya soto dihangatkan selama berjam-jam. Itu sebabnya perasan jeruk nipis harus ditambahkan ke soto pada saat dihidangkan. 

Selain itu, jeruk nipis juga mengandung banyak minyak atsiri (zat aromatik) yang juga mudah menguap jika kena panas. Sementara buah asam Jawa tidak banyak mengandung zat aromatik. Jeruk nipis diambil asam dan aromanya. Sementara buah asam hanya diambil zat asamnya.

Garam, gula, MSG, dan kaldu instan

Kombinasi garam dan gula dalam proporsi yang pas bisa membuat masakan menjadi gurih walaupun tanpa tambahan monosodium glutamat (MSG/micin). Akan tetapi sebagian besar soto saat ini, terutama di warung, hampir pasti ditambah penyedap rasa. Bahkan ada pula yang masih ditambah kaldu instan. 

Sebetulnya di dalam resep dasar soto ayam Lamongan sudah terdapat banyak komponen penyedap rasa alami yang membuat masakan menjadi gurih. Kaldu ayam, bawang putih, bawang merah, kemiri, koya kerupuk udang, semua ini adalah unsur penyedap rasa gurih. 

Apalagi jika resepnya juga menggunakan tambahan udang utuh atau bandeng. Gurihnya sudah optimal. Penyedap rasa MSG baru diperlukan kalau bumbunya tidak lengkap. 

Apa boleh buat, masakan warung zaman sekarang memang berlomba-lomba menang gurih. Sudah gurih, masih dianggap kurang gurih. 

Cabai dan kecap

Sambal dan kecap biasanya dihidangkan terpisah, tidak dimasak bersama kaldu sebab selera orang berbeda-beda. Kecap memang komponen yang sangat menentukan rasa soto tetapi bumbu ini tidak masuk komponen utama. Tanpa kecap, soto ayam sudah enak.

Sambal juga soal selera tetapi komponen ini harus tersedia bersama soto. Kalau kita memasak soto untuk dimakan sendiri, sebetulnya rasa pedasnya lebih enak kalau cabai ikut diulek dan ditumis bersama bawang merah, bawah putih, dan sebagainya. Kalau soto hendak dimakan sekeluarga sendiri, kita sudah tahu selera pedasnya dan bisa menghitung berapa cabai yang perlu ditambahkan.

Pada saat proses penumisan, kapsaisin (zat pedas cabai) akan larut di dalam minyak. Rasa pedasnya menjadi lebih menyatu dengan komponen lain, tidak gampang menyebabkan lidah terbakar dan sakit perut. Selesai makan, ada sisa rasa hangat cabai di mulut. 

Rasa pedas seperti ini sulit kita dapatkan di warung karena sambalnya dipisah. Cabai tidak ikut ditumis. Ketika sambal dimasukkan ke dalam soto, zat pedas cabai tidak bisa tercampur homogen ke dalam soto sehingga mudah membakar mulut. 

Sambal soto di warung biasanya dibuat dari cabai yang direbus lalu diulek. Ketika dicampurkan ke dalam soto pada saat hendak dimakan, zat pedas cabai terasa lebih kuat di lidah. Gampang menyebabkan kepedasan.

Sambal soto sebetulnya cukup dibuat dari cabai rawit merah mentah yang diulek. Di warung, biasanya cabai direbus lebih dulu supaya sambal lebih awet dan rasanya tidak terlalu pedas. Cabai yang tidak direbus rasanya lebih pedas dan lebih segar. 

Untuk mencegah orang mengambil sambal terlalu banyak, cabai rawit merah bisa ditambah dengan cabai merah dan garam. Cabai merah warnanya kelihatan menyala seperti sangat pedas padahal rasanya tidak begitu pedas. 

