Keributan di Kafe Aola dan Wajah Koplo Pantura
Beberapa hari ini orang Lamongan dihebohkan berita kericuhan di Kafe Aola Paciran. Pengunjung yang sedang mabuk menyumbang lagu sumbang di panggung. Diteriaki disuruh turun. Marah. Lempar kursi. Baku hantam.
Menurut keterangan polisi, pelaku berasal dari Lohgung, Kecamatan Brondong.
Pantura Lamongan memasuki transisi dari desa menjadi kota, dengan segala efek buruknya. Termasuk kebiasaan mendem. Brondong dan Paciran adalah kecamatan dengan peredaran miras dan narkoba paling pesat di Lamongan. Sekitar 70% kasus narkoba di Lamongan terjadi di dua kecamatan ini. Ini angka statistik di Polres Lamongan lho ya, bukan karangan.
Di jalan Raya Deandels, kadang ada pengendara motor yang tiba-tiba ndlosor atau menabrak pengendara lain karena mabuk. Itu di jalan raya. Belum lagi di gang-gang perkampungan.
Di lapangan bola voli sebelah barat Aola, pernah ada sebuah grafiti yang terbaca jelas dari jalan raya. “Sing mendem ndang moleh.” Yang mabuk jangan ikut main. Sekarang grafiti ini sudah tidak ada tapi Google Maps masih menyimpannya.
Dulu sewaktu Carnophen sedang naik daun, di Brondong pernah ada tulisan yang juga masih tersimpan di Google Maps, “Yang mau beli karnopen jangan lewat sini.”
Banyak warga tahu ada tetangga mereka yang mengedarkan narkoba, tapi mereka cuma bisa menyindir. Para pengedar itu sudah mati rasa. Mereka juga tak peduli dengan hukuman sosial warga.
Beberapa pengedar kemudian ditangkap polisi. Dipenjara. Keluar. Mengedarkan lagi. Ditangkap lagi. Sampai sekarang kita masih sering mendengar berita polisi menangkap pengedar narkoba di Pantura.
Dulu ketika Jawa Pos dan Surya masih laku, sewaktu ada pengedar yang tertangkap, penjual koran masuk ke gang-gang di dalam perkampungan sambil berteriak, “Koran…koran… pengedar narkoba orang sini ditangkap polisi”. Rasanya masygul sekali, membaca berita kriminal di koran, dan pelakunya adalah tetangga sendiri.
Warga sebetulnya sudah kehilangan kesabaran. Tapi mereka tak bisa main hakim sendiri. Ketika jalan sosial buntu, jalan hukum buntu, laskar FPI bertindak. Rusuh.
Hingga kini, dan entah sampai kapan, masalah narkoba masih menjadi sampah utama di Pantura.
Secara fisik, Pantura makin indah. Kafe dan tempat wisata ada di mana-mana. Tapi keindahan ini seperti karpet yang menyimpan sampah di bawahnya. Secara diam-diam, di Pantura masih banyak yang koplo.
Orang Pantura mungkin protes, “Jangan nulis yang begini, dong. Ini kan mencemarkan reputasi Pantura”. Ini sama saja bilang, “Jangan merekam orang baku hantam di Aola, dong. Ini kan mencemarkan reputasi Aola.”
Yang merusaka reputasi Pantura adalah para pemabuk dan pengedar narkoba. Bukan polisi yang menangkap mereka atau media yang memberitakannya. Sama halnya, yang merusak reputasi Aola adalah orang yang bikin onar, bukan pengunjung yang merekam dan menyebarkannya di Instagram.
“Tapi kan tidak semua orang Pantura seperti itu”. Ya sudah barang tentu. Ini logika dasar statistik. Generalisasi ini seperti menyimpulkan orang Lamongan maling semua. Namun, bagaimanapun juga, angka statistik Polres Lamongan harusnya menjadi bahan introspeksi sosial. Bersama-sama.
