Sekolah Alam Telur Buaya Lamongan
Seminggu ini media orang Lamongan dihebohkan oleh berita penemuan puluhan telur yang diduga telur buaya di bantaran Bengawan Solo di Karanggeneng. Tapi beberapa hari kemudian ahli reptil memastikan bahwa telur itu bukan telur buaya melainkan telur biawak.
Urusan telur buaya ini sebetulnya menarik sekali. Memang ada orang yang mengaku pernah melihat buaya di sungai yang biasa disebut Mbawan ini.
Tapi yang jelas selama ini tidak ada laporan hewan buas itu mengganggu manusia. Padahal di musim kemarau, para petani biasa mengambil air Bengawan saat surut hingga hampir habis.
Seandainya pun buaya masih ada, sepanjang dia tidak mengganggu manusia, sebetulnya manusia juga tidak boleh mengganggunya, termasuk mengambil telurnya.
Berita telur buaya ini mestinya adalah bahan pelajaran yang sangat menarik buat guru-guru IPA di Lamongan. Inilah saatnya guru-guru mengajarkan konsep kembang biak, ovipar, vivipar, ovovivipar, dan sebagainya. Tak perlu menunggu jadwal kurikulum di buku-buku LKS.
Dengan belajar langsung lewat kasus nyata di lingkungan, para siswa bisa lebih tertarik. Bahkan kalau mereka melihat langsung wujud telur itu, mereka mungkin akan mengingatnya seumur hidup.
Kalau kita paham biologi, kita tidak akan mudah membuat kehebohan dengan menyebutnya “telur buaya”. Mestinya kita sebut saja “telur reptil”. Bisa buaya atau biawak. Bahkan bisa juga ular piton. Biawak dan ular piton jelas masih banyak dijumpai di bantaran Bengawan Solo.
Seandainya pun itu telur ular piton, tetap saja kita tidak perlu mengganggunya. Sebab ular piton juga bermanfaat buat petani karena mereka memangsa tikus, hama sawah.
Piton tidak berbisa seperti ular kobra. Ia membunuh manusia dengan cara membelitnya sehingga ular ini hanya berbahaya kalau ukurannya sangat besar. Di sekitar Bengawan, ukuran piton tidak sampai level berbahaya.
Bengawan Solo sebetulnya adalah laboratorium alam. Jauh sebelum ada sudetan Sedayu Lawas, warga masih bisa melihat bulus (keluarga kura-kura) yang muncul ke permukaan karena mabok pada saat oyang-oyang.
Pada masa itu, Bengawan Solo adalah penghasil aneka jenis ikan, mulai dari kutuk (gabus), keting dan wagal (ikan patin), urang dan conggah (lobster air tawar), lupis (ikan belida), sili (yang digunakan di sego boran), bader (sejenis ikan mas), dan masih banyak lagi.
Bagi generasi X, Bengawan Solo adalah sekolah alam. Dari sungai inilah mereka pertama-tama belajar biologi sebelum mengetahuinya di bangku sekolah.
Tapi sekarang Bengawan Solo ibarat laboratorium yang terbengkalai. Sebab murid-murid masa kini hanya belajar dari buku-buku LKS yang disampul rapi.
Kalau sejak kecil mereka dididik untuk mencintai Bengawan Solo, kelak mereka mungkin bisa mengembangkan ekonomi iwak kutuk, yang sekarang harganya sekitar 50 ribu/kg. Atau, ekonomi iwak sili untuk melestarikan sego boran yang asli.

Kabarnya, harga iwak sili sekarang Rp 100 ribu sekilo. Wow.
Rocky Gerung, Ade Armando, dan Wabah Flu Akal
“Rocky Gerung diusir oleh Developer Sentul City.”
Berita lokal di Bogor ini menjadi berita nasional karena melibatkan orang yang sangat terkenal.
Kita semua tidak tahu duduk persoalannya. Juga tak punya urusan dengan mereka. Tapi lucunya, kita semua sudah punya keyakinan. Yang pro-Jokowi bilang, “Mampus lu! Tanah orang diserobot! Dungu!” Sebaliknya, yang anti-Jokowi yakin Rocky Gerung pasti benar.
Ini adalah contoh paling nyata bagaimana politik kebencian membuat akal kita masuk angin. Semua orang yang berseberangan politik dengan kita adalah penjahat. Titik.
Kita semua mengalami penurunan kesehatan akal secara berjamaah. Semua pihak. Pendukung Jokowi maupun yang anti.
Jauh sebelum terkenal di tivi dan yutub, Rocky Gerung adalah seorang intelektual muda yang brilian. Salah satu gagasannya yang menonjol adalah soal kesetaraan perempuan dan laki-laki yang secara rutin ia publikasikan di Jurnal Perempuan. Tulisan-tulisannya tajam dan bernas.
Rocky adalah ahli retorika yang tiada duanya. Tak ada yang bisa menerangkan topik filsafat seenak Rocky. Sayang sekali, sejak era Cebong & Kadrun, ia selalu mengakhiri semua analisisnya dengan satu kata: Dungu! Apa pun analisisnya, kesimpulannya selalu begitu. Walaupun dikenal sebagai “profesor akal sehat”, sebetulnya ia punya andil menurunkan kesehatan akal banyak orang.

