FEATURED

Belajar Tanpa Menghafal

Penulis: Mohammad Sholekhudin, wali murid sekolah Muhammadiyah

Dulu waktu saya belajar matematika di sekolah, guru-guru saya menyuruh begitu saja menghafal rumus lingkaran. Mereka menyodorkan rumus keliling dan luas lingkaran sebagai pasal-pasal yang harus dihafal.

Rumus keliling lingkaran = 2 π r

Rumus luas lingkaran     = π r²

Ketika saya mulai banyak membaca buku sejarah, saya baru sadar bahwa rumus-rumus dasar matematika seharusnya tidak perlu dihafal. Cukup dipahami konsepnya saja. Kalau kita paham konsepnya, kita bisa mengetahui rumusnya secara otomatis. Tidak perlu dihafal.

Bagaimana bisa?

Rumus-rumus itu sejatinya punya cerita. Bilangan pi itu bukan sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit. Pi itu hasil pengamatan para ahli hitung zaman dulu. 

Salah satu cerita tertua mengenai pi adalah ketika Nabi Sulaiman menyuruh tukang perunggu membuat bejana (kuali) raksasa. Ia memberi petunjuk kepada tukang perunggu itu: 

  • Mulut kuali berbentuk bundar
  • Garis tengah mulut kuali 10 hasta
  • Keliling mulut kuali 30 hasta

Hasta adalah satuan panjang zaman dulu yang panjangnya kira-kira setengah meter, setara dengan panjang lengan orang dewasa, yang dihitung mulai dari siku sampai ujung jari.

Dari angka-angka di atas, terlihat Nabi Sulaiman sudah memiliki pengetahuan geometri bahwa keliling lingkaran itu 3 kali lipat dari garis tengah (diameter) lingkaran. Berapa pun besarnya kuali itu, perbandingan keliling dan diameter mulutnya selalu 3. Angka ini konstan, dan merupakan cikal bakal konstanta pi.

Ketika ilmu pengetahuan semakin maju, para ilmuwan melakukan pengukuran dengan lebih cermat. Hasilnya, ternyata perbandingan antara keliling dan diameter lingkaran itu besarnya 3,14 sekian. Bukan 3 persis seperti pi ala Nabi Sulaiman.

Para ilmuwan kemudian menyebut bilangan 3,14 ini sebagai pi. Simbol pi dipinjam dari huruf Yunani kuno dan merupakan inisial dari “perifer” yang artinya tepi lingkaran.

Jadi, pi adalah perbandingan antara keliling terhadap diameter lingkaran. Inilah konsepnya.

Dengan memahami cerita asal muasalnya, kita tidak perlu menghafalkan rumus keliling lingkaran karena kita sudah tahu bahwa pi itu perbandingan (rasio) antara keliling dan diameter lingkaran.

Alangkah baiknya jika sebelum belajar Bab Lingkaran, guru mengajak murid keluar kelas untuk mengamati benda-benda berbentuk bundar seperti roda, kaleng, piring, dsb. Lalu guru mengajak mereka mengukur keliling dan diameter benda-benda itu lalu hasilnya dicatat. Setelah itu guru baru menjelaskan konsep pi. Dengan cara ini belajar matematika jadi lebih menyenangkan. Rumus-rumus jadi lebih mudah diingat.

Sekarang bagaimana dengan rumus luas lingkaran? Ini juga sebetulnya tidak perlu dihafal. Cukup kita pahami saja konsepnya dengan logika sederhana.

Gambar di atas adalah lingkaran yang ada di dalam kotak persegi. 

Kita tidak tahu rumus luas lingkaran, tetapi kita sudah tahu rumus luas persegi. 

Persegi ABCD di atas sebetulnya adalah empat buah persegi kecil yang panjang sisinya adalah jari-jari lingkaran.

Jadi, luas persegi di atas = 4 x (jarijari x jarijari) = 4 r2

Bagaimana dengan luas lingkarannya? Tinggal ganti saja angka 4 di atas dengan pi.

Ini cara singkatnya. Kalau mau cara panjangnya, kita bisa menggunakan logika matematika.

“Luas lingkaran dibagi keliling lingkaran sama dengan luas persegi dibagi keliling persegi.”

Mari kita tulis logika ini dengan rumus matematika.

Tentu saja cara panjang ini hanya untuk mengobati rasa penasaran. Jelas tidak praktis kalau diterapkan pada saat murid menghadapi kertas ujian yang waktunya sempit. Lebih praktis pakai cara cepat di atas.

Tanpa latar belakang sejarah, rumus matematika bukan hanya sulit dimengerti tapi juga sulit dinikmati. Misalnya dulu sewaktu SMA saya selalu bertanya-tanya, buat apa kami diajari sin, cos, tangen, dan sejenisnya itu? Di kelas, kami tiba-tiba disuguhi rumus-rumus ini untuk kami hafalkan begitu saja.