Mereka yang suka mabuk itu adalah nila Pantura. Jumlah mereka sedikit. Tapi nila setitik sudah cukup untuk merusak susu sebelanga. Gara-gara mereka, reputasi pemuda Pantura ambyar di depan calon mertua.
Mengingkari adanya problem ini sama saja dengan membiarkan diri sakit kronis tanpa diobati. Sama buruknya dengan membuat generalisasi bahwa orang Pantura nakal semua.
Seandainya tidak ada masalah miras dan narkoba, Pantura adalah daerah pinggir yang paling istimewa di Lamongan. Suasananya masih desa, biaya hidup masih murah, bikin rumah masih terjangkau, pendidikan mudah, pesantren banyak, tempat wisata di mana-mana, makanan enak-enak, klinik dan rumah sakit banyak, internet cukup bagus, ekonomi hidup, wirausaha bisa berkembang, kesenian semarak, transportasi mudah.
Liveable.
_______________________________________
Penulis opini ini pernah 10 tahun tinggal di wilayah Pantura
Bacaan:
- https://beritajatim.com/peristiwa/buat-onar-di-kafe-aola-paciran-lamongan-2-pemuda-mabuk-diciduk/
- https://jatim.idntimes.com/news/jatim/faiz-nashrillah/kasus-narkoba-masih-jadi-kriminalitas-tertinggi-di-kabupaten-lamongan-regional-jatim
- https://radarbangsa.co.id/kapolres-lamongan-kasus-narkoba-tahun-2020-meningkat-ini-wilayahnya-paciran-dan-brondong/.
- https://jatim.inews.id/berita/14-pengedar-dan-pemakai-narkoba-di-lamongan-ditangkap-polisi
- https://jatim.inews.id/berita/asyik-hitung-laba-jual-narkoba-2-pengedar-sabu-di-lamongan-dibekuk-polisi
- https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4884251/sembunyikan-sabu-di-plafon-warga-lamongan-ditangkap
- https://jatim.idntimes.com/news/jatim/imron/polisi-tangkap-perempuan-lamongan-pengedar-sabu/4
- https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/14171331/polres-lamongan-tangkap-2-residivis-kasus-narkoba
- https://surabaya.tribunnews.com/2019/12/18/polisitangkap-11-orang-terkait-narkoba-tiga-kecamatan-di-kabupaten-lamongan-rawan-peredaran-sabu
- https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2018/04/24/67380/tangkap-pengedar-karnopen-pelanggannya-siswa-sma
- https://www.harianbhirawa.co.id/polres-lamongan-tangkap-tujuh-tersangka-pengedar-dan-pemakai-sabu-narkoba/
- https://memorandum.co.id/simpan-sabu-di-rumah-dua-pemuda-paciran-digerebek/
- http://bloktuban.com/2020/10/30/tiga-minggu-satresnarkoba-tuban-tangkap-15-pengedar-narkotika/
- https://surabaya.tribunnews.com/2018/07/12/sepekan-operasi-satreskoba-polres-lamongan-gulung-10-tersangka-sindikat-narkoba
- https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2019/08/17/151264/undangan-nikah-tersebar-tertangkap-bawa-ss
- https://klikjatim.com/baru-bebas-pengedar-narkoba-lamongan-ini-kumat-lagi-lihat-akibatnya/
- https://jatim.tribunnews.com/2018/08/01/bersih-besih-pengedar-narkoba-di-wilayah-pantura-lamongan-kini-giliran-warga-brondong-dibekuk
Kita Semua Adalah Army BTS, No Debat
Di medsos, penggemar KPop hari ini adalah tiran mayoritas. Mereka menguasai trending topic nyaris setiap hari dan karenanya mereka mendominasi berita dan hajat hidup kita.
Mereka ada di mana-mana, bahkan sangat mungkin ada di dalam rumah kita. Mereka bukan hanya anak-anak remaja yang mulai berjerawat tapi juga murid-murid SD. Bahkan anak-anak TK dan PAUD pun sekarang menggemari BTS lewat kartun BT21.
