Sejarah Soto Lamongan (2): Pengaruh Cina
Tulisan ini adalah bagian dari buku Soto Lamongan yang diterbitkan oleh Perpusnas. Buku bisa diperoleh di sini.
Soto ayam Lamongan yang kita kenal hari ini adalah masakan khas Lamongan. Meski demikian, sisa pengaruh kuliner Cina masih bisa kita lihat dengan jelas sekali di dalam resepnya. Setidaknya ada lima komponen yang khas peranakan Cina. Ada yang sekadar tambahan opsional, yaitu soun dan taoge. Ada juga yang termasuk kategori bumbu penting yang sangat menentukan rasanya, yaitu koya, kecap, dan kucai.
Soun
Orang Nusantara mengenal cara membuat soun (sohun) dan mi dari orang Cina. Soun memang ciri khas soto Lamongan tetapi bukan komponen resep yang menentukan rasa soto. Fungsinya hanya sebagai tambahan. Soto dengan soun maupun tidak, rasanya tidak berbeda.
Banyak orang salah sebut atau salah kira. Mereka menyangka mi putih di dalam soto ayam Lamongan sebagai bihun padahal ini adalah soun. Bihun dan soun memang dua jenis mi yang bentuknya sangat mirip dan penyebutannya sering tertukar. Soun untuk soto ayam Lamongan biasanya dibuat dari kacang hijau (mung bean noodle). Warnanya lebih bening, teksturnya kenyal dan licin. Sementara bihun biasanya dibuat dari beras (rice noodle) atau jagung, lebih keruh daripada soun.
Kecap
Kecap juga jelas berasal dari Cina. Kecap yang dipakai di resep soto Lamongan adalah kecap manis yang dibuat dari kedelai. Pada awalnya, yang disebut kecap (kôechiap) adalah kecap kedelai yang rasanya asin (kecap asin). Kecap ini kemudian berevolusi menjadi kecap manis untuk menyesuaikan dengan selera Nusantara.
Meskipun kecap kadang tidak digunakan karena soal selera, bahan ini sangat penting karena menentukan rasa akhir dari soto. Soto dengan kecap dan tanpa kecap rasanya sangat berbeda. Di warung soto, biasanya kecap disediakan terpisah seperti sambal sehingga orang yang makan soto bisa memilih pakai kecap atau tidak. Di acara-acara resepsi pernikahan, soto Lamongan biasanya sudah ditambah sedikit kecap.
Koya
Ini adalah bagian yang paling khas dari soto ayam Lamongan. Koya berasal dari dua komponen yang sama-sama gurih, yaitu kerupuk udang goreng dan bawang putih goreng. Dua bahan ini dihaluskan begitu saja dan ditambahkan ke dalam soto saat dihidangkan. Begitu koya sudah bercampur dengan kuah, maka kuah soto akan menjadi kental sebab kerupuk udang dibuat dari tepung tapioka.
Koya adalah sebutan dalam bahasa Cina untuk makanan berbentuk bubuk. Ada dua macam koya yang kita kenal dalam makanan peranakan Cina. Yang pertama kue koya, kue berupa bubuk tepung yang dicetak begitu saja, tidak dalam bentuk adonan basah. Biasanya dihidangkan saat hari Lebaran. Kedua, koya bubuk kedelai yang biasa ditambahkan pada menu lontong cap gomeh.
Koya soto Lamongan.
(Sumber https://www.lamonganpos.com/)
Selain tiga macam koya di atas, ada juga koya kelapa sangrai yang biasa ditambahkan ke dalam soto. Koya jenis ini adalah alternatif koya kerupuk udang. Namun, koya kelapa ini tidak lazim digunakan di Lamongan. Kalaupun ada warung soto yang menggunakannya, itu hanya untuk menyesuaikan selera konsumen.
Koya adalah komponen khas soto ayam Lamongan yang penting. Lebih penting daripada kecap. Tanpa koya, soto ayam Lamongan rasanya memang sudah enak. Dengan tambahan koya, rasa soto menjadi lebih gurih. Bagi sebagian penggemar soto Lamongan, koya bahkan dianggap sebagai bumbu utama. Satu mangkuk soto bisa ditambah beberapa sendok penuh koya.
Pemakaian koya di soto Lamongan pada awalnya kemungkinan besar adalah untuk memanfaatkan adanya sisa kerupuk udang afkir. Di Lamongan dan sekitarnya, kerupuk udang umumnya berukuran lebar-lebar. Kira-kira lebarnya setengah piring. Dihidangkan dengan cara diletakkan begitu saja di atas piring yang berisi nasi dan soto.
Fungsinya ganda. Selain sebagai lauk pendamping, kerupuk berukuran lebar juga untuk menutupi hidangan utamanya. Sehingga kalau irisan daging ayamnya hanya sedikit, hidangan itu tetap kelihatan sopan, tidak kelihatan pelit. Ini bagian dari seni menghormati tamu dengan cara hemat. Tentu tidak semua tuan rumah bisa menjamu tamunya dengan soto yang berisi irisan daging ayam dalam jumlah banyak.
Kerupuk udang besar. (Sumber koleksi pribadi)
Kerupuk berukuran lebar sebetulnya merepotkan karena harus digoreng di dalam wajan besar dengan minyak yang sangat banyak. Saat sudah matang pun, kerupuk lebar masih merepotkan sebab kerupuk mudah patah. Karena ukurannya yang sangat lebar, kerupuk udang di acara-acara hajatan biasanya dimasukkan ke dalam plastik besar. Ukurannya sama dengan karung gula pasir. Sampai sekarang orang pedesaan Lamongan menyebut semua jenis plastik bening ukuran besar sebagai “plastik kerupuk”.
Di dapur selalu ada dua plastik kerupuk. Satu untuk kerupuk udang utuh. Satunya lagi untuk kerupuk udang afkir yang sudah cuil. Jika sudah patah, kerupuk tidak layak lagi dihidangkan kepada tamu dan hanya untuk dimakan sendiri. Kondisi inilah yang tampaknya pada awalnya melahirkan koya kerupuk udang, yang ternyata malah membuat soto menjadi lebih gurih.
Sekarang tentu saja koya di warung soto ayam Lamongan tidak dibuat dari remah kerupuk udang melainkan dari kerupuk udang utuh. Sekarang kerupuk udang banyak yang berukuran kecil-kecil, tidak selebar piring. Untuk bahan koya, ukuran kerupuk udang menjadi tidak lagi penting. Biasanya pemilik warung soto membeli kerupuk udang curah dalam jumlah besar.
Taoge
Taoge tidak selalu ada di soto ayam Lamongan yang dijual di warung-warung. Akan tetapi soto ayam di desa-desa di Lamongan di acara-acara hajatan pada umumnya masih menggunakan taoge, selain irisan kubis dan soun. Sebagian besar menggunakan taoge kecil seperti yang digunakan untuk rawon. Ada juga yang menggunakan taoge panjang. Karena jumlahnya hanya sedikit, taoge tidak begitu mempengaruhi rasa akhir dari soto.
Taoge juga merupakan komponen tradisi dapur Cina. Konon Laksamana Cheng Ho pada saat melakukan ekspedisi akbarnya selalu menanam taoge di kapal dan menjadikannya sebagai menu wajib untuk menjaga kesehatan para pelaut. Taoge memang termasuk sayuran bergizi tinggi karena berasal dari biji kacang hijau yang memang kaya gizi.
Kucai
Hingga tahun 1980-an, daun kucai masih umum ditanam di pekarangan rumah di desa-desa Lamongan. Daunnya digunakan seperti bawang daun untuk menyedapkan masakan, termasuk soto ayam. Aromanya cukup kuat sehingga sedikit saja bisa membuat masakan jadi lebih lezat. Penggunaan daun kucai (kow choi) pada mulanya juga merupakan kebiasaan dapur peranakan Tionghoa.