Setelah lulus SMA, saya baru bisa mengagumi rumus–rumus sin cos ini ketika membaca sejarah ilmuwan muslim yang hidup di abad ke-11, yaitu Albiruni. 

Pada saat berada di wilayah yang sekarang masuk negara Pakistan, Albiruni melakukan pengamatan ilmiah yang spektakuler. Dia mengukur jari-jari planet Bumi menggunakan alat-alat sederhana. Padahal di masa itu sebagian besar manusia masih menyangka Bumi ini datar. Orang Lamongan sendiri saat itu menyembah Dewa Ikan dan berada di bawah kekuasaan Prabu Airlangga, Raja Kerajaan Kahuripan.

Yang luar biasa, hasil perhitungan Albiruni ternyata cukup akurat. Hampir sama dengan perhitungan ilmuwan modern yang didukung dengan alat-alat canggih.

Bagaimana caranya Albiruni bisa menghitung ukuran Bumi? 

Mula-mula dia mencari lokasi terbuka yang ada bukit di salah satu sisinya. Yang pertama kali diukur adalah tinggi bukit. Caranya, ia meneropong bukit itu dari jarak jauh menggunakan protraktor (busur pengukur sudut). Jarak dari kaki bukit ke posisi pengamatan dia ukur manual. Dari busur ukur, dia mengetahui sudut antara tanah datar dan garis imajiner ke puncak bukit. Dengan menggunakan rumus sin cos, dia bisa menghitung ketinggian bukit.

Setelah itu ia naik ke puncak bukit. Dari atas bukit ini dia mengukur sudut antara garis horizontal dengan garis imajiner dari puncak bukit ke permukaan Bumi terjauh yang bisa dipandang mata (kaki langit). 

Dengan mengetahui besarnya sudut-sudut ini, berikut ketinggian bukit, Albiruni bisa menghitung jari-jari bola Bumi dengan rumus sin cos.

Video Youtube bagaimana Albiruni mengukur keliling planet Bumi bisa dilihat di sini.

Kisah-kisah ini walaupun mungkin tidak membuat rumus sin cos menjadi lebih mudah, setidaknya bisa membuat murid lebih tertarik belajar daripada jika rumus-rumus rumit itu disampaikan begitu saja sebagai hafalan.

Akan lebih menarik lagi jika guru mengajak murid keluar kelas menuju sebuah bangunan tinggi, lalu mengajak mereka mengukur tinggi bangunan itu menggunakan busur sudut. Seumur hidup mungkin para murid itu akan mengingat pengalaman ilmiah ini.

Manusia pada dasarnya menyukai sejarah dan pengamatan. Matematika sendiri sebetulnya adalah materi sejarah. Akan tetapi sistem pembelajaran kejar tayang membuat sejarah tersisih dari matematika dan membuat rumus-rumus itu tampak seperti angka-angka yang datang dari antah berantah.

Penerapan di mata pelajaran bahasa

Pemanfaatan sejarah untuk belajar seperti ini tidak terbatas hanya bisa digunakan untuk memahami konsep matematika. Bisa juga digunakan untuk pelajaran lain, misalnya bahasa. Untuk keperluan ini, kita perlu ilmu tambahan yaitu etimologi (asal-usul kata).

Saya ambil contoh pelajaran bahasa Arab di buku anak saya yang kebetulan bersekolah di madrasah ibtidaiyah Muhammadiyah. Di bab nama-nama buah, ada salah satu kosa kata yang sulit sekali diingat maupun diucapkan, yaitu “burtuqal” (jeruk).

Hampir pasti semua murid akan menghafalkan kosa kata yang sulit diucapkan ini seperti mereka menghafalkan nama orang Belanda yang pertama kali mendarat di Banten: Cornelis de Houtman. Padahal dengan bantuan sejarah, kita bisa dengan mudah mengingat bahasa Arab dari jeruk tanpa perlu menghafal.

Pada zaman dulu orang Arab baru mengenal jeruk sejenis lemon yang rasanya kecut. Pada abad ke-15, mereka mengenal buah jeruk manis (orange) yang dibawa oleh orang-orang Portugis. Itu sebabnya orang Arab menyebutnya sebagai “buah Portugal”. Jadi burtuqal itu sebetulnya adalah pelafalan Arab dari kata Portugal

Bisa dibilang hampir semua murid zaman sekarang sudah mengenal kata Portugal, negara asal Cristiano Ronaldo. Jadi mereka tidak perlu lagi menghafal “burtuqal” sebagai kosakata baru sebab itu hanya pengucapan cara Arab dari negara asal Ronaldo.

Contoh lain, bahasa Inggris dari buah asam Jawa, yaitu tamarind. Kata Inggris ini berasal dari bahasa Arab “tamar hindi”, yang artinya “kurma India”. Lidah Inggris mengucapkannya jadi tamarind.

