DIREKTORI

BERKAH BLEWAH DAN SEMANGKA DI MUSIM KEMARAU

Buah 5

Di Musim hujan, area yang luasnya membentang di antara Kecamatan Sekaran dan Kecamatan Pucuk, Lamongan ini menjadi rawa. Airnya dialirkan untuk irigasi sawah ke banyak desa. Di musim kemarau, air rawa mengering. Area ini kemudian dimanfaatkan sebagai lahan tanam semangka, melon, dan buah-buahan sejenisnya.

Ada pemandangan unik di sepanjang jalan dari pertigaan Desa Pucuk ke arah utara di antara bulan Agustus sampai November. Di sisi-sisi jalan berjajar belasan tenda-tenda bambu beratap terpal. Tenda-tenda yang luasnya tidak lebih dari 36 m2 ini menampung ratusan buah labu-labuan seperti semangka dan melon. Buah-buah sebanyak itu memang sengaja dipajang untuk dijual kepada orang-orang yang kebetulan lewat dan para tengkulak.

Bedanya dengan buah labu-labuan yang dijual dipasar, buah-buah di sana dijamin masih sangat segar karena diambil langsung dari lahan tanam bekas rawa seluas puluhan hektare yang terletak di sekitar tenda. Lahan-lahan tersebut adalah lahan milik petani yang beberapa di  antaranya merangkap menjadi pedagang di tenda. “Tapi hasil dari lahan milik sendiri umumnya masih kurang untuk dijual. Jadi, kekurangannya kami dapat dengan kulak ke petani lain,” ujar Nur Hasan, salah satu pedagang yang mengaku memiliki lahan seluas 2 ha.

Tenda pinggir jalan 2Lahan milik sendiri tersebut oleh Nur Hasan ditanami semangka, melon, timun mas, dan blewah. Untuk semangka dan melon sendiri ada beberapa jenis yang ditanam, seperti semangka sweet beauty, semangka new dragon, semangka golden crown, melon hijau, melon jingga (Cantaulope), melon apollo, serta melon madu (Honeydew melon).

“Yang paling mahal melon Apollo. Harganya sekitar delapan ribu rupiah per kilogram,” terang lelaki yang berasal dari Desa Latek, Sekaran ini. Melon apollo memang lebih mahal selain karena harga bibitnya yang memang mahal, “Juga karena melon apollo rasanya lebih enak,” tambahnya. Melon apollo merupakan melon hibrida, bentuknya lonjong, kulitnya kuning menyala tanpa jala, dan daging buahnya manis namun tidak berbau harum. Sedangkan untuk buah yang paling murah adalah blewah. Harganya hanya sekitar Rp 2.000 per kilogramnya.

Para pedagang buah dadakan ini umumnya, termasuk Nur Hasan, mulai membuka tenda mereka pukul 7 pagi sampai sekitar pukul 5 sore. Namun beberapa ada yang sampai tengah malam, bahkan ada juga yang tidur di tenda berbantal guling buah-buah bulat tersebut.

Karena berjualan buah ini terbilang profesi musiman, para pedagang umumnya memiliki pekerjaan lain. Pedagang buah hanya menjadi “label” mereka dalam sekitar tiga bulan saja. Nur Hasan yang sudah berdagang buah dalam 10 tahun terakhir ini, sehari-hari menjual aksesori di pasar. Namun saat ini ia harus libur dahulu berdagang di pasar karena harus mengurusi buah-buah miliknya. Menurutnya, secara finansial berdagang buah lebih menguntungkan daripada berdagang aksesori seperti yang ia jalani. “Hasilnya bisa dua kali lebih banyak,” akunya.

LadangBerbeda lagi dengan Kasmiah, salah satu pedagang buah yang lain. Aktivitasnya di luar tiga bulan berdagang buah masih bergelut dengan tanam-menanam. Wanita 50 tahun asal Desa Miru ini adalah seorang petani padi.

Kasmiah juga mendapatkan aneka macam buah labu-labuan yang ia jual dari lahan 2 ha yang ia tanami. Lahan seluas 1 ha miliknya sendiri dan 1 ha sisanya ia sewa. Karena buah yang didapat dari lahan 2 ha itu masih juga kurang untuk dijual, sama seperti Nur Hasan, Kasmiah juga kulak dari petani lain.

Untuk tahu matang atau belumnya buah labu-labuan kadang bukan hal yang mudah buat kita, namun bagi Kasmiah hal tersebut tidak lebih sulit dari menarik hati pembeli. Ada tiga “jurus” indra yang ia pakai. Pertama, dari mencium bau buah. Untuk beberapa jenis buah, bau yang harum merupakan pertanda bahwa buah itu matang sekaligus manis. Namun, ini tidak berlaku untuk melon apollo. Sebab, sekali lagi, meskipun sudah matang, buah ini tidak berbau sama sekali.

Kedua, dari melihat warna kulitnya. Buah yang sudah matang warnanya lebih gelap daripada buah yang masih muda. Ketiga, dengan mendengarkan suara dari buah yang dipukul pelan. Dua cara sebelumnya mungkin bisa kita tiru, tapi untuk yang satu ini nampaknya perlu keahlian dan kejelian telinga khusus. “Antara yang matang dan belum bunyinya nyaris sama, tapi sebenarnya bisa dibedakan,” kata Kasmiah sambil mempraktekkan memukul buah semangka yang menurut pendengarannya sudah matang.

Sebenarnya ada cara yang paling mudah untuk menentukan matang-belumnya buah, yakni dengan langsung dibelah. Anda bisa mempraktikkannya, namun jangan lupa beli buah yang telah Anda belah. Jika tidak, jangan kaget jika semangka ukuran besar tiba-tiba melayang dari pedagang ke arah Anda. :p

Panen 3Tak ada yang mencuri

Sebenarnya waktu tiga bulan berjualan buah bukanlah total waktu mereka bergelut dengan semangka dkk. Sebelum itu mereka menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk menanam hingga memanen buah. Buah labu-labuan memiliki masa panen yang relatif sama, sekitar 70-100 hari sejak pertama kali ditanam.

Selama masa itu, mereka harus menyiram, memupuk dan mengobati buah-buah mereka. “Agar dapat panen maksimal dan tidak terserang penyakit, mau tidak mau ya harus begitu,” tegas Bani, pedagang yang berasal dari Desa Trosono.

Bani  sendiri menanam semangka, melon, dan blewah pada 3 ha lahan miliknya. Lahannya yang terbilang cukup luas, membuat Bani kulak tidak begitu banyak. Selain buah yang ia pajang di tenda, Bani juga menyimpan stok buah di tempat penggilingan padi miliknya. Buah di tenda-tenda millik para pedagang ini tidak setiap malam dijaga. Ada yang selama dua bulan ditinggalkan begitu saja. Hanya ditutup terpal. “Disimpan di tempat penggilingan padi bukan masalah aman, tapi karena di tenda tidak muat. Lagi pula di sini cenderung tidak ada yang mencuri kok,” terangnya.

Buah labu-labuan yang dihasilkan oleh para petani di Kecamatan Sekaran ini tidak semuanya dijual di tenda-tenda. Buah yang dihasilkan dari puluhan hektare lahan tentu terlalu banyak jika hanya dijual di satu tempat. Untuk itu, tidak sedikit buah yang diborong oleh pembeli dari dalam maupun luar Lamongan. “Dulu buah dari sini (Sekaran) saya jual ke Kecamatan Sugio. Kebetulan di sana ada tempat wisata Waduk Gondang, jadi lumayan ramai,” tutur Gianto, pedagang asal Desa Miru yang musim panen tahun ini memilih untuk berjualan di tenda-tenda seperti Nur Hasan dan yang lain. Menurut pengalamannya, berdagang di Sugio dan di Sekaran ternyata hasilnya tidak jauh berbeda. “Sekarang di sini saja, biar lebih dekat juga dengan rumah,” alasannya.

Panen 2Bedanya dengan Nur Hasan, Kasmiah, dan Bani, Gianto tidak memiliki lahan sendiri untuk ditanam. Ia sepenuhnya kulak dari petani langganannya. Setiap stok buahnya habis, ia segera menghubungi petani langganannya itu.

Siklus bergilir

Hasil berjualan buah labu-labuan ini bisa dibilang menguntungkan. Maka jangan heran jika ada pedagang yang berjualan hanya karena kebetulan ingin saja. Sumarlik misalnya, karena warung kopi miliknya berada di antara tenda pedagang buah, ia akhirnya tertarik untuk mencoba berdagang buah juga. Dengan modal uang Rp 4 juta, ia membeli semangka satu mobil bak penuh. “Ini pertama kali, saya masih belajar berdagang buah,” ujar perempuan kelahiran Sumenep, Madura ini.

Sumarlik juga belum tahu apakah tahun depan akan berjualan buah labu-labuan lagi atau tidak. Sebab, menurutnya, berdagang buah ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Daya tahan buah menjadi penyebabnya. Tidak sedikit buah miliknya yang sudah busuk padahal belum banyak yang laku terjual.

Beda lagi cerita Derman, salah satu pedagang yang bisa dibilang paling sering “bergaul” dengan buah labu-labuan. Saat musim buah labu-labuan di Sekaran seperti saat ini, warga desa Trosono ini mendirikan tenda bersama dengan pedagang-pedagang lain. Saat musim tanam telah habis, jika pedagang lain kembali pada aktivitasnya semula, ia tetap setia pada melon dan semangka. Hanya saja ia tidak lagi menjual dengan berdiam diri di tenda, namun menjajahkannya dengan berkeliling ke desa-desa.

“Melon dan semangka itu siklus tanamnya bergilir. Jadi kalau di sini sudah habis masa panen, di daerah lain baru mulai. Setelah ini mungkin di Tuban, di Banyuwangi, dan di Jombang. Nanti saya dikirim dari sana,” terangnya.

Lahan tanam padi juga

Area lahan yang saat ini dipakai untuk menanam buah labu-labuan ini mengalami tiga fase dalam setahun. Fase pertama, di musim hujan sebagai rawa. Fase kedua, di musim kemarau sebagai lahan tanam buah. Fase ketiga, di musim kemarau menginjak musim hujan sebagai lahan sawah yang ditanami padi.

PanenKeadaan tanah setelah kering dari air rawa membuat tanah menjadi gembur dan kaya akan bahan organik, cocok untuk lahan tanam semangka dan saudara-saudaranya yang masuk dalam keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae). Sementara saat masa panen buah labu-labuan selesai, lahan ditanami padi dengan metode tanam yang mirip dengan menanam jagung, yakni dengan membuat lubang-lubang untuk diisi dengan calon batang padi. Dengan metode ini waktu yang dibutuhkan relatif lebih cepat karena tidak perlu membajak tanah. “Bisa mengejar waktu. Agar sebelum lahan menjadi rawa kembali, padi sudah bisa dipanen,” ujar Muchid, salah satu petani yang memiliki lahan di rawa seluas 1 ha.

