Taman Multifungsi Kendalfornia
Penulis: Auliyau Rohman, mahasiswa UNISDA Lamongan
Taman tak hanya fungsi keindahan tapi bisa juga bisa berfungsi sebagai rambu lalu-lintas. Taman di Desa Kendal, Sekaran, adalah salah satu buktinya. Posisi taman ini persis di sebuah tikungan tajam. Sebelum menjadi taman, di tikungan itu sering terjadi kecelakaan, terutama di malam hari, karena jalannya yang menikung tajam dan menyebabkan pengendara sepeda motor sering kebablasan. Apalagi di tikungan itu terdapat semak-semak tinggi yang menutupi arah pandang.
Seringnya kecelakaan di tikungan ini mencetuskan ide pembuatan taman di tempat ini. Semak-semak yang tinggi itu dibabat lalu diubah menjadi taman yang indah. Selain mengurangi kecelakaan, taman ini juga menjadi tempat rekreasi warga sekitar. Biasanya taman ramai saat pagi setelah salat subuh dan sore hari pada pukul 16.00. Pagi hari pengunjung kebanyakan adalah keluarga sementara sore hari didominasi remaja dan anak muda yang bermain voli, sepak bola, hingga motor cross di lapangan di dekatnya.
Hingga saat ini, taman tersebut masih belum selesai sepenuhnya. Masih ada bagian yang belum rampung dibangun seperti taman baca dan air mancur. Pembangunan taman ini merupakan bagian dari upaya warga untuk memajukan desa. Kendal yang selama ini dikenal sebagai desa pelosok di bantaran sungai Bengawan Solo ini sekarang sedang berbenah. Tak hanya membuat taman, warga juga membangun beberapa lapangan olahraga, merintis usaha jamur tiram, juga membuat kebun belimbing yang direncanakan untuk wisata agro. Bahkan nama Kendal kini biasa disebut dengan nama pelesetan “Kendalfornia”, yang menurut warga setempat maksudnya adalah “Kendal for Nia” (Kendal untuk Indonesia).
Desa ini tidak begitu sulit dicari. Dari Jalan Raya Lamongan-Babat, jalan masuk menuju desa ini berada di Desa Gembong, Babat, tepatnya di sebelah SMPN 3 Babat. Kendal berada sekitar 5 km dari jalan raya.
Istana Asal-Asalan Gunung Mas Mantup
Penulis: Auliyau Rohman, mahasiswa UNISDA Lamongan
Sebagai daerah yang memiliki banyak bukit kapur, Lamongan punya banyak lokasi tambang, tak hanya di Lamongan pesisir tapi juga di Lamongan selatan. Beberapa bekas tambang itu berubah menjadi tempat wisata. Di Lamongan pesisir kita bisa menjumpai wisata jenis ini di Danau Hijau di Bluri, Solokuro. Di Lamongan selatan kita juga bisa menjumpai tempat serupa di Istana Gunung Mas Desa Tugu, Kecamatan Mantup, sekitar 20 km sebelah selatan Lamongan Kota. Dari arah alun-alun Lamongan kota, kita hanya perlu mengikuti Jalan Sunan Drajat ke arah selatan (arah Mantup/Mojokerto).
Tempat ini diberi nama “Gunung Mas” konon karena dulu pernah ditemukan bongkahan emas di bukit ini. Tapi cerita ini sepertinya asal-asalan dan sulit dipercaya mengingat bukit ini adalah bukit kapur. Cerita versi lain mengatakan, warga memberi nama Gunung Mas karena bebatuan bekas tambang di bukit ini berwarna kekuningan.
Berbeda dengan Danau Bluri yang masih asli bekas tambang yang tidak diapa-apakan, Gunung Mas ini adalah bekas tambang yang kemudian dibangun menjadi tempat wisata. Di dalamnya ada rumah-rumah hias, tempat santai, rumah panggung, kantin, kolam ikan, bahkan kandang hewan piaraan seperti ayam, kalkun, burung dara, dan kelinci. Sekilas rumah-rumah hias dini mirip dengan kampung pecinan sebab banyak dihiasi lampion dan unsur warna merah.
Untuk masuk ke tempat wisata ini, pengunjung dikenakan tiket Rp 5.000 per sepeda motor. Jangan bingung, di tempat ini sepeda motor disebut kuda, singkatan asal-asalan dari “kendaraan roda dua”. Tulisan asal-asalan yang kadang kocak memang bertaburan di berbagai sudut di tempat ini. Banyak sekali papan bertuliskan kata-kata yang sepertinya belum selesai dicat atau memang disengaja ngawur.
Wisata Luka Bumi di Bluri Lamongan
Penulis: Auliyau Rohman, mahasiswa Unisda Lamongan
Satu lagi tempat wisata baru di Lamongan yang mulai terkenal di awal tahun 2017 ini. Lokasinya di Desa Bluri, Kecamatan Solokuro, tepatnya di bukit bekas galian tambang batu kapur. Warga sekitar menyebutnya Puri.
Bekas lubang tambang yang luasnya kira-kira selapangan sepakbola ini sekarang menjelma menjadi sebuah danau dengan pemandangan yang menawan. Cocok buat latar belakang foto selfie untuk dipasang di Instagram atau Facebook. Air danau yang bening kehijauan dikelilingi oleh dinding-dinding bukit kapur yang menjulang tegak lurus dengan tinggi belasan meter. Menurut warga sekitar, air danau ini berasal dari mata air yang muncul dari dasar bekas galian tambang.
Bukit kapur Bluri ini hanya salah satu dari sekian banyak lokasi tambang kapur di wilayah Lamongan bagian utara. Tapi dibanding bekas-bekas tambang lainnya, danau Bluri ini memang yang paling indah pemandangannya.
Kalau ingin melihat bekas tambang lain, dari Bluri kita bisa mampir ke bekas tambang di Paciran. Lokasinya berada di belakang Kantor Pemadam Kebakaran, sebelah barat Wisata Bahari Lamongan. Kalau masih ada waktu, kita bisa mampir juga ke bekas tambang kapur di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong.