Akan lebih menarik kalau bahasa Arab dan bahasa Inggris diajarkan sebagai satu paket. Sebab, ada banyak kosakata Arab pinjaman dari bahasa Inggris. Dan sebaliknya, ada banyak kosakata Inggris pinjaman dari bahasa Arab.

Misalnya, bahasa Arab dari jambu biji adalah jawwafah. Ini adalah kata yang dipinjam dari bahasa Inggris, guava.

Sebaliknya, bahasa Inggris dari gula (sugar) dan minuman gula (syrup) sama-sama berasal dari kata Arab, yaitu “sukkar” (gula) dan “syarab” (minuman). Sebab pada masa keemasan Islam, orang Eropa mengenal kristal gula dari orang-orang Arab.

Bahasa Inggris dari kapas (cotton) berasal dari bahasa Arab “qutn”. Sebab pada zaman dulu orang-orang Eropa mengenal kain berbahan kapas dari orang-orang Arab.

Pengetahuan mengenai asal-usul kata ini sangat berguna dalam pelajaran bahasa Arab karena banyak kosakata merupakan turunan dari kata dasar yang sama. Misalnya, masih di buku anak saya, di bab nama-nama kendaraan, ada bahasa Arab pesawat terbang (tha-irah). Ini tidak perlu dihafal karena sebetulnya hanya turunan kata dari kosakata thayr (burung) yang ada di dalam surat yang biasa dibaca murid SD, yaitu surat Al-fil, yang bercerita tentang burung ababil. Pesawat dan burung sama-sama bisa terbang.

Dalam bahasa Arab, bus disebut hafilah karena bus bisa memuat banyak orang satu rombongan. Bahasa Arab inilah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kafilah (rombongan).

Tank tempur dalam bahasa Arab disebut dabbabah. Ini kata dasarnya sama dengan dabbah (hewan melata) karena cara berjalan tank mirip hewan melata, yakni menggunakan perut. Kata dabbah beberapa kali disebut di dalam Alquran.

Mobil disebut sayyarah. Kata dasarnya sama dengan sara (bepergian) karena memang mobil digunakan untuk bepergian.

Sepeda disebut darrajah. Kata dasarnya sama dengan daraja yang kemudian diserap ke  dalam bahasa Indonesia menjadi derajat. Kata dasar daraja dalam bahasa Arab berarti gerakan langkah kaki naik tangga. Sepeda dinamai darrajah karena gerakan kaki mengayuh pedal seperti gerakan kaki naik tangga.

Sepeda motor disebut darrajah nariyah. Kata nariyah ini berasal dari kata dasar nar (api). Sebab memang kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran.

Dan seterusnya. 

Intinya semua kosakata di dalam bahasa apa pun memiliki sejarah dan asal usul. Sejarah ini bisa dimanfaatkan untuk proses belajar agar pelajar jadi lebih mudah ingat tanpa menghafal.

SAINS

Ujian Nasional Ditiadakan Tapi Bebek Masih Dipaksa Berlari

Menteri Nadiem Makarim resmi meniadakan ujian nasional tahun ini karena pandemi. Di luar pro-kontranya, pandemi ini adalah masa yang tepat untuk meninjau kembali sistem pendidikan kita yang sangat berorientasi pada nilai ujian.

Sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian. Mungkin itulah gambaran pendidikan kita mulai dari SD sampai kuliah.

Enam tahun lalu, dunia pendidikan Lamongan dihebohkan oleh skandal pencurian soal unas. Yang menyedihkan, para pelakunya adalah guru-guru SMA di Lamongan yang bersekongkol. Lebih menyedihkan lagi, skandal ini melibatkan sekolah-sekolah favorit yang selama ini terkenal menghasilkan nilai unas tinggi dan mengirim banyak lulusannya ke perguruan tinggi negeri.

Ini adalah sisi gelap dari dunia pendidikan kita yang memberhalakan nilai ujian dan meletakkan pembentukan karakter di nomor sekian. Padahal skala prioritas keduanya harusnya dibalik. Pembentukan karakter, termasuk kejujuran, jauh lebih penting daripada nilai ujian. Tapi apa boleh dikata, selama puluhan tahun kita dibiasakan menilai kepintaran siswa semata-mata dari nilai ujian.

Buku-buku pelajaran penuh dengan materi hafalan. Bahkan tugas pelajaran SD saja sekarang sedemikian sulit sampai orangtua siswa pun tidak bisa mengerjakannya. Repot rapakat! Siswa dicekoki dengan berbagai hafalan yang seharusnya tidak perlu dihafal. Jika seorang anak tidak hafal tahun lahir Sultan Hasanuddin, apakah itu sebuah problem?