Di musim tanam buah tahun ini, Muchid memilih untuk menanam semangka dan blewah saja, tanpa melon dan timun mas. Menurutnya, menanam melon membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih karena proses perawatannya lebih rumit. Semangka dan blewah yang ia panen tidak dijual di tenda-tenda, melainkan diborong oleh tengkulak yang berasal dari pelbagai daerah seperti Tuban, Blora, Jombang, dan Kudus.

Musim buah labu-labuan di Sekaran, Lamongan tahun ini mengalami kemunduran waktu. Ini disebabkan musim kemarau yang juga mundur. Jika biasanya pada bulan Juni sudah mulai menanam, tahun ini mundur sampai bulan Agustus. Diperkirakan buah-buah ini akan terus ada sampai akhir November. Bagaimana dengan tahun depan? Maju, tetap, atau mundur? Jangan tanya saya, yang tahu jawabannya mungkin para ahli di Badan Meteorologi dan Geofisika.

ANEKA

SENI TARI “DALAM” BORAN

Latihan 4
Foto-foto: Diambil saat latihan Tari Mendhak

Boran di tangan para penjual nasi tentu akan berfungsi sebagai tempat nasi. Tapi, jika boran-boran itu berada di tangan para pencinta seni tari hasilnya adalah sebuah karya yang unik. Kita bisa melihat hal tersebut pada pertunjukan Tari Boran, tari khas dari Lamongan. 

—-

Delapan wanita berpakaian kembar, kebaya sederhana berwarna merah muda dengan bawahan sarung selutut, melenggak- lenggokkan badannya di atas panggung dengan energik. Rangkaian gerakan nan dinamis, mereka padukan dengan permainan boran yang asyik. Boran merupakan nama tempat nasi mirip bakul, namun memiliki diameter dan ukuran yang lebih kecil. Sesekali boran itu dipakai di kepala laksana topi, sesekali juga mereka lempar ke atas dan dengan tangkas ditangkap kembali.

Sudah sekitar lima menit mereka tampil di hadapan penonton dan juri. Gerakan terakhir yakni melompat-lompat dengan satu kaki dengan ekspresi yang unik meninggalkan panggung. Begitu musik pengiring – gamelan minimalis – selesai ditabuh, menandakan juga berakhirnya penampilan yang seru sekaligus menegangkan itu.

Tak dinyana, penampilan tari kreasi orang Lamongan di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta sebagai perwakilan Jawa Timur dalam Parade Tari Nusantara tahun 2007 ter sebut meraih 8 dari 9 katagori yang dinominasikan. Yang paling mengejutkan, mereka juga meraih juara umum. “Padahal saat itu targetnya masuk 10 besar saja,” kenang Ninin Desinta Yustikasari, salah satu kreator Tari Boran. Kerja kerasnya selama berbulan-bulan bersama dua rekannya, Tri Kristiani dan Purnomo, membuahkan hasil yang manis bukan hanya untuk mereka bertiga dan tim, namun juga untuk Lamongan.

“Salah satu keunggulan Tari Boran yakni gerakannya yang energik. Seperti ciri khas tarian Jawa Timur yang energik dan dinamis,” kata sarjana seni lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo ini. Berbeda dengan ciri khas dan tradisi tarian dari daerah lain di Indonesia, yang meskipun tak kalah indah tapi tidak seenergik dan sedinamik tarian Jawa Timuran.

LatihanKreasi Tri Melati

Seperti namanya, Tari Boran tidak bisa lepas dari aksesori yang dipakai, yakni boran. Sekadar untuk diketahui, boran biasa dipakai sebagai tempat nasi untuk salah satu makanan khas Lamongan, yakni nasi boran. Penjualnya bisa ditemui dengan mudah di jalan-jalan pusat kota dari pagi sampai malam, 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Non stop! 

Keunikan lain dari penjual nasi boran adalah mereka yang selalu bergantian berjualan meski tanpa kesepakatan, tanpa perjanjian shift pagi atau shift malam. Tak jarang juga jarak tempat berjualan mereka hanya beberapa meter saja dari penjual lainnya. Ibarat bekerja di pabrik, mereka seperti rekan, bukan saingan.

“Melihat keunikan para penjual nasi boran itu, sepertinya akan menarik jika diangkat menjadi sebuah ide  tarian. Kemudian (ide tersebut) saya usulkan kepada Bu Kris dan Pak Pur. Mereka setuju. Akhirnya jadilah Tari Boran,” ujar Ninin yang juga berprofesi sebagai guru ini.

Tari Boran ini, masih kata Ninin, awalnya diciptakan untuk mengikuti event Festival Karya Tari Jawa Timur (FKT JATIM) yang mengusung tema akar budaya daerah asal. Untuk mengikuti festival yang diadakan di Malang tersebut, Ninin dan tim harus berangkat dengan mandiri. Segala sesuatunya mereka persiapkan sendiri. Maklum saat itu, tahun 2006, kesenian tari belum dilirik oleh Pemda Lamongan.  

Butuh waktu satu bulan untuk menyiapkan konsep Tari Boran. Tak jarang Ninin, Kris, dan Pur, yang sering dijuluki “Tri Melati” ini berbeda pendapat selama proses tersebut. Namun, perbedaan pendapat justru memunculkan banyak ide untuk dipilih dan dikreasikan.

Ada 6 gerakan inti dalam Tari Boran yang menggambarkan kehidupan penjual nasi boran sehari-hari. Mulai dari berang kat ke pasar, memasak, berangkat menjual nasi boran, proses jual beli, saat-saat dagangan habis, hingga saat para pedagang pulang. Dari keseluruhannya digambarkan secara apik dan menarik oleh  Tri Melati.

Latihan 2Jarang ada sanggar maupun event 

Untuk FKT JATIM tersebut, enam penari diambil dari siswi SMP Negeri 1 Kembangbahu, tempat mengajar Ninin dan Kris. Ditambah Ninin dan Kris sendiri, jadi total ada delapan penari. Dalam ajang tersebut, Tari Boran mendapat 8 dari 9 katagori yang dinominasikan. Juga menjadi juara umum yang membawa mereka ke Parade Tari Nusantara.  

Sementara untuk Parade Tari Nusantara yang sudah menginjak tingkat seniman, komposisi penarinya sudah tidak sepenuhnya sama lagi. Dari delapan penari awal, hanya empat saja yang bisa masuk, dua di antaranya termasuk Ninin dan Kris. “Sisanya tidak masuk karena terganjal usia,” terang Ninin. Jadi, empat penari lain diambil dari seniman-seniman dari berbagai wilayah di Jawa Timur.

Sampai saat ini, Tari Boran sudah mengalami beberapa kali modifikasi, namun dengan inti gerakan yang tetap  sama. Partama, gerakan Tari Boran yang dibawakan di FKT JATIM. Lalu sedikit diubah untuk Parade Tari Nusantara. Modifikasi selanjutnya dilakukan untuk pentas di Istana Negara, saat pesta rakyat Lamongan yang diadakan di Jakarta. Tari Boran juga dimodifikasi saat digunakan sebagai tari pendidikan oleh  Pemda Lamongan.

Itu belum termasuk modifikasi yang harus disesuaikan untuk Tari Boran massal  yang dipentaskan di alun-alun kota Lamongan tahun 2009 dan 2010 dalam rangka hari jadi kota te rsebut. Kini, Tari Boran sudah jarang lagi dipentaskan. Sayang sekali memang, sebuah kesenian yang seharusnya dilestarikan harus “tenggelam” gara-gara terlupakan.

Latihan 6Sanggar Tri Melati

Juara umum yang diperoleh Tari Boran dalam dua event tingkat provinsi dan nasional tersebut menjadikan seni tari mulai diperhatikan oleh Pemda Lamongan, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Ninin juga menuturkan, kemenangan tersebut juga membuat seni tari  mulai banyak diminati generasi muda Lamongan.  

Dulu, selain sulitnya menumbuhkan minat tari, masalah lain untuk memajukan tari di Lamongan adalah tidak adanya wadah bagi para peminat tari. Orang yang sudah berminat pada tari pun akan malas jika tidak ada tempat bernaung. “Ditambah lagi jarangnya event tari di Lamongan,” katanya. 

Dari pengalaman Ninin saat kecil yang sering kesulitan mencari wadah atau komunitas tari di Lamongan, dibentuklah sebuah sanggar bernama Tri Melati. “(Dulu) ada sanggar, tapi tidak lama. Bertahan paling cuma setahun, terus mati. Ada baru lagi, setahun, mati lagi. Begitu seterusnya,” ujar Ninin yang saat kecil harus berganti-ganti sanggar tari karena faktor tersebut.

Sanggar ciptaan tiga kawan yang peduli terhadap seni tari di Lamongan ini dibentuk tahun 2006 dan bersekretariat di Kelurahan Sukomulyo. Meski sekretariatnya di Sukomulyo, kegiatan latihan yang diadakan tiap seminggu sekali berpusat di pendopo Kecamatan Lamongan. Harapannya, dengan diadakan di tengah kota, dapat menarik peminat yang lebih banyak. Saat ini, sanggar Tri Melati memiliki 30-an anak didik, mulai dari kelas TK sampai SMP dan SMA. 

Ninin juga menanggapi kemunculan goyang cesar dan goyang-goyang sejenis yang sedang beken dan sering nongol di tipi akhir-akhir ini. Meski banyak yang bilang tidak mendidik, namun, menurutnya, hal tersebut tidak sepenuhnya buruk. “Pertama, esensi utama seni tari adalah mau menggerakkan tubuh saat mendengar musik. Bisa jadi, yang awalnya suka goyang cesar, lama kelamaan tertarik ke seni tari yang sesungguhnya,” terangnya.

Kedua, selain bisa mengajak bergerak, juga berguna untuk memotifasi daya ingat. Ini kelihatannya sepele, padahal sebetulnya penting  di dunia seni tari. Jika seorang anak kecil menghafal gerakan goyang cesar saja bisa, menghafal gerakan tari juga pasti bisa. Tinggal melihat niat belajarnya saja. Ketiga, dari goyang cesar juga bisa merefleksikan tubuh. Tubuh yang sebelumnya jarang atau tidak pernah bergerak jadi tidak kaku. Hmm, jadi selain tetap “keep smile”, tak ada salahnya juga jika kita ikut bergoyang. 

Di era serba canggih ini, belajar menari juga bisa lebih mudah daripada belasan tahun yang lalu. Ninin memberi contoh, kita bisa belajar dasar-dasar dan pendalaman tari dari sekolah-sekolah seni tari atau mengikuti latihan di sanggar. Sementara untuk pengembangan atau variasi gerakan, kita bisa mendapat banyak referensi dari ratusan, ribuan, atau mungkin jutaan video tari yang diunggah di internet. 

 Latihan 5Tarian lain

Tari Boran hanya salah satu tari kreasi Tri Melati. Selama sepuluh tahun ini, selain Tari Boran ada juga Tari Teropong, Tari Turonggoh Sulah, Tari Caping Ngancak, Tari Silir-silir, Tari Sinau, Tari Mayang Madu, dan beberapa tari lainnya. Totalnya ada belasan. Dari seluruh tari tersebut memang tidak berlebihan jika Pemda Lamongan menjadikan Tari Boran sebagai ikon. Karena selain prestasi yang telah diraih, Tari Boran juga menjadi titik awal mulai berkembangnya seni tari di Lamongan. 

