GUNUNG RATU, BUKIT TEMPAT LAHIRNYA GAJAH MADA
Siapa yang tak kenal dengan Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit itu? Nama besar yang ia miliki membuatnya dikenang di seluruh penjuru nusantara. Maka jangan heran jika di banyak tempat di Indonesia terdapat dongeng tentang kelahiran patih yang terkenal dengan sumpah palapanya itu. Dongeng-dongeng tersebut tersebar dengan mudah karena belum adanya sejarah yang pasti tentang kelahiran sang patih.
Beberapa tempat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara memiliki dongeng yang berbeda-beda. Ada yang menceritakan Gajah Mada sebenarnya putra kerajaan, ada juga yang berpendapat ia lahir dari orang tua biasa, bahkan versi lain menganggap Gajah Mada terlahir dari batu.
Di pulau Jawa, Lamongan merupakan salah satu kota yang memiliki dongeng tentang Gajah Mada. Di Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang, di atas sebuah bukit bernama Gunung Ratu, ada sebuah makam yang diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai makam Dewi Andong Sari, ibu dari Gajah Mada.
Dewi Andong Sari merupakan salah satu selir raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Ia dibuang dan akan dibunuh karena fitnah yang menyebut ia hamil dari hasil perselingkuhan.
Tak sampai dibunuh, Dewi Andong Sari hanya diasingkan di atas bukit di dalam hutan oleh prajurit kerajaan. Bukit inilah yang sekarang disebut Gunung Ratu.
Tak lama tinggal di sana, Dewi Andong Sari melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat ia hendak turun dari bukit, Dewi Andong Sari menitipkan bayinya pada dua hewan peliharaan yang selama ini menemaninya, seekor kucing bernama condromowo dan seekor garangan (musang) putih.
Dalam dongeng yang tidak bisa diuji kebenarannya ini, Dewi Andong Sari bunuh diri di Gunung Ratu. Ia merasa bersalah telah membunuh kucing condromowo dan musang putih.
Sebelumnya, dua hewan ini telah melawan seekor ular besar yang hendak memangsa bayi Dewi Andong Sari hingga mulut mereka berlumuran darah. Tapi, Dewi Andong Sari yang baru tiba dari mandi, justru mengira peliharaannya tersebut telah memakan si bayi. Padahal bayi tersebut masih hidup dan tersembunyi di balik dedaunan.
Jejaka dari Desa Modo
Ki Gede Sidowayah seorang pamong desa saat itu yang menemukan bayi Dewi Andong Sari. Ia juga yang mengubur jasad wanita cantik itu, juga kucing dan musang yang telah mati.
Bayi Dewi Andong Sari oleh Ki Gede Sidowayah dititipkan kepada adik perempuannya, Janda Wara Wuri di Modo. Di sanalah anak Dewi Andong Sari dijuluki Joko Modo (seorang jejaka yang berasal dari Modo). Ketika menginjak dewasa, Joko Modo dibawa Ki Gede Sidowayah ke Malang untuk menjadi seorang prajurit Majapahit dan nantinya menjadi mahapatih dengan nama Gajah Mada.
Tak hanya versi Lamongan, nama Mada pada Gajah Mada oleh dongeng versi Bali yang tertulis dalam Teks Lontar Babat Gajah Maddha juga berasal dari desa yang bernama Maddha. Namun Desa Maddha yang dimaksud bukan Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, melainkan Desa Maddha yang terletak di dekat Gunung Semeru.
Suasana 17-an
Jalan menuju ke Gunung Ratu sedikit terjal. Untuk sampai ke sana, Anda harus melewati jalan bercadas dan paving sejauh 3 km.
Setelah sampai pun, Anda harus siap menaiki 100-an lebih anak tangga yang menuju ke atas Gunung Ratu. Warga sekitar percaya jika seseorang menghitung anak tangga ini, jumlah yang didapat akan berbeda dengan orang lainnya. Mungkin ini terjadi karena kecenderungan seseorang yang terganggu konsentrasinya ketika menghitung sesuatu secara berulang-ulang.
Percaya atau tidak Anda boleh datang dan mencobanya. Seorang teman saya menghitung 170 anak tangga, sedangkan Pak Sulaiman mengaku pernah menghitung dan mendapati 168.
Setelah dipugar, kompleks makam Dewi Andong Sari terlihat rapi. Banyaknya pepohonan tidak membuat jalan setapak dan dua tempat semacam pendopo kecil untuk beristirahat pengunjung menjadi kotor. Terlihat sekali, kompleks makam yang tidak luas ini dirawat dengan baik. Kuburan kucing conrdomowo dan musang putih yang mencolok di atas tanah tepat di samping jalanan keramik juga terawat.
Suasana Indonesia sangat terasa di sini. Bendera merah-putih dilingkarkan di beberapa batang pohon besar, juga di atap dan dinding pendopo. Di salah satu pendopo juga terpampang dua gambar Bapak Prokamator, Bung Karno, lengkap dengan garuda lambang negara. Bangunan luarnya banyak yang bercat merah dan putih, mirip seperti suasana saat 17-an.
Makam Dewi Andong Sari sendiri terdapat di dalam bangunan sebelah utara menghadap ke selatan. Di dalam bangunan ini, makam Dewi Andong Sari dihiasi dengan payung-payung kuning khas kerajaan. Selain itu, dalam bangunan yang luasnya hanya sekitar 4×4 meter ini juga terdapat 5 batang pohon besar yang menembus hingga ke atas atap. Nampaknya sebelum dipugar, 5 pohon ini sudah berdiri tegak dan memang sengaja tidak ditebang.
Oh iya, di area kompleks makam ini ada peraturan unik. Tamu tidak boleh mengganggu tamu, dan tamu tidak boleh mencari tamu. Anda yang datang dengan niat baik-baik tidak perlu pusing memikirkannya. Karena usut punya usut, dua larangan ini dibuat atas keresahan warga oleh orang yang mengaku ‘dukun’ dan sering mengganggu pengunjung di makam Dewi Andong Sari. Ada-ada saja ya, hehehe…
Rute menuju ke mkam Dewi Andong Sari:
Dari pasar Babat menuju ke arah Jombang sekitar 21 km
Di depan Kantor Koramil Kecamatan Ngimbang ada pertigaan kecil menuju ke arah timur
Makam Dewi Andong Sari berada 3 km sebelah timur pertigaan tersebut.
BORDIR SENDANG INDAH UNTUK PAKAIAN ANDA
“Selamat datang di pusat industri batik dan bordir Lamongan,” begitulah slogan pada sebuah poster besar di sisi jalan sebelum masuk ke pertigaan menuju ke Desa Sendang Agung dan Sendang Duwur, Kecamatan Paciran.
Desa Sendang Duwur memang lebih dikenal sebagai desa tempat disemayamkannya jasad Sunan Sendang Duwur. Namun, sebenarnya bukan cuma itu saja, desa yang terletak di perbukitan ini bersama dengan tetangga desanya, Sendang Agung, terkenal juga akan pruduk hasil kerajinan. Salah satunya yakni kerajinan bordir.
Tidak sulit mencari tempat bordir di kedua desa ini. Tinggal masuk ke dalam desa, Anda akan disapa dengan banyak papan nama yang menawarkan produk bordir terpasang di depan puluhan rumah warga. Anda tinggal pilih saja, mau bordir mesin atau bordir sulam.
Kedua jenis bordir ini memang berbeda, meski prinsip yang digunakan sebenarnya sama, yakni menambahkan hiasan (benang, pita, atau pernak-pernik) di atas kain. Berbeda dengan batikyang polanya menyatu dengan kain, pola hiasan bordir pada baju merupakan hiasan timbul.
Jika Anda pernah datang ke sebuah pesta pernikahan, di sana Anda akan melihat si penerima tamu perempuan memakai baju kebaya. Nah, kebaya merupakan salah satu pakaian yang dihias dengan teknik bordir mesin.
Bordir mesin Sendang memang kebanyakan digunakan untuk menghias kebaya, selain itu juga untuk menghias baju, mukena dan kerudung. Meski prosesnya menggunakan mesin, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembordiran tergolong cukup lama, sekitar satu sampai empat minggu, tergantung jenis pakaian dan tingkat kesulitan motifnya.