Bagi kita yang besar di era Iwan Fals atau Dewa 19, musik Korea semacam BTS atau Blackpink mungkin hanya serupa bunyi berisik. “Wong cuma teriak aye-aye gitu aja kok disukai? Enaknya di mana?”
“Kalau naget dan kentang goreng McD diberi nama BTS Meal, apa lantas rasanya beda sampai diburu kayak gitu? Gak punya akal!”
Kita yang besar di era kecantikan Dian Sastro dan ketampanan Nicholas Saputra mungkin akan mengejek, “Wong artis Korea wajahnya sama semua gitu kok digemari sampai tergila-gila? Itu kan plastik semua!”
Intinya, kita tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak penggemar band Korea. Sebagaimana mereka juga tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak kita.
Kedua pihak sama-sama tidak bisa memahami. Tapi kita semua tahu, fanatisme itu memang buta. Tak perlu masuk akal. Dan kalau kita mau jujur, sikap fanatik sebetulnya juga dimiliki semua orang, termasuk kita semua.
Kita juga pengidap fanatisme, hanya saja dalam hal yang berbeda. Yang paling jelas tentu saja adalah fanatisme politik. Ini justru jauh lebih berbahaya daripada fanatisme ala Army BTS atau Blink.
Ada yang begitu fanatik sampai level Army kepada Jokowi. Atau sebaliknya, ada yang begitu benci sampai level enemy kepada Jokowi. Lalu mereka menyebarkan fanatisme dan kebencian itu setiap hari di grup WA dan medsos. Ini adalah bentuk fanatisme yang jauh lebih berbahaya.
Fanatisme KPop hanya seperti gelombang laut. Pagi ini pasang, nanti sore surut. Tapi fanatisme politik sudah terbukti berlarut-larut. Dua periode pemilu, fanatisme dan kebencian kita masih terus berlanjut.
Wong Lamongan Megilan-Megilan
Artis Lamongan Yak Widhi baru saja merilis lagu berjudul Wong Lamongan Megilan. Inti lirik lagu ini: wong lamongan apik-apik, ganteng-ganteng, ayu-ayu, seneng seduluran, seneng guyon, pekerja keras.”
Mungkin lirik lagu ini terkesan narsistis. Tapi LamonganPos punya pengalaman serupa yang lebih objektif.
Selama mengumpulkan bahan tulisan untuk website ini, kami mengamati media sosial orang-orang Lamongan. Dari pengamatan ini kami sampai pada kesimpulan, orang Lamongan pinter-pinter sampai membuat kami minder. Sungguh.
Di desa-desa pelosok pun kini sudah banyak lulusan S2, S3, bahkan ada juga yang profesor. Banyak juga yang kuliah di luar negeri. Banyak yang pendidikannya biasa saja tapi otodidak sukses di bidangnya.
Generasi Lamongan sekarang adalah generasi yang jauh berbeda dari satu generasi sebelumnya. Ini sebetulnya adalah modal penting untuk membangun Lamongan agar tidak cuma begini-begini saja.
Lamongan masih punya banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dibenahi.
Di wilayah pertanian, para petani masih belum sejahtera. Pupuk mahal, harga panen murah. Begitu pula di daerah tambak.
Di wilayah nelayan, ekonomi cukup baik tapi masalah perkotaan sudah masuk ke sini: sampah, kejahatan, narkoba.
Karena sebagian besar Lamongan adalah wilayah pertanian, maka masalah pertanian harus mendapat prioritas utama. Di Lamongan sudah banyak inisiatif-inisiatif pertanian. Sayangnya, inisiatif ini masih belum merata dan berkesinambungan.
Sebagai contoh, Taman Agro Besur, Sekaran. Inisiatif ini dipelopori oleh Khamim Asy’ari, ahli pertanian dari Siser, sebuah desa pelosok di Kecamatan Laren yang belum terjangkau aspal.
Dulu taman wisata Besur ini ramai sekali, tapi sekarang “sepi mamring”. Ini karena kita melihat Taman Besur sekadar sebagai tempat berfoto selfie.