Jika berbicara soal prestasi, tari lainnya juga bukan tanpa prestasi. Tari Caping Ngancak, misalnya, pernah menjuarai Festival  Seni Tari Siswa Tingkat Nasional tahun 2008 yang diadakan di STSI Bandung.

Saat ini, Ninin dan kawan-kawan sedang mempersiapkan Tari Mendak untuk mengikuti Festival Pesisiran yang akan digelar di Tuban, Jawa Timur. Sekadar diketahui saja, mendak merupakan upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang, Ngimbang, Lamongan, setahun sekali.

Ke depan, Ninin berharap akan ada generasi penerus seni tari di Lamongan agar tidak berhenti di dirinya dan kawan-kawan. Selain  penari, ia juga ingin ada penerus yang berkreasi dengan menciptakan tarian-tarian baru nantinya. Agar seni tari tidak “mati suri” seperti Tari Boran. Dibilang mati, tarian ini masih dianggap ikon. Dibilang hidup, sudah tak pernah pentas.

Latihan 3Nonton pentas Tari Boran

Untuk melihat seperti apa pentas Tari Boran, tentu Anda tidak perlu mencari Ninin dan kawan-kawan untuk mempraktikkannya di depan Anda. Dengan sekali klik, Anda bisa menyaksikannya di http://www.youtube.com/watch?v=eYeAZC24_BI : )

SEJARAH

ZIARAH WALI DI MAKAM AYAH SUNAN GIRI

Makam Syekh Maulana IshaqDi pantai utara Lamongan, selain makam Sunan Drajat dan makam Sunan Sendang Duwur, juga terdapat makam yang dipercayai oleh masyarakat sekitar sebagai tempat bersemayamnya jasad Syekh Maulana Ishaq, ayah dari sunan Giri. Mari kita kunjungi.

Sebenarnya tak hanya di Lamongan, makam yang dipercayai sebagai “rumah terakhir” Syekh Maulana Ishaq juga bisa ditemui di banyak tempat. Beberapa di antaranya yakni di Gresik, Situbondo, Klaten, Bantul, Wonosobo, Pemalang, Banyumas, Cirebon, dan lain-lain. Namun, Di Lamongan, selain bisa belajar dari dongeng yang beredar di masyarakat, kita juga disuguhi dengan pemandangan nan elok di mata.

Lokasi makam Syekh Maulana Ishaq ini berada di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren, Kecamatan Paciran. Lokasinya tidak jauh dari makam Sunan Drajat, hanya sekitar 2 km sebelah Timur atau tak lebih dari 10 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Kita akan dibuat “adem panas” sesaat setelah sampai di area makam. Tentu, bukan adem panas dalam arti demam, maksud saya. Namun, adem karena sepoi angin dari laut yang menghampar di depan area makam. Dan panas karena daerah pesisir Lamongan memang memiliki suhu udara yang cukup untuk membuat Anda gerah, terlebih di siang hari.

Menurut legenda yang diceritakan oleh H. Askur, juru kunci makam, Syekh Maulana Ishaq sampai di Pesisir Lamongan setelah diusir dari kerajaan Blambangan. Sebelumnya, seperti cerita pada versi-versi lain, Syekh Maulana Ishaq menikah dengan anak Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, setelah berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja tersebut dari penyakit ganas yang diderita sekian lama.

Akhirnya Syekh Maulana Ishaq pun menikah dengan Dewi Sekardadu seperti yang sudah disayembarakan sang raja sebelumnya: bahwa jika yang dapat menyembuhkan adalah seorang perempuan, maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Sedangkan, jika laki-laki akan dinikahkan dengan putri cantik tesebut. Satu permintaan lain Syekh Maulana Ishaq, yang saat itu disanggupi oleh sang raja, selain hadiah sayembara adalah agar ia diberikan kebebasan untuk siar agama Islam di wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan. Padahal, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang menganut ajaran Hindu.

Makam Syeh Maulana Ishaq 2Dua tahun berselang, saat Dewi Sekardadu sedang hamil muda (mengandung Sunan Giri), sang raja mulai gelisah. Ketidaksepahaman akan agama yang disiarkan menantunya, membuat ia ingkar akan janji yang pernah ia sepakati dulu. Imbasnya, Syekh Maulana Ishaq pun diusir dari kerajaan.

Sebelum pergi, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada istrinya. Jika suatu saat Dewi Sekardadu ingin menemuinya, ia harus berjalan menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Sebab Syekh Maulana Ishaq akan melanjutkan syiarnya di sekitar sana.

“Setelah menempuh perjalanan jauh, Dewi Sekardadu akhirnya bertemu dengan suaminya di desa ini,” tutur H Askur saat bercerita di makam Syekh Maulana Ishaq. Lanjut ia bercerita, setelah kembali berpisah dengan istri untuk melanjutkan syiar agama ke daerah lain, Syekh Maulana Ishaq berpesan kepada dua muridnya. Jika suatu saat ia meninggal dunia, ia ingin dimakamkan di tempat yang sama saat bertemu dengan Dewi Sekardadu dulu, yakni di desa yang saat ini bernama Desa Kemantren. Selain makam Syekh Maulana Ishaq, di tempat yang sama secara berdampingan juga terdapat makam dua murid ayah Sunan Giri tersebut.

Dekat dengan laut

Masjid, Bangunan Makam, TPQ

Tidak ada peninggalan-peninggalan kuno pada makam yang dipugar tahun 2012 ini, kecuali makam itu sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan makam Sunan Drajad dan makam Sunan Sendang Duwur yang identik dengan batu-batu dan kayu bernilai historis tinggi. Bangunan utama makam Syekh Maulana Ishaq hanya berupa bangunan persegi dengan tiang-tiang beton tanpa dinding di tiga sisinya dan beratap genting, dengan alas karpet dan sajadah. Luas bangunan ini sekitar 100 m2. Mirip seperti bangunan sebuah pendopo.

Makam Syekh Maulana Ishaq sendiri ditutup dengan kelambu berwarna putih bersama makam dua muridnya. Untuk dapat melihat lebih dekat tiga makam ini, Anda harus menuruni beberapa anak tangga. Sebab makam-makam ini berada di tempat yang agak menjorok ke bawah. Selain bangunan utama, di area makam juga terdapat sebuah masjid, dan gedung Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) yang bangunannya masih belum rampung.

Terlepas dari dongeng yang ada, area sekitar makam juga memiliki pamandangan yang indah. Terlebih di sebelah utara. Dari makam, Anda hanya perlu berjalan sekitar 100 m melewati jalan yang terbuat dari batu kapur. Dari sana, jika melihat ke arah utara, Anda akan berhadapan langsung dengan laut yang terbentang luas. Sebenarnya dari makam pun laut sudah tampak jelas, sebab jaraknya memang cukup dekat. Sementara jika Anda beralih pandang ke selatan, akan terlihat tiga bangunan besar berdiri berdampingan (masjid, bangunan utama makam, dan gedung TPQ) dengan latar belakang pegunungan di Desa Drajat.

Menengok ke arah timur, Anda akan mendapati perahu-perahu para nelayan yang sedang diparkir. Jika beruntung, Anda bisa juga melihat nelayan menaiki perahu-perahu tersebut berangkat mencari ikan yang – mengutip sajak Zawawi Imron – kepergiannya setiap kali meninggalkan debur gelombang di laut dada isterinya. Jika Anda datang di waktu senja, matahari terbenam di balik rumah-rumah warga yang terletak di pinggir pantai dengan latar depan perahu-perahu nelayan juga sudah menunggu di arah barat. Tentu akan menambah suasana nyaman untuk melepas rasa lelah, bukan?

Apabila Anda ingin dapat suasana ramai di area makam ini, datanglah di akhir pekan – Sabtu dan Minggu. “Di hari-hari masuk kerja, di sini (makam Syekh Maulana Ishaq) relatif sepi. Pengunjung dari luar kota mungkin satu – dua orang saja, sisanya penduduk sekitar,” terang H Askur.

Anda bisa datang ke makam Syekh Maulana Ishaq di Lamongan ini dengan kendaraan umum maupun pribadi. Jika dengan kendaraan pribadi, Anda bisa langsung membawanya masuk ke area parkir. Namun untuk yang membawa mobil atau bus, perlu lebih berhati-hati. Sebab jalan masuk ke makam tidak begitu lebar. Jaraknya kira-kira 6 km sebelah timur WBL. Jika sudah sampai di Desa Kemantren, ada papan petunjuk di depan Jalan Maulana Ishaq, yang mengarahkan Anda ke makam.

Sementara jika naik angkutan umum, Anda bisa minta turun langsung di Jalan Maulana Ishaq, Desa Kemantren. Dari pertigaan desa tersebut, Anda tinggal berjalan 100 m ke arah utara. Seperti di tempat makam di Lamongan lainnya, untuk masuk Anda tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis tis tis!

Perahu-perahu

OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

KRIUK KRIUK, REMPEYEK CINTA RASA


Surya 2

Mbak TriApakah Anda pernah atau bahkan sering dibuat kesal oleh rempeyek yang karena begitu alotnya sampai membuat sakit gigi? Jika iya, setidaknya hal seperti itu tidak perlu terjadi jika rempeyek yang Anda makan buatan Mbak Tri. Selain rasanya yang enak, rempeyeknya juga sangat renyah. Dijamin, sekali gigit langsung”kriuk!!”

 

Rempeyek Cinta Rasa, begitu Mbak Tri menamai produknya. Tak hanya sekadar memberi image bahwa rempeyek buatanya mengutamakan kualitas rasa, tapi juga membuat kita jatuh cinta begitu pertama kali mencobanya. Sama seperti rempeyek-rempeyek lain, bahan dasar yang digunakan Mbak Tri yakni tepung beras, telur, bumbu komplet (bawang putih, ketumbar, kemiri, kencur, kunyit, garam, dan kunir, tanpa bawang merah), dan air kapur sirih. “Itu bae. Tidak ada bumbu-bumbu lain,” jaminnya dengan logat khas Pantura. Sekadar tahu, bae dalam bahasa Indonesia memiliki arti “saja”. Lalu apa yang membuat rempeyek gawean wong Sedayulawas, Brondong, Lamongan ini enak dan sangat renyah? 

Rahasianya, wanita 40 tahun ini membuat rempeyek dengan penuh perhitungan. Semua bahan harus ditimbang sebelum diaduk menjadi satu. Tidak boleh asal-asalan. Kebiasaan ini sudah merupakan kewajiban setiap kali Mbak Tri akan membuat rempeyek. Alasannya simpel, menurutnya, rasa dan renyahnya rempeyek sangat ditentukan oleh komposisi bahan yang digunakan.