Tapi Rocky masih bisa dibilang mending karena dia mengkritik pemerintah. Sesuatu yang memang harus dilakukan, siapa pun presidennya, entah Jokowi atau misalkan Anies nanti.
Di kubu sebelah, kita bisa melihat akal yang masuk angin secara jelas pada diri Ade Armando, sama-sama dosen Universitas Indonesia. Dulu Ade Armando adalah intelektual muslim yang cendekia. Ia banyak menulis isu-isu agama. Pernah menjadi wartawan Republika, bahkan memimpin majalah pemikiran Islam, Madina, milik Paramadina, yang salah satu anggota dewan redaksinya adalah Anies Baswedan.
Tapi itu dulu. Duluu… sekali. Sejak wabah virus kampret menyebar di Indonesia, Ade Armando hanya punya satu rumus, “Jokowi pasti benar sebab Anies Baswedan adalah joker”.
Sekarang, sungguh lucu membayangkan Ade Armando melakukan rapat redaksi dengan Anies Baswedan. “Eh, lu jangan main setuja-setuju aja, Wan Abud. Kasih argumen, dong!”

Rocky dan Ade Armando adalah orang-orang yang cerdas. Dosen di universitas nomor satu di Indonesia. Tapi toh itu tak membuat mereka imun dari wabah flu akal. Semua bisa kena. Apalagai kita yang intelektualitasnya pas-pasan. Gampang nggumun. Gampang percaya dengan isi grup WA.
Satu-satunya vaksin yang bisa menghindarkan kita dari flu akal ini adalah vaksin anti-kebencian! Jangan berlebihan benci kepada Jokowi, Anies Baswedan, Rocky Gerung, Ade Armando, atau siapa saja. Sebab kebencian selalu membuat kita tidak bisa bersikap adil.
Jokowi tidak mungkin benar terus atau salah terus. Begitu juga Anies Baswedan. Mereka adalah penguasa. Orang yang memegang amanat dan uang rakyat. Mereka memang harus dikritik. Bukan dipuja-puji, apalagi dijilat pantatnya.
Wisata Kuliner Rujak Cemplang
Saat ini kita hidup di zaman ketika urusan makan tidak sekadar mengisi perut tapi kegiatan rekreasi. Mampir di warung sekarang kita sebut sebagai “wisata kuliner”.
Di mana-mana, kita cenderung memilih tempat makan yang viral, laris, dan maknyus. Jika mungkin, yang instagramable dan tiktokable.
Bahkan sekarang kita rela menempuh jarak berkilo-kilometer hanya demi makan siang yang sebetulnya bisa kita dapatkan di warung mana saja. Orang Laren bisa sengaja sarapan di Sego Sambel Pak Botak Brondong yang lokasinya mblusuk-mblusuk. Hanya supaya tidak ketinggalan berita viral.
Tentu saja kami juga melakukan ini. Misalnya, ketika sedang jalan-jalan di sekitar Paciran, kami hampir selalu mampir Rujak Mak Tas sejak zaman rujaknya diulek Mak Tas sendiri. Tiap kali melewati jeglongan jembatan Paciran, motor kami seperti tiba-tiba ngerem sendiri. Mungkin karena kampas remnya Honda KW.
Mak Tas adalah wanita penggoda. Di warung ini, semuanya enak. Rujaknya sedap. Es dawetnya gurih legit. Santannya selalu dibuat baru. Entalnya juga empuk, kematangannya pas. Tidak ada yang mengecewakan.

Semua jualan Mak Tas enak karena dia menggunakan bahan-bahan kualitas nomor satu. Gula merah siwalan asli. Terasi udang asli. Petis ikan asli.
Saking larisnya rujak Mak Tas, kapan pun kita datang, warungnya selalu ramai. Sing adol sampek ora ketok bokonge. Kadang kita harus menunggu antrian sampai setengah jam lebih karena satu orang bisa mbungkus banyak sekali.