Namun, sekarang daun kucai jarang tersedia. Resep-resep soto ayam Lamongan zaman sekarang pada umumnya menggunakan bawang daun cincang. Dari bukti-bukti di atas tampak bahwa pengaruh tradisi Cina di dalam resep soto memang sangat dominan. Tidak berlebihan jika disebut bahwa soto memang berasal dari dapur peranakan Cina.
Daun kucai. (Sumber https://intisari.grid.id/)
Secara umum pengaruh budaya Cina di Lamongan sebetulnya tidak begitu dominan. Yang lebih banyak dipengaruhi budaya Cina adalah Tuban, kabupaten tetangga. Di wilayah Kabupaten Lamongan, populasi warga keturunan Cina tidak begitu banyak. Di Lamongan pesisir pun populasi mereka tidak begitu banyak. Mereka hanya terkonsentrasi di kota Kecamatan Babat.
Warisan kuliner peranakan Cina di Lamongan adalah wingko. Sampai sekarang Wingko Babat Loe Lan Ing, yang sudah berdiri sejak seabad lalu, masih menjadi ikon oleh-oleh Babat dan Lamongan. Bahkan kota Babat dijuluki sebagai Kota Wingko. Dilihat dari sejarahnya, wingko berasal dari makanan khas dapur peranakan Cina, bibingka, yakni kue berbahan beras ketan.
Wingko Babat Loe Lan Ing. (Sumber https://www.instagram.com/loelaning/)
Di Tuban, populasi warga keturunan Cina cukup banyak. Bahkan di alun-alun Tuban ada kelenteng berusia dua abad yang masih digunakan sembahyang hingga hari ini. Dalam hal warisan kuliner Tionghoa, Tuban lebih kaya daripada Lamongan. Di sini ada pabrik kecap legendaris Cap Laron yang sudah berdiri sejak tahun 1945 dan masih terkenal hingga sekarang. Tuban juga terkenal sebagai penghasil kerupuk udang dan terasi udang yang enak. Usaha-usaha ini banyak ditekuni oleh warga keturunan Tionghoa.
Kecap Manis Cap Laron.
(Sumber https://www.facebook.com/kecaplaron45/)
Tuban lebih banyak dihuni warga keturunan Cina karena memang letak Tuban persis di pantai yang menjadi pelabuhan penting zaman dulu. Ekspedisi besar pelaut Cina biasanya singgah di Pelabuhan Tuban. Di sini para pelaut itu singgah dan sebagian bermukim. Tradisi dapur Lamongan tampaknya mendapat pengaruh tradisi dapur Cina secara tidak langsung lewat Tuban.
Pengaruh India dan Belanda
Salah satu komponen utama resep soto ayam Lamongan yang penting adalah kunyit. Kunyit inilah yang membuat warna soto ayam Lamongan kuning keemasan, baunya harum, dan rasanya melekat di lidah. Pemakaian kunyit di dalam masakan adalah tradisi lokal Jawa yang pada mulanya diperkirakan terpengaruh dari tradisi India.
Adapun pengaruh kuliner Belanda masih bisa kita lihat dari pemakaian kubis dan seledri. Kedua bahan ini adalah komponen yang biasa digunakan orang Belanda untuk membuat sup. Irisan kubis memang khas soto Lamongan tetapi bukan komponen utama yang menentukan rasa. Fungsinya hanya sebagai tambahan seperti soun dan taoge. Pakai kubis atau tidak, rasa soto Lamongan tidak berbeda.
Sebetulnya di resep soto juga ada tradisi khas Lamongan lain di luar koya, yaitu penambahan bandeng sebagai penyedap rasa. Kebetulan Lamongan adalah penghasil ikan bandeng. Saat musim panen, harga bandeng sangat murah dan sering dimanfaatkan sebagai penyedap soto. Ikan ini ditambahkan ke dalam soto dengan cara direbus atau digoreng lalu dihaluskan dan dicampurkan ke dalam kuah. Fungsinya mirip koya kerupuk udang, yaitu untuk menambah lezat kuah soto.
Karena bandeng sudah dihaluskan, kita tidak bisa melihat wujud ikan ini. Kita hanya bisa merasakan citarasa gurihnya di dalam kuah. Namun, sebagian besar soto ayam Lamongan yang dijual di kota-kota besar tidak menggunakan bandeng di resepnya. Di kota, bandeng memang selalu tersedia tetapi harganya cukup mahal. Rasa soto memang jadi lebih lezat tapi biaya produksi soto jadi lebih mahal.
Dari komponen-komponen di atas, kita bisa melihat bahwa soto ayam Lamongan adalah masakan yang memadukan aneka tradisi. Di dalam semangkuk soto Lamongan ada tradisi dapur Cina, Belanda, India, hingga Lamongan sendiri. Hasil akhirnya adalah masakan yang lezatnya lengkap: gurih kaldu, harum rempah, dan menyegarkan.
Buku Gratis: Soto Ayam, Cara Hidup Orang Lamongan
Penulis: Mohammad Sholekhudin
Penerbit: Perpustakaan Nasional RI
Untuk membacanya, silakan klik gambar di bawah. Anda juga bisa mengunduhnya gratis dengan mendaftar lebih dulu di situs Perpusnas.
Resep Soto Ayam Lamongan (2)
Resep soto ayam berubah sedikit demi sedikit, menyesuaikan tradisi lokal. Untuk mengetahui adaptasi resep soto ayam dari masa ke masa, kita bisa melihat resep soto ayam di buku babon resep Nusantara warisan Bung Karno, Mustikarasa.
Di buku ini komponen bumbu soto ayam terbilang minimalis. Hanya bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, daun bawang, lada (merica), cengkeh, kayumanis, garam, kecap.
Di dapur Lamongan, komponen cengkih dan kayumanis tidak lazim digunakan karena memang dua rempah ini jarang tersedia di dapur. Walaupun tidak menggunakan cengkeh dan kayumanis, resep soto ayam Lamongan lebih kaya rempah daripada resep Mustikarasa. Sebab resepnya juga berisi kemiri, lengkuas, ketumbar, daun serai, daun jeruk, seledri, jeruk nipis, dan kerupuk udang.
Walaupun bumbunya banyak sekali, resep soto ayam Lamongan sebetulnya fleksibel. Kalau sebuah bahan tidak tersedia, bahan itu boleh diganti dengan yang sejenisnya. Hasilnya tetap soto ayam yang enak.
Ayam
Sampai sekarang, di Lamongan pedesaan, soto ayam untuk hajatan masih mempertahankan resep aslinya menggunakan ayam kampung. Sebab memang di desa masih mudah mendapatkan ayam kampung. Kalaupun seseorang tidak memelihara ayam di rumah, ia mudah membelinya dari tetangga atau di pasar.
Di pasar, ayam kampung dijual dalam keadaan hidup. Sehingga pembeli bisa memilih ayam yang paling bagus dan sehat. Juga bisa memilih jenis kelaminnya. Ayam pejantan (jago) pada umumnya lebih disukai karena kaldunya lebih enak daripada ayam betina (babon).
Ayam kampung jago
Di Lamongan, memelihara ayam kampung tidak begitu repot. Makanan utamanya adalah dedak (bekatul) yang merupakan hasil samping penggilingan padi. Kawasan pinggir Bengawan adalah penghasil padi yang utama di Lamongan.