Bahan Untuk mendapatkan komposisi yang pas itu, ia banyak belajar dari pamannya yang pernah bekerja kepada pengusaha keturunan Tionghoa sebagai pembuat rempeyek juga. Pertama kali Mbak Tri membuat rempeyek, sang paman yang menjadi supervisornya. Mencicipi rempeyek serta menyarankan bahan yang perlu ditambah atau perlu dikurangi. “Tapi itu sembilan tahun lalu. Sekarang ya sudah tidak lagi, saya sudah hafal,” akunya.

Kacang tanah dan kacang hijau 

Mula-mula ia menimbang semua bahan tadi menggunakan timbangan pasar. Sebagai contoh, untuk 11 kg tepung beras, telurnya harus 1,5 kg, begitu juga bahan yang lain harus menyesuaikan. Setelah semua bahan dicampur, tinggal menambahkan topping saja dan siap untuk digoreng.

Mbak Tri hanya memakai dua jenis topping, yakni kacang tanah – yang sudah dipotong kecil-kecil – dan kacang hijau. Cara memasak keduanya pun sama, dengan meratakan satu irus adonan pada tepi-tepi  wajan yang berisi minyak goreng. Hanya saja, persiapan sebelum menggorengnya yang berbeda. Untuk  kacang tanah, saat dicampurkan dengan adonan, Mbak Tri menambahkan daun bawang agar rasanya lebih enak. Sedangkan kacang hijau, harus direndam semalam dulu supaya tidak alot. Rempeyek kacang hijau tidak menggunakan daun bawang. “Rempeyek kacang hijau rasanya nggak cocok kalau dicampur daun bawang,” ujar Mbak Tri yang mengaku lebih suka rempeyek kacang hijau.

di Dapur Agar rempeyek bisa terbentuk rata (luas dan tipis), saat digoreng ujung bagian atas harus menempel dengan wajan dan tidak boleh terendam dalam minyak goreng. Nanti ketika sedikit kering, adonan ini baru boleh ditenggelamkan. Setelah sekitar 5 menit “menyelam” di dalam wajan, rempeyek siap diangkat dan ditiriskan untuk kemudian dibungkus. 

Mbak Tri juga mengingatkan, jika ingin rempeyek renyah, harus memperhitungkan campuran air kapur sirihnya. Terlalu sedikit air kapur sirih membuat rempeyek jadi alot. Namun jika terlalu banyak juga tidak membuat rempeyek semakin renyah dan enak, tapi justru rasanya jadi pahit. “Pokoknya harus pas!” tegasnya. 

Rempeyek Cinta Rasa ini dikemas dalam dua ukuran, yaitu kemasan besar dan kemasan kecil. Kemasan besar yang berisi rempeyek seberat 450 gram, dijual seharga 12.500 per bungkus untuk topping kacang tanah dan Rp 13.500 untuk topping kacang hijau. Sedangkan kemasan kecil, berisi rempeyek 50 mg, dijual Rp 2.000 saja per bungkus dan berlaku untuk kedua macam topping. 

Rempeyek di WajanTahan 2 bulan

Setiap hari, mulai dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00, Mbak Tri dibantu ibu dan seorang adiknya memproduksi sekitar 40 bungkus rempeyek ukuran besar dan 120-an bungkus rempeyek ukuran kecil di dapur belakang rumahnya. Ia tidak perlu menjajakan rempeyek sebanyak itu ke toko-toko atau ke warung-warung. Sebab pemilik toko dan pemilik warung itu sendiri yang datang mengantre rempeyek buatan Mbak Tri.

Karena kebanyakan pelanggannya adalah tetangga sendiri, rempeyek ini cukup sulit dijumpai di pusat oleh-oleh tempat wisata seperti WBL, Mazola, dan makam Sunan Drajat yang berjarak cukup jauh dari Desa Sedayulawas. Satu-satunya cara paling mudah untuk mendapatkan “Cinta Rasa” adalah dengan langsung datang ke rumah Mbak Tri, di Desa Sedayulawas, Gang Kamboja. Gang ke  rumahnya agak menyempit, masuk belokan pertama arah kanan dari pertigaan gang. Tanyakan saja nama Mbak Tri di sana, pasti semua kenal.

Satu kelemahan rempeyek buatan Mbak Tri adalah warnanya yang tidak begitu menarik. Wajar saja, sebab ia hanya menggunakan kunir sebagai pewarna alami. Jadi warna kuningnya tidak begitu nampak. Jika kita bandingkan dengan warna rempeyek yang memakai pewarna sintetis jelas warna rempeyek Mbak Tri kalah “menggoda”. Tapi bagi Anda yang mementingkan masalah kesehatan, kelemahan ini justru merupakan sebuah kelebihan. Seperti kita tahu, banyak pewarna yang dipakai pada makanan mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya jika dikonsumsi oleh tubuh.

RempeyekSelain gurih dan renyah, rempeyek Cinta Rasa juga tahan lama. “Asal disimpan di tempat yang kedap udara, dua bulan juga masih renyah. Tapi kalau diangin-anginin atau malah dikipasin, sehari saja ya sudah melempem,” canda ibu satu anak ini sambil tertawa.

Tidak hanya enak dijadikan camilan, rempeyek Cinta Rasa juga cocok untuk teman makan. Terlebih jika nasinya nasi jagung. Ah, saya jadi ingin nyanyi:

“PEYEK MBAK TRI… PEYEK MBAK TRI… PEYEK MBAK TRI, NASI JAGUNG…
SAMPAI MATI… SAMPAI MATI… SAMPAI MATI, CINTA RASA TETAP DISANJUNG”

(Maaf bonek, lagunya saya plesetin, hehehe..)

oleh oleh khas lamongan petis ikan OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

PETIS IKAN ASLI, ASIN GURIH BUATAN MBAH KHOT

Surya 2Petis IkanSetidaknya ada dua jenis petis yang banyak beredar di pasaran, petis udang dan petis ikan. Petis udang tentu Anda tidak asing lagi, bukan? Lalu, bagaimana dengan petis ikan? Asing maupun tidak asing, sepertinya Anda tetap layak tahu bagaimana Mbah Khotijah, warga Desa Sedayulawas, Brondong, Lamongan, ini membuatnya.

Setiap malam, sekitar pukul 21.00, di dapur yang terletak tepat di sebelah rumahnya, Mbah Khotijah dengan telaten menata satu demi satu ikan layang – yang sebelumnya telah ia cuci bersih – dalam sebuah panci besar di atas kompor gas. Setelah siap, garam dan air ia tambahkan. Ya, ia akan memindang. Begitu cetek, kompor menyala, ia bisa bersantai sejenak, menunggu hingga ikan-ikannya matang.

Setelah sekitar setengah jam, wanita 70 tahun itu mengangkat pancinya. Memindahkan ikan layang yang sudah matang, memindah sari – air sisa – rebusan tadi pada sebuat wadah, dan menata kembali ikan-ikan layang lain yang sudah antri di belakang. Begitu seterusnya, hingga 50 kiloan ikan layang yang ia dapat tadi siang dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, selesai semua ia pindang.

Seperti kita tahu, memindang merupakan salah satu cara mengawetkan ikan. Dengan dipindang, ikan bisa beberapa hari lebih awet daripada dibiarkan mentah. Memang, pemindangan tidak lebih awet jika dibandingkan dengan pengasinan. Namun kelebihannya, ikan pindang dapat langsung dimakan. Dagingnya lembut dan cita rasanya khas, cenderung asin. Berbeda dari ikan asin yang masih harus dimasak kembali karena tekstur dagingnya yang keras dan mengering.

Bangun pagi-bagi

Setelah semua ikan selesai dipindang, Mbah Khot, sapaan akrab Mbah Khotijah, bisa beristirahat. Tapi tugasnya belum selesai. Besok pukul 02.30, dengan sedikit mengantuk, ia harus merebus kembali sari (sisa air) pemindangan tadi malam untuk dijadikan petis. Mula-mula, air sisa, yang dalam bahasa setempat disebut “kolo iwak” dimasukkan dalam satu panci lalu direbus.

Setelah agak mengental, kolo iwak disaring untuk membuang sisa-sisa ikan yang masih ada. Jika sudah bersih, direbus kembali sambil diaduk hingga kental betul. Sudah sekitar 40 tahun rutinitas ini Mbah Khot jalani. Tanpa pernah mengeluh, ia setia berteman dengan bau amis berbekal keahlian membuat pindang dan petis yang ia peroleh dari tetangganya dulu.

Butuh waktu hampir satu jam mulai dari merebus kolo iwak pertama kali sampai menjadi petis. Itu belum termasuk mengemas petis ke dalam wadah kecil, wadah khusus petis, untuk kemudian dijual. Wadah petis ini mirip seperti wadah obat generik di Pukesmas namun dengan ukuran yang lebih kecil dan berwarna bening. Diameternya kira-kira hanya 4 cm.

Asli seasli-aslinya

Sudah rahasia umum, banyak pembuat petis ikan mencampurkan gula merah dan garam untuk memperkuat rasa dan menambah volume petis. Tak jarang juga yang “mengakali” petis buatan mereka dengan tambahan tepung untuk bisa memproduksi petis dalam jumlah yang lebih banyak. Tanpa memikirkan soal kualitas. Bayangkan saja, bahan satu wadah petis asli bisa dijadikan 3-4 wadah jika dicampur dengan bahan-bahan tersebut.

Di Lamongan sendiri, khususnya di sepanjang garis pantai di Kecamatan Brondong dan Paciran, mencari petis ikan asli sudah sesulit mencari  jarum dalam tumpukan jerami. Dari ratusan petis siap jual, mungkin hanya beberapa saja yang tanpa campuran. Dari puluhan pembuat petis ikan, mungkin bisa dihitung dengan jari yang menjaga petisnya tetap asli seasli-aslinya. Tentu saja, satu di antara jari-jari tersebut adalah Mbah Khotijah.

Cuil sedikit sudah lezat

Buat Anda yang masih awam dengan petis ikan, petis ini memiliki warna, rasa dan tekstur yang berbeda dengan petis udang. Petis udang hitam, gurih, dan lembut. Petis ikan merah kecokelatan mirip warna gula merah, asin, dan lembut, namun tidak selembut petis udang.

Mudah bukan, membedakan petis udang dan petis ikan? Sebaliknya, membedakan petis ikan asli dan petis ikan campuran bukan hal gampang. Sekilas kedua petis ini tak bisa dibedakan dalam hal warna. Namun tentu masih bisa dibedakan dalam beberapa hal lain. Mbah Khot memberikan beberapa tips berikut. Pertama, dari teksturnya. Tekstur petis ikan asli lebih lembut dan tidak lengket. Berbeda dengan petis ikan campuran yang kadang keras dan lengket. “Itu (keras dan lengket) berasal dari tambahan tepung dan gula merah,” terangnya.

Kedua, dari segi rasa. Petis asli rasanya asin tapi tidak begitu kuat. Juga ada kecenderungan gurih serta berbau sedikit amis. Sedangkan petis ikan campuran, rasa asinnya kuat mirip garam, plus bau amisnya sering tidak tercium. Karena perbedaan ini, jangan heran jika petis ikan asli buatan Mbah Khot lebih enak dibanding petis-petis campuran. Juga lebih hemat, cukup cuil sedikit saja, sambal, bumbu rujak, atau bumbu lain sudah terasa begitu lezat.