Soal pilihan motif, jika anda membeli kain batik, Anda tidak bisa memesan motif kepada perajin. Tapi jika Anda hendak membeli kain bordir, Anda bisa memesan motif sesuai selera. Prinsipnya seperti slogan iklan rokok “tunjukin gaya loe.” Kenapa begitu? Para produsen bordir mesin di Sendang kebanyakan melayani pembelian dengan cara pemesanan. Mereka membebaskan kita memilih motif dan desain untuk pakaian yang kita pesan. Ini sangat cocok bagi Anda yang gemar membuat desain hiasan pada pakaian namun tidak bisa membuatnya sendiri. Tapi jika Anda malah bingung menentukan motif, Anda bisa meminta rekomendasi kepada si produsen.
Proses membordir dengan mesin dimulai dengan menggambar dulu pola pada kain. Kain yang digunakan bermacam-macam, terserah Anda, bisa sutra, bisa katun atau yang lain, namun tetap dengan rekomendasi dari produsen. Setelah pola tergambar, baru kain dibordir. Proses pembordiran ini tidaklah mudah, harus benar-benar teliti. Karena sedikit saja kesalahan dalam menerapkan pola bordirannya, bisa merusak pola dasar. Kehalusan dalam membordir dan tingkat kesulitan motif pun akan menentukan harga.
Para produsen batik bordir Sendang membanderol harga di kisaran Rp 150.000 sampai Rp 750.000 untuk jenis kebaya, baju, dan mukena. Sedangkan untuk kerudung dibanderol sekitar Rp 60.000-an.
Jika Anda lebih suka pakaian dengan hiasan benang disertai dengan pita atau pernak-pernik lainnya, Anda bisa memilih rumah dengan papan nama bertuliskan “bordir sulam” di depannya. Sama seperti bordir mesin, ada puluhan warga Desa Sendang Agung dan Sendang Duwur yang menjadi produsen konveksi bordir sulam.
Bedanya, selain di proses pembordiran, juga pada cara pembelian. Jika bordir mesin umumnya bisa melalui cara pemesanan saja, di rumah-rumah produsen bordir sulam, selain memesan, pembeli juga bisa langsung memilih kerudung, jilbab, baju, dan pakaian lainnya yang sudah jadi. Lebih efektif bagi Anda yang berasal dari jauh dan belum tentu memiliki waktu berkunjung ke sana lagi. Namun biasanya stok yang ada tidaklah banyak, jadi jika membeli langsung, Anda tidak begitu punya banyak pilihan seperti di pasar-pasar.
Proses bordir sulam, seperti namanya, melewati proses penyulaman, yakni merajut benang di atas sebuah kain menggunakan tangan. Meski dengan tangan, lama proses pembuatannya relatif sama dengan proses pembordiran menggunakan mesin, sekitar satu sampai empat minggu, lagi-lagi tergantung tingkat kesulitan dan sedikit banyaknya motif.
Pola yang telah ditentukan mula-mula digambar dulu pada pakaian yang akan disulam. Jika bordir mesin mendahulukan proses membordir dan proses menjahit adalah finishing, lain halnya dengan bordir sulam. Proses pembuatannya yang lebih fleksibel dengan tangan membuat proses penyulaman bisa dilakukan belakangan.
Selain itu, kesalahan yang terjadi saat proses penyulaman tidaklah menjadi masalah. Karena sulaman yang salah bisa dengan mudah dilepas kembali untuk dibenarkan.
Motif yang dipakai dalam rajutan, kebanyakan merupakan pola-pola modern dengan motif simetris dan fleksibel. Motif simetris kebanyakan diterapkan pada baju-baju lelaki, sementara motif yang lebih fleksibel seperti bunga dengan aneka pita dan pernak-pernik diterapkan pada pakaian perempuan.
Untuk urusan harga, bordir mesin dan bordir sulam tidak jauh berbeda. Bordir sulam untuk jenis pakaian harganya berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 700.000. Sedangkan untuk kerudung dan jilbab seharga Rp 50.000-an ke atas.
Tidak jarang pakaian dan kerudung juga memiliki hiasan bordir mesin sekaligus bordir sulam. Lebih bagus atau tidak, tentu Anda sebagai pembeli yang bisa menentukan.
Bagaimana? Anda yang suka dengan pakaian berhias benang, tertarik untuk datang langsung ke Sendang?
Desa Sendang Agung dan Desa Sendang Duwur
Sekitar 2 km sebelah barat WBL, Anda akan menemui pertigaan ke arah selatan.
Dari pertigaan tersebut kira-kira 5 km Anda sampai pada Desa Sendang Agung.
Desa Sendang Agung dan Desa Sendang Duwur bersebelahan. Setelah melewati Desa Sendang Agung, Anda akan menemui Desa Sendang Duwur.
MENELUSURI JEJAK IBU SUNAN GIRI DI LAMONGAN
Berwisata religi bisa dilakukan dengan banyak cara. Mengunjungi makam-makam para pendahulu yang berjasa dalam penyebaran agama Islam, misalnya. Jika selama ini kita sering berziarah ke makam-makam sunan, bagaimana jika sekali-kali kita berziarah ke makam-makam ibu para sunan, orang yang berjasa melahirkan mereka.
Di Lamongan kita bisa melakukan hal ini. Bukan di makam ibu Sunan Drajat, satu-satunya Wali Songo di Lamongan, bukan juga ke makam ibu Sunan Sendang Duwur, melainkan ke makam ibu dari Sunan Giri, sunan yang menyebarkan agama Islam di Gresik.
Loh, bagaimana sunan yang menyiarkan agama Islam di Gresik, makam ibunya bisa berada di Lamongan? Nah, jadi begini ceritanya.
Cerita berawal dari Kerajaan Blambangan di bawah pimpinan Raja Minyak Senguru yang didera sebuah musibah. Putri cantik raja, Dewi Sekardadu, mengidap penyakit ganas yang sukar disembuhkan. Meski imbalannya cukup mengiurkan, yakni kalau lelaki akan dinikahkan dengan putri cantik tersebut, dan apabila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu, namun, tidak ada seorang tabib pun yang bisa mengobati.
Hingga akhirnya datang Maulana Ishaq dari Lempo (Aceh). Sebelum mengobati Dewi Sekardadu, ia memberikan syarat kepada raja. Ia ingin seluruh kerajaan mengikuti agamanya, agama Islam.
Raja yang ingin anaknya sembuh mengiyakan saja. Dewi Sekardadu pun sembuh dan seperti janji raja, Maulana Ishaq menikah dengan putrinya itu.
Dua tahun berselang, Dewi Sekardadu sedang hamil 4 bulan. Saat itu raja ingin mengusir Maulana Ishaq dari kerajaan. Rasa setengah hatinya menjadi muslim menjadi penyebabnya. Merasa tidak bisa melanjutkan siar sebebas dulu lagi, Maulana Ishaq pamit untuk siar agama ke arah timur.
Setelah 19 bulan 9 hari mengandung, Dewi Sekardadu melahirkan seorang bayi lelaki. Usia kandungannya memang tergolong lama. Saat itu di wilayah Blambangan sedang gempar-gemparnya pembunuhan bayi lelaki oleh kerajaan. Ini merupakan muslihat agar tidak ada keturunan dari Maulana Ishaq yang mewarisi tahta kerajaan. Agar tidak dibunuh, Dewi Sekardadu meminta pembantu kerajaan untuk menghanyutkan bayinya ke sungai.
Di Desa Dagang ibu dan anaknya bertemu
Sudah 15 tahun berlalu, Dewi Sekardadu pergi meninggalkan kerajaan untuk mencari Maulana Ishaq dan anaknya. Selain itu, ia juga tidak mau dinikahkan dengan anak Mahapati. Dewi Sekardadu berangkat ditemani dua orang pembantu kerajaan.
Dari sini banyak versi cerita bermunculan. Salah satunya versi yang mengatakan bahwa bayi Dewi Sekardadu tidak dihanyutkan di sungai, tapi dihanyutkan di laut. Lalu ia terdampar di pantai Gresik dan dipungut oleh warga sekitar. Dewi Sekardadu yang pergi mencarinya meninggal, jasadnya terdampar di pantai Buduran, Sidoarjo. Inilah cerita yang meyakinkan banyak orang bahwa jasad Dewi Sekardadu dimakamkan di Sidoarjo.