Sepanjang pesisir Lamongan wilayahnya banyak yang berupa bukit-bukit kapur. Bukit ini ditambang untuk diambil batuannya. Hasil utamanya adalah bata putih (yang oleh warga setempat disebut saren). Cara menambangnya cukup dengan digergaji mesin menjadi balok-balok batako. Sisa remah-remahnya menjadi batu makadam yang biasanya digunakan untuk mengurug jalanan tanah liat agar tidak becek. Bisa juga digunakan untuk kapur pertanian.
Oh ya, buat kalian yang belum tahu Desa Bluri, desa ini bisa dijangkau dari Sukodadi maupun dari Jalan Deandels. Buat pengunjung yang berasal dari arah Babat dan Lamongan Kota, Desa Bluri bisa dijangkau dari Jalan Raya Sukodadi-Drajat, lewat Desa Banyubang, Kecamatan Solokuro. Adapun buat pengunjung yang melewati Jalan Deandels, desa ini bisa dijangkau lewat Desa Tlogosadang atau Banjarwati, Kecamatan Paciran.
Keripik Sunduk, Oleh-oleh Khas Lamongan Pantura
Apa oleh-oleh khas Lamongan? Sebagian besar orang mungkin akan menyebut wingko Babat. Kalau Anda melewati Kota Babat atau Kota Lamongan, memang banyak toko penjual wingko di pinggir jalan. Tapi jika Anda pergi ke Lamongan pesisir (Jalan Raya Daendels) seperti wilayah Brondong dan Paciran, wingko Babat tak begitu populer di sini. Oleh-oleh yang lebih populer adalah air legen, jumbrek, dan gula merah. Sepajang kiri kanan jalan raya Paciran, ada banyak warung kecil penjual legen dan dawet siwalan yang juga menjual jumbrek dan gula merah dari nira siwalan.
Selain itu, sebetulnya ada satu lagi oleh-oleh khas Lamongan yang jarang diketahui karena tak banyak penjualnya, yaitu keripik ikan sunduk. Makanan khas ini mungkin tidak akan Anda jumpai di tempat lain karena ikan sunduk adalah hasil laut khas daerah nelayan. Ikan ini berukuran sebesar jari tangan dengan panjang sekitar belasan sentimeter. Sebagian besar badannya berisi tulang karena itu ikan jenis ini bukan termasuk ikan komersial yang penting seperti ikan tongkol, tenggiri, kakap, dan sejenisnya.
Oleh warga setempat, ikan ini biasa diolah menjadi keripik berbalut tepung yang biasa disebut dengan “kentaki” karena mirip dengan tepung ayam goreng cepat saji. Sebelum dikeripik, ikan dibelah, tulangnya dibuang, lalu dipotong kecil-kecil. Rasanya gurih kriuk-kriuk, bisa dimakan begitu saja, bisa juga dimakan sebagai lauk. Paling cocok dinikmati dengan nasi hangat dan sambal terasi. Rasanya bukan maknyus tapi mak kriuk.
Wisata Boom Anyar Brondong Lamongan
Selama ini wisata di Lamongan identik dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL). Kini pesisir Lamongan juga memiliki satu lagi ikon wisata yaitu WBA, singkatan dari Wisata Boom Anyar (Wisata Pelabuhan Baru). Singkatan ini bukan singkatan resmi melainkan istilah gaul di kalangan penduduk setempat untuk menyebut Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong.
Pelabuhan ini disebut Boom Anyar karena tempat ini memang baru beroperasi tahun 2016 ini, sebagai perluasan dari “WBL” (Wisata Boom Lawas alias Pelabuhan Lama) yang berada di sebelah timurnya, yang sampai sekarang masih menjadi Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Pintu masuk Boom Anyar ini berada di sebelah barat Kantor Kecamatan Brondong. Untuk memasuki kawasan ini, pengunjung dikenakan tarif karcis Rp 1.000 per sepeda motor.
Walaupun tempat ini sebetulnya adalah pelabuhan perikanan, sehari-hari Boom Anyar ini penuh dengan pengunjung. Paling ramai pada hari Sabtu dan Minggu, pagi sebelum pukul 08.00 dan sore sesudah pukul 16.00.
Sebagian pengunjung ke sini datang sekadar untuk jalan-jalan, melihat panorama laut, menikmati pemandangan kapal-kapal nelayan yang bersandar, joging, atau mencari tempat berfoto selfie.
Tertarik?
WISATA PETIK PEPAYA DI LAMONGAN
Jika Anda jalan-jalan ke Wisata Bahari Lamongan (WBL) atau Lamongan pantura dan ingin merasakan pengalaman agrowisata, silakan mampir di kebun pepaya di Brondong, sekitar 7 km sebelah barat WBL. Di sini Anda bisa memetik buah pepaya Calina atau yang lebih dikenal sebagai pepaya California.
Sebetulnya lokasi ini bukan lokasi wisata melainkan kebun biasa. Karena bukan tempat wisata, tidak ada tiket masuk alias gratis. Pengunjung dipersilakan memetik sendiri buah pepaya lalu membayarnya sebagaimana pembeli biasa. Harganya pun murah, hanya Rp 6 ribu/kg dengan minimal pembelian 5 kg. Jadi, dengan uang Rp 30 ribu pengunjung sekeluarga bisa mendapat pepaya sekitar 4-5 buah. Kalau Anda membeli grosiran, harganya hanya Rp 4.500/kg. Lumayan, bisa untuk oleh-oleh buat tetangga satu RT hehehe…
Calina merupakan pepaya yang benihnya dikembangkan oleh Institut Pertanian Bogor yang memiliki banyak kelebihan.
- Pohonnya pendek sehingga buahnya mudah dipetik.
- Buahnya manis. Lebih manis daripada pepaya Thailand (Bangkok).