Seandainya pun saat ujian itu dia hafal, hampir pasti ia akan lupa begitu selesai ujian. Satu-satunya yang mungkin tak dilupakan cuma perang Diponegoro yang terjadi sesudah magrib.

Pendidikan harusnya dimulai dari satu asumsi dasar, yaitu bahwa semua anak memiliki kecerdasan masing-masing. Ada anak yang tidak pandai matematika, tidak pandai hafalan, tapi dia pandai berimajinasi. Anak-anak seperti ini di sekolah sudah pasti dianggap bodoh. Nilai ujiannya pasti jelek. Padahal dia bisa diarahkan untuk mengembangkan potensinya di bidang karya kreatif.

Pendidikan yang baik harusnya bisa membantu anak menemukan passion dan mengoptimalkan kecerdasan khasnya. Kecerdasan berlogika, kecerdasan berbahasa, kecerdasan bersosialisasi, kecerdasan bermusik, kecerdasan gerak jasmani, kecerdasan seni, kecerdasan berimajinasi, dan masih banyak lagi.

Tapi yang terjadi sekarang, sekolah-sekolah kita seperti cerita di fabel The Animal School. Seekor bebek, karena dituntut untuk lulus ujian lari, terpaksa setiap hari belajar lari sampai kaki dayungnya robek. Hasilnya? Dia tak pandai lagi berenang dan larinya tetap megal-megol.

Generasi sekarang punya pilihan profesi yang jauh lebih beragam daripada generasi guru-guru era Korpri. Itu tidak mungkin diringkas dalam kurikulum pendidikan yang pukul rata untuk semua orang. Jika kita mengukur kecerdasan seekor bebek dari kemampuannya berlari, maka sudah pasti dia tidak akan lulus ujian nasional, dan seumur hidup dia akan merasa dirinya sebagai hewan yang bodoh.

BERITA

Sekolah Alam Telur Buaya Lamongan

Seminggu ini media orang Lamongan dihebohkan oleh berita penemuan puluhan telur yang diduga telur buaya di bantaran Bengawan Solo di Karanggeneng. Tapi beberapa hari kemudian ahli reptil memastikan bahwa telur itu bukan telur buaya melainkan telur biawak.

Urusan telur buaya ini sebetulnya menarik sekali. Memang ada orang yang mengaku pernah melihat buaya di sungai yang biasa disebut Mbawan ini.

Tapi yang jelas selama ini tidak ada laporan hewan buas itu mengganggu manusia. Padahal di musim kemarau, para petani biasa mengambil air Bengawan saat surut hingga hampir habis.

Seandainya pun buaya masih ada, sepanjang dia tidak mengganggu manusia, sebetulnya manusia juga tidak boleh mengganggunya, termasuk mengambil telurnya.

Berita telur buaya ini mestinya adalah bahan pelajaran yang sangat menarik buat guru-guru IPA di Lamongan. Inilah saatnya guru-guru mengajarkan konsep kembang biak, ovipar, vivipar, ovovivipar, dan sebagainya. Tak perlu menunggu jadwal kurikulum di buku-buku LKS.

Dengan belajar langsung lewat kasus nyata di lingkungan, para siswa bisa lebih tertarik. Bahkan kalau mereka melihat langsung wujud telur itu, mereka mungkin akan mengingatnya seumur hidup.

Kalau kita paham biologi, kita tidak akan mudah membuat kehebohan dengan menyebutnya “telur buaya”. Mestinya kita sebut saja “telur reptil”. Bisa buaya atau biawak. Bahkan bisa juga ular piton. Biawak dan ular piton jelas masih banyak dijumpai di bantaran Bengawan Solo.

Seandainya pun itu telur ular piton, tetap saja kita tidak perlu mengganggunya. Sebab ular piton juga bermanfaat buat petani karena mereka memangsa tikus, hama sawah.

Piton tidak berbisa seperti ular kobra. Ia membunuh manusia dengan cara membelitnya sehingga ular ini hanya berbahaya kalau ukurannya sangat besar. Di sekitar Bengawan, ukuran piton tidak sampai level berbahaya.

Bengawan Solo sebetulnya adalah laboratorium alam. Jauh sebelum ada sudetan Sedayu Lawas, warga masih bisa melihat bulus (keluarga kura-kura) yang muncul ke permukaan karena mabok pada saat oyang-oyang.

Pada masa itu, Bengawan Solo adalah penghasil aneka jenis ikan, mulai dari kutuk (gabus), keting dan wagal (ikan patin), urang dan conggah (lobster air tawar), lupis (ikan belida), sili (yang digunakan di sego boran), bader (sejenis ikan mas), dan masih banyak lagi.

Bagi generasi X, Bengawan Solo adalah sekolah alam. Dari sungai inilah mereka pertama-tama belajar biologi sebelum mengetahuinya di bangku sekolah.