Padahal harusnya kita melihatnya sebagai tempat belajar. Di sini, kita bisa belajar bertani organik, memutus ketergantungan kepada pupuk kimia dan pestisida. Ini adalah ilmu yang sangat penting buat wong Lamongan.
Pertanian memang mungkin tidak seksi. Tapi justru inilah ladang kebaikan paling luas kalau kita ingin membangun Lamongan.
Pertanian, peternakan, perikanan darat, perikanan laut, pendidikan, kesehatan, lingkungan, kebudayaan, pariwisata, dll, semua membutuhkan sentuhan baru dari generasi baru wong Lamongan, baik yang tinggal di Lamongan maupun yang di perantauan. Agar Lamongan benar-benar megilan.
Lamongan adalah ibu bumi kita. Raga kita berasal dari tanah liat Lamongan dan air sumur Lamongan. Percuma sukses di perantauan jika tidak turut membangun tanah kelahiran.
Pak Fadeli Sudah Divaksin Kok Masih Kena Covid?
Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya. Katanya vaksin buatan Sinovac itu efektif, tapi kenapa Ustaz Tengku Zulkarnain dan Pak Fadeli masih bisa meninggal dunia karena Covid?
Ini pertanyaan yang sangat penting. Tapi sebelum menjawabnya, kita harus memastikan dulu status vaksinasi mereka.
Ustaz Tengkuzul memang sudah divaksin. Tapi kami belum tahu, apakah Pak Fadeli sudah divaksin atau belum.
Pada vaksinasi gelombang pertama, Pak Fadeli yang saat itu masih menjabat sebagai bupati tidak ikut divaksin karena umurnya di atas 59 tahun.
Tapi sejak April kemarin, lansia Lamongan sudah masuk target program vaksinasi. Harusnya Pak Fadeli masuk kloter lansia ini. Tapi kami belum memperoleh kepastian informasinya karena sejak serah terima jabatan, status Pak Fadeli adalah rakyat biasa.
Andaikan seseorang sudah divaksin, apakah ia bisa meninggal karena Covid? Jawaban dari pertanyaan ini jelas: BISA! Ustaz Tengkuzul adalah contohnya.
Setidaknya ada empat penjelasan:
- Tidak ada vaksin yang manjur 100%
Dalam bahasa medis, kemanjuran vaksin disebut “efikasi”. Vaksin Sinovac dinyatakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) memiliki efikasi 65%. Artinya, orang yang sudah divaksin memang masih bisa terkena Covid, hanya saja peluangnya mengecil.
Efikasi sendiri sebetulnya bermacam-macam. Ada efikasi mencegah tertular, mencegah menularkan, mencegah gejala parah, hingga mencegah kematian. Angkanya bisa berbeda-beda.
Kondisi penyakit seseorang juga menentukan. Ustaz Tengkuzul, misalnya, punya bawaan diabetes melitus.
- Efikasi 65% itu hanya angka sementara
Angka 65% itu sebetulnya hanya angka sementara dari hasil pengamatan yang terbatas karena kondisinya mendesak. Makanya nama izinnya adalah Emergency Use Authorization. Izin penggunaan darurat.
Uji klinis yang normal harusnya dilakukan selama beberapa tahun. Tapi karena kali ini kondisinya mendesak, pengamatan hanya dilakukan selama setahun. Jadi “margin of error”-nya cukup besar. Angka efikasi yang sebenarnya bisa saja tidak 63%. Mungkin lebih rendah.
Satu vaksin, jika diuji di dua tempat yang berbeda, bisa saja hasilnya berbeda. Contohnya adalah vaksin buatan Sinovac. Di Brazil, angka efikasinya hanya sedikit di atas 50%.
- Virus covid sekarang sudah bermacam-macam
Vaksin Sinovac dibuat dari virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina. Sekarang kondisi pandemi sudah banyak berubah. Virus ini sudah bermutasi menjadi banyak varian. Ada varian India, Inggris, Afrika Selatan.