Kaldu ayam kampung aromanya sedap, rasanya gurih, bening, tidak begitu berminyak. Bahkan dengan bumbu garam saja tanpa tambahan bumbu macam-macam pun, rebusan ayam kampung rasanya sudah lezat. Daging ayam kampung juga liat. Cocok untuk irisan soto. Jika diiris kecil-kecil, tipis, menyerong, daging tidak mudah ambyar.
Kulit ayam kampung juga liat karena banyak mengandung kolagen. Bisa diiris tipis-tipis dan tetap utuh. Beda dengan kulit ayam potong yang praktis tidak bisa diiris-iris karena sangat lembek dan banyak lemak.
Akan tetapi soto ayam Lamongan di kota-kota besar hanya sedikit yang masih mempertahankan komponen ayam kampung. Biasanya warung-warung yang masih menggunakan ayam kampung asli ini akan menyebut warungnya sebagai “Warung Soto Ayam Kampung Asli”. Ayam kampung asli ini untuk membedakannya dari warung-waung soto yang menggunakan ayam kampung super.
Ayam joper
Ayam kampung super adalah jenis ayam ternak yang paling banyak digunakan untuk soto ayam Lamongan di kota-kota besar. Harganya lebih murah daripada ayam kampung asli sehingga harga jual soto masih bisa dipertahankan di bawah Rp 15.000 seporsi.
Ayam kampung super ini memiliki sifat mirip ayam kampung dalam hal citarasa kaldu dan tekstur. Biasa disebut juga ayam jowo super atau ayam joper. Ayam ini hasil persilangan antara ayam kampung asli dan ayam petelur.
Ayam joper pertumbuhan badannya terbilang cepat, seperti ayam pedaging. Usia 2 bulan sudah bisa dipotong. Harganya lebih murah daripada ayam kampung asli.
Sebagian kecil penjual soto ayam menggunakan daging ayam petelur yang sudah tidak produktif. Ayam jenis ini kadang disebut ayam merah karena biasanya bulunya berwarna merah bata. Dagingnya lebih tebal daripada daging ayam kampung karena ayam petelur biasanya memang lebih gemuk.
Daging ayam jenis ini juga liat karena kandungan kolagennya (serat daging) tinggi seperti ayam kampung tua. Tidak mudah ambyar kalau diiris tipis-tipis.
Ayam jenis ini sering menjadi alternatif ayam kampung karena harganya paling murah dibandingkan ayam joper atau ayam kampung asli.
Di kalangan peternak ayam petelur, ayam yang sudah afkir ini biasanya dijual sebagai bahan naget, sosis, atau bakso. Daging digiling lebih dulu lalu diolah dalam bentuk lain sehingga tekstur aslinya sudah hilang. Kalau dijual dalam bentuk daging ayam biasa, daging ayam kawak ini tidak begitu laku karena alot dan kalau direbus butuh waktu lama untuk matang.
Bagi penjual soto, tekstur yang alot ini bukan masalah besar. Sebab daging ayam tidak dihidangkan dalam potongan besar-besar tapi diiris kecil-kecil. Cara menyiasatinya cukup dengan direbus lebih lama supaya daging tidak terlalu alot.
Di antara jenis ayam-ayam ternak, ayam broiler (ayam potong atau biasa disebut ayam negeri) terbilang paling tidak cocok untuk soto ayam. Dagingnya terlalu empuk sehingga mudah ambyar kalau diiris kecil-kecil.
Meski demikian, kalau kita hendak memasak soto untuk dimakan sendiri, kita tetap bisa menggunakan daging ayam potong yang banyak dijual di pasar. Hasilnya tetap soto yang enak.
Agar dagingnya tidak mudah ambyar saat diiris, ayam yang sudah direbus dan diambil kaldunya itu bisa digoreng agar teksturnya lebih liat. Atau, kalau kita menghindari gorengan, daging ayam rebusan itu bisa dipanggang untuk mengurangi kadar airnya sehingga teksturnya lebih liat dan mudah diiris.
Intinya, resep ayam Lamongan itu fleksibel. Tidak kaku. Kaupun tak ada ayam kampung, ayam ternak pun jadi.
Daging ayam kampung yang asli sulit didapat di pasar. Yang biasanya dijual di pasar adalah daging ayam broiler atau ayam joper. Kalau kita mau membeli daging ayam kampung asli, kita bisa memesannya di penjual daging ayam yang memotong sendiri ayamnya. Biasanya mereka punya koneksi ke penjual ayam kampung asli.
Bawang Putih, Bawang Merah
Dua jenis bawang ini pasangan yang sulit dipisahkan di dalam resep masakan-masakan Nusantara, tak terkecuali soto ayam Lamongan. Orang Lamongan menyebutnya sebagai pasangan kata yang tidak dipisahkan, yakni “bawang-brambang”. Bawang adalah bawang putih. Brambang adalah bawang merah.
Bawang merah dan bawang putih terutama diperlukan di dalam bumbu awal yang akan ditumis. Bawang putih goreng juga diperlukan pada saat pembuatan bubuk koya. Bawang merah goreng kadang juga ditaburkan ke dalam soto yang akan dihidangkan. Tetapi taburan bawang merah goreng ini tidak selalu ada di resep soto ayam Lamongan.
Kombinasi bawang merah dan bawang putih ini adalah penyedap rasa soto nomor dua setelah kaldu ayam. Kedua bawang ini diulek bersama bumbu lain sampai halus kemudian ditumis.
Proses pemanasan yang terkontrol akan membuat sebagian komponen senyawa sulfur organik di bawang-brambang berubah menjadi senyawa aromatik. Inilah yang menyebabkan bawang-brambang membuat masakan apa pun menjadi sedap.
Proses pemanasan ini harus terkontrol. Tidak boleh terlalu panas dan terlalu lama sebab bawang-brambang mudah gosong dan kehilangan aroma sedapnya. Bumbu ini ditumis tanpa perlu menunggu minyak mendidih lebih dulu.
Selama ditumis, bumbu harus terus diaduk agar tidak ada bagian yang gosong. Di resep-resep masak, penumisan bawang-brambang biasanya dianjurkan sampai munculnya bau harum. Bau harum ini tak lain adalah senyawa aromatik yang berasal dari sulfur organik bawang.
Di resep soto, bawang putih diperlukan dua kali. Pertama untuk membuat bumbu halus. Kedua, untuk membuat koya dengan cara digoreng dulu lalu dihaluskan bersama kerupuk udang.
Bawang merah juga diperlukan dua kali. Pertama untuk membuat bumbu halus. Kedua, untuk taburan pada saat soto dihidangkan. Namun, tidak semua resep soto menggunakan taburan bawang merah goreng. Ini hanya salah satu mazhab.
Kunyit, Jahe, Lengkuas
Ketiga jenis empon ini banyak ditanam di pekarangan rumah di desa-desa di Lamongan. Ketiganya termasuk komponen soto Lamongan yang penting. Sama pentingnya dengan bawang merah dan bawang putih. Kombinasi empon-empon ini membuat soto ayam Lamongan berwarna kuning dan beraroma harum.
Agar soto berwarna kuning keemasan, ibu-ibu zaman dulu biasa memilih kunyit yang sudah tua. Biasanya ditandai dengan warna jingga yang lebih pekat. Kunyit ini diambil dari tanaman yang sudah berbunga. Kalau kunyitnya kurang tua, warna kuning soto agak pudar. Kurang menggoda.
Begitu pula dalam pemilihan jahe dan lengkuas. Keduanya juga diambil dari tanaman yang sudah tua. Empon yang tua aromanya lebih kuat.
Kita sekarang mungkin tidak begitu memperhatikan tua-mudanya kunyit, jahe, atau lengkuas. Ini wajar karena kita hari ini memperoleh kunyit dari toko. Kita tidak tahu tanaman kunyit, apalagi mengetahui empon yang tua atau muda.