Mampir Mak Tas hampir menjadi protap tiap kali lewat Paciran. Ketika kampas rem motor kami ganti dengan suku cadang Aspira, ndilalah remnya semakin error. Tidak lagi ngerem sendiri di jembatan Paciran, tapi ngerem secara acak di warung-warung rujak sepanjang pinggir Jalan Raya Paciran. Gonta-ganti di warung yang sepi.
Sebagian besar warung di sana sudah kami coba satu-satu. Banyak yang enak walaupun tidak seenak Mak Tas. Tapi ada yang rujaknya asin sekali. Ada yang cemplang. Ada yang es dawetnya agak kecut, mungkin karena santannya sudah dibuat sejak pagi.
Ada yang entalnya terlalu keras karena terlalu tua. Ada yang legennya sudah masam. Macam-macam kekurangannya. Intinya, kalau diibaratkan rating di Play Store, mungkin bintangnya 3.

Tapi kata Pak Ustad di Masjid Taqwa Paciran yang kami singgahi, Nabi Muhammad, manusia mulia itu, melarang kita mencela makanan. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah mencela makanan walaupun makanan itu terlalu asin.
Ibu-ibu yang rujaknya cemplang itu mungkin memang tidak dikarunia kecerdasan sambal seperti Mak Tas dan keluarganya. Tapi yang pasti mereka adalah para perempuan mulia, yang mencari nafkah bagi keluarganya.
Rujak mereka mungkin hanya bintang 3. Tapi kehadiran kita, dua tiga orang pembeli, jelas sangat berarti bagi nafkah mereka.
Setelah mendengar penjelasan Pak Ustad ini, kami tidak jadi membawa motor ke bengkel Ahass. Rem Aspira yang error itu ternyata membawa kami pada eksperimen wisata baru yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Wisata kuliner di warung yang sepi, tidak viral, tidak maknyus.
Wisata kuliner di warung maknyus memang memuaskan selera lidah kita. Tapi wisata kuliner di warung yang sepi bisa jadi lebih bermanfaat bagi pemerataan ekonomi.
Jika Jempol Tak Bisa Ditata, Lebih Baik MUTE Saja

Kita hidup di zaman yang serba pincang, serba jomplang. Informasi datang begitu kencang. Sementara kebijaksanaan selalu tertinggal di belakang.
Youtube dan Instagram membuat kita terlalu cepat jatuh cinta. Juga terlalu cepat kecewa. Baru tahun kemarin Nissa Sabyan menjadi idola, sekarang dia dicela.
Internet menyebarkan berita tak penting seolah-olah itu hal genting. Seandainya pun gosip-gosip soal Duo Sabyan itu benar, apa pentingnya buat kita? Jika Aa Gym jadi bercerai atau batal bercerai, apakah itu penting buat kita?
Fathuba liman syagholahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnas.
Maka berbahagialah orang yang matanya kelilipan oleh aibnya sendiri sehingga tidak bisa melihat aib orang lain. Dan merugilah orang-orang yang gesit mengomentari gosip.
Mimbar dan panggung, sebagaimana Instagram, membuat kita mudah ditipu oleh citra. Di sana semua tampak begitu menawan. Seolah-olah hidup isinya cuma hari Lebaran. Mirip foto-foto Instagram. Yang selalu indah, selalu menawan. Seolah-olah setiap hari adalah liburan di Pantai Kutang dan Pengkolan.
Padahal setiap orang disibukkan oleh masalahnya sendiri-sendiri. Tak terkecuali mereka yang setiap hari mengutip ayat-ayat suci. Tapi kita selalu menyangka hidup mereka selalu indah. Seindah kata-katanya. Seindah puisi-puisinya.
Itu sebabnya kita mudah terpesona. Dan tentu saja mudah kecewa.
Di internet, informasi datang seperti air bah. Isinya ghibah dan marah-marah untuk hal-hal yang tak berfaedah.
Maka kita cepat sekali pintar dan piawai sekali berkomentar. Lupa bagaimana caranya diam.
Falyaqul khoiron aw liyasmut.
Kendalikan jempol atau MUTE.

*) Ahmad Muqodam, fotografer-videografer, tinggal di Sedayu Lawas, Brondong. Lihat karya lainnya di akun Instagramnya. Untuk kerja sama, hubungi WA 088230230662.
Kiai Ghofur dan Ajian Lembu Sekilan Tolak Corona

Ada yang menarik dari kunjungan Menteri Kelautan Sakti Wahyu Trenggono di Lamongan beberapa hari lalu. Ketika mengunjungi Ponpes Sunan Drajat, dia disambut oleh Kiai Ghofur tanpa prokes. Pak menteri dan rombongannya memakai masker, Pak Ghofur tidak.
Para pejabat itu tampak mati gaya di depan Pak Ghofur. Kiai Lamongan memang tyada dwanya. Politisi mana yang berani kepada kiai yang menentukan suara pemilu di Lamongan ini?