Sedangkan dalam buku dongeng yang disimpan oleh juru kunci makam Dewi Sekardadu di Lamongan, menceritakan rombongan Dewi Sekardadu berjalan menuju ke Gresik hingga sampai di Desa Dagang dan bertemu dengan anaknya yang sudah beranjak dewasa dan kelak menjadi Sunan Giri itu.
Dari Desa Dagang, rombongan Dewi Sekardadu melanjutkan perjalanan mencari Maulana Ishaq ke arah barat melewati hutan penuh gelagah (saat ini bernama Desa Glagah). Kebetulan hutan tersebut dekat dengan tempat tinggal Mbah Lamong (tokoh yang kelak namanya diabadikan menjadi nama kota ini, Lamongan) Sehingga tempat tinggal Mbah Lamong diberi nama Desa Deket.
Perjalanan dilanjutkan, kali ini rombongan sampai di hutan kelapa yang sangat singit. Singit dalam bahasa jawa artinya keramat (saat ini bernama Desa Keramat).
Keluar dari hutan kelapa, rombongan melewati hutan kembang. Kembang dalam bahasa jawa berarti bunga (saat ini bernama Desa Bunga). Beranjak dari sana, rombongan tersesat. Mereka berputar-putar di suatu tempat dan tak bisa menemukan jalan keluar. Sekarang tempat ini bernama Desa Puter Kembangbahu. Mereka mencoba peruntungan ke arah barat tapi malah mentok (bertemu jalan buntu), dihadang oleh sebuah gunung besar. Tempat mereka mentok ini sekarang bernama Desa Mantup. Merasa bingung, rombongan naik ke atas gunung dan beristirahat.
Cukup beristirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini mereka berhenti di daerah bekas Kerajaan Jonggolok. Dewi Sekardadu yang merupakan putri Kerajaan Blambangan dan seorang yang dermawan, dianggap sebagai orang yang berderajat oleh penduduk sekitar. Daerah ini sekarang bernama Desa Deket Agung, artinya dekat dengan orang yang berderajat.
Dari sana, Dewi Sekardadu dan rombongannya pergi ke arah utara sungai. Di tempat ini Dewi Sekardadu dijuluki Mbok Rondo Gondang. Mbok dalam bahasa jawa biasa digunakan untuk sapaan ibu. Rondo artinya janda, meskipun sebenarnya Dewi Sekardadu memiliki suami, namun karena mereka terpisah, maka orang sekitar tetap menyebut Dewi Sekardadu rondo. Sedangkan gondang artinya terusir, mungkin penduduk sekitar mengira Dewi Sekardadu pergi jauh meninggalkan Kerajaan Blambangan karena diusir. Istilah terakhir ini juga yang diabadikan sebagai nama desa tempat tinggal Dewi Sekardadu ini, yakni Desa Gondang.
Tak lama tinggal di sana, Dewi Sekardadu meninggal. Ia pun dimakamkan.
Tentu, kita tidak bisa menyebut dongeng ini sebagai kisah perjalanan hidup Dewi Sekardadu yang sebenarnya. Namun, jika menilik napak tilas perjalanan Dewi Sekardadu yang didukung dengan diabadikan menjadi nama-nama desa, dongeng ini bisa dijadikan bahan pengkajian.
Di makam Dewi Sekardadu di Lamongan, pada hari-hari biasa terlihat cukup sepi. Jika sedang tidak ada pengunjung, yang menonjol hanya bangunan bercat putih dengan lantai keramik putih. Luas bangunannya sekitar 64 meter persegi, berada di tengah-tengah tanah seluas kira-kira 144 meter persegi yang dikelilingi pagar bata. Makam ini jauh lebih kecil dan lebih sederhana jika dibandingkan dengan makam Dewi Sekardadu di Sidoarjo.
Jika Anda akan berkunjung ke makam Dewi Sekardadu ini, jangan lupa untuk mendatangi dulu juru kuncinya, Pak Yasak. Apalagi jika Anda ingin melihat makamnya secara langsung, hukum bertemu Pak Yasak malah wajib. Bukan apa-apa, tapi makamnya itu dikunci. Lah, Pak Yasak yang pegang kuncinya.
Konon, Dewi Sekardadu dikuburkan bersama dengan gamelannya, dua piring guritan, dan sebuah tombak. Ini merupakan salah satu wasiatnya sebelum meninggal. Wasiat lainnya, ia meminta bagi siapa saja yang ingin berbalas budi terhadap dirinya, cukup menyiratkan tanah di atas makamnya. Jika Anda ingin melakukannya, silahkan saja.
Makam Dewi Sekardadu:
Desa Gondang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan.
Sekitar 1 km sebelah timur Wisata Waduk Gondang, bersebelahan dengan Masjid.
Rumah Pak Yasak:
Sekitar 100 meter sebelah timur makam Dewi Sekardadu, menghadap ke utara.
WBL DAN MAZOLA MINI DI WADUK GONDANG
Berwisata di Kabupaten Lamongan, tidak melulu berkutat di Lamongan bagian utara saja (Kecamatan Paciran dan sekitarnya), meskipun Wisata Bahari Lamongan (WBL) dan Mazola sebagai ikon wisata kabupaten ada di sana. Sekali-kali, cobalah sedikit menengok ke Lamongan bagian barat, lebih spesifik lagi di Kecamatan Sugio. Di sana ada tempat wisata yang cukup tua, yakni wisata Waduk Gondang.
Di Jawa Timur, gondang ialah sebutan untuk hewan air sejenis siput yang biasa hidup di kali. Namun, nama waduk yang dibangun tahun 1972 ini tidak ada hubungannya dengan hewan berlendir dan bercangkang itu. Nama gondang diambil dari nama desa letak waduk ini, yakni di desa Gondang Lor.
Belum juga memasuki pagar gerbang Waduk Gondang, kita sudah dibuat sejuk oleh pepohonan tinggi besar di sekitar jalan. Tidak hanya di luar, di dalam tempat wisata, berbagai pohon memenuhi setiap area. Dari itu, di tempat ini Anda mungkin tidak merasa terlalu panas meskipun siang hari.
Tempat wisata seluas 6,6 hektar ini memperbolehkan Anda membawa masuk kendaraan. Tapi sebelumnya, Anda harus membayar karcis dulu seharga Rp 3.000 per orang. Di dalam, jalan paving dan beraspal sudah menanti. Anda bisa mulai menyusuri dari belokan mana saja dan parkir di mana saja, asal tidak melanggar ketertiban dan mengganggu pengunjung lain.
Saran saya, ada baiknya Anda langsung mengarah ke waduk. Waduk ini berada di sebelah selatan. Sebagian besar arena wisata lainnya juga berada di sekitar sana. Namun jangan sekali-kali mencoba berenang di waduk ini. Meski tepiannya dangkal, di sebagian titik memiliki kedalaman hingga 29 meter. Sangat dalam bahkan untuk menenggelamkan sembilan kali tinggi Sultan Kosen, manusia tertinggi di dunia itu.
Di sini, ada beberapa perahu motor yang bisa disewa untuk mengelilingi waduk. Ongkosnya sekitar Rp 60.000 sekali antar. Satu perahu motor bisa memuat belasan orang. Mirip seperti wahana perahu tradisional di WBL yang digunakan untuk mengelilingi pantai.
Namun, jika Anda hanya sendiri atau berdua, sepeda air bisa menjadi opsi yang lebih baik. Harga sewanya juga lebih murah, hanya sekitar Rp 5.000 saja. Nama yang sama juga dipakai di WBL, hanya saja di WBL sepeda air benar-benar berupa sepeda dengan ban pelampung, sedangkan di Waduk Gondang, sepeda air berbentuk menyerupai bebek.
Sayangnya, di Waduk Gondang, kedua kendaraan air tersebut tidak memberikan baju pelampung atau alat keselamatan lainnya untuk berjaga-jaga jika terjadi kecelakaan. Jadi, jika Anda tidak bisa berenang, ada baiknya Anda tidak terlalu ke tengah waduk saat mengendarai sepeda air. Juga saat naik perahu motor, Anda bisa bilang kepada pengemudinya untuk lewat tepi saja.