- Bobotnya sekitar 1,2 kg per buah. Cocok buat sekali konsumsi. Berbeda dengan pepaya Bangkok yang ukurannya besar-besar dengan berat mencapai 3 kg per buah.
- Daging buahnya kenyal. Walaupun dipetik dalam keadaan matang pun daging buahnya masih kenyal, tidak lembek seperti pepaya Bangkok.
- Buahnya awet. Bahkan setelah diiris dan dibiarkan di luar kulkas pun, Calina matang masih bisa bertahan sampai tiga hari. Berbeda dengan pepaya Bangkok matang yang setelah diiris harus segera dimakan hari itu juga.
- Pohon mudah berbuah. Umur 3 bulan, pohon sudah berbunga. Umur 7 bulan sudah mulai panen. Asal dirawat dengan baik, pepaya bisa terus berbuah sampai umur 2 tahun lebih.
Sangkal Putung Mbah Mahmud Dempel
Seorang wanita, yang berjalan terseok-seok sambil dirangkul suaminya, masuk ruang periksa. Kaki wanita itu terkilir setelah jatuh saat mengendarai sepeda motor. Setelah ia mengistirahatkan badannya di atas tempat tidur, Mahmudi langsung memeriksa kaki wanita tersebut dan melakukan proses penyembuhan.
Tak lama, sekitar 10 menit, pasutri itu keluar. Dari cara berjalannya, tampak kaki sang wanita masih belum sembuh betul. Namun, karena hanya terkilir, ia diperbolehkan untuk pulang dan kembali lima hari lagi untuk pemeriksaan ulang. Kata Mahmudi, ia masih harus kontrol sekitar lima kali secara rutin.
Sementara itu, belasan pasien Mahmudi yang lain tergolek di atas tempat tidur menjalani rawat inap. Mereka terpaksa harus menginap karena menderita patah tulang yang cukup parah dan syaraf yang terjepit.
—
Jika Anda berpikir Mahmudi adalah seorang dokter atau ahli medis, semetara tempat ia bekerja adalah rumah sakit, Anda salah besar. Mbah Mahmud, begitu Mahmudi akrab disapa, adalah tukang pijit spesialis masalah tulang dan syaraf. Sementara tempat pasien-pasiennya terbaring itu adalah rumah yang Mbah Mahmud “sulap” menyerupai sebuah ruang rawat inap. Lokasinya berada di Dusun Dempel, Desa Pangean, Maduran, Lamongan.
Di “klinik minimalisnya” ini Mbah Mahmud menangani semua pasien. Ia menangani pasien yang kontrol di sore hari. Setelah itu, ia memeriksa dan memijat pasien-pasien rawat inap. Untuk pasien yang baru pertama ke sana, baru saja mengalami kecelakaan misalnya, akan langsung ditangani begitu sampai di tempat praktek Mbah Mahmud. Pukul 12 malam pun.
Kemahiran Mbah Mahmud memijat, ia dapat secara turun-temurun. “Dari kakek buyut saya, turun terus sampai saya ini,” terang lelaki berambut gondrong ini.
Namun, ia tak memungkiri bahwa tak semua pasien yang bermasalah dengan tulang dan syaraf sanggup ia layani. Untuk orang yang patah tulang, Mbah Mahmud sanggup menerima selama luka luarnya masih bisa dijahit. Sedangkan untuk yang bermasalah dengan syaraf, Mbah Mahmud terang-terangan tidak sanggup mengobati jika kondisinya sudah lumpuh.
Durasi pemijatan yang dilakukan Mbah Mahmud kepada semua pasiennya tak begitu lama, hanya sekitar 10 sampai 15 menit. Tak jarang selama proses itu, ia “mengoda” sang pasien dengan ujaran-ujaran lucu. Agar pasien rileks, katanya.
Ada dua metode yang Mbah Mahmud gunakan untuk mengobati pasiennya. Pertama, pemijatan; dan kedua, pengurutan. Uniknya, tak seperti tukang pijit lain yang menggunakan minyak urut, Mbah Mahmud memilih merica yang sudah ditumbuk halus plus air ludah sebagai pelumas. Ya, benar-benar air ludah yang keluar langsung dari mulut Mbah Mahmud.
“Merica dan ludah ini hanya media yang saya gunakan saja. Kalau pakai air putih kan repot harus cari-cari dulu,” candanya. Metode penyembuhan seperti itu sudah Mbah Mahmud jalani sejak tahun 1998, saat pertama kali ia membuka praktik pemijatan.
—
Klinik minimalis Mbah Mahmud benar-benar mirip ruang inap kelas bawah di klinik-klinik pada umumnya. Tempat tidur satu pasien dengan pasien lain disekat menggunakan tirai. Ada dua rumah yang dijadikan “klinik”. Masing-masing diisi 13 dan 14 tempat tidur. Saat saya mendatangi klinik minimalis Mbah Mahmud itu, ke-27 dipan sudah penuh pasien. “Kalau tiba-tiba ada pasien baru yang harus menjalani rawat inap, ya terpaksa dibuatkan tempat di ruang tunggu,” tutur Mbah Mahmud sambil menunjuk ruang tamu tempat pasiennya yang akan kontrol mengantri.
Pertama kali membuka praktik, “Sangkal Putung Mbah Mahmud” – nama praktik pijat Mbah Mahmud – ini tidak begitu ramai. Saat itu, ia masih sempat melayani pijat panggilan. Sangkal Putung Mbah Mahmud mulai dikenal banyak orang dari pembicaraan mulut ke mulut mulai lima tahun yang lalu. Sekarang, jangankan dipanggil ke rumah, pasien yang datang langsung “klinik”-nya saja harus rela mengantri berjam-jam untuk dapat giliran dipijat.
“Cuma itu yang bikin saya kadang mengeluh. Menunggu kan menjemuhkan. Saya antri dari jam dua belas siang tadi, baru dapat giliran pukul setengah tiga sore,” begitu keluh salah satu pasien Mbah Mahmud.