Sejak awal pandemi, Pak Ghofur memang yakin Pesantren Sunan Drajat aman dari Covid. Penangkal corona cukup doa dan ayat kursi.
Di video Youtube di bawah ini, tampak jelas keyakinan Pak Ghofur. Ini sudah soal iman. Iman tak bisa didebat.
Pak Ghofur, selain kiai, adalah seorang pendekar olah kanuragan. Jauh sebelum terkenal sebagai kiai, Abdul Ghofur muda pada tahun 1974 mendirikan perguruan bela diri yang dinamai GASPI, Gabungan Silat Pemuda Islam.
Di kalangan pengikutnya, ia dianggap sakti mandraguna. Maka mudah dipahami jika ia punya keyakinan seperti ini.
Soal Covid ini, saya pribadi tidak mengikuti pendapat Pak Ghofur. Saya tetap mengikuti jumhur saintis, juga jumhur ulama. Jika saya harus mengikuti satu orang kiai NU, tanpa ragu saya akan memilih Gus Mus.
Sejak awal pandemi, Gus Mus selalu mengikuti pedoman sains. Memakai masker, kata penyair balsem ini, adalah juga bentuk sikap menghormati dan mencintai orang lain.

Beda pendapat tentu hal yang biasa.
Bagaimana menurut Anda?
Mari membiasakan diri menyatakan pendapat tanpa kebencian. Mari berdebat dengan cara yang baik. Billaty hiya ahsan.
Simalakama Mudik dan Bahaya Covid 21 dari India
Mantan Bupati Lamongan Pak Fadeli baru saja meninggal dunia. Pak Bupati Yes mengkonfirmasi bahwa Pak Fadeli meninggal dunia karena Covid.
Covid sudah nyata sekali di depan kita. Tapi masih saja banyak yang bilang, “Ah, Covid itu dilebih-lebihkan. Tidak ada orang yang mati MURNI karena Covid!”
Tentu saja tidak ada orang mati MURNI karena Covid. Makanya ada istilah “ko-morbid”. Penyakit penyerta.
Sama halnya tidak ada orang yang mati murni karena kanker, AIDS, diabetes, gagal ginjal, atau liver. Apakah itu berarti penyakit-penyakit tersebut dilebih-lebihkan?

“Tapi kenapa wisata dibuka? Pilkada jalan terus? Penerbangan dari luar negeri dibuka? Pak Jokowi datang ke kondangan Atta Halilintar? Bahkan berkunjung ke Lamongan, padahal Menteri Kelautan barusan berkunjung? Semua kok boleh? Kenapa mudik dilarang?”
Argumen ini memang benar. Tapi kesimpulannya bisa salah. Kalau Pak Jokowi melakukan kesalahan, itu tidak berarti kita boleh melakukan kesalahan yang sama.
Larangan mudik sudah benar. Ini bentuk kehati-hatian. Yang salah adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten soal pilkada, wisata, mall, penerbangan luar negeri, dan sebagainya.
Pak Jokowi sebagai pemimpin tertinggi harusnya juga memberi contoh yang selaras dengan kebijakannya. Harusnya dia juga tidak menciptakan kerumunan di mana-mana.
“Ah, kamu pasti Kadrun!” Stempel inilah yang akan kita dapat kalau kita mengkritik pemerintah. Padahal kita fokus mengkritik kebijakan. Tak ada urusannya dengan kebencian personal.
Di tengah situasi saling mau enaknya sendiri ini, mari bersikap realistis saja. Mari selamatkan diri dan keluarga masing-masing. Wabah Covid gelombang dua tahun ini bisa jadi lebih sulit dikendalikan.
Saat ini episentrum wabah ada di India. Penyebabnya adalah virus Covid yang sudah bermutasi. Bukan lagi Covid 19 tapi Covid 21.
Di sana kondisinya mencekam. Rumah sakit penuh. Banyak pasien terpaksa dirawat di rumah dengan tabung oksigen. Shiva dan Ladu Singh tak bisa berbuat apa-apa.