Selain menyuguhkan keindahan waduk, di tempat wisata ini juga memiliki kebun binatang mini. Karena mini, tentu koleksi binatangnya tidak sebanyak koleksi binatang di Mazola, jumlahnya hanya belasan jenis. Meski sedikit, jenis hewan di kebun binatang mini Waduk Gondang tergolong hewan yang jarang kita temui di tempat umum, sebut saja buaya air tawar, burung elang, burung merak, rusa, ular sanca bodo, owa-owa, landak, dan orang utan.
Jika Anda lelah, beberapa tempat duduk beratap disediakan untuk tempat Anda beristirahat sambil memandangi waduk. Di area tengah juga terdapat aula terbuka besar, cocok untuk kumpul bersama banyak teman.
Anda lapar dan haus pun tak jadi masalah. Karena banyak penjual makanan dan minuman di wisata Waduk Gondang. Selain semua itu, lapangan sepak bola, lapangan bakset kecil, dan beberapa permainan khusus anak-anak melengkapi fasilitas tempat wisata ini.
Sebenarnya bukan cuma waduknya, tumpahan air waduk yang dialirkan ke kali juga cukup menarik. Untuk sampai ke sana, Anda harus beranjak sedikit jauh dari area beristirahat. Letaknya di sebelah tenggara tugu peresmian waduk ini. Jika Anda beruntung, Anda bisa juga menemui beberapa anak mandi sambil beratraksi di sana.
Waduk yang sebenarnya berfungsi sebagai irigasi tersebut, selain dijadikan sebagai tempat wisata, juga dijadikan sebagai bumi perkemahan. Wah, bukan hanya sebagai tempat hiburan ternyata, wisata ini pun memiliki nilai plus edukatif.
Setelah pulang dari Waduk Gondang, Anda bisa berwisata religi ke makam Mbok Rondo Gondang yang bernama asli Dewi Sekardadu, ibu kandung Sunan Giri.
Bagaimana? Sudah berpikir untuk memasukan Waduk Gondang ke daftar wisata Anda nanti?
Rute menuju Waduk Gondang:
Dari pertigaan Unisda Sukodadi, ke arah selatan sekitar 8 km sampai ujung pertigaan. Dari pertigaan tersebut, ke arah barat sekitar 10 km. Di sepanjang jalan ini, ada perbatasan antara kecamatan Sukodadi dan Kecamatan Sugio. Nanti ada papan petunjuk arah yang mengarahkan ke Waduk Gondang (belok ke selatan). Dari papan petunjuk tersebut sekitar 3 km hingga ujung pertigaan lagi. Lalu belok barat sekitar 1 km.
Akses dari pertigaan Unisda Sukodadi ke Waduk Gondang hanya bisa mengunakan kendaraan pribadi, karena jalur ini tidak dilalui oleh kendaraan umum.
TAMAN TELAGA, SUMBER OKSIGEN DI TENGAH KOTA
Terletak tidak jauh dari pesisir pantai utara pulau jawa, membuat kota ini memiliki cuaca yang cukup panas. Meski begitu, bukan berarti tidak ada lagi tempat yang “adem ayem” untuk disinggahi. Salah satu tempat yang masih menunjukkan dua kata sifat tersebut adalah taman telaga Bandung.
Kita tidak sedang membicarakan telaga yang ada di Kota Kembang Bandung. Karena selain Kota Bandung tidak dekat dengan daerah pantura, kota ini juga tidak panas. Bahkan sebaliknya, ibu kota Jawa Barat ini terkenal memiliki udara yang sangat sejuk.Taman telaga Bandung yang saya maksud adalah taman telaga yang terletak di Jalan Andanwangi RT 01 RW 04, Desa Bandung, salah satu desa di Kota Lamongan.
Keberadaan taman telaga Bandung menjadi sumber oksigen baru di tengah pengapnya Kota Soto ini. Jika membahas sisi telaganya saja, memang tidak ada yang spesial. Hanya dua buah telaga yang tidak terlalu luas, ditumbuhi tumbuhan air, dan dipisahkan oleh sebuah bendungan kecil. Namun, jika kita melihat area sekelilingnya, taman telaga Bandung akan terasa nyaman dan indah dengan adanya bangunan dan tumbuh-tumbuhan yang sengaja didirikan dan ditanam.
Dulu, orang datang ke telaga Bandung hanya untuk mengambil air sebagai kebutuhan sehari-hari saja, atau paling meriah saat desa mengadakan lomba memancing. Sekarang, setelah tahun 2009, telaga Bandung mulai ramai didatangi setelah dibangun pemerintah daerah dan dijadikan sebagai taman terbuka hijau. Tujuannya jelas, untuk menghijaukan Kota Lamongan dan sebagai tempat berekreasi yang murah.
Taman telaga Bandung memang benar-benar taman wisata murah. Anda hanya perlu membayar parkir kendaraan Rp 2.000 saja. Untuk masuk ke dalam taman, tidak perlu membayar alias gratis.
Di taman yang memiliki luas sekitar 900 meter persegi ini, Anda bisa jalan-jalan mengelilingi telaga Bandung dengan menyusuri jalan setapak yang ada. Di kanan kiri jalan juga disediakan setidaknya 17 tempat duduk dan 10 gazebo. Anda bisa duduk santai di sana sambil melihat ke arah telaga. Taman ini benar-benar nyaman, cocok untuk kumpul bersama keluarga atau teman.
Karena memang dibangun untuk “menghijaukan” Lamongan, taman telaga Bandung dibuat indah dan sejuk oleh banyak pohon randu, pohon palem, pohon beringin, dan pohon-pohon lainnya.
Meski tidak begitu luas, taman ini juga menyisipkan fasilitas lain seperti jalan batu untuk pijat kaki refleksi dan arena bermain. Sayangnya, jika Anda ingin buang air, toilet di taman ini tidak bisa digunakan. Jadi, mau tidak mau Anda harus keluar untuk mencari toilet umum.
Fasilitas di taman telaga Bandung memang tidak sebanyak fasilitas di alun-alun Lamongan. Selain itu letak taman ini juga lebih sulit dicari, dan hanya bisa dikunjungi di pukul 07.00-17.30 saja setiap harinya. Berbeda dengan alun-alun yang bisa Anda datangi 24 jam.
Tapi di balik keunggulannya, alun-alun Lamongan tidak memiliki pemandangan telaga yang meski biasa, namun akan tampak indah jika dipadukan dengan tanaman-tanaman hias, buah, dan bunga yang mengelilinginya.
Oh iya, ada larangan memburu hewan di taman telaga Bandung, termasuk ikan di telaga sebelah timur. Namun, Jika Anda gemar sekali memancing, Anda bisa membawa perlengkapan pancing Anda ke telaga sebelah barat. Ikan di telaga ini bebas dipancing karena belum termasuk area taman.
Jika Anda merasa lelah dalam perjalanan di sekitar Kota Lamongan, atau Anda yang butuh refreshing setelah seharian berkerja, taman telaga Bandung juga cocok dijadikan sebagai tempat beristirahat.
Saat ini, pemerintah daerah telah merencanakan untuk memperluas wilayah taman ini, menambah area bermain, dan memberi wahana perahu motor di telaga tempat memancing tadi. Kapan dan bagaimana rupanya nanti? Mungkin tidak akan jadi seperti Wisata Bahari Lamongan (WBL), namun penambahan fasilitas ini tetap layak untuk kita nantikan.
Taman telaga Bandung
Jalan Andanwangi RT 01 TW 04, sebelah selatan Masjid Al- Azhar Lamongan
Desa Bandung, Kabupaten Lamongan.
BABAT SI KOTA TUA
Seandainya predikat Kota Tua di Kabupaten Lamongan harus ada, mungkin Kecamatan Babat yang paling pantas untuk menyandangnya. Di balik hiruk-pikuknya sebagai pusat perdagangan Lamongan, wilayah yang dijuluki sebagai Kota Wingko ini menyimpan banyak cerita masa lampau yang dapat dilihat dari beberapa bangunan tuanya, seperti bangunan CTN, gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung.