Telur rebus, soun, kubis, taoge 

Bahan-bahan ini bukan komponen utama soto. Fungsinya hanya meramaikan saja. Supaya kalau irisan daging ayamnya sedikit, isi soto tetap kelihatan semarak. Bahan-bahan ini rasanya netral, tidak begitu berpengaruh terhadap kelezatan soto. Tanpa telur rebus dan sebagainya itu pun soto sudah lezat.

sejarah soto ayam lamongan DIREKTORI

Buku Gratis: Soto Ayam, Cara Hidup Orang Lamongan

Penulis: Mohammad Sholekhudin

Penerbit: Perpustakaan Nasional RI

Untuk membacanya, silakan klik gambar di bawah. Anda juga bisa mengunduhnya gratis dengan mendaftar lebih dulu di situs Perpusnas.

sejarah soto ayam lamongan
SEJARAH

Sejarah Desa Brondong yang Dulu Terkenal Angker

Pelabuhan Brondong, 1937

Sebelum tahun 1936, Desa Brondong hanya sebuah desa nelayan biasa di pesisir Lamongan. Tak ada yang istimewa. 

Tapi sebuah peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936 seketika mengubah wajah desa ini. Pada dini hari itu, kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Brondong. 

Lima orang nelayan setempat menjadi pahlawan dalam tragedi ini. Kaslibin, Matuwi, Troenoredjo, Sratip, dan Mardjuki berhasil menyelamatkan 140 penumpang. Hampir tiga kali lipat daripada yang bisa diselamatkan oleh tim SAR Belanda yang membawa pesawat amfibi dan kapal perang.

Nelayan Brondong (bercaping) bersama sebagian penumpang pribumi yang berhasil diselamatkan.

Sejak itu Brondong menjadi terkenal seantero Hindia Belanda. Peristiwa ini menyedot perhatian sampai setahun kemudian. Nama Brondong masih terus disebut-sebut di dalam investigasi yang tak pernah menemukan titik terang. Penyebab tenggelamnya kapal masih misterius. Kapal tiba-tiba oleng dan tenggelam begitu saja dalam tempo 10 menit.

Di tengah proses investigasi yang belum selesai, tiba-tiba pada tahun 1937, terjadi lagi kecelakaan. Kali ini sebuah pesawat tempur T13 milik marinir Belanda jatuh, menewaskan sembilan penumpangnya. Lokasinya tak jauh dari tempat tenggelamnya Van der Wijck. Sama-sama bulan Oktober. 

Bangkai pesawat T13 diangkat dengan kapal.

Dua kecelakaan besar ini membuat Brondong makin terkenal. Juga membuat banyak orang berpikir bahwa perairan Brondong adalah wilayah yang angker. 

Berkali-kali wartawan koran Belanda mendatangi desa ini. Salah satu arsip koran Belanda bahkan sampai menceritakan soal asal-usul Desa Brondong. Pada April 1939, ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh keturunan Kiai Brondong. Entah di mana tempatnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah kaum ningrat.

Kiai Brondong adalah leluhur masyarakat Brondong. Konon nama asalnya adalah Lanang Dangiran. Dia anak dari Raja Blambangan, Susuhunan Tawangalun. Blambangan merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di Banyuwangi. Tawangalun berkuasa di pertengahan abad ke-17. 

Pada saat itu Islam sudah masuk pesisir Lamongan sebab Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur sudah berdakwah di sini seabad sebelumnya. Ketika Blambangan dilanda peperangan, Lanang Dangiran melarikan diri dan terombang-ambing di Laut Jawa. Saking lamanya hidup di laut, tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong (biji jagung). 

Singkat cerita ia diselamatkan oleh kiai di pesisir Lamongan, diambil sebagai menantu, diajari Islam. Desa tempat ia diselamatkan ke darat itu dinamai Brondong. Di sini Lanang Dangiran juga memperoleh nama baru, Kiai Brondong. 

Menurut warga Brondong, leluhur mereka ini dimakamkan di Desa Brondong di kompleks makam Sentono, yang letaknya di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono. Tapi menurut koran Belanda ini, Kiai Brondong kemudian pindah ke Surabaya, berdakwah di sana, dan meninggal di sana. 

Makam Kiai Brondong

Ia dimakamkan di Kompleks Makam Botoputih, Pegirian, Surabaya. Di sana memang ada makam Kiai Ageng Brondong di kompleks makam yang namanya Sentono Agung.

(Foto: Doramasittah/Masri Masriansyah)

Wah, berarti makam kembar, dong. Jadi, versi mana nih yang benar?

OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Wisata Kuliner Rujak Cemplang

Saat ini kita hidup di zaman ketika urusan makan tidak sekadar mengisi perut tapi kegiatan rekreasi. Mampir di warung sekarang kita sebut sebagai “wisata kuliner”. 

Di mana-mana, kita cenderung memilih tempat makan yang viral, laris, dan maknyus. Jika mungkin, yang instagramable dan tiktokable. 

Bahkan sekarang kita rela menempuh jarak berkilo-kilometer hanya demi makan siang yang sebetulnya bisa kita dapatkan di warung mana saja. Orang Laren bisa sengaja sarapan di Sego Sambel Pak Botak Brondong yang lokasinya mblusuk-mblusuk. Hanya supaya tidak ketinggalan berita viral.  

Tentu saja kami juga melakukan ini. Misalnya, ketika sedang jalan-jalan di sekitar Paciran, kami hampir selalu mampir Rujak Mak Tas sejak zaman rujaknya diulek Mak Tas sendiri. Tiap kali melewati jeglongan jembatan Paciran, motor kami seperti tiba-tiba ngerem sendiri. Mungkin karena kampas remnya Honda KW.

Mak Tas adalah wanita penggoda. Di warung ini, semuanya enak. Rujaknya sedap. Es dawetnya gurih legit. Santannya selalu dibuat baru. Entalnya juga empuk, kematangannya pas. Tidak ada yang mengecewakan.

Foto: Dewangga S.R.D/uut_udhel 29

Semua jualan Mak Tas enak karena dia menggunakan bahan-bahan kualitas nomor satu. Gula merah siwalan asli. Terasi udang asli. Petis ikan asli.

Saking larisnya rujak Mak Tas, kapan pun kita datang, warungnya selalu ramai. Sing adol sampek ora ketok bokonge. Kadang kita harus menunggu antrian sampai setengah jam lebih karena satu orang bisa mbungkus banyak sekali.

Foto: Gallant Tsany Abdillah

Mampir Mak Tas hampir menjadi protap tiap kali lewat Paciran. Ketika kampas rem motor kami ganti dengan suku cadang Aspira, ndilalah remnya semakin error. Tidak lagi ngerem sendiri di jembatan Paciran, tapi ngerem secara acak di warung-warung rujak sepanjang pinggir Jalan Raya Paciran. Gonta-ganti di warung yang sepi. 

Sebagian besar warung di sana sudah kami coba satu-satu. Banyak yang enak walaupun tidak seenak Mak Tas. Tapi ada yang rujaknya asin sekali. Ada yang cemplang. Ada yang es dawetnya agak kecut, mungkin karena santannya sudah dibuat sejak pagi. 

Ada yang entalnya terlalu keras karena terlalu tua. Ada yang legennya sudah masam. Macam-macam kekurangannya. Intinya, kalau diibaratkan rating di Play Store, mungkin bintangnya 3.

Tapi kata Pak Ustad di Masjid Taqwa Paciran yang kami singgahi, Nabi Muhammad, manusia mulia itu, melarang kita mencela makanan. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah mencela makanan walaupun makanan itu terlalu asin. 

Ibu-ibu yang rujaknya cemplang itu mungkin memang tidak dikarunia kecerdasan sambal seperti Mak Tas dan keluarganya. Tapi yang pasti mereka adalah para perempuan mulia, yang mencari nafkah bagi keluarganya. 

Rujak mereka mungkin hanya bintang 3. Tapi kehadiran kita, dua tiga orang pembeli, jelas sangat berarti bagi nafkah mereka. 

Setelah mendengar penjelasan Pak Ustad ini, kami tidak jadi membawa motor ke bengkel Ahass. Rem Aspira yang error itu ternyata membawa kami pada eksperimen wisata baru yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Wisata kuliner di warung yang sepi, tidak viral, tidak maknyus. 

Wisata kuliner di warung maknyus memang memuaskan selera lidah kita. Tapi wisata kuliner di warung yang sepi bisa jadi lebih bermanfaat bagi pemerataan ekonomi. 