Ada tiga cara dalam meracik bumbu empon. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Cara ulek-tumis
Empon diulek (atau sekarang diblender) bersama bumbu lain lalu ditumis. Cara ini membuat aroma empon lebih menyatu dengan kuah secara sempurna. Aroma soto juga jadi lebih sedap karena proses pemanasan akan membuat zat-zat aromatik di dalam empon menjadi lebih harum.
Kelebihan lain, soto menjadi lebih tahan lama, tidak cepat basi. Kelemahannya, cara ini membuat ampas soto lebih banyak.
Cara geprek-cemplung
Empon digeprek dan dicemplungkan ke dalam kuah soto. Ada yang langsung digeprek, ada juga yang dibakar dulu baru digeprek. Empon dipanggang dulu tujuannya agar aromanya menjadi lebih harum.
Cara geprek ini bisa menjaga kuah soto lebih bening sebab ampasnya tidak banyak. Namun cara ini membutuhkan empon lebih banyak. Walaupun sudah digeprek, tetap ada sari patinya yang tertahan di dalam empon.
Cara parut-cemplung
Empon tidak digeprek atau diulek tetapi diparut dan langsung dimasukkan ke dalam kuah pada saat proses memasak pada tahap akhir. Empon tidak ikut ditumis. Tujuannya agar aroma empon tidak banyak yang menguap akibat panas.
Kelebihannya, cara ini membuat soto menjadi lebih sehat karena kuahnya punya khasiat seperti jamu. Zat-zat obat di dalam empon tidak banyak yang terurai oleh panas.
Bawang prei/bawang daun/kucai dan seledri
Dari ketiga jenis daun bawang di atas, yang paling sering digunakan adalah bawang daun. Dicincang kecil-kecil bersama seledri lalu ditaburkan di kuah soto pada tahap penyajian.
Yang paling jarang digunakan adalah kucai karena saat ini sulit dicari. Dulu di tahun 1980-an kucai masih sering digunakan karena masih banyak ditanam di pekarangan rumah di desa-desa. Aroma kucai mirip bawang putih sehingga sedikit saja sudah bisa membuat soto jadi lebih sedap.
Daun jeruk purut, serai, salam
Dari tiga daun aromatik di atas, setidaknya harus ada daun jeruk dan serai. Daun salam boleh tidak disertakan kalau memang tidak ada. Biasanya daun aromatik ini ikut ditumis bersama bumbu. Daun jeruk dibuang tulang daunnya lebih dulu, sementara serai digeprek lebih dulu agar minyak atsirinya (zat aromanya) keluar.
Dari komponen di atas, kita bisa melihat bahwa resep soto ayam Lamongan menggunakan banyak sekali bumbu aromatik, mulai dari kunyit, jahe, lengkuas, serai, daun jeruk, daun salam, hingga seledri. Karena itulah aroma soto ayam Lamongan harum sekali.
Kemiri
Ini juga komponen penting dari resep soto. Kemiri sifatnya mirip kacang tanah, mengandung banyak pati, lemak, dan protein. Rasanya lebih enak jika disangrai lebih dulu atau ditumis bersama bumbu halus. Kemiri memberi rasa gurih pada kuah soto karena banyak mengandung minyak dan protein.
Biji ketumbar dan merica
Saat ini sebagian besar dapur era Cookpad lebih banyak menggunakan ketumbar dan merica bubuk dalam kemasan yang praktis. Tinggal tuang ke dalam masakan seperti yang dilakukan Rudy Choirudin di layar televisi.
Bagaimanapun juga, untuk resep soto yang otentik, biji ketumbar dan merica utuh jauh lebih bagus sebab rasa dan aromanya lebih kuat. Kalau biji ketumbar dan merica sudah dihaluskan, sebagian zat aromatiknya sudah berkurang.
Kerupuk udang, udang utuh, ikan bandeng
Kerupuk udang adalah komponen wajib sebab merupakan bahan utama koya. Adapun udang dan ikan bandeng bukan komponen wajib. Kalau tersedia, bisa ditambahkan supaya soto makin gurih.
Caranya, udang atau bandeng direbus bersama ayam lalu dihaluskan dan dicampurkan ke dalam kuah. Bisa juga udangnya ditumis lebih dulu baru diulek dan dimasukkan ke dalam kuah. Ikan bandeng bisa digoreng lebih dulu kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam kuah. Cara kedua ini bisa mengurangi bau lumpur dari ikan bandeng.
Jeruk nipis atau asam jawa
Rasa soto menjadi lebih segar jika ditambah perasan jeruk nipis pada saat dihidangkan. Sebetulnya unsur asam bisa juga ditambahkan langsung ke dalam kuah pada saat proses memasak. Bisa menggunakan asam jawa yang masih mentah atau asam kawak.
Jika yang digunakan adalah asam jawa mentah, bahan ini perlu direbus dulu sampai empuk, lalu dilumat dengan air panas kemudian airnya ditambahkan ke dalam kuah.
Jika yang digunakan adalah asam kawak, bahan ini bisa langsung dilumat dengan air panas dan diambil airnya untuk ditambahkan ke dalam kuah. Kalau di dalam kuahnya sudah ada unsur asam, soto tidak perlu lagi ditambah dengan perasan jeruk nipis.
Penambahan asam jawa dan jeruk nipis berbeda waktunya. Asam jawa bisa dimasukkan langsung ke dalam kuah saat proses memasak. Sebab, kandungan utama zat asam pada asam jawa adalah asam-asam organik yang tahan panas. Rasanya tetap kecut walaupun dididihkan lama pada saat proses memasak.
Beda halnya dengan perasan jeruk nipis yang mengandung asam-asam organik yang mudah terurai oleh panas. Rasa kecutnya berkurang jika dipanaskan lama. Apalagi di warung, biasanya soto dihangatkan selama berjam-jam. Itu sebabnya perasan jeruk nipis harus ditambahkan ke soto pada saat dihidangkan.
Selain itu, jeruk nipis juga mengandung banyak minyak atsiri (zat aromatik) yang juga mudah menguap jika kena panas. Sementara buah asam Jawa tidak banyak mengandung zat aromatik. Jeruk nipis diambil asam dan aromanya. Sementara buah asam hanya diambil zat asamnya.
Garam, gula, MSG, dan kaldu instan
Kombinasi garam dan gula dalam proporsi yang pas bisa membuat masakan menjadi gurih walaupun tanpa tambahan monosodium glutamat (MSG/micin). Akan tetapi sebagian besar soto saat ini, terutama di warung, hampir pasti ditambah penyedap rasa. Bahkan ada pula yang masih ditambah kaldu instan.
Sebetulnya di dalam resep dasar soto ayam Lamongan sudah terdapat banyak komponen penyedap rasa alami yang membuat masakan menjadi gurih. Kaldu ayam, bawang putih, bawang merah, kemiri, koya kerupuk udang, semua ini adalah unsur penyedap rasa gurih.
Apalagi jika resepnya juga menggunakan tambahan udang utuh atau bandeng. Gurihnya sudah optimal. Penyedap rasa MSG baru diperlukan kalau bumbunya tidak lengkap.
Apa boleh buat, masakan warung zaman sekarang memang berlomba-lomba menang gurih. Sudah gurih, masih dianggap kurang gurih.
Cabai dan kecap
Sambal dan kecap biasanya dihidangkan terpisah, tidak dimasak bersama kaldu sebab selera orang berbeda-beda. Kecap memang komponen yang sangat menentukan rasa soto tetapi bumbu ini tidak masuk komponen utama. Tanpa kecap, soto ayam sudah enak.