Pesan dulu

Bukan hanya ikan layang, ikan-ikan laut lain seperti tongkol dan jui bisa juga dibuat petis ikan. “Tapi rasanya tidak akan seenak ikan layang,” ungkap Mbah Khot tanpa menunjukkan alasan. “Pokoknya asin gurihnya itu beda,” tambahnya.

Soal masalah gizi, kita tahu, ikan laut merupakan sumber protein yang tinggi, termasuk ikan layang. Meskipun petis hanya berasal dari air sisa pindangan, protein yang dikandungnya terhitung masih cukup banyak, 2/3 dari protein pindang layang itu sendiri.

Menurut data kandungan gizi bahan pangan dan hasil olahan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Yogyakarta, pindang layang mengandung protein 30 g, kalsium 60 mg, fosfor 200 mg, dan vitamin A sebesar 200 SI. Sedangkan untuk petis ikan kandungan proteinnya tersisa 20 g, kalsium 37 mg, fosfor 36 mg, dan kehilangan seluruh vitamin A karena proses perebusannya yang begitu lama.

Jika Anda tertarik membeli petis asli buatan Mbah Khotijah, Anda bisa datang ke pasar kecil dekat rumah Mbah Khot, di Desa Sedayulawas, Gang Mawar. Setiap pagi, Mbah Khot berjualan ikan pindang di sana. Jika beruntung, Anda bisa langsung mendapatkan petisnya. Tapi jika tidak kebagian, Anda harus memesan terlebih dahulu. Maklum, petis yang Mbah Khot buat tidak banyak, itu juga kadang sudah jadi pesanan orang lain.

Apabila datang siang, Anda bisa langsung memesan ke rumah Mbah Khotijah. Rumahnya terletak sekitar 400 meter ke arah selatan dari pertigaan gang. Berada di samping barat belakang sebuah musala. Rumah Mbah Khot menghadap ke timur.

Kelebihan lain petis Mbah Khot yakni tahan lama. Karena asli tanpa campuran, petis buatannya bisa bertahan hingga satu tahun. Cocok buat Anda yang jarang membuat sambal atau makanan lain yang berbahan petis ikan. Bandingkan dengan petis campuran, yang hanya dalam 5 bulan saja, rasa dan teksturnya sudah berbeda.

Petis Mbah Khot dibanderol seharga Rp 15.000 tiap wadah. Mahal memang jika dibandingkan petis ikan lain – petis campuran – yang harganya cuma sekitar Rp 5.000 per wadah. Tapi ingat! Soal rasa, petis Mbah Khot juaranyanya.

DIREKTORI

SONGKOK MBAK YENNY DARI LAMONGAN

Songkok Sentra industri songkok nasional sebenarnya berada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Daerah seperti Kelurahan Pekauman, Pekelingan, Bedilan, dan Karangpoh,  Kecamatan Gresik menjadi  pusat utamanya. Namun, seperti virus, industri ini kini “menular” ke kabupaten-kabupaten tetangga, salah satunya Kabupaten Lamongan.

Bagi orang muslim, songkok bukan barang asing. Penutup kepala berwarna hitam yang memiliki bentuk oval dengan dua sudut di depan dan di belakang ini biasa dipakai saat salat. Selain itu, songkok juga sering digunakan dalam acara-acara lain, seperti pengajian atau upacara bendera, acara keagamaan, dan lain-lain.

Dulu, di Kota Soto, songkok hanya bisa kita jumpai sebatas penjualnya saja, di pasar tradisional, di butik muslim, dan di sekitar area makam wali (Sunan Drajat). Tapi sekarang, kita juga bisa berjumpa dengan para perajin songkok. Tidak percaya? merapatlah ke Desa Pomahan Janggan, Kecamatan Turi. Banyak warga desa ini, desa kecil yang terletak 7 km sebelah utara pusat Kecamatan Turi hidup akrab dengan songkok.

Keahlian membuat songkok perajin di desa ini di dapat dari Gresik. Mereka awalnya bekerja sebagai buruh di sana. “Namun, karena ada dorongan untuk lebih maju, banyak di antara buruh tersebut memutuskan untuk keluar dan mencoba berbisnis sendiri, termasuk saya,”  ujar Pak Ahmadi, salah satu perajin songkok yang sudah bergelut dengan songkok sejak 23 tahun yang lalu.

Perjalanan Pak Ahmadi, sebagai salah satu perajin songkok di Lamongan tidak bisa dibilang mudah. Lima tahun ia bekerja sekaligus belajar membuat songkok di Gresik. Tahun 2003, karena merasa upah yang didapat tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, ia lantas berhenti. Dari sana, dua bulan ia sempat merantau ke Maluku. Karena tidak berhasil, ia balik pulang kampung.

Di kampung, dalam keadaan menganggur, Pak  Ahmadi mulai tertarik untuk kembali “menggeluti” songkok, tapi dengan cara yang berbeda, tidak lagi sebagai buruh. Bermodal uang pinjaman dari Bank senilai Rp 30 juta, ia menjadi pemasar songkok. Pekerjaan Pak Ahmadi saat itu ialah mencari orderan untuk dibelikan kepada perajin dengan uang muka miliknya sendiri. Jika dalam dunia tiket, ia seperti makelar.

Tempat MenjahitMeski penghasilannya sebagai “makelar” songkok bisa dibilang cukup. Pak Ahmadi tidak lantas puas. Sejak dua tahun yang lalu, ia beralih menjadi perajin. Lagi-lagi, dengan uang pinjaman bank sebesar Rp 100 juta, ia mulai berbelanja segala bahan pembuat songkok, mulai dari beledu – bagian luar songkok yang berbulu halus –, kain, plastik mika, dan lain-lain. Pertama kali, ia membuat 250-an kodi songkok. Satu kodi sama dengan 20 buah, jadi, totalnya sekitar 5.000 buah songkok. Jumlah yang tidak sedikit itu ia bawa keluar kota dan keluar pulau untuk ditawarkan kepada koleganya di sana. Ternyata respons yang didapat positif.

Seperti yang kita tahu, selain songkok yang menggunakan beledu, ada juga songkok yang terbuat dari anyaman bambu, anyaman serat pohon lontar, dan kain. Ketiga songkok ini secara fisik lebih awet daripada songkok beledu, juga lebih tahan jika terkena air. Namun, perajin Lamongan – termasuk Pak Ahmadi – membatasi produksinya hanya pada songkok yang terbuat dari beledu saja.

Permintaan songkok Lamongan tidak bisa dibilang sedikit. Sampai saat ini, songkok buatan Pak Ahmadi, misalnya, tidak pernah sepi. Dalam sehari, rata-rata Pak Ahmadi, dibantu dengan 40 karyawannya, memproduksi 30 kodi songkok. Jumlah pesanan kepadanya bisa mencapai ribuan kodi dalam sebulan. Kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Padang, Jambi, Makassar, dan Kudus, menjadi pasar utama songkok Yanuba dan songkok Arifah, dua merek songkok milik Pak Ahmadi.

Yanuba dan Arifah, dua nama yang dijadikan merek oleh Pak Ahmadi memang mirip dengan nama depan dan nama tengah Mbak Yenny, anak presiden RI keempat, Gus Dur. Pak Ahmadi sendiri mengakui, merek dagang songkoknya diambil dari nama Yenny. Tapi ini bukan plagiat. Usut punya usut, Yenny yang dimaksud bukan Mbak Yenny anak Gus Dur, tapi Yenny anaknya sendiri yang berusia sekitar 5 tahun. “Nama anak saya memang saya samakan dengan nama anak Gus Dur. Panggilannya, nama lengkapnya, sama,” ujar bapak kelahiran tahun 1973 ini sambil tersenyum.

YanubaArifahLukisan tangan paling mahal

Ada banyak model songkok di pasaran. Ada yang polos hitam, ada yang berpita, dibordir, dan lain-lain. Model-model songkok, menurut Pak Ahmadi, memang sangat bervariasi. Ia sendiri memproduksi setidaknya lima jenis songkok. Pertama dan yang paling mahal adalah songkok jenis soga. Songkok ini, beledu bagian sisi pinggir dan atas diberi hiasan lukisan tangan. Karena proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan ketelitian, wajar jika songkok ini dijual dengan harga sekitar Rp 550 ribu per kodi.

Model kedua, songkok klasik. Songkok model ini berhiaskan pita. Harganya sekitar Rp 500 ribu per kodi. Ketiga, songkok bordir. Seperti namanya, songkok ini hiasannya berupa benang yang dipola menggunakan mesin. Harganya berkisar Rp 450 ribu per kodi. Model keempat adalah songkok kharisma. Hiasan songkok ini berupa bunga-bunga kain, harganya dipatok Rp 400 ribuan per kodi.

Sedangkan model terakhir adalah songkok polos, songkok yang sekeliling sisinya hanya beledu tanpa hiasan. Songkok ini dibanderol antara Rp 200 ribu sampai 300 ribu per kodi. Dari kelima model tersebut dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni AC dan biasa. Bedanya terletak pada kedua ujung bagian atas. Songkok AC kedua ujung atasnya selain menggunakan beledu, juga ditambah kain yang berongga. Sedangkan songkok biasa, tertutup beledu semua.

AC dan Biasa, hmmm, mirip bus ya :p.

Jangan sering dicuci!

Sama halnya dengan produk lainnya, songkok pun ada yang berkualitas ada juga yang tidak. Cara membedakannya, selain pada harga, Pak Ahmadi juga memberikan beberapa tips. Pertama, periksa keadaan songkok mulai dari meraba bagian beledunya. Ada banyak jenis beledu. Beledu yang berkualitas memiliki ciri lembut dan tebal. Jika mungkin, bandingkan dengan beledu pada songkok lainnya.

Selanjutnya periksa setiap jahitan pada songkok. Kerapian jahitan dan jenis benang yang dipakai, benang tebal atau benang tipis, perlu diperhatikan. Benang yang tebal cenderung lebih bagus, tidak mudah putus, jadi songkok lebih kuat.

Yang terakhir, periksa bagian dalam songkok. Bagian ini  dapat dilihat jika Anda membuka lipatan bagian atas songkok. Biasanya terbuat dari kertas tebal atau mika agar songkok tidak lemas. Jadi, pilihlah songkok yang memakai kertas dan mika setebal dan sekuat mungkin.

Perlu diperhatikan juga, songkok memiliki ukuran dari 1 sampai 12. Sebelum membeli, ada baiknya dicoba dulu. Jangan sampai Anda menyesal karena kekecilan atau kebesaran saat dipakai nanti.

Untuk perawatannya, jangan terlalu sering mencuci songkok Anda. Meskipun ada beberapa merek songkok yang diklaim tahan air, ada baiknya Anda tetap berhati-hati karena beledu mudah rusak. Jika sering dicuci, bulu halusnya akan mudah lepas, juga warnanya akan pudar kemerahan.