Tapi sekarang Bengawan Solo ibarat laboratorium yang terbengkalai. Sebab murid-murid masa kini hanya belajar dari buku-buku LKS yang disampul rapi.

Kalau sejak kecil mereka dididik untuk mencintai Bengawan Solo, kelak mereka mungkin bisa mengembangkan ekonomi iwak kutuk, yang sekarang harganya sekitar 50 ribu/kg. Atau, ekonomi iwak sili untuk melestarikan sego boran yang asli.

Iwak Sili. Foto Kahji Ajir Buronan Mertua

Kabarnya, harga iwak sili sekarang Rp 100 ribu sekilo. Wow.

SAINS

Berkebun Modal Sampah (Bagian 1)

Di Lamongan ada banyak sekali penjual es degan. Di wilayah Pantura, sekarang ini sedang ngetrend es degan jumbo. Dulu es degan harganya satu gelas biasa Rp5.000. Sekarang dengan uang yang sama kita bisa mendapat es degan gelas jumbo. Persaingan antara penjual es degan semakin ketat. Penjual es degan muncul di mana-mana. 

Imbasnya, sampah es degan juga semakin banyak. Sampah-sampah ini biasanya dibuang di tempat sampah, lalu dibakar begitu saja. Sebagian bahkan dibuang begitu saja di pinggir jalan. Padahal sampah degan ini sebetulnya termasuk sampah dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Bisa diolah menjadi cocopeat lalu dijadikan media tanam.

Saat ini harga cocopeat rata-rata masih Rp5.000 perkilo. Masalahnya, mengubah sampah degan menjadi cocopeat ini masih terbilang sulit. Biayanya juga mahal. Kalau kita sekadar mau membuat cocopeat untuk menanam tanaman hias di samping rumah, kita bisa pakai cara parut manual.

Parutan bisa kita buat dari bahan lembaran logam yang kuat, misalnya bekas parutan kelapa yang sudah tidak terpakai. Atau, kalau tidak ada, kita bisa membuatnya dari bekas wadah kaleng susu. Gambar parutan di bawah ini dibuat dari bekas parutan kelapa yang sudah tumpul. Parutan ini lalu dilubang-lubangi dengan paku. Bekas tusukan paku ini akan membuat besi menjadi lebih kasar dan bisa digunakan untuk memarut sabut kelapa.

Sampah kelapa itu tinggal kita parut menjadi serbuk cocopeat. Tapi sampai di sini, urusannya masih belum selesai. Cocopeat ini tidak bisa langsung kita pakai menanam karena kandungan taninnya masih tinggi dan bisa merusak akar tanaman. Cara paling mudah menghilangkan cocopeat adalah dipendam selama sekitar sebulan di dalam tanah bersama dengan sampah-sampah dapur yang sudah dihaluskan.

Bakteri akan mengurai sampah dapur dan cocopeat ini menjadi pupuk organik yang bisa dijadikan media tanam. Cocopeat ini bisa dijadikan media tanam tanpa tanah. Bisa juga dicampur dengan tanah liat. Media tanam ini sudah cukup subur walaupun tidak ditambah dengan pupuk kandang.

Kelemahan dari cara ini adalah produksi cocopeat tidak begitu banyak karena kita harus memarut manual. Kalau kita ingin produksi cocopeat yang lebih banyak, kita bisa membuat parutan mesin dengan dinamo bekas, misalnya bekas pompa air. Untuk parutannya kita bisa menggunakan parutan kasar kelapa yang bisa dibeli di Shopee, seharga Rp20.000. Atau, kita bisa juga menggunakan parutan yang dibuat dari bekas kaleng susu.

Kelemahan dari cara ini adalah kita harus menjadi tukang bengkel karena harus bisa memodifikasi dinamo bekas. Selain itu kita harus membayar biaya listrik. 

Selain dua cara di atas, ada satu cara lagi yang paling murah, yaitu cara geprek. Jadi, sampah degan kita pukul-pukul dengan palu godam sampai mudah dijadikan serabut. Serabut ini lalu dipendam di dalam tanah bersama dengan sampah dapur. Tapi proses pemendaman ini lebih lama, sekitar 3 bulan, baru bisa dijadikan campuran media tanam. Waktu pendam lebih lama karena kelapa masih dalam bentuk serabut, bukan cocopeat yang halus. 

Kelebihan dari cara ini adalah tanpa biaya sama sekali. Kapasitas produksi juga bisa lebih banyak karena palu godam bisa menggeprek sampah kelapa lebih banyak daripada parutan manual maupun mesin.

Kekurangan lain dari cara ini adalah hasil akhirnya yang tidak selembut cocopeat. Walaupun sudah difermentasi selama 3 bulan, serabut ini tidak bisa selembut cocopeat. Memang serabut ini sudah bisa dijadikan media tanam tetapi harus dicampur dengan tanah karena memang kurang lembut. Tapi jangan khawatir, media tanam ini juga sangat subur.