Covid 21 varian India ini sudah terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Hanya kita belum tahu seberapa banyak karena Indonesia lemah dalam hal tes-lacak.
Dalam kondisi ini, kita harus waspada dan tahu diri. Indonesia tak beda jauh dari India. Maka wajar jika kita khawatir. Jangan sampai tragedi di India terjadi juga di negara kita.
Pak Fadeli Sudah Divaksin Kok Masih Kena Covid?
Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya. Katanya vaksin buatan Sinovac itu efektif, tapi kenapa Ustaz Tengku Zulkarnain dan Pak Fadeli masih bisa meninggal dunia karena Covid?
Ini pertanyaan yang sangat penting. Tapi sebelum menjawabnya, kita harus memastikan dulu status vaksinasi mereka.
Ustaz Tengkuzul memang sudah divaksin. Tapi kami belum tahu, apakah Pak Fadeli sudah divaksin atau belum.
Pada vaksinasi gelombang pertama, Pak Fadeli yang saat itu masih menjabat sebagai bupati tidak ikut divaksin karena umurnya di atas 59 tahun.
Tapi sejak April kemarin, lansia Lamongan sudah masuk target program vaksinasi. Harusnya Pak Fadeli masuk kloter lansia ini. Tapi kami belum memperoleh kepastian informasinya karena sejak serah terima jabatan, status Pak Fadeli adalah rakyat biasa.
Andaikan seseorang sudah divaksin, apakah ia bisa meninggal karena Covid? Jawaban dari pertanyaan ini jelas: BISA! Ustaz Tengkuzul adalah contohnya.
Setidaknya ada empat penjelasan:
- Tidak ada vaksin yang manjur 100%
Dalam bahasa medis, kemanjuran vaksin disebut “efikasi”. Vaksin Sinovac dinyatakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) memiliki efikasi 65%. Artinya, orang yang sudah divaksin memang masih bisa terkena Covid, hanya saja peluangnya mengecil.
Efikasi sendiri sebetulnya bermacam-macam. Ada efikasi mencegah tertular, mencegah menularkan, mencegah gejala parah, hingga mencegah kematian. Angkanya bisa berbeda-beda.
Kondisi penyakit seseorang juga menentukan. Ustaz Tengkuzul, misalnya, punya bawaan diabetes melitus.

- Efikasi 65% itu hanya angka sementara
Angka 65% itu sebetulnya hanya angka sementara dari hasil pengamatan yang terbatas karena kondisinya mendesak. Makanya nama izinnya adalah Emergency Use Authorization. Izin penggunaan darurat.
Uji klinis yang normal harusnya dilakukan selama beberapa tahun. Tapi karena kali ini kondisinya mendesak, pengamatan hanya dilakukan selama setahun. Jadi “margin of error”-nya cukup besar. Angka efikasi yang sebenarnya bisa saja tidak 63%. Mungkin lebih rendah.
Satu vaksin, jika diuji di dua tempat yang berbeda, bisa saja hasilnya berbeda. Contohnya adalah vaksin buatan Sinovac. Di Brazil, angka efikasinya hanya sedikit di atas 50%.
- Virus covid sekarang sudah bermacam-macam
Vaksin Sinovac dibuat dari virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina. Sekarang kondisi pandemi sudah banyak berubah. Virus ini sudah bermutasi menjadi banyak varian. Ada varian India, Inggris, Afrika Selatan.
Mungkin saja ada mutan Indonesia. Kita tidak tahu karena negara kita lemah dalam hal tes.
Makin banyak variasi mutan, makin sulit diprediksi kemanjuran sebuah vaksin. Sangat mungkin kemanjurannya turun.
- Masih banyak yang belum kita ketahui
Ini penjelasan terakhir tapi yang paling penting. Walaupun wabah covid ini sudah lebih dari setahun, sebetulnya para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami penyakit ini. Ringkasnya, wallahu a’lam.
Vaksin tetap berguna menurunkan kemungkinan tertular, menulari, sakit parah, dan meninggal. Ini adalah ikhtiar yang bisa kita lakukan.
Tapi karena kita tidak tahu seberapa tingkat kemanjurannya, maka walaupun sudah divaksin, jangan merasa kebal.
Tetap pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan.
Ekonomi Kentut Hansip Ala Pertamini

Alkisah, di sebuah desa di pelosok Lamongan, ada lima orang penjual bensin eceran. Mereka semua menjual bensin di wadah gendul beling dengan laba seribu rupiah per liter. Persaingan di antara para penjual itu berjalan sepadan. Omset merata di antara mereka berlima tanpa rebutan pelanggan. Tidak ada satu pun penjual bensin yang mendominasi penjualan. Mereka semua hidup rukun, bahagia, aman, dan sentosa. Mereka percaya rezeki sudah diatur Tuhan alam semesta.
Hingga akhirnya datanglah hari ketika salah seorang dari mereka, Wak Kandar, yang anaknya baru saja pulang dari Malaysia, membeli sebuah mesin pompa bensin mini. Seketika hidup mereka berubah seperti sedang balapan. Kehadiran Pertamini ini mengubah peta penjualan. Para pemilik sepeda motor berbondong-bondong membeli “bengsin” ke kios Pertamini.
Pertimbangan mereka macam-macam. Ada yang sekadar ingin mencoba hal baru. Ada yang menyangka harga bensin di Pertamini sama dengan di SPBU Pertamina. Entah bagaimana, mereka tidak pernah bertanya: kalau harganya sama, lantas Wak Kandar mendapat laba dari mana?
Ada yang membeli di Pertamini karena bisa membeli suka-suka dengan uang berapa saja. Lima ribu pun bisa. Ada juga yang membeli karena rasanya seperti membeli bensin di SPBU Pertamina. Mungkin sensasinya seperti “Mulai dari nol ya, Mas.” Mereka percaya begitu saja meteran bensin Pertamini PastiPas walaupun tak pernah ditera.