SEJARAH

Foto Orang Lamongan yang Pergi ke Suriname Zaman Belanda

Ani/Mantup

Pada tahun 1890-1930, pemerintah Hindia Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname, Amerika Selatan, untuk bekerja di perkebunan milik Belanda di sana. Mereka dikirim ke Suriname untuk menggantikan pekerja asal India yang susah diatur. Belanda lebih menyukai pekerja asal Jawa karena mereka dikenal penurut.

Dasminah/Songo, Ngimbang. Foto ini aslinya buram. Diedit oleh KADOUYE_LAMONGAN. Jika Anda butuh jasa edit foto dan video profesional yang bisa edit apa saja, silakan hubungi WA 085604193406 atau Instagram kadouye_lamongan.

Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang di antaranya berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Doongpring (Kedungpring), dan Bangbau (Kembangbahu). Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.

Kamidjah/Gedong, Kedungpring   

Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.

Mbok Djasman/Blumbang, Kedungpring

Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Umur 20 tahun sudah bertatus mbok.

Kamisah/Deket

Tentu butuh keberanian, kenekatan, dan kepasrahan tingkat tinggi untuk memutuskan pergi bekerja ke suatu tempat entah di mana nun jauh di sana, lebih jauh daripada Mekkah yang mereka dengar ceritanya dari khotbah.

Karsih/Nglawan, Kembangbahu

Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air, dan berangkat dengan berlinang air mata. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.

Kasmidjah/Suruan, Kedungpring

Tapi sejarah berkata lain. Situasi politik yang kacau membuat hanya sebagian kecil yang bisa kembali ke Jawa. Banyak yang meninggal di sana selama masa kontrak. Sebagian besar selesai kontraknya dan tetap tinggal di Suriname, berkeluarga di sana, dan punya keturunan.

Kiatoen/Banaran, Babat

Sebagian dari mereka sempat dipulangkan ke Hindia Belanda (Indonesia) tapi tidak ke Jawa, melainkan ke Sumatera Barat. Tapi karena di sini hidup mereka lebih sulit, akhirnya mereka minta kembali ke Suriname.  

Marinah/Dinoyo, Deket

Data mereka sebetulnya cukup lengkap. Ada data keberangkatan, perusahaan tempat bekerja, tanggal kematian, data keluarga mereka yang memutuskan tinggal di Suriname, dan sebagainya.

Ngaisah/Songo, Bluluk

Tapi kami hanya menampilkan data nama dan asal kecamatan. Beberapa nama desa mungkin tidak dikenal karena nama zaman Hindia Belanda bisa jadi berbeda dengan nama desa yang kita kenal sekarang.

Ning/Ngonko, Ngimbang

Nama kecamatan juga tidak selalu sama dengan kecamatan sekarang. Sidajoe (Sedayu), misalnya, pada zaman itu meliputi wilayah Lamongan Pantura.

Markillah/Banjaranyar, Sedayu

Dari arsip sejarah ini kita bisa menyaksikan bagaimana kerasnya hidup buyut-buyut kita. Status pekerja kontrak pada masa itu hanya satu tingkat di atas perbudakan. Belanda sendiri setengah abad sebelumnya masih mempekerjakan budak di Suriname. Mereka diganti dengan pekerja kontrak karena perbudakan resmi dilarang tahun 1860.

Sakirah/Babat

Di sana mereka bekerja di kebun tebu, kopi, kakao, pabrik gula, dll, seperti yang tampak di video berikut. Soundtrack video ini adalah lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, oleh penyanyi Belanda, Wieteke van Dort.

Lagu ini bercerita tentang makanan-makanan di Jawa: nasi goreng, sambel, kerupuk, lontong, sate babi, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpau, ketan, gula jawa.

Video berasal dari grup Sambung Roso Java-Suriname Indonesia.