Dengan melihat sekilas saja, kita akan tahu bangunan CTN yang terletak di Jalan Raya Babat ini merupakan bangunan yang sudah sangat tua. Dekorasi-dekorasi serta desain kuno terlihat mencolok dari setiap sisi bangunan tersebut.
Tidak ada yang tahu persis kapan bangunan yang merupakan Corps Tjadangan Nasional ini di bangun. Namun mungkin, bangunan yang dulu menjadi tempat asrama tentara ini sudah ada sekitar seabad yang lalu, di zaman Belanda.
Jangan membayangkan bangunan ini besar dan terawat seperti bangunan Lawang Sewu di Semarang, misalnya. Di balik kesamaannya menyimpan banyak cerita mistik, bangunan CTN mempunyai luas jauh lebih sempit yang terbagi menjadi dua area dengan pembatas pagar bambu, yakni area utara dan selatan.
Di area utara, saat ini digunakan sebagai tempat tinggal bagi petugas Koramil yang ditugaskan mengawasi bangunan ini. Selain bangunan tempat tinggal ini, sedikit ke belakang terdapat sebuah gudang yang beberapa bagian atap dan temboknya sudah mulai runtuh.
Menilik ke area selatan, terdapat bangunan yang lebih besar dengan pekarangan yang cukup luas. Sayangnya sejak sekitar tahun 1993, terakhir kali bangunan ini dijadikan sebagai asrama Koramil, bangunan serta pekarangannya tidak lagi terawat. Pekarangan yang dulu bersih, sekarang dipenuhi rumput-rumput liar. Sedang bangunannya sendiri kotor, banyak kotoran ayam di lantai, dan bagian tertentu sudah terlihat mulai runtuh.
Jika Anda mencoba mendekat pada bangunan tersebut, dua patung singa di kanan dan kiri sudah menyambut Anda. Motif dinding dan patung tentara Belanda yang terletak di bagian atas bangunan jelas menunjukkan identitas yang membangun sebelum direbut oleh tentara Jepang dan akhirnya jatuh ke tangan tentara Indonesia.
Sayangnya tiga pintu depan bangunan ini dikunci. Jadi Anda yang penasaran dan berharap bisa masuk ke dalam nampaknya harus gigit jari. Sebagai pengobat kecewa, Anda bisa berfoto di depan bangunan ini. Bangunan tua di zaman modern sangat cocok dijadikan sebagai latar belakang foto Anda.
Konon, gudang di area utara dan bangunan area selatan ini terkenal mistik. Beberapa orang mengaku pernah menejumpai makhluk menyerupai wanita, berjubah putih, berambut putih, dan bermata satu berkeliling di sana. Hmm, jika benar ada, mungkinkah ia arwah Noni Belanda seperti Noni Van Elen, hantu dalam film horor Lawang Sewu?
Sebagai kota kecamatan yang menjadi titik temu empat kabupaten, yakni Lamongan, Bojonegoro, Jombang, dan Tuban, wajar saja bila Kecamatan Babat merupakan kecamatan yang ramai, bukan hanya sekarang namun juga di masa lalu. Dari itu juga jangan heran jika dahulu terdapat sebuah gedung pertunjukan bioskop di kota ini.
Gedung Garuda namanya, terletak hanya 20 meter sebelah utara depan bangunan CTN, gedung ini pun tak kalah tua. Tahun 1986, gedung yang memiliki luas sekitar 500 meter persegi tersebut terakhir kali difungsikan sebagai bioskop. Sayang memang, akibat tidak memiliki peminat lagi bangunan yang bagian bawahnya bercat biru dan telah kusam ini harus kehilangan cerita masa lalunya.
Nampaknya patung garuda besar yang tak kalah kusam dan menempel di dinding bagian atas gedung tersebut tidak lagi menarik perhatian masyakat sekitar untuk datang dan menonton film di sana.
Saat ini, di dalam gedung Garuda sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa kemegahan sebagai satu-satunya gedung bioskop di Kota Babat dahulu. Di bagian depan hanya ada sebuah warung kopi. Sedangkan di dalam yang ada hanya dua arena bulu tangkis dan belasan kursi penonton, sisanya hanya tempat kosong yang lengang. Memang, sejak tidak menjadi gedung pertunjukan bioskop, gedung ini dialihfungsikan sebagai arena bulu tangkis, daripada nganggur.
Beranjak sedikit jauh ke arah tenggara, kita bisa menemui stasiun kereta api Babat. Tentu stasiun ini sudah tidak asing lagi bagi Anda masyarakat Lamongan yang gemar berpergian menggunakan alat transportasi berbadan panjang ini.
Stasiun Babat memiliki enam jalur rel yang masih aktif digunakan saat ini. Namun, jika Anda mencoba menyusuri daerah sekitar stasiun, Anda akan mendapati banyak jalur rel lainnya yang sudah tidak lagi digunakan. Di zaman belanda, jalur-jalur ini digunakan untuk mengangkut hasil bumi. Maklum, di masa itu, alat transportasi jarak jauh yang mudah diakses hanyalah kereta api.
Jika diamati, konstruksi di bagian dalam maupun bagian luar stasiun tidak terlihat ada sisa-sisa bangunan tua, berbeda dengan bangunan CTN dan gedung Garuda, stasiun ini terlihat jauh lebih modern. Apalagi sejak tahun 2002, saat stasiun yang masih menggunakan sistem persinyalan mekanik ini mulai ditangani oleh pemerintah daerah, pemugaran terus dilakukan. Namun, karena hal ini juga, stasiun Babat yang dulu termasuk stasiun kelas A, kini harus turun tingkat menjadi kelas B.
Saat ini stasiun terbesar di Kabupaten Lamongan ini merupakan tempat pemberhentian untuk kereta Kertajaya, KRD Bojonegoro, KRD Babat, Gumarang, dan KRDI AC.
Oh iya, jika Anda datang ke stasiun Babat lewat pertigaan sebelah tenggara pasar Babat, jangan lupakan juga keberadaan rumah panggung di kanan jalan sebelum sampai di stasiun. Unik memang, saat rumah-rumah masa kini menamankan pondasi beton yang kuat dan dalam, serta tembok bata yang megah, rumah panggung yang seluruhnya berjumlah empat ini masih tetap bertahan.
Keberadaan rumah-rumah panggung yang dibangun pada tahun 1918 ini tidak lepas dari keberadaan stasiun Babat. Rumah-rumah panggung ini merupakan rumah dinas bagi pegawai yang bekerja di stasiun. Sebenarnya ada 15 rumah dinas di kompleks ini, namun yang berupa rumah panggung hanya ada empat.
Konstruksi bangunannya: lantai, dinding, pintu, jendela, serta tiang, murni dari kayu jati. Karena tekstur kayu jati yang keras dan kuat, wajar jika rumah ini bisa bertahan hampir seratus tahun. Setiap satu rumah panggung ukurannya sekitar 15×10 meter persegi dengan tinggi 5 meter yang terbagi dalam beberapa petak di dalam rumah.
Untuk mempertahankan kekunoannya, konstruksi rumah panggung ini harus tetap asli. “Tidak boleh dirubah, paling hanya boleh dicat saja,” ujar Pak Sujud, penghuni salah satu rumah panggung.
Kemudahan transportasi di Babat saat ini membuat banyak pegawai stasiun memilih untuk pulang-pergi daripada tinggal di rumah dinas. “Makanya hanya 3 rumah saja (dari 15) yang dipakai dinas. Sisanya ditempati pensiunan,” tambah Pak Sujud yang sebelum pensiun sempat menjadi kepala stasiun pada tahun 1993.
Keempat rumah panggung ini berbentuk sama, persegi empat beratap genting tanah dan memiliki tinggi antara lantai dan tanah sekitar satu meter. Pekarangan untuk rumah-rumah panggung juga lebih luas di bandingkan dengan rumah dinas lainnya. Beberapa pohon yang ditanam di pekarangan juga membuat kesan asri dan kuno masih tetap melekat.
Seperti halnya bangunan CTN, keberadaan gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung sebagai bangunan-bangunan tua juga tidak lepas dari cerita mistik. Benar atau tidaknya saya juga tak tahu pasti. Jika ada dua golongan untuk menyebut orang yang bisa dan tidak bisa melihat hal-hal mistik, mungkin saya termasuk dalam golongan kedua. Bagaimana dengan Anda? Jika Anda termasuk dalam golongan pertama, tertarik untuk membuktikannya?