Karena sebagian besar pelanggan memilih Pertamini, angka penjualan di antara lima penjual bensin itu akhirnya jomplang ala Pareto. Si juragan Pertamini menguasai 80% dari total penjualan, sementara 20% sisanya dibagi di antara empat orang penjual lain yang masih menggunakan wadah botol kaca.
Merasa tidak terima dengan turunnya omset penjualannya, Wak Kadir, penjual bensin kedua, secara tidak terduga menjual tanahnya untuk membeli dispenser Pertamini. Hadirnya Pertamini kedua ini membuat peta persaingan berubah lagi. Wak Kandar dan Wak Kadir berbagi angka penjualan yang hampir sama, masing-masing 40%. Kini Wak Kadir tersenyum sambil mengelus-elus jakun. Sementara Wak Kandar manyun karena menghitung balik modalnya masih dua tahun. Mungkin anaknya harus balik lagi ke negeri Jiran.
Di tengah peta persaingan ketat antara Wak Kadir dan Wak Kandar, tiba-tiba Wak Sraji, penjual bensin eceran ketiga, ikut-ikutan membeli dispenser Pertamini. Munculnya Pertamini ketiga ini cukup mengagetkan mengingat Wak Sraji cuma seorang tukang tambal ban dan bengkel kecil-kecilan.
Kini peta persaingan berubah lagi seperti balapan Formula 1. Wak Kandar, Wak Kadir, dan Wak Sraji harus berbagi rata omset penjualan. Masing-masing hanya mendapatkan tak lebih dari 30%. Kini Wak Kadir manyun. Wak Kandar makin manyun. Sementara Wak Sraji masih belum bisa tersenyum. Wak Kadir dan Wak Kandar harus kembali menurunkan asumsi balik modal. Sementara Wak Sraji masih harus berhitung berapa tahun lagi ia bisa mengembalikan utang.
Merasa kalah gengsi dengan Wak Sraji yang cuma tukang tambal ban, Wak Dulkamit, penjual bensin keempat, akhirnya ikut membeli dispenser Pertamini. Tapi sampai di sini, semua sudah terlambat. Kenaikan omsetnya tidak begitu berarti. Karena pembeli bensin di desa ini hanya orang-orang itu saja. Pasar sudah jenuh. Mirip kentut Hansip yang cuma berputar-putar di dalam celana.
Kini semua tukang bensin itu manyun. Tak ada yang tersenyum. Omset mereka praktis kembali ke angka semula seperti ketika Pertamini belum ada. Dulu, sewaktu mereka semua menjual bensin dengan gendul beling, tak ada biaya listrik yang mereka tanggung. Kini mereka harus menanggung biaya listrik yang baru saja dinaikkan tarifnya oleh Pak Jokowi.
Belum lagi ditambah cicilan mesin dispenser dua moncong untuk Pertamax dan Pertalite yang harganya hampir 20 juta. Jika dalam sehari seorang tukang bensin hanya bisa menjual 20 liter, dengan laba seribu rupiah per liter, maka untuk balik modal dibutuhkan waktu paling cepat seribu hari alias hampir tiga tahun. Seribu hari tanpa untung sama sekali. Mirip Pertamina yang sepanjang tahun mengaku rugi.
Begitulah kisahnya, Tuan dan Puan. Kisah tentang inovasi (lebih tepatnya, invasi) Pertamini. Hasrat warga desa untuk merebut penghasilan tetangga, akhirnya membuat semua tukang bengsin ini menderita. Persis seperti namanya, Pertamini. Pertamanya menjanjikan, ternyata hasilnya mini.
Wassalam.
Minum Jamu Tanpa Terasa Minum Jamu
Dokter C. L. Van der Burg, salah seorang pakar kesehatan masyarakat tropis zaman kolonial Belanda, menulis sebuah buku yang unik pada tahun 1896. Judulnya Boekoe Segala Roepa Penjakit dan Obatnja, Bergoena kapada segala orang boemi-poetera di Hindia-Nederland dan orang Tjina. Walaupun ia lulusan pendidikan kedokteran Barat, di buku ini dia banyak memberikan saran pengobatan tradisional khas Nusantara, terutama dalam hal penggunaan jamu.
Ia memadukan teknik pengobatan ala dokter dengan pengobatan tradisional yang diejek orang Belanda sebagai “kabanjakan kali tiada betoel, dan tiada berkatentoean tjampoerannja dan atoerannja”. Yang menarik, walaupun buku ini ditulis lebih dari satu abad yang lalu, isinya masih relevan di zaman sekarang. Misalnya penggunaan daun jambu biji untuk diare.
Kami sendiri sekeluarga, dewasa maupun anak-anak, kalau terkena diare, selalu minum rebusan daun jambu biji. Untuk meminimalkan pahitnya, kami tambah gula merah. Selama ini daun jambu selalu ampuh sehingga kami tidak perlu minum obat apotek seperti loperamid atau bahkan antibiotik. Biasanya jambu biji ditanam sebagai pohon. Namun karena tujuan kami hanya untuk diambil daunnya saja, kami cukup menanamnya di pot kecil. Pohonnya memang tidak bisa besar. Tidak masalah karena memang kami hanya perlu daunnya.