Selanjutnya, baca Berkebun Modal Sampah (Bagian 2).

alquran dan sains OPINI

Ayat-Ayat Karbon

Al-Quran adalah puisi, termasuk bagi orang yang berpikir dengan sains. Di surat al-Waqiah ada ayat yang bisa membangkitkan imajinasi kita mengenai sains, matahari, dan api.

Wallahu a’lam.

أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ

 أَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِئُونَ

Apakah kalian memperhatikan api yang kalian nyalakan?

Apakah kalian atau Kami yang menumbuhkan kayunya?

Ayat ini mungkin terdengar biasa saja bagi orang kebanyakan. Tapi bagi orang yang berpikir dengan sains, ayat ini seperti enigma.

Bagi kebanyakan orang, kayu yang dibakar menjadi api itu mungkin hanya fenomena biasa. Tak ada yang istimewa. Tapi bagi saintis, fenomena ini sebetulnya bisa sama menariknya dengan letusan bom atom.

API YANG DIHASILKAN KAYU BAKAR ITU SEBETULNYA ADALAH MATAHARI.

Api berasal dari pembakaran serat kayu dengan oksigen. Serat kayu berasal dari karbon organik yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Fotosintesis bisa terjadi karena tanaman mendapat energi dari sinar matahari. Sinar matahari ini mengubah karbon dari udara, yaitu karbon dioksida, menjadi karbon serat kayu.

Jadi sebetulnya sosok pohon yang tingginya belasan itu berasal dari udara. Udara yang berubah menjadi pohon. Memang ada unsur dari mineral tanah, tapi komponen terbesar dari kayu pepohonan adalah karbon yang berasal dari udara, bukan dari mineral tanah. Kita biasanya berpikir, pohon itu tumbuh dari tanah. Sebetulnya tidak. Pohon itu tumbuh dari udara. Komponen terbesar dari pohon adalah udara yang diubah menjadi kayu oleh sinar matahari.

Pancaran energi dari matahari itu disimpan di dalam kayu selama bertahun-tahun. Api dari kayu bakar saja begitu panasnya. Padahal itu hanya cipratan amat sangat kecil dari bola matahari yang jaraknya teramat sangat jauh dari bumi. Bagaimana dengan panas matahari?

Richard Feynman, fisikawan peraih Nobel yang terkenal itu, menerangkannya dengan sangat rinci, saintifik, tapi mudah dipahami secara populer di video ini. Di video ini kita bisa paham, apa sebenarnya api dan panas itu.

OPINI

Teori Evolusi dan Tuhan yang Makin Maha Besar

Hingga hari ini masih sangat banyak sekali muslim yang menyangkal teori evolusi karena takut menjadi tidak beriman. Bukan hanya kalangan awam tapi juga kalangan tokoh agama hingga kaum intelektual. Lihat saja ceramah-ceramah ustaz di Youtube. Mereka jumpalitan membuat penjelasan yang bisa masuk akal untuk menolak teori evolusi. Mereka menganggap kuasa kun fayakun itu sebagai penciptaan manusia yang mak bedunduk tiba-tiba ada dalam tempo satu detik jam Seiko.

Sebetulnya ini konyol sekali. Hingga sekarang tidak ada satu pun teori dalam sains yang bisa menjelaskan biologi maupun kosmologi lebih bagus daripada teori evolusi. Kalau kaum muslim menolak teori evolusi, sebetulnya itu sama saja dengan mengingkari sains. Menjadi aneh kalau sekolah-sekolah Islam masih mengajarkan biologi atau astronomi sementara teori evolusi tidak diakui.

Sebetulnya ini justru lebih berbahaya. Kalau kaum muslim beriman kepada Tuhan dengan cara yang salah, itu seperti kita menganggap Nabi Muhammad bukan manusia, melainkan dewa. Nabi Muhammad sendiri tetap nabi yang patut diimani tapi alasan kita beriman itu salah. Kalau kita salah dalam hal sepenting ini, patut dipertanyakan: jangan-jangan sebagian besar sikap kita juga salah.

Dalam doktrin agama yang dipahami secara harfiah, langit bumi dan seisinya ini diciptakan oleh Tuhan dalam enam hari. Hari kita. Hari Pon Wage Kliwon. 

Dalam sains, pandangan seperti ini tidak mungkin bisa diterima. Planet Bumi saja usianya DIPERKIRAKAN miliaran tahun. Sekali lagi, DIPERKIRAKAN. Mungkin saja keliru tapi sejauh ini tidak ada pendapat yang lebih meyakinkan. 