Sambal juga soal selera tetapi komponen ini harus tersedia bersama soto. Kalau kita memasak soto untuk dimakan sendiri, sebetulnya rasa pedasnya lebih enak kalau cabai ikut diulek dan ditumis bersama bawang merah, bawah putih, dan sebagainya. Kalau soto hendak dimakan sekeluarga sendiri, kita sudah tahu selera pedasnya dan bisa menghitung berapa cabai yang perlu ditambahkan.
Pada saat proses penumisan, kapsaisin (zat pedas cabai) akan larut di dalam minyak. Rasa pedasnya menjadi lebih menyatu dengan komponen lain, tidak gampang menyebabkan lidah terbakar dan sakit perut. Selesai makan, ada sisa rasa hangat cabai di mulut.
Rasa pedas seperti ini sulit kita dapatkan di warung karena sambalnya dipisah. Cabai tidak ikut ditumis. Ketika sambal dimasukkan ke dalam soto, zat pedas cabai tidak bisa tercampur homogen ke dalam soto sehingga mudah membakar mulut.
Sambal soto di warung biasanya dibuat dari cabai yang direbus lalu diulek. Ketika dicampurkan ke dalam soto pada saat hendak dimakan, zat pedas cabai terasa lebih kuat di lidah. Gampang menyebabkan kepedasan.
Sambal soto sebetulnya cukup dibuat dari cabai rawit merah mentah yang diulek. Di warung, biasanya cabai direbus lebih dulu supaya sambal lebih awet dan rasanya tidak terlalu pedas. Cabai yang tidak direbus rasanya lebih pedas dan lebih segar.
Untuk mencegah orang mengambil sambal terlalu banyak, cabai rawit merah bisa ditambah dengan cabai merah dan garam. Cabai merah warnanya kelihatan menyala seperti sangat pedas padahal rasanya tidak begitu pedas.
Telur rebus, soun, kubis, taoge
Bahan-bahan ini bukan komponen utama soto. Fungsinya hanya meramaikan saja. Supaya kalau irisan daging ayamnya sedikit, isi soto tetap kelihatan semarak. Bahan-bahan ini rasanya netral, tidak begitu berpengaruh terhadap kelezatan soto. Tanpa telur rebus dan sebagainya itu pun soto sudah lezat.
JANGAN TAKUT PEDAS DI RUJAK MAK TAS
Anda pasti tahu rujak, bukan? Makanan yang terbuat dari berbagai buah dan sayur ini selain menyehatkan juga memiliki banyak penggemar. Bahkan banyak ibu hamil yang ngidam makanan ini.
Jika Anda berwisata ke WBL, Mazola, Gua Maharani, atau ke makam Sunan Drajat, Anda akan banyak menjumpai pedagang rujak dan dawet yang berderet-deret di pinggir jalan raya Paciran. Di antara puluhan penjual rujak itu, ada satu warung yang cukup terkenal, yaitu Rujak Mak Tas. Jika Anda bertanya kepada warga setempat tentang warung rujak yang enak, kemungkinan besar ia akan mengarahkan Anda ke warung ini. Warung Mak Tas berada di Desa Paciran, tepatnya di sebelah barat jembatan. Ini jembatan satu-satunya di jalan raya Paciran.
Warung yang sangat sederhana ini berada di tempat terbuka, tepat bersebelahan dengan kali (sungai) yang langsung berhubungan dengan laut. Sayang, sungai ini tidak begitu bersih. Tapi jangan salah, meskipun tempatnya tidak begitu meyakinkan, warung ini adalah penjual rujak paling ramai di Paciran.
Dari puluhan penjual rujak di paciran, kenapa rujak Mak Tas yang paling ramai? Mungkin ada dua jawaban yang pas untuk pertanyaan tersebut.
Pertama, mungkin karena rujak Mak Tas ini lebih murah dari rujak-rujak lainnya di paciran. Mak tas menjual rujaknya Rp 3.000 per porsi. Sedangkan di tempat-tempat lain umumnya dijual Rp 4.000 atau lebih.
Kedua, rasanya. Mak Tas yang sudah sekitar 15 tahun berjualan rujak ini memang tahu benar bagaimana rujak yang enak. Bagaimana komposisinya, bagaimana cara ngulek-nya, dan lain sebagainya.
Mak Tas sendiri yang membuat rujak untuk para pembeli. Jadi dari buka sampai tutup, yaitu sekitar pukul 09.00 sampai dengan 16.00, Mak Tas yang meracik dan membuat ratusan bungkus rujak. Rujak Mak Tas sangat unik. dari tampilannya saja bisa dilihat betapa sederhananya rujak Mak Tas. Kalau di tempat lain umumnya rujak ditempatkan di piring plastik, Mak Tas memakai daun pisang sebagai tempat rujaknya. Unik, bukan? Selain unik, daun pisang ini juga memberikan aroma khas. Jadi, jangan heran apabila melihat banyak tumpukan daun pisang di warung Mak Tas.
Oh iya, warung Mak Tas buka setiap hari. Jadi kapan pun Anda datang, asal tidak kepagian atau kesorean, Anda bisa mencicipi rujak Mak Tas yang enak ini.
Bumbu-bumbu yang dipakai Mak Tas pun umumnya sama dengan rujak-rujak lainnya di Paciran. Kenapa saya katakan di Paciran? Karena setiap daerah di Lamongan memiliki kekhasan tersendiri untuk urusan rujak. Seperti rujak dengan pisang kluthuk yang bisa Anda temui di sekitar Sekaran, yang dibuat dengan tambahan irisan pisang kluthuk yang diulek bersama bumbu-bumbunya. Atau rujak petis hitam di daerah Maduran dan sekitarnya, yang memakai petis hitam cukup banyak pada bumbunya. Ini juga yang membuat rujak petis hitam warnanya lebih hitam daripada rujak-rujak lainnya.
Bumbu yang dipakai Mak Tas antara lain: gula merah, petis, garam, asam jawa, sedikit penyedap rasa, sedikit air, dan cabai tentunya. Gula merah yang dipakai Mak Tas bukan gula merah padat seperti yang banyak kita jumpai. Mak Tas menggunakan gula merah siwalan yang agak berair, jadi teksturnya sedikit lembek. Selain itu, petis yang Mak Tas gunakan adalah petis dari saripati ikan pindang yang rasanya asin, tidak gurih seperti petis hitam biasanya.
Untuk buahnya, ada mentimun, kerahi, nanas, bengkuang, semangka, dan kadang mangga muda. Semua diiris-iris dengan potongan besar khas Mak Tas. Meskipun pada umumnya rujak yang dibuat rasanya pedas manis (dengan gula merah lebih banyak daripada bumbu-bumbu lainya), namun pembeli bisa meminta rasa lain, asin misalnya, atau dengan tambahan kacang tanah.
Rujak asin dibuat Mak Tas dengan komposisi petis yang lebih banyak daripada gula merahnya. Sedangkan rujak dengan tambahan kacang harganya ditambah Rp 500 per bungkus. Tentu saja ini akan menambah pilihan bagi pencinta rujak untuk menyesuaikan dengan rasa favoritnya.
Apabila Anda selesai berkunjung dari WBL, Maharani Zoo, dan Gua Maharani, tak akan rugi Anda mampir ke warung Mak Tas untuk merasakan rujak khas Paciran yang enak. Jika Anda pencinta makanan tradisional ini, mampir di warung Mak Tas hukumnya adalah “wajib kudu harus”. Fardlu ‘ain, kata orang-orang Paciran.
Sekadar saran dari saya, rujak Mak Tas ini rasanya jauh lebih pedas dari rujak petis hitam atau rujak pisang kluthuk. Jadi, apabila Anda bukan orang yang suka pedas, pesan rujak cukup dengan 1 atau 2 cabai saja. Sementara jika Anda ‘gila’ pedas, mungkin Anda bisa mencoba 8, 9 cabai atau bahkan lebih.