Tanaman kedua yang selalu ada di pekarangan rumah kami yang sempit adalah daun sirih. Ini gunanya banyak sekali. Kalau kami mengalami sakit gigi atau sariawan, tinggal kami kunyah saja daunnya. Atau kami rebus daunnya, lalu kami gunakan untuk berkumur. Kalau kami mengalami gatal-gatal biang keringat, kami mandi dengan rebusan daun sirih. Bukan hanya kami sekeluarga, tetangga kami pun sering mengambil daun sirih untuk dijadikan obat. Sampai-sampai kami kasihan melihat tanaman sirih kami gundul karena daunnya habis dipetik tetangga.

Tanaman penting ketiga adalah kunyit. Tanaman ini juga banyak sekali manfaatnya, terutama menjaga kesehatan organ cerna. Kami biasa membeli kunyit di pasar. Namun, kami juga menanam kunyit untuk jaga-jaga kalau kunyit di dapur sedang habis. Cara umum yang paling enak tentunya adalah mengolahnya dalam bentuk minuman tradisional kunyit asam. Tapi kami punya cara lain mengonsumsi kunyit, yaitu dalam bentuk masakan ayam atau ikan kuah kunyit asam.
Kami sengaja menambahkan kunyit dan asam dalam jumlah lebih banyak daripada resep standar. Parutan kunyit kami tumis bersama irisan bawang merah dan bawang putih sampai baunya harum. Dengan cara seperti ini kami seperti minum jamu kunyit asam dengan bonus protein hewani. Daripada dimasak goreng, ayam dan ikan jelas lebih sehat dimasak berkuah.
Saat memasak apa pun, kami selalu menggunakan rempah-rempah dalam jumlah lebih banyak daripada resep standar. Jadi ketika kami memasak soto ayam, misalnya, masakan itu sebetulnya adalah jamu rempah berisi ayam. Lihat saja bumbu rempah soto ayam: bawang merah, bawang putih, bawang daun, kunyit, lengkuas, jahe, ketumbar, merica, jintan, daun jeruk purut, sari jeruk nipis, asam jawa, serai, cabai, daun salam. Bukankah ini sebetulnya jamu?
Selain lebih menyehatkan, memasak dengan banyak rempah itu membuat masakan lebih harum, lebih enak, dan lebih tahan lama. Soto ayam dengan banyak rempah itu bahkan bisa tahan dua hari walaupun malamnya tidak dipanaskan lagi. Minum kuah soto yang panas bahkan bisa untuk meringankan gejala flu.
Kami juga menanam herba minuman tradisional, yaitu bunga telang, rosella, dan cincau hijau. Ketiganya perlu ditanam sendiri karena sulit didapat di pasar. Tempat tanamnya juga cukup di pot saja.

Kembang telang biasa kami jadikan minuman telang-kayu manis. Warnanya biru telang alami dengan aroma kayu manis yang harum. Kami menanam sendiri bunga telang karena tanaman ini sangat mudah berbunga dan tidak butuh perawatan khusus. Adapun kayu manis kami beli di pasar.
Rosella juga kami jadikan minuman tradisional rosella-kapulaga. Ini minuman favorit kami. Warnanya merah alami rosella, rasanya sedikit asam, dengan aroma kapulaga yang sangat harum. Kapulaga juga kami beli dari toko bumbu dapur di pasar.

Daun cincau hijau juga kami olah menjadi minuman tradisional. Ini juga enak sekali rasanya. Daun cincau direbus, lalu diremas-remas, dan direbus lagi dengan tambahan gula merah, daun pandan, dan jahe yang sudah dipanggang sebentar agar aromanya lebih harum.
Cincau hijau ini juga termasuk tanaman yang mudah tumbuh tanpa perawatan khusus. Bahkan cara menanamnya pun gampang sekali. Tingga potong saja ruas tanaman yang punya akar udara, lalu tancapkan di tanah basah, dan sirami setiap hari.