Saat meletakkan songkok juga perhatikan lingkar atas dan bawah. Lingkar bawah songkok cenderung lebih kuat. Jadi saat dibenturkan ke meja atau tempat keras lain, songkok lebih tahan. Sebaliknya, lingkar atas lebih ringkih, mudah berubah bentuk jika terlalu sering dibenturkan.

Sekarang, coba ambil dan lihat songkok Anda, apakah di dalamnya tertulis “Yanuba” atau “Arifah”? Jika iya, wah, songkok Anda ternyata buatan ayahnya Mbak Yenny, Gus Di, Gus Ahmadi, hehehe..

MEGILAN

“LEMBU PETROLEUM GAS” YANG RAMAH LINGKUNGAN

  Sapi_

Memasak dengan kayu bakar dan minyak tanah itu kuno. Memasak dengan elpiji, sudah biasa. Memasak dengan kotoran sapi, baru luar biasa. Dan itulah yang dilakukan oleh warga Desa Kedungbembem, Mantup, Lamongan.

Selama bertahun-tahun, warga Kedungbembem harus menghadapi masalah tahi sapi yang tak berkesudahan. Harap maklum, hampir semua warga di desa ini memelihara sapi. Ada yang memelihara sapi milik sendiri, ada juga yang memelihara sapi milik warga lain dengan sistem bagi hasil.

Satu keluarga bisa memelihara 2-5 ekor sapi. Hingga akhir 2012 kemarin, sapi di desa yang terbagi atas lima dusun ini berjumlah 857 ekor. Bisa dibayangkan, jika dalam satu hari, seekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 10 kg saja, maka 857 ekor sapi akan menghasilkan lebih dari 8 ton kotoran sapi! Itu baru sehari, bagaimana jika sebulan, bahkan bertahun-tahun?

Memang, kotoran ini bisa saja dimanfaatkan sebagai pupuk di sawah. Namun kotoran sebanyak itu tentu berlebih. Jika dibuat pupuk semua, bisa-bisa sawah mereka akan menjadi “lautan” kotoran sapi. Lagi pula, kotoran yang masih baru tidak optimal untuk tanaman. Sifata panas yang masih dikandungnya justru bisa merusak.Digester_1

Berangkat dari keresahan itu, Pak Edi Purwanto, perwakilan dari UPKu (Unit Pengelola Keuangan dan usaha) Kedungbembem, dengan bantuan Bapemas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) Lamongan, mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah pusat agar dibangun instalasi biogas di desa tersebut. Tak disangka, Kedungbembem bersama 19 desa lain dari berbagai daerah di Indonesia terpilih untuk mengembangkan biogas. Pada 27 Desember 2012, desa ini resmi memiliki 10 unit digester – alat pengolah kotoran menjadi biogas – berbahan fiber dengan ukuran 4 dan 5 kubik.  Seluruhnya disebar di lima dusun. Satu dusun dipasang dua digester.

Kehadiran unit biogas terbukti sangat bermanfaat mengurangi masalah kotoran yang oleh penduduk setempat disebut “telethong” ini. Setelah menjalani proses fermentasi di dalam digester, limbah sapi menghasilkan gas metana yang bisa digunakan sebagai pengganti elpiji. Bagi warga desa, digester biogas ini barangkali mirip sebuah atraksi sulap. Telethong kok bisa nyala? Tahi sapi kok bisa jadi api?

Biogas ini memang belum bisa sepenuhnya menggantikan gas elpiji, namun keberadaannya cukup memangkas pengeluaran. Jika dulu satu tabung elpiji habis untuk dua minggu, “Sekarang bisa lebih,” terang Bu Asmi, salah satu warga yang memanfaatkan biogas untuk memasak dan membuat kue untuk dijual. Dengan begitu, laba Bu Asmi dari kue yang ia buat juga lebih banyak. Sebab hasil penjualan tidak lagi dipangkas biaya elpiji. Apalagi harga elpiji di Kedungbembem cukup mahal, Rp 18.000 untuk tabung ukuran 3 kg karena mahalnya ongkos transportasi ke desa yang berada di tengah hutan ini.

Secara terus-menerus, “gas kentut sapi” dari digester berukuran 4 kubik dapat digunakan selama lima jam. Setelah itu, perlu waktu kembali untuk mengolah kotoran menjadi gas metana. Api yang dihasilkan juga sangat bagus, berwarna biru, tidak kalah dengan api dari kompor elpiji. Yang paling penting, bau kotoran sapi juga akan hilang begitu disulut api.

Biogas juga tidak memiliki potensi menimbulkan ledakan, jauh lebih aman daripada elpiji. Tak hanya itu, limbah akhir sisa pengolahan digester pun bisa digunakan sebagai pupuk organik dengan kualitas yang lebih bagus, sebab sifat panas kotoran sapi telah hilang selama proses fermentasi.

100_9795 copyIni hanya sebagian dari banyaknya manfaat unit biogas. Sebetulnya masih ada manfaat lain yang tak kalah penting dan mungkin tidak disadari oleh para warga Kedungbembem, yaitu menyelamatkan lingkungan. Menurut para ahli, kotoran sapi adalah salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, terutama metana.

Daripada karbon dioksida, efek pemanasan bumi akibat metana 72 kali lebih kuat. Dengan teknologi biogas sederhana ini, efek buruk kotoran sapi bukan hanya bisa diminimalkan, tapi bisa diubah menjadi energi terbarukan. Energi ini bisa mengurangi penggunaan energi tak terbarukan seperti liquefied petroleum gas (LPG) maupun bahan bakar tak ramah lingkungan seperti kayu bakar yang masih lazim digunakan di pedesaan.

Belajar dari Kegagalan

Sebelum Kedungbembem, dua desa lain di Lamongan, yakni Desa Tenggulun dan Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, sudah terlebih dahulu mengembangkan biogas. Tapi unit pengolahan biogas di dua desa itu mengalami kendala seperti yang banyak terjadi di tempat lain, yaitu digester yang tidak berfungsi.

Tahun 2008, Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun mendapat bantuan dari Pemkab Lamongan untuk membangun sebuah unit digester. Digester ini berbeda dengan digester yang ada di Desa Kedungbembem. Di desa asal Amrozi, pelaku aksi bom Bali 1, ini digester dibuat dari batu-bata dan semen.

Pengolahan biogas ini sempat berjalan 3 tahun dengan kotoran 10 ekor sapi yang sengaja dibeli untuk pengembangan biogas. Hanya saja setelah itu, digester bocor. Padahal untuk dapat mengubah kotoran sapi menjadi gas metana, digester harus kedap udara. Alhasil, pengolahan biogas pun berhenti.

Hal yang hampir sama terjadi di tetangga desanya, Payaman. Kelompok tani yang memiliki 16 ekor sapi mendapat bantuan dari sumber yang sama, berupa dua digester. Satu digester kini sudah tidak berfungsi. Penyebabnya sama, yaitu kebocoran pada dinding semen. Untung saja, satu digester lain terbuat dari bahan fiber sehingga lebih tahan lama.

100_9780 copyPak Habib Soleh, warga Payaman yang sampai kini masih menggunakan biogas, mengaku sangat terbantu dengan adanya instalasi ini. Jika dulu kotoran sapinya dibuang di penampungan, “Sekarang saya lebih senang membuangnya ke digester, lebih berguna,” akunya.

Sama seperti di Kedungbembem, di Payaman pun warga yang memakai biogas memang belum bisa seratus persen meninggalkan elpiji. Tapi bagaimanapun keberadaan kompor “spiritus sapi” ini tetap bisa memberi dua manfaat sekaligus: hemat dan ramah lingkungan. Paling tidak, kompor limbah sapi bisa berdampingan dengan kompor elpiji. Mirip semboyan sebuah iklan pasta gigi, “Yang terbaik adalah perpaduan kebaikan alami dan kekuatan ilmiah.”

Kegagalan progam di Solokuro dan kesuksesan progam serupa di Mantup adalah pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin mengembangkan progam biogas rumahan. Negara kita sangat kaya sumber biogas. Tapi sumber energi ramah lingkungan ini biasanya justru menjadi masalah lingkungan. Dengan teknologi sederhana seperti yang diterapkan di Kedungbembem, warga desa bisa mengubah masalah tak berkesudahan itu menjadi energi tak terhabiskan. Pak Habib Soleh, Bu Asmi, dan warga Desa Kedungbembem lainnya sudah membuktikannya.

DIREKTORI

Memasyarakatkan Jamu Ala Desa Pajangan Sukodadi

Ilustrasi: dok. pribadi
Ilustrasi: dok. pribadi

Mungkin tak banyak kampung di Indonesia yang dihuni penjual jamu gendong sebanyak Desa Pajangan, Sukodadi, Lamongan. Bayangkan saja, sekitar separuh dari total keluarga di desa ini berprofesi sebagai penjual jamu gendong. Jumlah tersebut tidak seberapa jika dibandingkan beberapa tahun lalu yang mencapai lebih dari dua per tiga total keluarga. Mereka semua berkeliling menjajakan jamu di desa-desa lain di wilayah Lamongan.

Desa Pajangan memang sentra jamu di Lamongan. Tidak ada yang tahu pasti kapan warga di desa ini pertama kali membuat jamu. Satu yang pasti, tradisi ini sudah turun-temurun lebih dari setengah abad yang lalu. “Sejak saya belum lahir. Zaman nenek-kakek, jamu sudah dibuat di sini,” kata H. Sulianto, agen jamu di Desa Pajangan. Sulianto bahkan ingat, di tahun 1970-an, desanya pernah masuk tipi di sebuah acara di TVRI, satu-satunya stasiun televisi nasional saat itu, gara-gara jamu.

Di tengah gempuran obat-obat kimia sintetis, keberadaan kampung jamu gendong di Lamongan merupakan sebuah fakta menarik. Desa ini barangkali bisa dijadikan contoh bagi kita semua yang ingin melestarikan kekayaan Tanah Air ini. Tak diragukan lagi, jamu adalah kekayaan Indonesia yang harus dipelihara dan dilestarikan, apalagi sekarang eksistensi obat tradisional ini digempur habis-habisan oleh obat kimia sintetis.

Kita punya banyak alasan kenapa harus melestarikan jamu.

Alasan pertama dan utama, jamu adalah produk lokal. Mungkin tidak semua dari kita menyadari bahwa tiap kali minum obat kimia sintetis, kita secara tidak langsung telah mengurangi devisa negara! Pasalnya, seperti yang dilaporkan di situs Ikatan Apoteker Indonesia, 95% bahan baku obat saat ini masih diimpor. Artinya, setiap butir tablet dan setiap sendok sirup yang kita minum itu kita beli dengan devisa.

Ini berbeda dengan bahan baku jamu yang sebagian besar adalah produk lokal. Kunyit, jahe, temu ireng, temulawak, bangle, asam jawa, cabe jawa, brotowali, lempuyang, kencur, lengkuas, kayumanis, kumis kucing, dan sebagainya adalah produk pertanian yang seratus persen dihasilkan dari bumi Indonesia. Dengan kata lain, ketika kita minum jamu, secara tidak langsung kita telah ikut meningkatkan kesejahteraan para petani lokal.