Pasien Mbah Mahmud kebanyakan berasal dari daerah Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dan sekitarnya. “Bahkan pernah ada yang dari Papua dua kali,” terang Pria yang saya taksirkan berusia 40-an tahun, yang enggan menyebutkan usianya ini.
Sebagian dari pasien Mbah Mahmud itu berasal dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke bawah atau juga keluarga menengah ke atas yang mengalami masalah tulang dan syaraf namun takut menjalani operasi di rumah sakit.
Berobat di tempat Mbah Mahmud memang dianggap ringan bagi para pasien yang berasal dari kalangan keluarga menengah ke bawah. Untuk kontrol dan pemeriksaan, pasien tidak dipatok tarif. “Seikhlasnya saja,” kata Mbah Mahmud. Sementara untuk pasien inap dikenakan tarif Rp 70.000 per bulan untuk biaya air selama tinggal di sana. Tarif itu sudah termasuk keluarga yang menemani pasien dan ikut tinggal di sana.
Tarif ini bagi pasien patah tulang dan salah syaraf tentu jauh lebih murah daripada tarif di klinik atau rumah sakit, yang untuk menginap satu malam saja harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah.
—
Mbah Mahmud tidak bekerja sendiri di tempat praktiknya. Ia dibantu seorang asisten dan bekerja sama dengan mantri setempat. Masing-masing dari mereka punya andil sendiri dalam mengobati pasien. Peran Mbah Mahmud yakni memijat dan mengurut para pasien. Selama memijat, semua keperluannya disediakan oleh sang asisten. Sementara Pak Mantri berperan mengobati luka terbuka dan meresepkan obat.
Pengobatan di sini memang bukan murni pijat atau urut saja. Tapi juga ditunjang dengan pengobatan moderen dan obat generik. Seperti semboyan sebuah merek pasta gigi, Sangkal Putung Mbah Mahmud memadukan antara pengobatan alami dan ilmiah.
Kerajinan Emas Warisan Sunan Sendang
Seorang laki-laki berkumis tebal duduk di depan meja kecil dengan gunting, tang, dan alat-alat penuh di atasnya. Matanya tajam mengarah ke meja. Dari raut mukannya tampak, ia sedang penuh konsentrasi. Tangannya bergerak pelan-pelan memegang alat patri, tepat di bawah sinar lampu neon. Padahal saat itu hari masih terang. Seakan tak terusik dengan istri dan anak yang lalu-lalang di belakangnya, ia tetap tekun menyambungkan kawat-kawat kecil emas menjadi sebuah kalung.
Nur Halim, laki-laki yang membuat perhiasan itu sudah 28 tahun menjadi perajin emas. Ia tidak sendiri, di desanya dan desa tetangga, Sendang Duwur dan Sendang Agung, Kecamatan Paciran, Lamongan, sepertiga dari total kepala rumah tangga berprofesi sebagai perajin emas.
Nur Halim lebih sering membuat perhiasan jenis kalung daripada cincin, gelang, atau perhiasan lainnya. Sebenarnya, setiap perajin emas dapat membuat semua jenis perhiasan. Namun, mereka lebih sering membuat sesuai dengan “bidang keahlian” masing-masing. Jika membuat kalung–keahlian Nur Halim, ia dapat memaksimalkan waktu. Sementara jika tidak, “membuat satu buah cincin saja bisa sampai berhari-hari,” katanya.
Dalam sehari, dari pagi sampai pukul 10 malam, Nur Halim dapat menyelesaikan tiga buah kalung. Itu jika permintaan sedang ramai. Jika sepi, ia hanya membuat satu buah saja. Seperti harganya yang suka naik-turun, perajin perhiasan emas juga sering mengalami pasang-surut permintaan. Ketika sedang ramai-ramainya, banyak perajin dadakan, bekerja membuat perhiasan bisa sehari-semalam.
Sebaliknya, jika sepi, banyak perajin yang beralih profesi. Mereka memilih menjadi nelayan atau petani yang hasilnya hampir pasti. Bagi Nur Halim pribadi yang hampir selalu mendapat pesanan setiap hari, belum terpikir untuk “berdiri” meninggalkan kursi di depan meja kecilnya. “Selama mata masih ‘terang’, saya masih akan terus membuat perhiasan,” akunya.
Puncak ramai pesanan emas, menurut Nur Halim, berbanding lurus dengan panen tembakau di Kota Bojonegoro. Biasanya setelah panen, banyak petani tembakau dari sana membeli perhiasan emas untuk investasi ala orang tua zaman dulu.
Alat-alat jadul
Di tengah maraknya perhiasan-perhiasan emas dari pabrik yang dikerjakan dengan peralatan yang canggih, Nur Halim masih mengandalkan alat-alat manual. Palu dan alasnya, tang, gunting, pencapit, dan mesin patri menjadi “senjata” wajib. Kecuali mesin patri yang cepat rusak, alat-alat Nur Halim umumnya barang tua, warnanya kehitaman tanda sudah dimakan usia. Sudah jadul.
Proses pembuatan perhiasan model apa pun, dimulai dengan memipihkan emas batangan berkadar 24 karat. Emas itu dipecah kecil-kecil menggunakan palu, kemudian dilebur. Jika ingin mengurangi kadar emasnya, tinggal ditambahkan tembaga dan perak sesuai dengan kadar yang ingin dicapai.
Setelah melebur, lelehan emas dibentuk berdasarkan jenis yang ingin dibuat. Bentuk cincin tentu memiliki cetakan yang berbeda dengan gelang, begitu juga dengan kalung. Untuk kalung, lelehan emas dibentuk menjadi kawat-kawat kecil nan panjang.
Kawat-kawat itu selanjutnya melewati proses penghalusan. Jika sudah siap, kawat-kawat mengilap siap dipotong, dibentuk sesuai pola, lalu dirangkai sesuai jenis kalung yang dikehendaki. Nur Halim biasa membuat empat jenis kalung, yakni rantai, RRT, satelit, dan siem. Keempatnya dibuat dengan cara yang sama tapi melewati proses pengerjaan yang berbeda.