Awalnya Bumi adalah bola pijar yang kemudian pelan-pelan menjadi dingin. Satuan waktunya adalah miliaran tahun. Sebagai perbandingan, jarak dari Nabi Adam ke manusia zaman sekarang hanya dalam satuan ribuan tahun. Beda satuannya jauh sekali. Miliar itu ribu ribu ribu tahun. 

Apakah mungkin seorang muslim tetap beriman sembari percaya pada teori evolusi? Sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dua tokoh cendekiawan muslim abad ke-19 dan 20 bisa menerima teori evolusi dan tetap beriman. Atau yang lebih terkini, cendekiawan muslim abad ke-21 seperti Nidhal Guessoum yang juga profesor fisika dan astronomi, juga tetap bisa beriman sembari menerima teori evolusi.

Di dalam al-Quran sendiri ada banyak ayat yang menggambarkan perbedaan satuan hari manusia dengan satuan hari Tuhan. Satu hari Tuhan sama dengan seribu hingga lima puluh ribu tahun manusia. Intinya, satuannya berbeda jauh. 

Wallahu a’lam. Kita tidak tahu maksudnya.

Tapi kita tidak bersalah jika membaca ayat-ayat ini sebagai alegori atau puisi Tuhan kepada kita, manusia modern abad ke-21, yang sudah sampai pada pengetahuan mengenai kemahaluasan alam semesta dan dimensi waktu yang bisa mulur-mengerut. 

Kita tetap bisa beriman kepada Tuhan. Tapi Tuhan yang lebih maha besar daripada Tuhan yang dibicarakan para ustaz di Youtube. Tuhan yang melampaui cahaya, melampaui lubang hitam, melampaui waktu, melampaui hukum-hukum fisika. 

Kekuatan sains adalah kemampuannya menjawab pertanyaan “bagaimana”. Tapi sains berhenti di pertanyaan “buat apa?” Sains menganggap semua proses evolusi ini hanya kebetulan semata. Padahal semua keteraturan di alam semesta ini terlalu indah untuk dianggap sebagai kebetulan.

Di sinilah iman memberi jawaban.

SAINS

Sains, al-Quran, dan Cocoklogi

Abdus Salam, fisikawan asal Pakistan, dalam pidatonya ketika menerima hadiah Nobel, mengutip ayat al-Quran.

Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, dan kamu sekali-kali tidak melihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

Ia mengaku mendapatkan inspirasi dari al-Quran ketika mengembangkan teori unifikasi electroweak yang membuatnya memperoleh Nobel. 

Apa itu electroweak?

Ilmu kita terlalu rendah untuk memahaminya. Inti ceritanya, para ahli fisika sejauh ini menemukan ada empat gaya di alam semesta yang masing-masing berdiri sendiri. Abdus Salam meyakini empat gaya ini berasal dari Yang Tunggal. Teori penyatuan gaya yang dikembangkan oleh Salam sejatinya adalah tauhid. Tauhid dalam bidang fisika. 

Tapi Abdus Salam penganut Ahmadiyah. Di Pakistan, saat itu, Ahmadiyah dianggap ajaran sesat. Penganut ahmadiyah bahkan dianggap bukan muslim oleh kaum muslim mayoritas. 

Ironisnya, di kalangan muslim mayoritas, sains seperti berhenti. Padahal dulu di zaman Ibnu Sina kaum muslim menggenggam dunia dengan sains.

Di tangan Salam, al-Quran adalah inspirasi riset sains. Di tangan muslim mayoritas zaman sekarang, al-Quran cuma dijadikan alat untuk mengagung-agungkan diri sendiri dengan teori cocoklogi. 

Ketika ada sebuah penemuan sains di dunia Barat, kita menyodorkan ayat al-Quran lalu menepuk dada. “Itu sudah ada di dalam al-Quran 14 abad yang lalu!”

Selalu begitu. 

Sehingga kita cuma menjadikan al-Quran sebagai alat untuk menghibur diri bahwa kitab suci kita sesuai dengan kebenaran sains. Kita tidak pernah menjadi ahli di bidang sains. Kita hanya ahli di bidang cocoklogi sains dan al-Quran.

Sains dan iman adalah dua hal yang berbeda. Sains berangkat dari keraguan. Sebaliknya, iman berangkat dari keyakinan. Menghubungkan al-Quran dengan sains lewat cocoklogi itu bisa berbahaya. Sebab sains selalu berubah, selalu dikoreksi. Sementara al-Quran diyakini sebagai kebenaran yang tidak mungkin dikoreksi.

Satu-satunya cara aman menggunakan cocoklogi adalah membaca al-Quran sebagai puisi. Puisi tidak berkaitan dengan benar dan salah. Tapi puisi bisa membantu kita menghayati sabda-sabda Tuhan. 

Al-Quran adalah sabda Tuhan yang universal. Bisa dipahami oleh manusia abad ke-7 yang meyakini Bumi sebagai pusat alam semesta. Tapi juga bisa dihayati oleh manusia modern abad ke-21 yang sudah tahu bahwa Bumi ini hanya setitik debu di alam semesta. 