Mungkin saja ada mutan Indonesia. Kita tidak tahu karena negara kita lemah dalam hal tes.
Makin banyak variasi mutan, makin sulit diprediksi kemanjuran sebuah vaksin. Sangat mungkin kemanjurannya turun.
- Masih banyak yang belum kita ketahui
Ini penjelasan terakhir tapi yang paling penting. Walaupun wabah covid ini sudah lebih dari setahun, sebetulnya para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami penyakit ini. Ringkasnya, wallahu a’lam.
Vaksin tetap berguna menurunkan kemungkinan tertular, menulari, sakit parah, dan meninggal. Ini adalah ikhtiar yang bisa kita lakukan.
Tapi karena kita tidak tahu seberapa tingkat kemanjurannya, maka walaupun sudah divaksin, jangan merasa kebal.
Tetap pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan.
Simalakama Mudik dan Bahaya Covid 21 dari India
Mantan Bupati Lamongan Pak Fadeli baru saja meninggal dunia. Pak Bupati Yes mengkonfirmasi bahwa Pak Fadeli meninggal dunia karena Covid.
Covid sudah nyata sekali di depan kita. Tapi masih saja banyak yang bilang, “Ah, Covid itu dilebih-lebihkan. Tidak ada orang yang mati MURNI karena Covid!”
Tentu saja tidak ada orang mati MURNI karena Covid. Makanya ada istilah “ko-morbid”. Penyakit penyerta.
Sama halnya tidak ada orang yang mati murni karena kanker, AIDS, diabetes, gagal ginjal, atau liver. Apakah itu berarti penyakit-penyakit tersebut dilebih-lebihkan?
“Tapi kenapa wisata dibuka? Pilkada jalan terus? Penerbangan dari luar negeri dibuka? Pak Jokowi datang ke kondangan Atta Halilintar? Bahkan berkunjung ke Lamongan, padahal Menteri Kelautan barusan berkunjung? Semua kok boleh? Kenapa mudik dilarang?”
Argumen ini memang benar. Tapi kesimpulannya bisa salah. Kalau Pak Jokowi melakukan kesalahan, itu tidak berarti kita boleh melakukan kesalahan yang sama.
Larangan mudik sudah benar. Ini bentuk kehati-hatian. Yang salah adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten soal pilkada, wisata, mall, penerbangan luar negeri, dan sebagainya.
Pak Jokowi sebagai pemimpin tertinggi harusnya juga memberi contoh yang selaras dengan kebijakannya. Harusnya dia juga tidak menciptakan kerumunan di mana-mana.
“Ah, kamu pasti Kadrun!” Stempel inilah yang akan kita dapat kalau kita mengkritik pemerintah. Padahal kita fokus mengkritik kebijakan. Tak ada urusannya dengan kebencian personal.
Di tengah situasi saling mau enaknya sendiri ini, mari bersikap realistis saja. Mari selamatkan diri dan keluarga masing-masing. Wabah Covid gelombang dua tahun ini bisa jadi lebih sulit dikendalikan.
Saat ini episentrum wabah ada di India. Penyebabnya adalah virus Covid yang sudah bermutasi. Bukan lagi Covid 19 tapi Covid 21.
Di sana kondisinya mencekam. Rumah sakit penuh. Banyak pasien terpaksa dirawat di rumah dengan tabung oksigen. Shiva dan Ladu Singh tak bisa berbuat apa-apa.
Covid 21 varian India ini sudah terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Hanya kita belum tahu seberapa banyak karena Indonesia lemah dalam hal tes-lacak.
Dalam kondisi ini, kita harus waspada dan tahu diri. Indonesia tak beda jauh dari India. Maka wajar jika kita khawatir. Jangan sampai tragedi di India terjadi juga di negara kita.
Kiai Ghofur dan Ajian Lembu Sekilan Tolak Corona
Ada yang menarik dari kunjungan Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono di Lamongan beberapa hari lalu. Ketika mengunjungi Ponpes Sunan Drajat, dia disambut oleh Kiai Ghofur tanpa prokes. Pak menteri dan rombongannya memakai masker, Pak Ghofur tidak.