Jangan takut kepedasan, karena dengan Rp 3.000 lagi Anda bisa meredam pedasnya rujak Mak Tas dengan es dawet ental yang dijual juga di sini. Selain itu, sebagai pelengkap rujak, Mak Tas juga menyediakan kerupuk rambak yang dijual Rp 500 tiap bungkus.
LEGEN, PELEPAS LELAH DAN DAHAGA
Wilayah Paciran, selain potensial sebagai tempat wisata, juga menyuguhkan makanan dan minuman khas, yang mungkin tidak banyak ditemui di tempat lain. Salah satunya minuman unik yang disebut legen.
Legen merupakan nira hasil sadapan pohon siwalan (lontar). Pohon siwalan merupakan jenis tanaman palem-paleman yang hanya tumbuh di daerah kering. Maka jangan heran saat melintas di daerah pesisir Lamongan ini Anda akan banyak menjumpai pohon-pohon siwalan di sepanjang kanan-kiri jalan. Karena memang karakteristik udara dan iklim Paciran cocok dengan habitat pohon siwalan.
Pohon-pohon siwalan di sepanjang jalan ini biasanya dipanen oleh para penyadap dua kali sehari, yakni di pagi dan sore hari. Setiap pagi sekitar pukul 07.00, para petani berangkat mengambil nira hasil sadapannya. Mereka harus memanjat pohon siwalan yang tingginya kira-kira 9 meter tanpa pengaman apa pun. Di ujung pohon telah dipasang bumbung bambu yang digunakan sebagai tempat menampung nira. Bumbung-bumbung ini dipasang sore hari sebelumnya, untuk menampung tetes nira mayang siwalan yang telah dipotong ujungnya.
Setelah hasil sadapan dipindah ke jeriken yang diikat di pinggang penyadap, tabung bambu kembali dipasang untuk menampung kembali nira yang akan diambil sore harinya. Begitu seterusnya. Dari satu buah pohon siwalan biasanya dihasilkan sekitar 6 liter nira sekali panen.
Legen atau nira yang baru disadap inilah yang kemudian dijual oleh penyadap kepada pedagang-pedagang legen di pinggir jalan. Anda bisa menemui banyak sekali penjual legen ini di sepanjang jalan pantura (pantai utara) Paciran. Ada puluhan pedagang yang berjualan di warung berupa gubuk-gubuk dengan atap daun lontar atau genting tanah liat.
Legen mempunyai rasa yang khas. Berbeda dari air kelapa tua atau kelapa muda yang rasanya sudah tidak asing lagi di lidah kita. Legen juga mempunyai rasa yang manis, namun dengan sedikit getir yang menambah kekhasan dan kesegarannya. Warna legen juga lebih keruh daripada air kelapa yang cenderung bening.
Asal tahu saja, legen bukan merupakan minuman yang tahan lama. Legen bahkan mempunyai tenggang waktu fermentasi yang lebih cepat daripada air kelapa. Minuman ini tidak bisa bertahan sampai satu hari. Jadi sebelum meminum legen, sebaiknya Anda memastikan dulu bahwa legen yang Anda minum masih baru dan belum basi. Karena apabila sudah basi, legen ini akan menjadi tuak yang memabukkan.
Untuk membedakannya, legen yang sudah basi (tuak) rasanya akan menjadi asam dan panas di tenggorokan. Warnanya juga berubah menjadi lebih keruh atau putih kekuning-kuningan. Apabila tuak masih di dalam botol, saat dibuka akan menimbulkan suara letusan dan mengeluarkan busa. Ini merupakan efek fermentasi dari kandungan gula di dalam legen.
Namun meski begitu, apabila diolah dengan baik, legen yang telah basi sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuat cuka atau alkohol.
Penjual-penjual di sepanjang jalan pun tidak semua jujur dalam menjual legen. Apabila pesanan legen sedang tinggi, tidak jarang para penjual mencampur legen dengan air kelapa tua. Ini dilakukan untuk memenuhi semua permintaan legen. Tentu, hal tersebut akan mengurangi rasa getir pada legen yang menjadi kekhasannya.
Hal ini biasanya banyak terjadi saat bulan puasa. Karena pada saat seperti itu, legen akan diminati oleh banyak orang sebagai minuman pelengkap berbuka. Kekhasan ninuman yang satu ini memang membuat banyak orang tertarik, selain karena rasanya yang enak tentunya.
Satu gelas legen biasanya dihargai Rp 2.000. Cukup murah, bukan? Warung-warung di pinggir jalan juga buka tiap hari dari pagi sampai sore. Jadi Anda tidak akan susah mencarinya.
Tertarik untuk mencicipi? Minuman ini akan sangat cocok sebagai pelepas dahaga setelah seharian berwisata ke WBL, Maharani Zoo & Goa, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Sendang Duwur. Atau kalau Anda sedang melintas dari arah Tuban ke Surabaya atau sebaliknya lewat jalur pantura, Anda bisa melepas lelah dan bersantai di warung-warung ini sambil menikmati segelas legen dan jajanan khas Paciran lainnya.
SEGAR DAN KENYANG DENGAN ES BATIL
Kalau mendengar kata batil, mungkin pikiran kita akan langsung mengarah kepada konotasi negatif, yakni batil (kebatilan) lawan kata dari haq (kebenaran). Tapi tunggu dulu, di Lamongan, Anda akan menjumpai batil yang sama sekali berbeda. Apabila dicampur dengan es dan bahan-bahan lain, batil akan menjadi minuman yang enak, segar, dan mengenyangkan.
Ya, batil yang enak ini adalah makanan mirip roti yang terbuat dari tepung beras dan ragi. Rasanya mirip kue apem tapi sedikit asam. Batil sebetulnya cukup enak dimakan langsung. Tapi biasanya makanan ini dihidangkan dengan cara diris-iris lalu dicampur dengan es dan sirup gula. Minuman ini biasa disebut dawet batil atau es batil.
Tidak banyak penjual minuman khas ini di Lamongan. Kalau Anda penasaran dengan minuman ini, Anda bisa datang ke warung Bu Bayinah di Desa Bulubrangsi, Kecamatan Laren.
Lokasi desa ini cukup jauh dari jalan utama pantura maupun jalan raya Lamongan-Babat. Untuk mengetahui lokasi Desa Bulubrangsi, silakan lihat di Google Maps.
Sekalipun letaknya di pelosok, warung Bu Bayinah ini setiap hari selalu ramai pembeli. Dalam sehari, Bu Bayinah bisa menjual ratusan mangkuk es batil. Ya, es batil ini memang memakai mangkuk sebagai tempatnya. Kenapa memakai mangkuk, bukan gelas? Karena es ini berisi banyak irisan batil yang tentunya lebih mudah dinikmati dengan sendok. Karena isinya banyak, es batil ini tidak hanya menyegarkan tenggorokan, tapi juga mengenyangkan perut.
Yang lebih menyenangkan lagi, lokasi warung yang dikelola oleh Bu Ifa (anak Bu Bayinah) ini berada di sekitar sawah, di bawah naungan rumpun bambu yang teduh. Selain menambah kuat suasana pedesaannya, rumpun bambu juga membuat warung ini terasa teduh meskipun di siang bolong, mengingat warung ini hanya mempunyai atap tanpa dinding di sekelilingnya.
Dalam satu mangkuk es batil, terdapat aneka macam makanan yang membuat es batil batil ini mengenyangkan. Isinya mulai dari buah siwalan yang dipotong dadu, kacang hijau, dawet hijau, agar-agar yang diparut, serta tidak lupa batil itu sendiri. Selanjutnya semua makanan ini dicampur dengan gula merah aren cair, santan, serta es batu.