Untuk inilah, kami, LamonganPos menghadirkan rubrik baru: SAINS. Silakan dinikmati. Sebagai puisi. Bukan sebagai kebenaran cocoklogi.

SAINS

Ikan Berjalan di Sedayulawas Lamongan

Kalau Anda lewat jembatan Sedayulawas, Brondong, Lamongan bersama anak-anak, ajaklah mereka turun ke bawah jembatan Sedayulawas yang bagian timur. Di sini anak-anak bisa diajak belajar biologi langsung di alam. Di pinggir sungai yang berlumpur, Anda akan menjumpai ikan-ikan kecil yang punya kemampuan berjalan di darat. Ikan ini biasanya hidup di lumpur di pinggir kali sudetan Bengawan Solo, di antara batang-batang bakau. 

Dalam bahasa Inggris, ikan ini disebut mudskipper. Tukang lompat di lumpur. Di Indonesia ikan ini dinamai ikan tembakul atau ikan gelodok. Sekilas bagian kepalanya mirip katak. Matanya menonjol dan punya daya jangkau penglihatan 360 derajat. Mereka bisa bernapas di dalam air, juga bernapas di darat. Rongga mulutnya bisa menyimpan udara untuk bernapas saat mereka berada di dalam lumpur. 

Saat berada di darat, mereka memanfaatkan sirip untuk berjalan layaknya reptil. Bahkan mereka juga bisa melompat dan memanjat batang pohon bakau.

Di kalangan ahli biologi evolusi, manusia diyakini berevolusi dari hewan air yang naik ke darat. Mungkin salah satu mata rantainya adalah ikan sejenis ikan tembakul ini. Wallahu a’lam.

“Dan Allah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki.”

SAINS

Kepala Dipenggal Tapi Tidak Mati

Di film Terminator, kita disuguhi adegan khayal, robot yang bisa hidup lagi walaupun sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Ini memang khayalan. Tapi di dunia fauna, ada fenomena serupa. Hewan yang kepalanya sudah terpisah dari badannya masih bisa tumbuh dan hidup lagi seperti sedia kala.

Kita mungkin sudah pernah melihat cicak yang sengaja melepaskan ekornya untuk menyelamatkan diri, misalnya karena ekornya terjepit pintu. Tanpa ekor, cicak tetap bisa hidup baik-baik saja karena semua organ vitalnya masih lengkap. Ahli biologi menamai strategi cicak ini autotomi. Mengamputasi diri sendiri. 

Tapi yang terjadi pada siput laut di luar nurul. Ia tiba-tiba bisa memenggal sendiri kepalanya, entah kenapa. Lalu beberapa jam kemudian, ketika kepalanya sudah terpisah dari badannya, bagian potongan kepala itu masih bisa bergerak mencari makan. Dalam tempo satu hari, luka penggal di lehernya sedikit demi sedikit sembuh. Lalu tumbuh menjadi organ-organ vital lain seperti jantung. Pada akhirnya, setelah 17 hari, ia akan menjadi siput laut utuh seperti sedia kala. Sementara bagian badannya pelan-pelan akan mati. 

Belum jelas kenapa siput laut ini memenggal dirinya. Mungkin untuk mengatasi infeksi parasit di dalam perutnya. Jadi ini seperti manusia cacingan lalu mengobatinya dengan cara potong leher. 

Sumber: https://www.cell.com/current-biology/fulltext/S0960-9822(21)00047-6

SAINS

Kenapa Kita Punya Belahan Bibir Atas?

Dalam bahasa anatomi, belahan bibir atas ini disebut filtrum.

Dalam bahasa Indonesia, disebut oreng (berasal dari bahasa Madura).

Kenapa kita punya filtrum?

Jawaban dari pertanyaan ini ada di dalam proses terbentuknya wajah saat fase janin. Wajah kita sebetulnya bukanlah satu onggok daging yang lalu membentuk tonjolan mata, hidung, mulut dan sebagainya. Wajah kita berasal dari tiga bagian kuncup janin yang berkembang lalu menyatu. Masing-masing bagian itu membentuk sisi wajah kiri, sisi wajah kanan, dan sisi bawah. Belahan bibir atas kita adalah bagian mirip jahitan yang mempertemukan sisi kanan-kiri-bawah itu.

Proses pembentukan wajah ini terjadi pada bulan kedua hingga ketiga. Jika proses ini terganggu, misalnya karena si ibu kekurangan vitamin folat, maka penyatuan tiga bagian wajah ini akan menyebabkan filtrum tidak “terjahit” dengan baik dan menyebabkan bibir sumbing.

Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu nutfah di tempat yang kokoh, kemudian nutfah itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk dalam bentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.