Barangkali di antara pembaca ada yang punya buyut pergi ke Suriname dan pernah dengan ceritanya dari kakek-nenek? Jika sampeyan punya cerita, silakan sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com/

Atrap/Bandangan
(Kandangan? Sambeng)
Ponidin/Kramat,
Lamongan
Saridin/DalitRais/Sedayu
Saridjan/Sepat, Candiretto
(Tambakmenjangan, Sarirejo?)
Ramidin/Koloputih
(Karanggeneng)
Saridjan/Sukomalo, MojonanRasmie/Patalan
Sarimin/LamonganRebo/Rangkak, Turi
Sarman/Bejujar, KembangbahuReksosoedarmo/Ngimbang
Sidin/Sukobendo, NgimbangSadi/Kembangbahu
Singoredjo/Kradenan
(Kedungpring?)
Sakiman/Kalen, Kedungpring
Kasmidjah/SedayuSampan/Karanggeneng
Sitam/Pangean (Maduran)Saridin/Balan (Babat?)
Soeromedjo/Selagi, NgimbangLassiman/Menongo
Markati/SedayuMarsoepi/Bandung, Lamongan
Soewirio/NgimbangMartibin/Bessar (Besur, Sekaran?)
Martidjah/LamonganMarto/Mlati, Ngentir
Moeinah/TlogoanyarNaridin/Ngimbang
Sokarto/Gondang, NgimbangNgaido/Brumbun (Maduran?)
Somedjo/Gempalpendawo,
Ngimbang
Ripan/Kedungpring
Toidjojo/Kemesik, KembangbahuPare/Kembangbahu
Sani/KedungturiPartok/Ngimbang
Saridjah/SawoSinah/Bluluk
Mbok Sarimin/Nglawak
(Lawak/Ngimbang?)
Soepinah/Babat
Sidah/KarangkawisWasirah/Babat
Wagijo/SukorameWarsono/Suren (Bluluk?)
Masih ada beberapa puluh
nama lagi tapi tidak kami
tampilkan karena tidak ada
fotonya.
Wiroredjo/Tlatar, Ngimbang
OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

10 Oleh-oleh Khas Lamongan yang Bisa Dibeli di Shopee, Laris dan Rating Tinggi

Lamongan punya banyak oleh-oleh khas. Ada yang cepat basi dan cuma tahan 1 hari, misalnya legen dan jumbrek. Ada yang tahan beberapa hari, misalnya wingko. Ada juga yang tahan sampai beberapa bulan, misalnya keripik ikan.

Sekarang oleh-oleh khas Lamongan juga banyak dijual di Shopee. Ini cocok buat kita yang tidak sempat membeli oleh-oleh langsung. Atau buat kita yang ingin praktis dan tidak direpotkan oleh tetek bengek. Tinggal klik klik bayar. Barang diantar ke rumah.

Rekomendasi di bawah ini didasarkan pada kualitas barang, tingkat kelarisan, dan rating dari pembeli. Jadi, jangan khawatir, semua oleh-oleh ini sudah teruji, laris, dan memuaskan.

  1. Wingko Babat Loe Lan Ing mini

Wingko Babat perlu disebut di nomor atas karena ini adalah oleh-oleh khas Lamongan yang paling serba bisa. Bisa untuk oleh-oleh buat teman, bisa juga untuk calon mertua. Dijamin tidak mengecewakan. Di Babat ada banyak merek wingko. Sejauh ini Loe Lan Ing tetap yang terbaik. Teksturnya kesat, rasanya legit gurih. Memang harganya lebih mahal dibandingkan dengan wingko merek lain tapi mutunya sepadan.

Loe Lan Ing punya beberapa varian ukuran, mulai dari mini, medium, sampai jumbo. Yang mini ukurannya hanya selingkar biskuit karena ditujukan untuk sekali emplok. Cocok buat yang punya teman banyak. Kelebihannya, wingko ini tersedia dalam aneka rasa kekinian seperti keju, cokelat, kopi, nangka, taro, pandan, tiramisu, hingga durian. Cocok buat kawan sebaya milenial generasi jasjus.

Harga : Rp60.000 isi 10 wingko 

Link Shopee : Klik di sini.

  1. Wingko Babat Loe Lan Ing medium

Buat sebagian orang, wingko mini ukurannya terlalu kecil. Terutama jika oleh-olehnya ditujukan buat keluarga atau orang yang suka berkomentar “Kok cilik-cilik ngene?” Jangan khawatir, Loe Lan Ing punya varian medium yang ukurannya lebih besar. Seukuran lapik (lepek) cangkir kopi. Lebih mengenyangkan. Perlu diketahui, wingko dibuat dari ketan, kelapa, dan gula. Tiga bahan ini sama-sama mengenyangkan. Jadi makan satu wingko medium kenyangnya seperti makan nasi.