Volume impor bahan baku obat kimia sintetis tidak tanggung-tanggung. Menurut laporan situs Kementerian Perindustrian Indonesia, selama tahun 2012 saja, nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11.400.000.000.000! Wow. Sengaja saya tulis semua angka nolnya agar kita semua bisa membayangkan betapa banyaknya devisa negara yang kita belanjakan untuk membeli bahan baku obat dari luar negeri. Angka ini naik 8,5 persen dari tahun sebelumnya. Dan bukan tidak mungkin akan terus naik di tahun berikutnya jika kita masih acuh tak acuh terhadap jamu yang notabene 100% produk dalam negeri.

Ini alasan pertama. Alasan kedua, jamu juga sudah terbukti secara empiris dan turun-temurun aman dan berkhasiat menjaga kesehatan dengan biaya murah. Buktinya sudah sangat banyak. Kumis kucing, bawang putih, seledri, dan belimbing wuluh sudah secara luas digunakan orang-orang tua kita untuk mengatasi darah tinggi, jauh sebelum para dokter masuk desa dan memberi obat-obat kimia sintetis.

Daun jambu biji sudah secara luas digunakan untuk mengatasi diare. Rimpang kunyit sudah lazim digunakan untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita. Temulawak sudah biasa dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi hati. Daun kejibeling dan kumis kucing sudah sering dipakai sebagai obat tradisional penghancur batu kemih. Cengkeh dan cabe rawit terbukti bisa menurunkan kolesterol. Dan masih banyak lagi.

Selama ini penggunaan jamu kalah populer daripada obat modern karena dianggap kurang ilmiah. Ini memang salah satu kelemahan jamu. Penelitian ilmiah khasiat jamu memang tidak sebanyak penelitian pada obat-obat modern. Namun, kelemahan ini mestinya tidak menjadi alasan untuk menganaktirikan jamu. Justru kelemahan ini harusnya menjadi pemicu untuk mengangkat pamor jamu lebih tinggi lagi lewat saintifikasi jamu.

Tidak bisa tidak, kalau mau berkompetisi dengan obat modern, obat tradisional harus disaintifikasi. Harus diteliti dengan standar ilmiah perguruan tinggi. Hasilnya harus layak dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Hanya dengan cara itu, obat herbal bisa diakui keberadaannya oleh kalangan tenaga kesehatan dan dipandang setara dengan obat modern. Lewat usaha saintifikasi, jamu bisa memiliki dua kekuatan sekaligus—seperti ungkapan sebuah iklan pasta gigi—yang menggabungkan kekuatan alami dan ilmiah.

Paling tidak, saintifikasi jamu difokuskan pada penyakit-penyakit yang belum bisa disembuhkan oleh obat modern seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, gangguan asam urat, kanker, dan sejenisnya. Di sini obat herbal masih punya peluang besar untuk bersaing dengan obat-obat modern. Apalagi ini juga sesuai dengan rekomendasi Komite Inovasi Nasional dan juga sejalan dengan tren “back to nature” yang terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang.

Dalam hal pengembangan obat herbal, kita bisa belajar dari Cina. Dan seharusnya kita bisa lebih dari negeri tersebut. Sebab dalam urusan sumber daya hayati, negara kita lebih unggul dalam hal kuantitas dan keragaman. Menurut data Conservation International (2000), Indonesia tercatat sebagai negara ke-2 dengan keragaman hayati terbanyak di dunia. Sedangkan Cina berada 6 tingkat di bawahnya. Tapi nyatanya, pamor obat tradisional malah terbalik. Kita mengimpor banyak sekali produk obat tradisional dari sana sampai-sampai di Indonesia kita mengenal satu jenis kelompok obat yang dinamai “obat cina”.

Harus diakui, negeri Tiongkok ini memang sukses mengembangkan obat tradisional hingga bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan obat modern. Di sana, dokter-dokter tak ragu meresepkan obat tradisional. Universitas-universitas melakukan penelitian saintifikasi jamu. Maka tak heran jika banyak sekali hasil penelitian obat tradisional Cina dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah. Dan yang tak kalah penting dari semuanya, masyarakatnya pun bangga menggunakan obat tradisional. Ini sesuatu yang layak kita jadikan contoh mengingat di Indonesia jamu diidentikkan dengan masyarakat kelas bawah.

Jamu adalah kekayaan budaya Indonesia yang harus kita lestarikan dan kita perjuangkan bersama-sama demi kemajuan Indonesia. Sama seperti batik, jamu saat ini juga sudah diusulkan kepada UNESCO agar diakui sebagai warisan kebudayaan dunia hasil karsa dan karya bangsa Indonesia. Jika usaha ini berhasil, dan jika kita juga berhasil melakukan saintifikasi jamu, maka obat tradisional ini bisa menjadi komoditas ekspor penghasil devisa yang bisa diandalkan. Mungkin bisa mengurangi “ekspor pahlawan devisa” ke luar negeri, seperti yang terjadi di banyak kampung di Lamongan.

Sebagai orang awam, kita bisa mendukung semua usaha di atas dengan satu langkah kecil seperti yang dilakukan oleh warga Cina, yaitu bangga minum jamu. Dengan minum jamu, seperti jamu buatan warga Desa Pajangan, Lamongan, kita secara tidak langsung telah ikut memajukan Indonesia.

Selain itu, sebagai orang awam kita juga bisa mendukung usaha pengembangan jamu dengan cara memboikot produk-produk jamu nakal yang dicampur dengan bahan-bahan kimia sintetis. Sebagaimana kita tahu, praktik kotor ini merupakan salah satu perusak citra jamu. Dan, sayangnya, hampir setiap tahun Badan Pengawas Obat dan Makanan masih menjumpai jamu-jamu seperti ini beredar di masyarakat. Praktik kotor ini harus kita lawan bersama-sama.

Kesimpulannya, tak peduli apakah kita ini orang pintar, orang bejo, maupun orang yang tidak pintar dan tidak bejo, mari kita ikut memajukan jamu Indonesia! Mari (bangga) minum jamu!

Referensi:

  1. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/34-pharmacy-news/2027-95-bahan-baku-obat-di-indonesia-masih-impor.html
  2. http://www.kemenperin.go.id/artikel/2808/Impor-Bahan-Obat-Tembus-Rp-11-T
  3. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013
  4. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/604-herbal-plants-collection-kumis-kucing
  5. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/594-herbal-plants-collection-cabe-rawit
  6. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/553-herbal-plants-collection-cengkeh
  7. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/542-herbal-plants-collection-belimbing-wuluh
  8. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/555-herbal-plants-collection-jambu-biji
  9. http://biofarmaka.ipb.ac.id/phocadownloadpap/userupload/Info/2012/20121124%20-%20Material%20Presentation%20from%20Prof.%20Latifah%20K%20Darusman.pdf
  10. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/587-quality-of-herbal-medicine-plants-and-traditional-medicine-2013
  11. http://kin.go.id/node/58
DIREKTORI

R&D HANDICRAFT, MODE TRENDI DENGAN TAS “ALAMI”

Show RoomMengenakan tas dengan bahan dasar tanaman seperti eceng gondok, daun pandan, tempurung kelapa, atau mendong memang tidak semewah menggunakan tas berbahan kulit seharga jutaan rupiah. Namun di balik itu semua, ada keeleganan dan unsur etnik yang tidak dimiliki tas-tas lain, bahkan sekelas tas Hermes pun.

Minat Pak Dody Arimawanto dalam berdagang sejak duduk di bangku kuliah, berbuah manis di masa kini. Sempat memasarkan barang milik orang lain keluar pulau, kini, bersama istri dan 60 karyawannya, Pak Dody telah memproduksi sendiri dan memiliki bisnis menjanjikan beromzet puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan.

R&D Handicraft, begitulah Pak Dody memberi label usahanya. Seperti namanya, usaha ini memproduksi barang-barang kerajinan. Lebih tepatnya kerajinan berupa tas dengan bahan dasar tanaman serta sandal dan     sepatu dari bahan yang juga unik.

Show room R&D Handicraft yang terletak di jalan Sunan Kalijogo nomor 120, Lamongan, memang tidak terlihat sangat ramai. Bahkan di saat ramai-ramainya, tidak lebih ramai dari sebuah warung soto di jam makan siang. Lalu bagaimana bisa usaha ini mendapatkan pundi-pundi uang yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana caranya?

Di ruang yang  luasnya tidak lebih dari 100 meter persegi ini, puluhan tas “alami” serta aneka macam sandal dan sepatu khusus perempuan dipajang. Berbagai model, motif, dan ukuran ditata berjajar untuk dipilih oleh pembeli. “Kami tetap menyediakan stok untuk konsumen sekitar Lamongan, tapi fokus pasar kami yang sebenarnya bukan di sini,” ujar Ibu Mudah, salah satu staf R&D Handicraft.

Meski bertempat di Lamongan, usaha ini seakan tidak mau berkutat hanya di “kandangnya” sendiri. Pak Dody senantiasa membuka peluang-peluang untuk bisa masuk ke pasar yang lebih luas, mulai dari luar kota sampai luar negeri. Sepanjang tahun hampir selalu ada pesanan dengan jumlah ribuan hingga puluhan ribu dari sana. Kita tahu, saat ini mencari pasar lokal saja susah, apalagi untuk mencari pasar di luar itu. Tapi R&D Handicraft punya cara tersendiri untuk bisa sampai ke sana.

Selain menawarkan pada kolega Pak Dody di banyak tempat, R&D Handicraft juga aktif dalam pameran-pameran di Indonesia, mulai dari  tingkat provinsi sampai tingkat nasional. “Ini cara yang paling efektif,” tutur Ibu Mudah. Dengan mengikuti pameran, produk R&D Handicraft dengan cepat dikenal khalayak luas. Otomatis peluang menemukan peminat baru produk-produknya juga lebih terbuka lebar.

MenjahitBu Mudah memberikan contoh, dua tahun lalu lewat sebuah pameran di Jakarta, R&D Handicraft bertemu dengan perwakilan PT Sari Husada yang tertarik dengan produk mereka untuk dijadikan parsel lebaran dan bahan seminar. Tak tanggung-tanggung, dua tahun berturut-turut PT Sari Husada memesan 22.000 lebih tas “tanaman”.

Selain itu, produk R&D Handicraft juga dikirimkan ke hampir seluruh kota besar di tiap provinsi di Indonesia. Kebanyakan pemesan membeli secara massal untuk dijual kembali di kotanya masing-masing. Untuk pasar luar negeri, usaha R&D, yang merupakan singkatan dari rahmat & doa, ini pernah mengekspor kerajinan mereka ke Arab Saudi, Hongkong, dan Jamaika. Kebanyakan produk jenis tas lebih diminati di negara-negara tersebut daripada sandal atau sepatu.

Tas eceng gondok dan sepatu goni

Natural exclusive products, begitulah semboyan yang dipegang oleh usaha ini. Hampir semua tas yang dibuat berbahan dasar tumbuhan alami. Mulai dari tumbuhan yang memang sudah umum digunakan sebagai kerajinan seperti daun pandan, tempurung kelapa, dan mendong, juga tumbuhan yang dianggap perusak perairan atau dalam bahasa kerennya disebut gulma, seperti eceng gondok.