Kawat-kawat yang sudah dirangkai kemudian dipatri. Proses perangkaian dan pematrian ini merupakan proses yang butuh kejelian mata. “Itu sebabnya, perajin emas sangat bergantung dengan kondisi matanya,” kata laki-laki 50 tahun itu.
Untuk kalung polos, tahap terakhir yang dikerjakan Nur Halim yakni mengikir dan mencuci. Pencucian perhiasan menggunakan bahan kimia khusus. Bapak dua orang anak ini biasa mencuci dalam wadah logam yang dialiri listrik. Sementara untuk kalung yang mempunyai motif, kembang-kembang misalnya, harus dibawa ke ahlinya dulu sebelum dicuci.
Lebih murah
Nur Halim biasa membuat kalung dengan kadar antara 70 persen sampai emas murni. Ia tak membuat kalung yang bobotnya kurang dari 10 gram. Sebab, membuat kalung dengan bobot ringan berarti membuat kalung dengan ukuran kecil. Jika begitu, mata pun harus bekerja ekstra. “Kasihan mata saya,” alasannya.
Jika dibandingkan dengan perhiasan emas buatan pabrik, perhiasan emas made in Sendang Duwur dan Sendang Agung memang kalah dalam beberapa hal, seperti model, motif, bentuk, dan warna. Tapi, Nur Halim mengklaim, perhiasan emas hasil dari alat manual lebih kuat dan lebih murah.
Bekerja sebagai perajin perhiasan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan seorang akuntan. Keduanya sama-sama bisa menyelesaikan pekerjaan hanya dengan duduk di belakang meja saja.
Dibawa oleh Sunan Sendang Duwur
Kerajinan emas sudah menjadi profesi turun-temurun di Desa Sendang Duwur dan Sendang Agung. Para perajin yang masih bertahan sampai saat ini telah melihat proses pembuatan perhiasan emas sejak zaman nenek buyut mereka.
Konon, kerajinan emas pertama kali dibawa oleh Sunan Sendang Duwur sekitar Abad ke-15. Sejak saat itu, mayoritas penduduk laki-laki belajar membuat perhiasan. Setelah mahir, mereka menjadi perajin perhiasan. “Sementara yang perempuan membuat batik tulis,” tutur Nur Halim.
SEDERET LUKA PARA PENYADAP NIRA
Di balik rasanya yang manis-segar, tidak banyak yang tahu jika nira siwalan, yang biasa disebut legen, diambil dengan susah payah oleh para penyadapnya. Bukan hanya pendapatan yang tak seberapa, yang lebih miris, nyawa pun bisa jadi taruhannya!
Seorang lelaki tua mengendarai sepeda jengki yang tak kalah tua dengan pengendaranya. Dengan bawaan yang diletakkan di boncengan, ia tampak masih bertenaga mengayuh sepeda di usia 65 tahun. Jika beberapa orang seusianya bisa beristirahat di rumah, menunggu kiriman uang dari anaknya atau sekadar menunggu uang pensiun cair di tanggal muda, Pak Suwanu, lelaki tua pengendara sepeda itu, masih giat bekerja sebagai penyadap nira.
Bagi kita yang masih muda, jarak yang ia tempuh memang tak begitu jauh, hanya sekitar 1 km. Namun, bagi Pak Suwanu yang berjalan saja sudah membungkuk, perjalanan tidaklah menyenangkan. Belum lagi, bagi warga Paciran, Lamongan ini, mengayuh sepeda dan bersimpangan dengan truk-truk besar selalu waswas. Kita perlu mafhum, jalan raya yang dilewati Pak Suwanu merupakan jalan utama pantai utara antara Tuban dan Surabaya.
Bersamaan dengan bel sekolahan berbunyi, sekitar pukul 7 pagi, ia sampai di gubuknya. Gubuk kecil yang dibangun di atas kebun siwalan milik orang. Ukuran gubuk itu hanya sekitar 20 m2. Atapnya genting dan dinding lontar (daun siwalan) kering. Tinggi dindingnya tak sampai dua meter. Orang jangkung mesti membungkuk jika ingin masuk ke dalam. Gubuk ini bak rumah kedua bagi Suwanu. Ia tak perlu membayar kepada pemilik kebun. Sebab, ia sudah meminta izin. Lagi pula kebun itu memang tak dirawat oleh sang pemilik. Di situ, di gubuk itu, Suwanu menghabiskan waktu seharian, menyiapkan diri sebelum memanjat siwalan, menyimpan legen, membuat sirup nira siwalan, dan beristirahat.
Tak menunggu waktu lama, setelah memakir sepadanya, Suwanu segera menyiapkan belasan bumbung untuk menampung nira dari pohon yang akan ia panjat. Sementara itu, bumbung-bumbung lain sudah terpasang di atas pohon sejak kemarin sore dan siap untuk diturunkan.
Tak banyak yang tahu, jika sebelum dipasang, bumbung-bumbung itu diisi dengan sedikit campuran air dan getah kembang dari pohon, yang Suwanu sendiri tak tahu nama pohon itu. Air dan getah yang dicampurkan ini sangat sedikit sehingga tak mempengaruhi kualitas legen. Tujuannya, agar legen hasil sadapan tidak terasa asam. Jadi, kata Suwanu, kalau ada yang bertanya soal legen Paciran itu asli atau tidak? Jawabannya hampir selalu tidak. Sebab legen selalu dicampur dengan air getah kembang itu. “Beda lagi kalau tanyanya jelas, campuran apa, campuran gula pasir misalnya. Jawabannya bisa asli bisa tidak,” ujarnya.
Saat akan memanjat, Suwanu tak lupa memasang dua “senjata” andalan di lingkar perutnya yang kurus kering, sebilah golok dan sebuah pengait yang terbuat dari potongan bambu. Jangan salah, Suwanu bukan akan berkelahi. Ia membawa golok untuk memotong mayang siwalan. Sedangkan pengait, yang oleh warga sekitar Paciran biasa disebut cangkrian (bahasa jawa cangkrik = kait, cangkrikan = pengait), ia gunakan untuk membawa naik-turun bumbung-bumbung dari pohon siwalan.