Jika dibandingkan dengan es dawet khas Jepara yang hanya memakai dawet hijau, sirup gula merah, santan, dan es batu, tentu es batil ini lebih bervariasi isinya.
Sayangnya, warung Bu Bayinah ini terletak agak jauh dari jalan raya besar. Berada sekitar 5 km dari Petiyin (pertigaan Desa Drajat arah selatan) dan sekitar 8 km dari Gampang Sejati (pertigaan Desa Blimbing ke arah selatan). Meskipun begitu, saat sudah sampai di warung ini, kita dijamin tidak rugi setelah menikmati es batil.
Tertarik untuk mencoba? Warung yang sudah ada sejak 1990 ini buka setiap hari dari pukul 09.00 sampai 17.00. Tapi saran saya, akan lebih baik apabila Anda datang tidak lebih dari pukul 14.00. Karena, biasanya warung ini telah kehabisan batil saat sudah sore, dan hanya menyisakan es dawet siwalan atau kacang hijau saja.
Sebagai pelengkap es batil, Bu Ifa juga menyediakan gorengan. Jadi, Anda bisa bersantai lebih lama sambil makan gorengan dan menghabiskan semangkuk es batil.
GULA MERAH SIWALAN ASLI, JANGAN ASAL BELI
Aren dan kelapa merupakan dua bahan yang paling banyak digunakan untuk membuat gula merah, Anda tentu sering menemuinya di pasar. Tapi apakah Anda tahu, selain dua bahan tersebut, gula merah dapat juga dibuat dengan bahan lain?
Di Lamongan, Jawa Timur, tepatnya di daerah Paciran, gula merah yang terkenal adalah gula merah siwalan. Siwalan merupakan pohon palm yang mirip dengan aren dan kelapa namun memiliki buah yang berbeda. Buah siwalan berbentuk bulat pipih dengan daging buah yang lembut. Pohon siwalan biasa tumbuh di daerah pesisir yang kering, seperti di daerah pantai utara Lamongan.
Gula merah siwalan terbuat dari sadapan air mayang (nira) pohon siwalan. Dalam bahasa setempat, nira siwalan ini disebut “legen”. Legen segar biasa diminum langsung atau dinikmati dengan tambahan es batu. Rasanya manis menyegarkan.
Akan tetapi, legen cepat sekali basi. Kesegarannya hanya bisa bertahan satu hari. Lebih dari itu, legen mengalami fermentasi, menjadi lebih kecut. Kandungan gula pada legen berubah menjadi cuka dan alkohol. Makin lama terfermentasi, makin tinggi kandungan alkoholnya. Dalam bahasa setempat, legen yang telah basi disebut “tuak”. Karena mengandung banyak alkohol, tuak bisa memabukkan.
Yang dipakai sebagai bahan baku gula merah hanya legen yang masih segar. Jika yang digunakan adalah legen basi, mutu gula yang dihasilkan tidak akan bagus.
Proses pembuatan gula merah siwalan tidak berbeda jauh dari pembuatan gula merah aren maupun gula merah kelapa. Nira siwalan (legen) direbus di dalam panci sampai kental dan warnanya menjadi kecokelatan. Untuk mengukur kekentalannya, biasanya legen direbus hingga volumenya tersisa seperempatnya saja.
Cairan kental ini bisa langsung dijual sebagai sirup gula siwalan. Biasanya dijual dalam kemasan air mineral. Untuk dijadikan sebagai gula merah, cairan kental ini masih harus direbus lagi sambil terus diaduk-aduk sampai menjadi sangat kental. Butuh waktu sekitar satu jam sampai cairan sirup siwalan siap masuk cetakan.
Cetakan yang dipakai bisa terbuat dari bambu, logam, plastik, atau bahan lainnya. Kalau dikehendaki bentuk yang unik, bisa digunakan cetakan agar-agar. Setelah masuk cetakan, cairan gula merah siwalan dibiarkan beberapa jam sampai padat dan bisa dilepas.
Harga gula merah siwalan Rp 20.000 perkilonya, memang sedikit lebih mahal daripada gula merah jenis lain dan juga gula pasir. Namun, untuk rasa, gula merah siwalan lebih harum dan gurih.
Ada baiknya Anda berhati-hati saat membeli gula merah siwalan. Soalnya, tidak jarang pembuat gula merah ini memproduksinya dengan curang, yakni dengan cara menambahkan gula pasir pada saat perebusan. Tujuannya agar diperoleh gula merah yang lebih banyak. Dengan begitu keuntungannya menjadi lebih banyak juga.
Untuk membedakan gula merah siwalan asli dengan yang sudah dicampur gula pasir, tidaklah sulit. Warna cokelat gula merah siwalan asli pada umumnya agak cerah, tidak begitu gelap. Teksturnya juga lebih lembut sehingga mudah rompal di pinggir-pinggirnya, juga mudah dicuil dengan ujung jari. Rasa manisnya tidak begitu kuat tapi harum. Sementara gula campuran sebaliknya, tidak begitu harum tapi rasanya gula pasirnya sangat manis.
Bagi Anda penderita diabetes, gula merah, khususnya gula merah siwalan bisa jadi alternatif untuk mengantikan gula pasir. Anda bisa mencampurkannya bersama teh, kopi, dawet, atau minuman manis lainnya. Selain karena rasa harum-manisnya yang khas, indeks glikemik gula merah adalah 35 (tergolong indeks glikemik rendah), lebih rendah dibanding gula pasir yang memiliki indeks glikemik 58 (tergolong indeks glikemik sedang).
Selain itu, gula merah juga memiliki kadar gula rendah yang berpengaruh pada lambatnya penyerapan glukosa. Logikanya, semakin lambat penyerapan kandungan gulanya, energi yang keluar akan semakin sedikit. Tubuh pun jadi tidak mudah lemas.
Terlebih lagi gula merah memiliki kandungan zat makro dan mikronutrien seperti garam mineral, vitamin B1, B2, B3, B6, B12, dan vitamin C lebih banyak daripada gula pasir.
Gula merah siwalan cocok jadikan sebagai oleh-oleh kalau Anda berwisata ke Wisata Bahari Lamongan (WBL), Mazola, Makam Sunan Drajat, dan sekitarnya. Penjualnya bisa dengan mudah kita temukan di kanan-kiri jalan raya sepanjang Paciran.
Saat membeli, kita mungkin sulit mengecek keaslian gula merah siwalan. Paling-paling kita hanya bisa melihat warnanya dan mencium aromanya. Kalau kita berani mencuilnya lalu merasakannya, bisa-bisa kita didamprat oleh si penjual hehehe…
BU LIK DAN GULA MERAH SIWALANNYA
Di wilayah pesisir Paciran banyak kita jumpai pohon-pohon lontar di sepanjang jalan. Pohon ini sengaja ditanam karena memang memiliki banyak sekali manfaat. Salah satu manfaat pohon yang lebih umum disebut dengan nama siwalan ini, bisa dijadikan sebagai bahan masakan. Salah satunya untuk dijadikan gula merah.
Di Paciran, banyak sekali warga yang berprofesi sebagai pembuat gula merah. Di antaranya adalah Ibu Kumalik berserta suaminya. Semenjak menikah kira-kira 30 tahun lalu, mereka setiap hari bergulat dengan gula merah ini.
Proses pembuatan gula siwalan ini sudah dimulai saat matahari belum terlihat sempurna. Kira-kira pukul enam pagi. Suami Bu Lik bergegas berangkat ke kebun siwalan, yang memang tempatnya lumayan jauh. Kira-kira butuh waktu satu jam untuk sampai di sana dengan berjalan kaki. Suami Bu Lik memang hanya berjalan kaki, selain karena harus membawa gerobak untuk tempat air nira nanti, jalanannya juga hanya berupa jalan tanah.