WARUNG MBAK YATI SURGANYA PENGGEMAR TAHU CAMPUR
Kota Lamongan memang memberikan banyak pilihan kuliner, sebut saja soto Lamongan dan nasi boranan. Kedua makanan tersebut sangat populer di kota ini. Tentu bukan cuma itu, makanan lain yang tak kalah menggoda adalah tahu campur.
Seperti halnya soto Lamongan, tahu campur bisa kita jumpai dengan mudah di kota-kota besar. Namun makan tahu campur di sana jelas berbeda dengan makan di kota asalnya.
Jika Anda sedang melintas di Jalan Raya Surabaya – Lamongan, sempatkan mampir di warung tahu campur Mbak Yati. Warung yang sudah ada sejak sepuluhan tahun yang lalu ini terletak di jajaran warung depan Stadion Surajaya Lamongan, sebelah timur gerbang utama. Warung Mbak Yati berupa dua kios yang dijadikan satu dengan ukuran sekitar 3×6 meter, cukup sempit memang untuk sebuah warung makan. Sebagai tanda, warung ini memiliki papan nama besar di bagian atas.
Selain warung Mbak Yati, banyak penjual tahu campur lainnya di depan stadion dan di sebrang jalan yang dijadikan sebagai rest area. Namun tidak semua bisa menjanjikan Anda tahu campur yang enak.
Tahu campur di warung Mbak Yati dibuat dengan mencampurkan petis udang dan sambal pada sebuah piring. Sekali lagi petis yang digunakan adalah petis udang, bukan petis dari rebusan sari ikan pidang. Maka dari itu, tahu campur memiliki rasa yang gurih, bukan asin.
Sebelumnya, petis udang sudah dimasak dan dicampur dengan gula merah, bawang merah, dan bawang putih yang sudah digiling. Sama seperti petis di tahu campur lainnya, namun yang membedakan adalah kualitas petis udangnya. Mbak Yati mengklaim petis udang yang ia gunakan adalah petis udang yang berkualitas. “Petis yang bagus aroma udangnya terasa dan padat. Kalau encer dan nggak beraroma, itu berarti kurang bagus,” terang mbak yang memiliki nama asli Idayati ini.
Petis udang merupakan bahan pokok dalam tahu campur. Kalau Anda pernah dengar lagu Inul Daratista yang liriknya “dangdut tak goyang, bagai sayur tanpa garam, kurang enak, kurang segar.” Nah, petis yang berkualitas memiliki peran seperti garam dalam lirik lagu tersebut. Kalau petisnya tidak berkualitas, tahu campurnya juga kurang enak dan kurang segar.
Saat petis dan sambal sudah tercampur, kemudian irisan tahu, lontong, perkedel singkong, selada, dan taoge ditambahkan ke dalam piring. Setelah itu baru disiram dengan kuah.
Kuah yang disiramkan merupakan campuran bumbu komplit berupa bawang putih, bawang merah, daun bawang, kemiri, ketumbar, jinten, kunyit, jahe, laos, daun jeruk, dan serai yang telah diblender dan direbus bersama irisan tetelan. Tetelan merupakan bagian otot sapi, teksturnya kenyal mirip seperti kikil namun sedikit berlemak.
Tahu campur Mbak Yati hanya mengunakan tetelan sebagai lauk wajib. Tanpa tambahan lemak dan daging seperti di kebanyakan tahu campur lainnya.
Ketika disajikan, aroma tajam dari asap kuah yang mengepul langsung tercium. Pada sendokan pertama, rasa gurih petis udang dijamin tidak keluar jika belum diaduk terlebih dahulu. Untuk itu, sebelum dimakan tahu campur perlu diaduk hingga warna keruh dari petis udangnya keluar.
Jika Anda belum pernah makan tahu campur sebelumnya, sekilas Anda akan mendapati makanan mirip dengan lontong kikil namun dengan tambahan banyak sayuran. Secara rasa, kedua makanan ini jelas berbeda. Selain karena isian tahu campur lebih komplit, rasa kuahnya juga lebih gurih.
Pembeli di warung Mbak Yati kebanyakan berasal dari luar kota. Jadi jangan heran jika saat hari-hari libur warung ini selalu ramai. Selain tahu campur, warung Mbak Yati juga menjual soto, nasi boranan, dan lontong kikil. “Sebenarnya menu lainnya cuma pelengkap saja,” terang Mbak Yati sambil tersenyum.
Oh iya, jika Anda mendapati warung Mbak Yati ini tutup, tidak perlu khawatir. Anda bisa datang ke PKL di rest area yang sebelah barat. Kebetulan rest area di depan stadion dibagi menjadi dua, yakni sebelah timur dan sebelah barat Patung Bandeng Lele. Warung tenda milik Mbak Yati terletak di ujung paling barat. Warung ini biasanya dikelola oleh suami Mbak Yati, menu yang disajikan juga sama. Meski bukan Mbak Yati sendiri yang menjual, urusan rasa dijamin tetap sama.
Seporsi tahu campur di kedua warung Mbak Yati dibanderol seharga Rp 10.000. Memang sedikit lebih mahal dari tahu campur kebanyakan, namun cukup sebanding jika patokannya urusan lidah.
Menyantap sepiring tahu campur cukup mengenyangkan, cocok untuk sarapan, makan siang atau makan malam. Dari itu, warung Mbak Yati buka dari pagi sampai malam mulai Pukul 07.00 sampai 21.00. Bagaimana? Tertarik mencicipi tahu campur asli Lamongan ini?
PESAWAT DI TENGAH ALUN-ALUN LAMONGAN
Jika Anda sedang berada di Kota Lamongan, sempatkan diri untuk mengunjungi alun-alun. Terletak di Jalan Lamongrejo, Jetis, sekitar 300 meter sebelah selatan pertigaan Dapur Lamongan, alun-alun ini merupakan sebuah public space yang disediakan untuk masyarakat umum. Jadi tidak hanya untuk masyarakat Lamongan, dari mana pun Anda berasal bisa mampir ke sana.
Karena alun-alun dengan luas sekitar 4.900 meter persegi ini dibuka untuk ruang umum, banyak fasilitas disediakan bagi pengunjung. Jika Anda sedang berada di sana, mungkin yang paling menarik perhatian Anda adalah keberadaan sebuah pesawat terbang di dalam alun-alun ini.
Lamongan tidak memiliki lapangan udara layaknya kota-kota besar seperti Surabaya dan Malang. Untuk itu, terlihat aneh memang jika kita bisa menemukan pesawat di bumi Lamongan, di sebuah alun-alun pula. Di badan samping pesawat berwarna abu-abu ini bertuliskan “TNI ANGKATAN LAUT” beserta logonya yang seakan memberi kita informasi pemilik pesawat tesebut. Dari sini timbul sebuah pertanyaan, bagaimana pesawat milik TNI AL ini bisa “nyasar” ke alun-alun Lamongan?
Pesawat terbang yang berjenis Nomad dengan nomor lambung P. 086 N 2255 ini dulunya digunakan untuk patroli udara dan tergabung dalam Sukadron Udara 800 dan bermarkas di Lanudal Juanda Surabaya. Saya katakan “dulunya”, karena sekarang pesawat terbang ini sudah dalam keadaan grounded alias sudah tidak dapat terbang lagi. Jadi jangan heran jika pesawat Nomad di alun-alun ini disangga dengan tiga tiang setinggi 2 meter. Karena di Kota Soto, pesawat Nomad ini diberdirikan sebagai monumen.
Jika dilihat dari bentuknya, pesawat Nomad berbeda dengan pesawat yang biasa digunakan untuk penerbangan komersial. Karena pesawat ini dibuat untuk keperluan tentara, bentuknya lebih kecil, memiliki panjang 12,5 meter, dengan lebar 16,46 meter, dan berat 2.627 kilogram. Lebih kecil daripada pesawat untuk penerbangan komersial yang beratnya bisa berpuluh kali lipat.