Sekarang, semua sudah siap. Dengan telanjang dada dan badan yang terbungkuk, Suwanu berjalan menuju pohon yang akan ia panjat. Ada puluhan pohon siwalan di sekitar gubuknya. Namun, hanya enam pohon yang ia jadikan “ladang emas”. Siwalan memiliki dua jenis pohon, bertongkol bunga jantan dan betina. Bedanya, pohon siwalan bertongkol bunga jantan menghasilkan nira dalam jumlah yang lebih banyak daripada siwalan yang bertongkol bunga betina. Namun, siwalan yang bertongkol bunga betina dapat menghasilkan buah lebih banyak ketimbang siwalan yang bertongkol bunga jantan. Pak Suwanu sendiri hanya memanjat pohon yang menghasilkan banyak nira.
Pohon pertama yang akan Pak Suwanu panjat terletak beberapa meter di depan gubuk. Tingginya sekitar 10 meter. Pelan namun cekatan, tangan dan kakinya bertumpu pada tiap pijakan di batang pohon palma itu. Nyali bukan lagi persoalan. Ia yang sudah 40 tahunan menjadi penyadap nira siwalan, sudah kehilangan rasa takut akan ketinggian. Meski begitu, jika konsentrasinya hilang saat di atas pohon, jatuh yang berakibat luka parah sampai kematian menjadi taruhan.
“Pernah jatuh satu kali. Untung naiknya belum terlalu tinggi. Tanahnya juga empuk, habis hujan. Jadi tidak apa-apa. Tapi itu sudah dulu sekali,” terang lelaki yang sejak remaja sudah menyadap nira siwalan ini.
Sekitar 15 menit Suwanu berada di atas pohon. Ia mengganti bumbung yang sudah terisi legen dengan bumbung baru yang ia bawa dari bawah. Entah apa lagi yang ia lakukan di atas sana hingga begitu lama. Mungkin ia terlalu lelah dan beristirahat sejanak, mungkin juga ia menikmati pemandangan laut lepas yang bebas ia pandang dari atas. Ya, kebun siwalan di Paciran memang banyak yang berbatasan langsung dengan laut. Sungguh pemandangan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Hari ini tampaknya kurang bersahabat dengan Suwanu. Dari delapan bumbung yang ia bawa turun, hanya dua liter legen yang ia dapat. Padahal, di musim kemarau seperti ini, biasanya ia bisa membawa turun 4-5 liter legen dari satu pohonnya. Mayang siwalan memang lebih banyak menghasilkan nira di musim kemarau daripada musim hujan. Selain itu, di musim hujan, air hujan juga bisa merembas masuk ke dalam bumbung yang dipasang untuk menampung nira. Itulah sebabnya mengapa legen di musim hujan rasanya tidak begitu manis.
Direbus lebih awet tapi kurang segar
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus sela daun-daun siwalan. Begitu ombak di laut mulai pasang – seperti yang digambarkan dalam syair D. Zawawi Imron – maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul. Ah, indah sekali.
Mungkin ini salah satu pemandangan indah yang luput dari mata Pak Suwanu. Sebab, usai turun, ia masih harus memanjat pohon siwalan yang lain. Baru kira-kira pukul 10.00 nanti, ia kembali ke gubuk, mengolah legen, memberi makan delapan ekor kambingnya, dan beristirahat. Sejak dua tahun lalu, setelah istrinya meninggal, Pak Suwanu bekerja sendiri. “Istri saya sakit demam seharian, lalu tiba-tiba saja ia meninggal,” kenang Pak Suwanu yang membawa saya dalam suasana haru.
Kadang Pak Suwanu menjual begitu saja legen yang masih segar dalam botol kemasan air mineral 1,5 liter. Kadang juga ia rebus supaya lebih tahan lama. Legen yang direbus dan tidak, memiliki cita rasa yang sedikit berbeda. Legen yang tidak direbus rasanya manis segar, terdapat sensasi unik ketika sampai di tenggorokan, mirip seperti saat minum minuman bersoda. Sementara legen yang sudah direbus rasa manisnya bertambah karena volumenya berkurang akibat proses perebusan, tidak begitu segar, dan sensasi di tenggorokan juga berkurang.
Perbedaan rasa pada kedua legen ini tidaklah signifikan. Berbeda dengan legen yang sudah dicampur gula pasir, air kelapa, dan bahan lain yang ditambahkan untuk memperbanyak volume legen. Biasanya jika bahan-bahan tersebut ditambahkan, legen menjadi lebih cepat basi.
Legen segar tanpa direbus hanya mampu bertahan tak lebih dari 24 jam. Sedangkan jika direbus tanpa campuran, legen bisa tahan sampai dua hari. Lebih dari itu, legen terfermentasi menjadi tuak yang memabukkan. Atau jika terfermentasi lebih lama lagi, legen bisa menjadi cuka, salah satu bahan dapur yang kecut itu.
“Mestinya legen tak harus sampai jadi tuak . Sebelum basi bisa diolah menjadi sirup siwalan yang bisa tahan sampai dua minggu. Kalau pengen awet lagi, dibuat gula merah siwalan. Itu malah tahan sampai tiga bulan,” terang Pak Suwanu. Ia sendiri hanya menjual legen dan membuat sirup siwalan.
Menyadap nira pagi dan sore hari
Untuk sementara, tugas Pak Suwanu telah usai. Setelah berpanas-panasan di depan tungku yang terletak di tengah-tengah gubuk selama membuat sirup siwalan, sekarang, ia bisa beristirahat sembari menunggu para pelanggannya datang. Pak Suwanu tidak menjajakan legen dan sirup buatannya. Ia memiliki beberapa pelanggan setia, yakni pedagang-pedagang legen dan es dawet siwalan pinggir jalan dan konsumen yang datang langsung membeli di gubuk Pak Suwanu. “Banyak yang beli ke sini, dari pedagang sampai Pak Camat,” katanya bangga.