Minum wedang (rosella, kembang telang, cincau) dan makan masakan kaya rempah adalah cara paling enak minum jamu tanpa terasa minum jamu. Warna jamu tidak hanya kuning kunyit seperti biasa, tetapi juga merah, biru, dan hijau seperti pelangi. Rempah-rempah ini bisa merangsang metabolisme dan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga kita tidak gampang sakit. Jadi fungsinya adalah upaya preventif.
Kita selama ini kurang menghargai upaya pencegahan. Padahal dengan upaya pencegahan yang enak dan murah, kita bisa menghemat biaya sakit dan pengobatan yang mahal dan tidak enak.
Tidak hanya untuk upaya preventif, jamu bisa juga digunakan untuk tindakan kuratif yang ampuh. Contoh gampang adalah penggunaan daun kejibeling dan atau tempuyung untuk mengatasi masalah batu kemih. Obat tradisional ini sangat ampuh untuk batu kemih yang sampai sebesar biji kedelai. Kami sendiri tidak menanamnya karena tanaman ini masih mudah didapat di ladang. Tapi kami menandai lokasi tanaman liar ini. Cara ini sangat berguna karena berkali-kali memang ada famili yang membutuhkannya. Kami bisa mendapatkannya dengan cepat karena kami sudah tahu lokasinya.

Hal yang sama juga kami lakukan untuk tanaman-tanaman liar yang berguna lainnya. Karena pekarangan rumah kami sempit, kami tidak menanamnya. Namun kami tahu di ladang bagian mana ada tanaman sambiloto, binahong, atau kejibeling, yang sewaktu-waktu bisa kami dapatkan.

Harus diakui, jamu memang masih punya kelemahan dalam hal “tiada berkatentoean tjampoerannja dan atoerannja”, seperti ejekan orang Belanda zaman dulu. Misalnya, berapa dosis daun tempuyung atau pupus daun jambu biji sekali minum? Nenek kita zaman dulu senang sekali dengan angka tujuh. Tujuh lembar daun segar direbus untuk dosis satu kali minum.
Dari mana angka tujuh ini? Pada awalnya ini memang berasal dari kepercayaan spiritual. Akan tetapi pemanfaatannya kemudian sudah diuji berdasarkan pengalaman. Dosis sebesar ini secara empiris sudah terbukti ampuh tanpa efek samping yang mengganggu. Jadi, kami melihat jamu sebagai gabungan antara ilmu kedokteran dan kepercayaan spiritual. Walaupun tiada berkatentoean tjampoerannja dan atoerannja, jamu terbukti membuat badan kita sehat.
Ayat-Ayat Karbon
Al-Quran adalah puisi, termasuk bagi orang yang berpikir dengan sains. Di surat al-Waqiah ada ayat yang bisa membangkitkan imajinasi kita mengenai sains, matahari, dan api.
Wallahu a’lam.
أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ
أَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِئُونَ
Apakah kalian memperhatikan api yang kalian nyalakan?
Apakah kalian atau Kami yang menumbuhkan kayunya?
Ayat ini mungkin terdengar biasa saja bagi orang kebanyakan. Tapi bagi orang yang berpikir dengan sains, ayat ini seperti enigma.
Bagi kebanyakan orang, kayu yang dibakar menjadi api itu mungkin hanya fenomena biasa. Tak ada yang istimewa. Tapi bagi saintis, fenomena ini sebetulnya bisa sama menariknya dengan letusan bom atom.
API YANG DIHASILKAN KAYU BAKAR ITU SEBETULNYA ADALAH MATAHARI.
Api berasal dari pembakaran serat kayu dengan oksigen. Serat kayu berasal dari karbon organik yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Fotosintesis bisa terjadi karena tanaman mendapat energi dari sinar matahari. Sinar matahari ini mengubah karbon dari udara, yaitu karbon dioksida, menjadi karbon serat kayu.
Jadi sebetulnya sosok pohon yang tingginya belasan itu berasal dari udara. Udara yang berubah menjadi pohon. Memang ada unsur dari mineral tanah, tapi komponen terbesar dari kayu pepohonan adalah karbon yang berasal dari udara, bukan dari mineral tanah. Kita biasanya berpikir, pohon itu tumbuh dari tanah. Sebetulnya tidak. Pohon itu tumbuh dari udara. Komponen terbesar dari pohon adalah udara yang diubah menjadi kayu oleh sinar matahari.
Pancaran energi dari matahari itu disimpan di dalam kayu selama bertahun-tahun. Api dari kayu bakar saja begitu panasnya. Padahal itu hanya cipratan amat sangat kecil dari bola matahari yang jaraknya teramat sangat jauh dari bumi. Bagaimana dengan panas matahari?
Richard Feynman, fisikawan peraih Nobel yang terkenal itu, menerangkannya dengan sangat rinci, saintifik, tapi mudah dipahami secara populer di video ini. Di video ini kita bisa paham, apa sebenarnya api dan panas itu.