Para pejabat itu tampak mati gaya di depan Pak Ghofur. Kiai Lamongan memang tyada dwanya. Politisi mana yang berani kepada kiai yang menentukan suara pemilu di Lamongan ini?
Sejak awal pandemi, Pak Ghofur memang yakin Pesantren Sunan Drajat aman dari Covid. Penangkal corona cukup doa dan ayat kursi.
Di video Youtube di bawah ini, tampak jelas keyakinan Pak Ghofur. Ini sudah soal iman. Iman tak bisa didebat.
Pak Ghofur, selain kiai, adalah seorang pendekar olah kanuragan. Jauh sebelum terkenal sebagai kiai, Abdul Ghofur muda pada tahun 1974 mendirikan perguruan bela diri yang dinamai GASPI, Gabungan Silat Pemuda Islam.
Di kalangan pengikutnya, ia dianggap sakti mandraguna. Maka mudah dipahami jika ia punya keyakinan seperti ini.
Soal Covid ini, saya pribadi tidak mengikuti pendapat Pak Ghofur. Saya tetap mengikuti jumhur saintis, juga jumhur ulama. Jika saya harus mengikuti satu orang kiai NU, tanpa ragu saya akan memilih Gus Mus.
Sejak awal pandemi, Gus Mus selalu mengikuti pedoman sains. Memakai masker, kata penyair balsem ini, adalah juga bentuk sikap menghormati dan mencintai orang lain.
Beda pendapat tentu hal yang biasa.
Bagaimana menurut Anda?
Mari membiasakan diri menyatakan pendapat tanpa kebencian. Mari berdebat dengan cara yang baik. Billaty hiya ahsan.
Andai Nabi Muhammad Bersama Kita Hari ini
Bulan Puasa seperti sekarang, paling enak tentunya mendengarkan musik-musik religi seperti El Mighwar. Grup musik asal Bandung ini memang masih kalah populer dibandingkan Sabyan. Tapi sebetulnya El Mighwar lebih menjiwai lirik dan suasana religinya.
Lagu Law Kana Baynanal Habib bisa menjadi contohnya. Lagu ini pertama kali dipopulerkan oleh Adulrahman Mohammad, musisi Arab. Di tangan El Mighwar, dengan vokal Ai Khodijah yang bening, lagu ini justru lebih menyentuh.
Lirik lagu ini puitis sekali. Puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yang kepadanya kita semua berhutang shalawat dan salam.
Penulisan lirik Arabnya di video di atas masih perlu perbaikan. Tapi jika diterjemahkan secara musikal yang mempertahankan rima dan suku katanya, liriknya dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini:
Andai kau di sisi kami
Yang jauh ‘kan menghampiri
Mengharap jiwa bestari
Ingin dekat dengan Nabi
Di dekatmu jiwa damai
Doa pun diijabahi
Cahayamu tak ‘kan usai
Pertemukan kami, Rabbi
Petunjukmu tuntun kami
Menuju rahmat ilahi
Ucapanmu bagai sungai
Di dekatmu kami b’rseri
Padamu kami tergadai
Muhammad yang menghormati
Di sampingmu bersih hati
Rahmat s’mesta alam ini
Wahai kasihku Muhammad
P’lipur lara yang terpuji
Kemulyaanmu teruji
Allah jalla pun memuji
Jika Jempol Tak Bisa Ditata, Lebih Baik MUTE Saja
Kita hidup di zaman yang serba pincang, serba jomplang. Informasi datang begitu kencang. Sementara kebijaksanaan selalu tertinggal di belakang.
Youtube dan Instagram membuat kita terlalu cepat jatuh cinta. Juga terlalu cepat kecewa. Baru tahun kemarin Nissa Sabyan menjadi idola, sekarang dia dicela.