Menjadi penyadap nira siwalan, bagi Pak Suwanu, bukan hanya soal untung atau rugi. Selain tidak pernah membuat legen “KW”, ia selalu berkata apa adanya kepada para pelanggan. “Kalau legennya saya rebus, saya bilang saya rebus. Kalau tidak mau beli, ya tidak apa-apa, yang penting saya jujur,” tegasnya.
Pak Suwanu menjual legennya dengan harga Rp 5.000 per botol ukuran 1,5 liter. Sementara untuk sirup, ia jual Rp 30.000 untuk botol ukuran serupa, dan Rp 10.000 untuk botol ukuran 600 ml. Hasil yang didapat Pak Suwanu memang tak seberapa jika dibandingkan dengan peluh yang bercucur di badan dan risiko yang ia hadapi.
Kini matahari sudah benar-benar di atas kepala. Terasa panas menyengat. Terlebih udara di pesisir Paciran yang terkenal cukup panas, hingga berteduh di dalam gubuk Pak Suwanu pun masih terasa gerah. Saat seperti ini, Pak Suwanu gunakan untuk makan siang dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Ia juga masih mempunyai waktu beberapa jam untuk berlesehan di dipan sambil nenunggu waktu sore, saat ia harus memanjat pohon-pohon siwalan lagi. Karena menyadap nira dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore.
Penyadap nira di Paciran tidak banyak yang seusia Pak Suwanu. Tapi, semangatnya bekerja masih belum pudar. Selama masih kuat memanjat pohon siwalan, ia akan terus menyadap nira, membuat sirup, dan “membagi manisnya” untuk semua pelanggannya.
KOMPOR HEMAT BRIKET BATU BARA
Tak seperti kompor minyak tanah dan kompor elpiji, kompor briket batu bara terdengar asing di telinga awam. Wajar saja, kompor jenis ini memang jarang ditemui di dapur rumah-rumah. Jangankan memakai, melihat penampakannya langsung saja, tidak banyak yang pernah.
—
Tahun 2006, saat subsidi minyak tanah akan dicabut oleh pemerintah, tersebar isu jika bahan bakar alternatif berikutnya adalah briket batu bara. Meski dalam realisasinya, seperti yang kita gunakan saat ini, elpiji yang akhirnya dipilih oleh pemerintah. Tapi, briket batu bara, bahan bakar yang disebut lebih murah daripada elpiji ini tidak serta-merta hilang dari minat masyarakat. Masih ada beberapa orang yang menggunakannya, terutama di kalangan industri. Produsen kompor briket batu bara juga masih bertahan hingga sekarang. Salah satunya Sutrisno, warga Menongo, Sukodadi, Lamongan.
Sebelum mengenal kompor briket batu bara, Sutrisno sudah akrab dengan alat-alat dapur, seperti dandang, panci, dan benda-benda dari logam lainnya. Di tahun 1979, ia bekerja sebagai buruh di Surabaya, di salah satu industri pembuat perkakas rumah tangga berbahan logam.
Setelah menikah, ia mulai bekerja secara mandiri. Bermodal uang hasil menjual perhiasan yang ia pinjam dari saudaranya, Sutrisno membeli gunting, perkakas bekas dan beberapa lembar logam untuk membuat produk sendiri. Tidak berbeda dari apa yang dikerjakan sebelumnya, ia membuat perkakas dapur berbahan logam secara kecil-kecilan.
Setahun kemudian, ia menambah lagi produk buatannya berupa kompor minyak tanah. Ia belajar membuat kompor dengan pedoman ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). “Saya membeli sebuah kompor yang bagus. Saya lihat komponen-komponennya apa saja, lalu saya praktikan buat. Tapi bukan mau membajak produk itu, saya buat model dan merek sendiri,” terang Sutrisno yang memakai merek “Bintang 5” pada semua produknya.
Hemat untuk peternak ayam, boros untuk rumahan
Kebanyakan peminat kompor briket batu bara berasal dari kalangan industri, lebih khusus lagi oleh para peternak ayam indukan. Sementara untuk rumah tangga, kompor briket batu bara tidak banyak dilirik. Maklum, untuk skala pemakaian kompor di dapur, briket batu bara tidak efisien.
Alasan pertama, untuk penyalaan awalnya membutuhkan waktu yang lama, antara lima sampai lima belas menit. Tidak cocok untuk memasak di rumah yang pedomannya: lebih cepat, lebih baik. Seperti pada kompor minyak tanah yang penyalaan apinya tidak lebih dari satu menit dan kompor gas elpiji yang bahkan tidak lebih dari dua detik. “Sebenarnya penyalaan api kompor briket batu bara yang lama ini bisa diakali dengan pengunaan buvarium, tapi harganya bisa melambung tinggi,” ujar Sutrisno.
Alasan kedua, bahan bakar briket batu bara hanya sekali pakai. Jadi, jika kompor tersebut menggunakan 3 kg briket batu bara sebagai bahan bakarnya. Bahan bakar yang bisa menyalakan api sekitar enam jam itu harus terus digunakan untuk memasak. Jika sudah dimatikan, briket batu bara tidak bisa digunakan lagi, sudah jadi ampas.
Kita tahu, waktu memasak di dapur jarang sekali memakan waktu sampai enam jam secara kontinu. Apalagi jika hanya memasak mie instan atau makanan cepat saji lain yang hanya perlu nyala api sekitar lima menit. Bukannya penghematan, penggunaan kompor briket batu bara seperti itu justru menjadi pemborosan yang sia-sia.
Sementara jika digunakan untuk peternakan ayam, kelemahan-kelemahan pada penggunaan kompor briket batu bara bisa dimaklumi jika yang menjadi patokan adalah penekanan biaya. Seperti pedoman yang banyak dianut oleh pegiat industri: lebih murah, lebih baik.