Produk 2Eceng gondok memang bukan hal baru dalam dunia prakarya. Banyak tempat di Indonesia telah memanfaatkannya sebagai bahan dasar kerajinan. Banyak  industri juga yang mengolah sendiri eceng gondoknya hingga menjadi produk jadi. R&D Handicraft pun sama, hanya saja, usaha ini berkerja sama dengan perajin asal Desa Pengumbulanadi, Kecamatan Tikung, Lamongan sebagai penyuplai anyaman eceng gondoknya. “Di sana memang sudah dari dulu menjadi pusat kerajinan anyaman eceng gondok di Lamongan,” terang Bu Mudah.

Untuk mendapatkan stok tanaman air ini juga tidak susah. Eceng gondok sangat mudah ditemui di banyak telaga, rawa, dan sungai yang tersebar di Lamongan.  Bahkan, eceng gondok untuk kebutuhan R&D Handicraft bisa dipenuhi hanya dari satu sampai dua rawa saja. Pengolahannya pun mudah. Eceng gondok yang sudah diambil dari rawa tinggal dijemur sampai kadar airnya 0%. Tidak diperlukan alat khusus, paling-paling kalau ingin anyaman model pipih, eceng gondok tinggal dipipihkan dengan alat pemipih sederhana.

Masalahnya, meski bahan baku melimpah, tidak banyak orang yang ahli mengolah eceng gondok dan tanaman lain. Memang keahlian ini dapat dipelajari, tapi R&D Handicraft hanya mempercayakan bahan bakunya pada perajin-perajin yang memang sudah ahli. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas produk buatannya. Ya, kualitas memang tetap jadi yang nomor satu bagi usaha yang berdiri tahun 2002 ini, apalagi untuk pasar Internasional.

Tas1Untuk sepatu, R&D Handicraft juga menggunakan bahan yang tak kalah unik. Model yang sempat menjadi tren adalah sepatu dari bahan kain goni yang dibordir. Kain goni merupakan kain berwarna cokelat tebal yang biasa digunakan sebagai bahan karung untuk tempat gula. Karung ini juga sering dipakai dalam perlombaan lompat karung saat acara tujuh belasan.

Tas, sepatu goni, serta sepatu-sepatu lain di sini didesain sendiri oleh R&D Handicraft dengan berpatok pada tren yang sedang berkembang. Untuk itu mereka – Pak Dody dan pegawainya – tidak pernah telat update mode terbaru. “Tren sekarang lebih ke warna-warna yang bertabrakan, kuning kombinasi hijau, misalnya,” terang Ibu bernama lengkap Mahmudah ini.

Buat Anda yang gemar dengan barang-barang “berbau” alam, etnik nan unik, mungkin tas dan sepatu buatan R&D Handicraft akan cocok untuk Anda. Harganya dipatok mulai dari Rp 25.000 sampai Rp 160.000, tergantung jenis, model, dan bahan barang.

Kebutuhan perempuan akan mode yang tidak ada habisnya berhasil ditangkap  dengan baik oleh R&D Handicraft. Dari sana, mereka membatasi target pada konsumen perempuan saja dan tidak memproduksi barang untuk laki-laki. “Laki-laki kalau punya tas atau sepatu, baru ganti kalau sudah rusak. Nanti stok lain nggak laku-laku dong,” pungkas Ibu 40 tahun ini sambil bercanda.Sandal

Rawat secara rutin tas Anda

Banyak orang mengurungkan niatnya memiliki tas berbahan “alam” karena tingkat keawetannya yang jauh di bawah tas berbahan kulit, plastik, atau lainnya. Memang benar, namun, jika si pemilik bisa merawatnya dengan baik, tas dari bahan tanaman juga bisa bertahan lama sampai lebih dari 5 tahunan.

Berikut tips untuk Anda yang sudah memiliki atau berencana membeli tas “alam” agar lebih tahan lama:

  1. Usahakan tas tidak terkena air. Karena tas berbahan tanaman sangat mudah berjamur jika lembap, akan lebih baik jika dijauhkan dari tempat yang basah. Namun, jangan juga ditaruh di tempat yang terlalu panas. Jika ingin menyimpan, cukup di suhu normal saja. Bila perlu simpan di tempat kedap udara yang diberi silika gel agar lebih tahan terhadap jamur.
  2. Bersihkan debu dengan sikat lembut. Sapu bagian-bagian yang berdebu secara rutin, supaya tidak menumpuk menjadi noda membandel. Usahakan juga tidak terlalu kencang saat menyikat agar serat tumbuhannya tidak rusak.
  3. Lap dengan kain yang diberi pewangi. Sebenarnya tas “alam” tidak perlu dicuci. Namun jika telanjur kotor, Anda bisa mengusap bagian yang kotor dengan lap yang sedikit basah (ingat: jangan terlalu basah). Jika ingin wangi, Anda bisa menambahkan sedikit pewangi pada lap. Setelah itu, langsung keringkan.

R&D HANDICRAFT
Instagramhttps://www.instagram.com/yoiku.official/
Telp/WA08123119035, 085216140180 (Valis/Dody)
AlamatJl. Sunan Kalijaga No.120, Sukomulyo, Sukorejo, Kec. Lamongan

SOTO LAMONGAN DI KOTA ASALNYA, UENAK POL!

Mungkin Anda sudah sering makan soto Lamongan, tapi bukan di kota asalnya. Wajar memang, saat ini di kota-kota besar, mencari penjual soto Lamongan tidaklah sulit. Namun jika Anda benar-benar ingin soto Lamongan yang asli Lamongan, sudah saatnya Anda datang kota asalnya.

Tentu, sebelum menikmati semangkuk soto Lamongan, kita harus mencari dulu tempat penjualnya. Ada dua jurus ampuh untuk tahu tempat makan paling enak di suatu daerah. Pertama, dengan bertanya ke orang-orang di daerah tersebut. Kedua, mencari tempat makan yang paling ramai. Jika Anda mencoba kedua “jurus” tersebut untuk mencari soto di Lamongan, bisa jadi Anda akan dibawa menuju ke Depot Asih Jaya.

Terletak di pinggir Jalan Raya Lamongan – Surabaya, membuat depot yang dikelola oleh H. Sofwan Hadi Sulistyo ini sangat mudah ditemukan. Saat memasuki depot, Anda bisa melihat tempat makan yang cukup mewah, lengkap dengan gerobak sotonya. Mengingat depot ini sangat ramai, ada seratusan kursi yang disediakan bagi pembeli, jadi jangan takut tidak kebagian tempat duduk.

Ada dua menu soto di depot yang buka pukul 06.00-23.00 ini, yakni soto ayam kampung biasa (nasi campur atau pisah) dan soto ayam kampung spesial (nasi campur atau pisah). Tak perlu bingung memilih yang mana, karena yang membedakan hanya tambahan isian jeroan untuk menu soto ayam kampung spesial. Sementara istilah ”nasi campur” berarti nasinya dicampurkan ke dalam mangkuk soto, sedangkan kalau “pisah” berarti nasinya dipisah dalam mangkuk sendiri.

Jika Anda terbiasa makan soto medan atau soto betawi yang mengunakan santan, Anda akan mendapati soto yang berbeda di depot ini. Meski sedikit keruh, soto Lamongan tidak mengunakan santan. Di Depot Asih Jaya ini warna keruhnya didapat dari bandeng dan udang yang dicampurkan dalam rebusan ayam. Seperti halnya soto jawa timuran lainnya, soto Lamongan merupakan soto  yang berminyak.

Dalam satu mangkuk soto ayam kampung biasa dengan nasi dicampur, Anda akan dibuat kenyang dengan porsi wajar. Soto ayam di sini memang mengunakan ayam kampung. Alasannya ayam kampung memiliki rasa lebih gurih daripada ayam jenis lainnya. Selain nasi dan suwiran ayam, dalam kuah kuning keruh soto ini, Anda akan menemukan suun, irisan daun seledri, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong.

Sebelum dimakan, jangan lupa untuk menambahkan koya yang disediakan dalam stoples di meja. Koya yang berupa serbuk berwarna putih kecoklatan ini berasal dari kerupuk udang yang ditumbuk bersama ebi dan bawang goreng. Bisa dibayangkan bukan gurihnya? Koya ini tidak akan Anda temui di hampir semua soto selain soto Lamongan.

Untuk minumnya, di depot yang dirintis oleh H. Ali Mahfudz (mertua H. Sowan) ini Anda dapat memesan jus aneka buah mulai dari  buah jeruk, mangga, alpokat dan sebagainya. Sementara agar tidak bosan, Anda bisa menonton TV di layar LCD ukuran besar yang disediakan, atau Anda bisa nunut salat, karena dalam depot ini juga ada musala. Di depot ini satu porsi soto ayam sedikit lebih mahal memang jika dibandingkan dengan soto Lamongan lainnya.

Jika Anda ingin soto lebih murah, tentu ada. Anda bisa datang  ke warung soto Cak Mardi. Meski lebih murah tapi jangan salah, untuk urusan rasa, soto di warung ini tidak kalah enaknya.

Jangan berharap di warung yang buka setiap hari sekitar pukul 06.00 dan tutup sekitar pukul 17.00 ini Anda bisa menonton TV, karena warung Cak Mardi ini cukup sederhana, di tempat yang terbuka dengan tiang tarup beratapkan terpal saja. Fasilitasnya hanya tempat duduk dan meja. Namun selain duduk di kursi, Anda juga bisa makan sambil lesehan di bawah pohon mangga besar. Asik bukan?

Untuk sotonya, meski tidak sekeruh soto di Depot Asih Jaya, soto di warung ini tidak kalah gurih dan segar. Isiannya juga tidak jauh berbeda, hanya saja koyanya sudah tercampur saat soto dihidangkan. Mungkin yang spesial di soto Cak Mardi, Anda bisa meminta tambahan ceker (Rp 1.000 per buah) dan sayap ayam (2.000 per buah). Harga  sotonya juga cukup murah, hanya Rp 5.000 saja semangkuknya.

Meski soto di Depot Asih Jaya dan soto Cak Mardi memiliki kelebihan sendiri-sendiri, keduanya dijamin sama-sama uenak. Jika di ibaratkan naik kendaraan umum, makan soto di Depot Asih Jaya ibarat naik  taksi. Harganya sedikit mahal namun Anda bisa makan soto dengan nyaman dengan fasilitas yang ada. Sendangkan makan soto di warung Cak Mardi ibarat naik angkutan umum. Lebih murah,  namun jika Anda datang telat di jam-jam makan siang, dijamin Anda tidak akan kebagian tempat duduk.

Depot Asih Jaya
Kompleks Pertokoan Lamongan Indah A-4
Jalan Panglima Sudirman nomor 75.

Warung Soto Cak Mardi
Sebelah timur Perempatan yang mempertemukan Jalan Suwoko dan Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
50 meter sebelah selatan kantor Dinas Pendidikan Lamongan.