Internet menyebarkan berita tak penting seolah-olah itu hal genting. Seandainya pun gosip-gosip soal Duo Sabyan itu benar, apa pentingnya buat kita? Jika Aa Gym jadi bercerai atau batal bercerai, apakah itu penting buat kita?
Fathuba liman syagholahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnas.
Maka berbahagialah orang yang matanya kelilipan oleh aibnya sendiri sehingga tidak bisa melihat aib orang lain. Dan merugilah orang-orang yang gesit mengomentari gosip.
Mimbar dan panggung, sebagaimana Instagram, membuat kita mudah ditipu oleh citra. Di sana semua tampak begitu menawan. Seolah-olah hidup isinya cuma hari Lebaran. Mirip foto-foto Instagram. Yang selalu indah, selalu menawan. Seolah-olah setiap hari adalah liburan di Pantai Kutang dan Pengkolan.
Padahal setiap orang disibukkan oleh masalahnya sendiri-sendiri. Tak terkecuali mereka yang setiap hari mengutip ayat-ayat suci. Tapi kita selalu menyangka hidup mereka selalu indah. Seindah kata-katanya. Seindah puisi-puisinya.
Itu sebabnya kita mudah terpesona. Dan tentu saja mudah kecewa.
Di internet, informasi datang seperti air bah. Isinya ghibah dan marah-marah untuk hal-hal yang tak berfaedah.
Maka kita cepat sekali pintar dan piawai sekali berkomentar. Lupa bagaimana caranya diam.
Falyaqul khoiron aw liyasmut.
Kendalikan jempol atau MUTE.
*) Ahmad Muqodam, fotografer-videografer, tinggal di Sedayu Lawas, Brondong. Lihat karya lainnya di akun Instagramnya. Untuk kerja sama, hubungi WA 088230230662.
Jejak Gus Dur di Makam Joko Tingkir Lamongan
Orang Lamongan sekarang punya masjid baru di Plosowahyu, Lamongan Kota, yang diberi nama Masjid Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid.
Lamongan memang bukan kabupaten yang sangat penting bagi manusia langka asal Jombang ini. Namun, di sini ada jejak Gus Dur yang tak mungkin dihapus.
Semasa hidupnya, Gus Dur, sebagaimana orang NU pada umumnya, punya kebiasaan ziarah ke makam. Secara kocak ia bahkan dijuluki sebagai “arkeolog makam”.
Salah satu makam penting yang beberapa kali dia kunjungi adalah makam Mbah Anggungboyo di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran. Makam ini ia yakini sebagai petilasan Joko Tingkir.
(Petilasan tidak selalu berarti kuburan fisik, bisa jadi tempat penting yang pernah ditinggali.)
Joko Tingkir adalah nama muda Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang. Menurut dongeng, Joko Tingkir bertapa di Desa Pringgoboyo ini sebelum pergi ke Demak dan kemudian menjadi Sultan Pajang di Surakarta.
Setelah Pajang dikalahkan Mataram, masih menurut dongeng ini, ia menghabiskan masa tuanya di tempat ini.
Sebelum Gus Dur mengunjungi makam ini, yang diyakini sebagai makam Joko Tingkir hanya kuburan di Sragen, Jawa Tengah. Dibanding Lamongan, Sragen jelas jauh lebih dekat dengan pusat Kerajaan Pajang di Surakarta (Solo).
Lamongan dengan Surakarta memang dihubungkan oleh “jalan tol” Bengawan Solo. Tapi ilmu sejarah jelas tidak semudah utak-atik-matuk. Sejauh ini memang tidak ada prasasti atau catatan sejarah yang bisa digunakan untuk memverifikasi teori Gus Dur.
Tapi pendapat Gus Dur ini sudah kadung diyakini oleh orang Lamongan. Bupati Masfuk pada saat memimpin Persela bahkan menjadikannya sebagai dasar untuk menyebut Persela “Laskar Joko Tingkir”.
Spirit Joko Tingkir memang sangat sesuai dengan dunia sepakbola. Seperti trengginasnya Joko Tingkir muda saat menundukkan banteng dan buaya yang sedang mengamuk.