Kompor briket batu bara digunakan untuk menghangatkan anak ayam usia 0 sampai 2 minggu di malam hari. Anak-anak ayam yang membutuhkan suhu sekitar 350 C agar dapat tumbuh sempurna itu dihangatkan dengan nyala api kompor yang disebarkan lewat kanopi ke seluruh ruangan. Satu kompor briket batu bara, biasanya dapat menghangatkan 750 sampai 1000 ekor anak ayam. Kini, Sutrisno tidak lagi membuat kompor briket batu bara untuk rumah tangga, kecuali jika ada yang memesan. Ia hanya membuat kompor untuk peternak ayam. Itu pun dalam jumlah yang terbatas.
Dalam semalam, penggunaan kompor minyak tanah memakan biaya Rp 25.000. Sementara kompor gas elpiji menghabiskan Rp 15.000. Jika menggunakan briket batu bara, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 7.500. “Dengan briket batu bara, peternak ayam 50 persen lebih hemat daripada menggunakan gas elpiji,” terang Sutrisno.
Selain itu, kelebihan lain dari briket batu bara yakni – mengutip pernyataan Presiden SBY –1000 persen tidak berjelaga seperti minyak tanah dan 2000 persen aman karena tidak berpotensi meledak seperti yang sering terjadi pada gas elpiji. Sayangnya, ketiga bahan bakar ini sama, sama-sama tidak ramah lingkungan.
Paling bagus nyala apinya dari 100 kompor
Sama seperti kompor-kompor lainnya, kompor briket batu bara memiliki komponen-komponen khusus yang wajib ada agar api dapat menyala dengan sempurna, di antaranya tangki ruang udara, ruang bakar, dan penampung abu sisa batu bara.
Tangki ruang udara berfungsi untuk masuk keluarnya udara. Di tangki ini besar kecilnya nyala api diatur. Semakin besar pintu udara dibuka, semakin besar pula apinya, begitu juga sebaliknya. Sementara ruang bakar merupakan tempat bahan bakar, yakni briket batu bara. Ada berbagai macam ukuran ruang ini, tergantung model kompornya. Model buatan Sutrisno, misalnya, kompor rumah tangga yang pernah ia buat dulu, ruang bahan bakar dapat diisi dengan 3 kg briket batu bara. Sementara kompor untuk menghangatkan ayam di peternakan, volume ruang bakarnya lebih besar dua kali lipat.
Bentuk kompor briket batu bara untuk rumah tangga dan untuk peternakan ayam juga berbeda. Kompor untuk rumah tangga, bentuk luarnya mirip dengan kompor minyak tanah. Hanya saja jika diperhatikan komponen-komponen dalamnya berbeda, seperti tempat sumbu diganti dengan tempat bahan bakar, tangki minyak tanah diganti dengan tangki ruang udara, dan lain-lain.
Sementara kompor untuk peternakan ayam berbentuk tabung panjang. Tingginya 1,4 m dengan diameter 55 cm. Kompor ini dilengkapi dengan penyebar panas berbentuk mirip caping petani namun dengan ukuran yang jauh lebih besar. Fungsinya menyebarkan panas dari api kompor ke seluruh ruangan. Sisanya, tempat abu sisa batu bara, berfungsi untuk menyimpan sisa abu yang bekas pembakaran batu bara. Abu ini bisa digunakan sebagai abu gosok.
Membuat kompor briket batu bara, menurut Sutrisno, cukup mudah. Yang sulit justru bagaimana cara mengenalkan kepada masyarakat, khususnya peternak ayam, agar mau memakainya. Untuk yang satu ini, Sutrisno beruntung. Tahun 1997, ia mengikuti perkumpulan pembuat kompor briket batu bara di Jakarta yang dihadiri oleh 100 perajin kompor dari berbagai daerah di Indonesia. Tak dinyana, kompor briket batu bara buatannya menjadi kompor dengan nyala api paling bagus.
Dari sana, jalan untuk sosialisasi jadi lebih mudah. Beberapa bulan setelah acara tersebut, ia diundang untuk temu wicara dengan presiden RI saat itu, Pak Harto. Di siang hari suaranya mengudara di radio, malam harinya, ia tampil di televisi. “Sejak itu, banyak peternak ayam yang cari saya,” katanya bangga.
Sampai saat ini, di mata Sutrisno, kompor briket batu bara masih diminati meski hanya oleh minoritas peternak ayam. “Dari tahun 1995 sampai sekarang, saya masih buat kompor briket, artinya kan masih ada yang pakai,” ujar Lelaki kelahiran Bojonegoro ini. Karena penggunanya yang sedikit, Sutrisno lebih fokus memproduksi peralatan peternak ayam lainnya, seperti tempat makan ayam, fumigasi telur, kanopi, dan lain-lain.
Kini, kompor briket batu bara “Bintang 5” buatan 40 karyawan Sutrisno sudah melanglang buana di banyak tempat di Indonesia, di Jawa maupun luar Jawa. Melihat peminatnya yang semakin langka, akankah kompor ini masih akan bertahan lama? Biar waktu yang menjawabnya.
Eksperimen kandang ayam
Sebagai produsen peralatan ternak ayam, sampai saat ini, Sutrisno belum pernah memelihara ayam sendiri. Pertama kali membuat kompor briket batu bara untuk penghangat anak ayam, ia melakukan sebuah eksperimen unik, yakni membuat duplikasi kandang anak ayam di rumahnya.
Ruang duplikasi kandang anak ayam ia buat bersekat-sekat. Setiap setengah meter, ia pasang termometer. Begitu kompor yang diletakkan beberapa meter di atas alas ia nyalakan, dari sana ia tahu, berapa radius hangat yang dihasilkan oleh kompor buatannya. “Jadi, kita tahu betul seperti apa alat kita. Jangan sampai ada yang tanya soal alat yang kita buat, kita tidak bisa jawab. Tidak lucu kan?” pungkasnya.