Kebun siwalan yang luas ini bukan milik suami Bu Lik sendiri, tapi milik tetangganya. Karena itu, lelaki pekerja keras ini tidak menyadap nira siwalan ini dengan cuma-cuma. Setiap seminggu sekali, tepatnya hari Sabtu, suami Bu Lik harus menyetorkan nira yang telah disadapnya kepada pemillik kebun.
Selain menjadi sumber rezeki, pohon-pohon siwalan ini bisa saja membawa celaka jika suami Bu Lik tidak hati-hati saat memanjat. Rata-rata tinggi pohon tanpa dahan ini sekitar 8 meter. Pria yang tak muda lagi ini harus memanjatnya satu per satu tanpa pengaman apa pun. Sedetik saja kosentrasinya hilang, maka tanah merah yang keras di bawahnya sudah menantinya.
Sementara suaminya mengambil nira, Bu Lik menunggu di gubuk sambil menyiapkan kayu bakar dan empat panci yang akan dipakai untuk membuat gula merah. Kayu bakar tersebut dimasukkan ke dalam lubangan tanah yang sengaja dibuat sebagai pengganti tungku.
Sekitar pukul 09.00, suami Bu Lik datang dengan membawa 30 liter air nila siwalan yang dibawanya dalam tiga jeriken. Bu Lik menyisihkan 10 liter untuk dijual dalam bentuk legen saja. Sisanya kemudian diolah dalam empat panci tadi, untuk dijadikan gula merah.
Panas api dan kepulan asap terkadang membuat Bu Lik sesekali memejamkan matanya keperihan. Apalagi ketika nira telah mengental kecokelatan, Bu Lik harus memindahkan nira itu ke dalam kuali tanah untuk direbus lagi sembari diaduk. Kini tangan Bu Lik harus menahan panas sambil terus mengaduk-aduk agar gula merah tidak gosong.
Setelah lebih dari dua jam duduk di depan tungku, saatnya Bu Lik memindah gula merah tersebut ke dalam cetakan. Bu Lik, di usia yang sudah lima puluh tahun lebih ini, harus berkerja cepat. Apabila tidak segera dipindahkan ke cetakan, maka cairan kental tadi akan mengeras di kuali, dan apa yang dilakukan dari pagi akan sia-sia.
Setelah didiamkan beberapa jam, cairan kental nira tadi akan mengeras menjadi gula merah yang siap dilepas dari cetakan dan dijual. Bu Lik menjual gula siwalannya dengan harga Rp 15.000 per kilogram. Jelas ini tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan Bu Lik dan suaminya dari pagi hingga siang, mulai dari mengambil air nira sampai memasak dan mencetaknya.
Sekalipun keuntungannya tidak banyak, Bu Lik tidak pernah tergoda untuk membuat gula merah dengan cara tidak jujur, seperti yang dilakukan sebagian pembuat gula merah. Mereka menambahkan gula pasir saat merebus nira sehingga gula merah yang dihasilkan pun lebih banyak. Ini tentu merugikan pembeli.
Karena banyaknya penjual gula oplosan, Bu Lik menyarankan agar kita berhati-hati membeli gula merah siwalan. Gula oplosan ini sekilas mirip dengan gula siwalan murni, tapi tekstur dan rasanya berbeda.
Gula siwalan oplosan rasanya lebih manis dan mirip dengan rasa gula pasir. Teksturnya sangat keras. Gula siwalan asli rasanya manis cenderung gurih. Teksturnya lebih lembut.
Karena penghasilan sebagai pembuat gula merah tak banyak, wajar jika dari ratusan penyadap air nira di Paciran, tidak lebih dari seperempatnya saja yang membuat gula merah. Namun meski begitu, Bu Lik tidak pernah berpikir untuk berhenti dari pekerjaan yang digelutinya ini. Karena dari sini, Bu Lik memperoleh sesuap nasi untuk keluarganya.
BERBURU IKAN SILI DI NASI BORANAN
Berkunjung ke kota Lamongan tak akan lengkap tanpa berwisata kuliner. Mungkin sebagian besar dari kita hanya tahu soto lamongan dan tahu campur saja. Padahal, sebenarnya ada juga makanan khas lain yang layak dicoba, yaitu nasi dengan bumbu pedas yang biasa disebut “nasi boranan”.
Nasi boranan, atau dalam bahasa jawanya disebut “sego boranan” ini terbilang unik. Makanan ini hanya terdapat di kota Lamongan, tidak ada di tempat lain. Ini berbeda dari soto atau tahu campur yang bisa kita temui dengan mudah di kota lain.
Nama “boranan” berasal dari kata “boran”, yaitu tempat nasi yang berbentuk seperti bakul yang terbuat dari anyaman bambu, tapi dengan ukuran yang lebih besar. Diameternya kira-kira 40 cm. Dan semua penjual nasi boranan pasti memakai ini sebagai tempat nasinya. Maka dari itu, nasi tersebut diberi nama nasi boranan.
Nasi boranan disajikan dengan bumbu pedas sebagai bumbu wajibnya. Bumbu ini terbuat dari berbagai rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, jahe, dan tentu saja cabai.
Nasi dan bumbu pedas ini disajikan dengan urap, empuk, dan rempeyek. Urap merupakan sayuran, biasanya berupa kangkung, kacang panjang, dan rebusan taoge yang dicampur dengan parutan kelapa muda yang sudah dikukus. Sedangkan empuk berbentuk bola-bola kecil yang terbuat dari tepung terigu yang dibumbui dan digoreng.
Nasi boranan ini bisa dinikmati dengan berbagai macam lauk. Seperti jeroan, ikan, ayam, telur dadar, telur asin, atau ikan sili. Lauk terakhir ini merupakan lauk khas andalan nasi boranan.
Ikan yang hidup di pinggiran sungai ini biasanya digoreng kering dan dibumbui sehingga terasa gurih dan lezat. Ikan yang ukurannya kurang lebih sejengkal tangan orang dewasa ini bentuknya mirip dengan belut. Tapi ikan ini memiliki sirip ditubuhnya. Beda dengan belut yang tanpa sirip sama sekali.
Karena merupakan ikan andalan, tidak heran bila ikan sili ini merupakan ikan paling diminati pengemar nasi boranan. Oleh karena itu, kalau Anda berminat mencicipi nasi boranan yang enak plus ikan sili yang gurih, Anda harus datang lebih awal. Jangan sampai Anda kecewa karena ikan silinya ternyata sudah habis.
Penjual nasi boranan ini memiliki jam buka yang berbeda-beda. Ada yang buka pagi sampai siang, siang sampai malam, bahkan ada yang dari pagi sampai malam. Namun, Anda bisa mencarinya kapan saja, karena penjual nasi boranan dapat ditemui setiap hari dengan sangat mudah, apalagi di Lamongan kota. Banyak penjual bisa kita temui seperti di Pasar Lamongan, sekitar plasa, stasiun, atau juga di sebelah selatan kantor bupati. Di sana berjejer para penjual nasi boranan yang bisa kita pilih.
Mereka biasanya berjualan di pinggir jalan, tidak memakai kursi atau meja untuk pembeli, alias lesehan. Uniknya, nasinya tidak ditempatkan di atas piring, melainkan di atas kertas koran yang dilapisi dengan daun pisang atau kertas minyak.
Untuk menikmati satu porsi nasi boranan, Anda hanya perlu membayar Rp 5.000 saja. Tentu saja apabila Anda memakai tambahan lauk, harganya pun bertambah tergantung lauk yang Anda pilih.