Yang menarik, Gus Dur mengunjungi makam ini pada 12 Mei 1999. Enam bulan setelah itu, ia diangkat menjadi Presiden RI. Mirip dengan dongeng Joko Tingkir yang bertapa di sini lalu menjadi Sultan Pajang.
Bahkan cerita di akhir kekuasaan Gus Dur juga mirip dengan Joko Tingkir. Ia dijatuhkan oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya menjadi presiden.
Ketika ia sudah tidak menjadi presiden, partai yang ia dirikan pun direbut oleh murid-murid politiknya sendiri. Persis seperti Joko Tingkir yang kerajaannya dihancurkan oleh anak angkatnya sendiri, yaitu Sutawijaya, pendiri Kesultanan Mataram.
Foto Gus Dur di atas berasal dari kanal Youtube Kiai Abdul Ghofur, pengasuh Ponpes Sunan Drajat. Mungkin ini adalah foto Gus Dur saat berkunjung ke Lamongan sebelum menjadi presiden. Yang menemani Gus Dur di depan itu adalah Kiai Ghofur muda. Keduanya masih langsing.
Rekaman ceramah Gus Dur tentang petilasan Joko Tingkir dimuat di Youtube GUDFAN CHANNEL. Untuk mendengarkan, klik tanda PLAY di bawah.
Jual Cabe Murah di Lamongan… Tapi Boong
Hari ini harga cabe lebih mahal daripada harga daging sapi. Orang kota yang tidak mengerti daun cabe puret mungkin heran, bagaimana harganya bisa semahal itu?
Cabe memang komoditas pertanian yang sulit dikendalikan. Produksinya sangat dipengaruhi oleh faktor alam.
Pada saat musim hujan terus-terusan seperti sekarang, banyak kebun cabe diserang penyakit. Maka produksinya turun drastis. Lalu sesuai hukum ekonomi: suplai anjlok, harga nanjak. Satu kilogram bisa sampai Rp 100 ribu.
Memang ada sebagian kecil petani yang untung besar. Tapi sebetulnya sebagian besar mereka buntung besar karena gagal panen.
Sebaliknya pada musim hangat, cabe mudah sekali berbuah. Bahkan tidak dirawat sama sekali pun tetap berbuah lebat. Lalu hukum ekonomi kembali berlaku: suplai melimpah, harga kelewat murah.
Saking murahnya, biaya memetik cabe saja lebih mahal daripada harga jualnya. Kenapa begitu?
Cabe buahnya kecil-kecil, memetiknya harus telaten, satu-satu. Petani biasanya mempekerjakan buruh petik. Ongkos membayar buruh ini saja tidak bisa ditutupi dengan hasil penjualan cabe.
Itu sebabnya pada musim cabe murah, banyak petani membiarkan begitu saja cabenya mengering di lahan. Itu adalah saat-saat nelangsa para petani. Bekerja keras selama berbulan-bulan tanpa hasil sama sekali.
Sejauh ini memang tidak ada solusinya. Tidak seperti beras yang masih bisa disimpan beberapa bulan, cabe cepat sekali membusuk.
Ada yang mengusulkan kita membiasakan diri mengonsumsi cabe kering. Masalahnya adalah rasanya yang tidak enak. Tidak seperti cabe segar. Coba saja bikin sambal pakai cabe bubuk. Rasanya aneh. Bubuk cabe hanya sesuai untuk industri macam Bon Cabe.
Kalaupun ada solusi pengolahan cabe, itu sudah di luar kemampuan petani. Harus skala program pemerintah.
Misalnya, pada saat panen raya, cabe dibeli semacam Bulog lalu langsung diekstrak kapsaisinnya (zat pedasnya). Kapsaisin ini bisa disimpan lama untuk digunakan di industri farmasi atau makanan.
Selama solusi pengolahan cabe belum ada, maka sepanjang tahun fluktuasi pedas cabe akan menyengat penyuka pedas maupun petani.