Harga : Rp30.000 per biji

Link Shopee : Klik di sini

  1. Wingko Babat Loe Lan Ing jumbo

Yang ini adalah wingko spesial. Cocoknya digunakan untuk oleh-oleh serius, misalnya calon mertua yang mengharapkan menantu sempurna. Di Lamongan sendiri, wingko ukuran jumbo selebar piring biasa digunakan sebagai oleh-oleh dalam proses lamaran. Wingko ini kemudian diiris kecil-kecil kemudian dihidangkan buat tamu.

Harga : Rp 70.000

Link Shopee : Klik di sini

  1. Wingko Babat Putra Agung

Ini alternatif yang lebih murah jika Loe Lan Ing dirasa mahal. Satu tas berisi 20 wingko mini. Cocok buat yang punya banyak teman gragas dan njalukan. 

Harga : Rp23.000

Link Shopee : Klik di sini

  1. Aneka keripik ikan

Tersedia keripik berbahan aneka ikan, baik ikan laut maupun ikan air tawar. Kebetulan Lamongan memiliki wilayah pesisir dan wilayah tambak air tawar.

Harga : Rp4.500

LInk Shopee : Klik di sini 

  1. Keripik ikan sunduk

Bentuknya seperti keripik usus karena memang dibuat dari ikan sunduk yang ukurannya kecil memanjang seperti pensil. Dibumbui dengan tepung serupa tepung kentaki. Kriuk-kriuk, cocok dinikmati dengan nasi hangat dan sambal terasi, atau dimakan sebagai cemilan. 

Harga : Rp37.500/kemasan ini 250 gram

LinkShopee : Klik di sini

  1. Gula merah siwalan

Gula merah ini terbuat dari nira pohon siwalan khas Paciran Lamongan. Harganya lebih mahal daripada gula merah yang banyak beredar di pasar. Sekitar tiga kali lipatnya. Baunya harum, cocok dibuat untuk kolak atau sambal rujak. Gula siwalan mudah menyerap air. Itu sebabnya selama pengiriman gula ini teksturnya seperti meleleh. Itu bukan karena mutunya tidak bagus tetapi karena sifat bawaannya yang higroskopis.

Harga : Rp40.000

Link Shopee : Klik di sini

  1. Sambal rujak Paciran

Sambal ini dibuat dari gula merah siwalan, untuk rujak buah. Sambalnya sengaja dibuat sangat kental, tidak begitu cair, supaya awet. Saat mau dinikmati, tinggal ditambah sedikit air matang sesuai selera. Dihidangkan dengan irisan mangga muda, bengkuang, nanas, timun, kerai, kedondong, atau lainnya. Tersedia 4 varian sesuai tingkat kepedasannya. 

oleh oleh khas lamongan sambal rujak

Harga : Rp16.500/kemasan cup isi 200 gram

Link Shopee : Klik di sini

  1. Kecap Cap Laron

Kecap ini sebetulnya produksi Tuban tetapi biasa menjadi oleh-oleh khas Lamongan karena memang merupakan bumbu dapur kebanyakan orang Lamongan yang bertetangga dengan Tuban. Ini kecap legendaris karena usianya sudah hampir seabad. Warnanya cenderung cokelat, tidak begitu hitam. Jadi kalau ditambahkan dalam jumlah banyak ke dalam masakan tidak membuat masakan jadi hitam. Rasanya manis gurih, tidak begitu asin. Lebih enak daripada kecap-kecap buatan pabrik. 

Harga : Rp31.000/kemasan isi ulang 620 ml

Link Shopee : Klik di sini

  1. Jenang ketan Paciran

Jenang Lamongan berbahan ketan dengan taburan wijen di atasnya. Bahan dasarnya ketan hitam, ketan putih, gula, dan santan. Di Lamongan pesisir, sebagaimana wingko jumbo, jenang ketan biasa dijadikan sebagai oleh-oleh untuk istimewa.

Harga : Rp16.000/kemasan 200 gram

Link Shopee : Klik di sini