Selain dari ukuran dan berat, bentuk pesawat Nomad juga berbeda dengan pesawat untuk penerbangan komersial. Jika pesawat untuk penerbangan komersial yang biasa kita lihat berbentuk besar panjang, dengan puluhan tempat duduk di dalamnya, dan sayap yang menempel di bagian tengah badan pesawat, pesawat Nomad buatan Australia tahun 1974 ini berbentuk ramping, hanya ada dua tempat duduk di depan, dan kedua sayapnya menempel di bagian atas pesawat. Pesawat Nomad memiliki dua baling-baling yang berada di setiap sayapnya. Bagian depanya juga lebih lancip daripada bagian depan pesawat untuk penerbangan komersial.
Meski sudah dalam keadaan grounded, fisik monumen pesawat ini masih terlihat bagus. Dan meski sudah berada di alun-alun sejak tahun 2009, monumen pesawat ini juga terawat dengan baik, terlihat dari bagian-bagian eksteriornya yang masih utuh.
Jika Anda pernah melihat monumen pesawat lainnya di Kabupaten Jombang, tepatnya di Jalan Raya Jombang – Surabaya, di pertigaan terminal, atau juga monumen pesawat di depan museum Kabupaten Probolinggo, Anda akan mendapati banyak kesamaan pada dua monumen pesawat tersebut dengan monumen pesawat di alun-alun Lamongan. Karena semua monumen pesawat ini berjenis sama dan sama-sama berasal dari pemberian TNI Angkatan Laut.
Selain monumen pesawat, di alun-alun Lamongan juga menyediakan fasilitas umum lain seperti Islamic Garden. Tempat ini berada di sebelah selatan dan menempati sekitar seperempat dari luas alun-alun. Dengan berbagai macam tanaman dan pepohonan yang membuat rindang, kita bisa duduk-duduk besantai di sana sambil menikmati pemandangan.
Di dalam area ini juga ada fasilitas lain, yakni jogging track. Sesuai namanya, fasilitas ini berupa lintasan jalan berkeliling islamic garden yang sangat cocok digunakan untuk ber-joging ria sambil melihat sangkar burung dengan berbagai koleksi burung warna-warni. Oh iya, di alun-alun Lamongan juga memiliki koneksi wifi. Buat Anda yang suka browsering di internet bisa membawa laptop atau gadget Anda ke tempat ini.
Anda yang membawa anak kecil, tampaknya harus betah berlama-lama menemani anak Anda. Karena selain fasilitas yang sudah saya sebutkan tadi, alun-alun ini juga memiliki cukup banyak arena bermain. Benar-benar tempat rekreasi gratis dengan banyak fasilitas, bukan?
Meski Anda bisa datang ke alun-alun ini setiap saat, tapi ada baiknya Anda datang di jam-jam sore sampai malam. Karena di jam-jam ini biasanya pengunjung cukup ramai, apalagi di akhir pekan.
KADET SOEWOKO, PAHLAWAN LOKAL YANG MENGINSPIRASI
Di tahun 1948 Agresi Militer Belanda II berlangsung. Kejadian ini dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk tetap menguasai Indonesia dengan tidak mengakui perjanjian Renville. Kita tahu, Yogyakarta – sebagai ibukota saat itu – menjadi kota yang paling gencar diserbu pihak Belanda. Sebagai contoh, saat pasukan Belanda menyerang pangkalan udara Maguwoharjo (lapangan udara Adisucipto). Dalam peristiwa tersebut tercatat 128 tentara Indonesia terenggut nyawanya. Tak hanya Yogyakarta, banyak daerah lain yang juga meninggalkan duka, salah satunya Lamongan.
Lamongan merupakan bagian wilayah pertempuran Brigade Ronggolawe daerah Operasi Timur (DOT) yang dipimpin oleh kapten Soekarsono selaku Komandan Komando Distrik Militer (KDM). Dari sanalah, 28 Maret 1949 malam, terjadi serangan umum ke Kota Lamongan yang melibatkan pasukan Tamtomo. Salah satunya pasukan yang dipimpin oleh Kadet Soewoko yang setelah serangan tersebut ditugaskan di daerah Laren.
Kadet Soewoko memang tak sepopuler Bung Tomo yang merupakan pahlawan Surabaya. Namun keberaniannya dalam melawan pasukan Belanda cukup membuat banyak orang, khususnya masyarakat Lamongan terinspirasi.
Kadet Soewoko bukan asli Lamongan. Ia lahir di Desa Lumbangsari, Krebet, Malang tahun 1928. Ia juga lulus dari sekolah kadet – calon perwira – di kota tersebut.
Tanggal 4 Maret 1949, Kadet Soewoko dan pasukannya tiba di Desa Laren. Setelah lima hari di sana, saat beristirahat di sebuah langgar (surau), mereka mendengar berita dari para penduduk bahwa ada sebuah truk power wagon yang dikendarai oleh tujuh serdadu Belanda terperosok ke dalam parit di jalan dekat Desa Parengan. Desa ini dulu berada di wilayah Kecamatan Sekaran, namun sekarang sudah masuk dalam wilayah Kecamatan Maduran.
Mendengar berita tersebut, Kadet Soewoko berserta pasukannya bersiap untuk melakukan serangan. Sayangnya, mereka yang berjumlah delapan orang harus ditinggal satu. Dan yang ditinggal saat itu adalah Soemarto. Bukan karena apa-apa, ia ditinggal lantaran persediaan senjata saat itu hanya tujuh buah.
Menjelang siang hari itu, Segera pasukan Kadet Soewoko bergegas mendekati parit tempat truk serdadu Belanda terperosok. Karena Desa Parengan dan Desa Laren dipisahkan oleh Bengawan Solo, mereka harus menaiki perahu.
Saat ini, jika Anda sedang berada di Desa Laren dan menuju ke Desa Parengan atau sebaliknya, tentu tidak harus menaiki perahu lagi. Karena sudah ada sebuah jembatan penyeberangan untuk menghubungkan dua desa tersebut.
Dari jarak jauh sebenarnya serdadu Belanda sudah terlihat. Namun untuk mendapatkan jarak tembak yang ideal, mereka sepakat untuk lebih mendekat dan berencana akan menyerang dengan tembakan salvo.
Saat sudah cukup dekat, kira-kira 100 m, Kadet Soewoko dan pasukannya yang berlindung di gundukan tanah bersiap melaksanakan rencana mereka. Namun celakannya, saat itu telah datang truk power wagon serdadu Belanda lain yang akan membantu menarik truk yang terperosok tadi. Maklum, tujuh serdadu Belanda dan beberapa penduduk setempat yang dipaksa untuk menarik truk tidak mampu menarik keluar dari parit. Saat itu bukan tujuh lagi serdadu Belanda yang harus dihadapi oleh pasukan Kadet Soewoko, melainkan berjumlah tiga puluh tujuh orang.
Meski begitu, pasukan Kadet Soewoko tidak berinisiatif untuk mundur. Mereka masih menunggu saat truk yang terperosok ditarik oleh truk lainnya. Dan “Tembak!” Kata yang terlontar dari mulut Kadet Soewoko sebagai aba-aba pasukannya untuk menyerang.
Serdadu Belanda tidak sedikit yang terjungkal terterkena tembakan. Awalnya mereka yang terkejut hanya bisa diam. Namun karena kesigapannya, tak lama setelah itu serdadu Belanda berbalik menyerang. Bahkan mereka berhasil mengepung pasukan Kadet Soewoko dari samping dan belakang.
Hari sudah mulai gelap, jarak sekitar 10 meter ke depan saja sudah tidak terlihat. Karena sudah terdesak dan merasa mundur pun sia-sia, Kadet Soewoko menginstruksikan pasukannya untuk menerobos dan berlari menembus pasukan Belanda. “Terobos, dan lari menuju Desa Gumantuk,” begitu instruksi yang diberikan Kadet Soewoko.
Dua dari mereka berhasil lolos, satu berpura-pura mati, sedangkan Kadet Soewoko sendiri harus terkapar setelah kedua lengannya tertembus peluru serdadu Belanda. Beberapa serdadu mendekatinya dan menanyakan namanya. Anehnya, tidak tahu apa yang ada di pikiran Kadet Soewoko, dia menjawab “Soewignyo.” Soewignyo sendiri sebenarnya nama dari kepala staf KDM.
Tentara Belanda ingin membawa Kadet Soewoko ke markas mereka di Sukodadi. Sokodadi merupakan nama sebuah desa/kecamatan yang terletak di sebelah barat Kota Lamongan. Namun Kadet Soewoko menolak, “Tidak. Saya tidak mau menyerah. Bunuh saya,” begitulah ucapan Kadet Soewoko yang masih diingat oleh Soeyono, prajurit yang berpura-pura mati.
Kadet Soewoko akhirnya ditusuk sangkur di bagaian dada kiri, dan ditembak di pipinya. Ia pun harus gugur bersama tiga prajurit lain.
Kita mungkin sepakat, apa yang dilakukan oleh Kadet Soewoko merupakan sebuah perjuangan yang perlu diabadikan. Untuk itu di Desa Gumantuk, di tempat bersemayamnya jasad Kadet Soewoko dan tiga prajuritnya: Soekaeri, Widodo, dan Lasiban, dibangun sebuah tugu sebagai bentuk berdukanya masyarakat Lamongan. Karena dianggap mati syahid, mereka dikubur dengan pakaian yang mereka pakai, tanpa dimandikan. Tugu ini terletak di perempatan kecil yang menghubungkan Desa Gumantuk dan Desa Kanugrahan dari arah utara dan selatan. Tugu yang terletak sekitar 0,5 km sebelah timur perempatan Desa Dempel, dan 10 km sebelah barat pertigaan Desa Sumberwudi ini berbentuk persegi yang memiliki tinggi kurang lebih 3 meter dan dikelilingi rumput liar.
Di Kota Lamongan, Anda juga bisa melihat patung Kadet Soewoko. Patung setinggi 4 m bercat abu-abu ini memperlihatkan Kadet Soewoko berdiri gagah dengan memegang senjata api. Anda dapat kapan saja datang dan melihat patung ini, karena patung yang terletak di jalan raya Lamongan – Surabaya ini, dapat dilihat dari jalan raya. letaknya sekitar 500 meter dari pertigaan bunderan Lamongan, di sebelah timur jalan. Tepat di sebelah barat patung ini juga ada sebuah jalan kecil bernama Jalan Kadet Soewoko.
Bagi Anda pengemar sepakbola Indonesia, khususnya suporter Persela Lamongan, tentu tidak asing dengan logo bergambar orang memakai blangkon sembari menunjukkan jarinya ke atas. Juga bagi suporter tim Persebaya Surabaya, pasti tahu logo orang dengan ekspresi garang yang menggunakan ikat kepala berwarna hijau. Gambar kedua orang itu terinspirasi dari Kadet Soewoko. Maka tidak berlebihan jika pahlawan lokal yang satu ini sangat menginspirasi.
Bukan itu saja, untuk tetap mengenang perjuangan Kadet yang meninggal di usia 21 tahun tersebut, Pemerintah Kota Lamongan mengadakan acara bertajuk “Napak Tilas Kadet Soewoko.” Acara yang mirip dengan gerak jalan ini diadakan setiap tahun sekali. Pesertanya berasal dari berbagai instansi. Jarak rutenya pun cukup jauh sekitar 25 km. Start dari lokasi tugu Kadet Soewoko dan finish di Makodim 0812 Lamongan.
BATIK TULIS MURAH MADE IN SENDANG DUWUR
Batik tulis memang identik dengan Kota Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Memang bisa dibilang kota tersebut merupakan sentra dari kerajinan yang oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi ini. Namun tidak banyak yang tahu bahwa di Kabupaten Lamongan juga ada industri batik tulis, tepatnya di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran.
Di desa yang menjadi tempat makam Sunan Sendang Duwur ini ada puluhan warga yang menekuni pekerjaan sebagai pembatik tulis, salah satunya adalah Bapak Harsono. Ia menceritakan bahwa batik tulis di Sendang Duwur sudah ada sejak ia lahir, sudah lebih dari 60 tahun yang lalu. Namun beberapa tahun setelah itu industri ini mulai surut dan sempat hilang. Hingga pada tahun 80-an, baru batik tulis sendang mulai dikenal luas hingga saat ini.
Sama seperti batik-batik tulis lainnya, proses pembuatan batik sendang dimulai dari menggambar pola batik di atas kain. Setelah pola diterapkan, baru proses pembatikan menggunakan canting dimulai. Proses ini akan sangat berpengaruh terhadap harga batik. Apabila pola batik rumit dan dibatik dengan halus (baik), harga kain batik bisa mahal. Sebaliknya, apabila polanya sederhana dengan proses pembatikan yang kurang halus (kurang baik), harganya pun otomatis lebih murah.
Batik sendang didominasi oleh warna merah bata dan biru. Untuk urusan motif, batik ini condong pada pola-pola berbentuk bunga dan burung, mirip seperti motif pada batik solo dan batik pekalongan. Menurut Pak Harsono kesamaan pola ini terjadi karena para pengrajin batik sendang memang belum bisa membuat pola secara mandiri. Umumnya pola diambil dari pola lama yang dikembangkan.
Setelah proses pembatikan selesai, kain siap untuk proses pewarnaan. Proses ini bisa berlangsung satu kali dan bisa juga berkali-kali, tergantung berapa warna yang akan diberikan pada batik tersebut. Batik sendang tidak memiliki banyak corak warna. Kebanyakan batik ini hanya memiliki satu atau dua warna saja, seperti industri batik yang dimiliki Bapak Harsono. “Di sini kalau membuat batik paling banyak dua warna,” ujar Bapak yang pernah berkerja sebagai pengrajin emas ini.
Sedikitnya corak warna di batik sendang memang membuat batik ini kurang bervariasi jika dibandingkan dengan batik yogyakarta, batik pekalongan, atau batik solo. Di batik-batik tersebut kita bisa dengan mudah menjumpai 3 atau 4 warna dalam selembar kain batiknya.
Setelah proses perwarnaan selesai, batik dijemur, dilepas malamnya, dan siap untuk dipasarkan. Butuh waktu setidaknya tiga hari untuk proses dari menggambar pola hingga batik sendang siap dijual.
Berbeda dengan corak warnanya yang kurang variatif, harga batik sendang cukup bervariasi, tergantung jenis serta kerumitan dan kehalusan proses membatiknya seperti yang saya sebutkan tadi. Batik yang diproduksi oleh Pak Harsono misalnya, mematok harga antara Rp 125.000 sampai Rp 135.000 untuk jenis selendang, Rp 85.000 sampai Rp 150.000 untuk bahan sarung, dan Rp 100.000 sampai Rp 175.000 untuk bahan baju.
Saat pameran batik di Surabaya tahun 2004, meskipun batik yang Pak Harsono pamerkan tidak mendapatkan penghargaan, namun peminatnya tidak kalah dengan batik-batik yang lebih terkenal. “Saya sendiri nggak nyangka, kalau batik (sendang) ini sangat diminati saat (pameran) itu,” ucapnya sambil tersenyum.
Saat ini pemasaran batik sendang masih sebatas di pasar-pasar di Kabupaten Lamongan. Namun dengan diadakannya pelatihan membatik di Desa Sendang secara rutin, Pak Harsono dan pembatik lainnya berharap batik sendang akan bisa bersaing dengan batik yang sudah terkenal nantinya.
Jika Anda tertarik memiliki batik asli Sendang ini, selain mencarinya di pasar-pasar, Anda juga bisa membeli langsung ke pengrajinnya untuk sekalian melihat proses pembuatan batik ini. Desa Sendang Duwur berada sekitar 4 km sebelah selatan pertigaan Paciran. Pertigaan ini berada 2 km sebelah barat Wisata Bahari Lamongan (WBL).
Saat Anda sedang berziarah ke makam Sunan Sendang Duwur, sepanjang perjalanan Anda akan banyak menemui papan nama tempat produksi batik tulis sendang duwur. Tidak ada salahnya jika Anda mampir dan membeli batik ini sebagai kenang-kenangan.
Oh iya sekadar saran dari saya, jika Anda berniat mencari batik tulis ini langsung ke Desa Sendang Duwur: Saat bertanya kepada orang, Anda jangan lupa untuk mengatakan “batik tulis”, jangan hanya mengatakan “batik” saja. Jika tidak, bisa jadi Anda akan dibawa ke tempat batik bordir yang juga banyak diproduksi di desa ini.