SEJARAH

Cincim Lawas Babat Akan Dihidupkan Kembali

Pertamina Rosneft, perusahaan kilang minyak di Tuban, berencana akan menghidupkan kembali jalur kereta peninggalan Belanda yang menghubungkan Babat-Tuban-Merakurak. Itu artinya cincim lawas Babat pun akan dihidupkan kembali.  

Waw, keren! Tapi karena ini baru rencana, realisasinya mungkin masih akan lama, Gaes.

Cincim lawas adalah saksi sejarah Babat selama satu abad. Ia merekam suasana hiruk-pikuk perniagaan Babat di zaman Belanda. Ia menjadi korban keganasan Perang Dunia II. Ia juga menjadi saksi perjuangan rakyat melawan agresi militer Belanda setelah kemerdekaan RI.

Cincim ini diresmikan tahun 1920, persis seabad lalu, pada saat jalur kereta Babat-Tuban-Merakurak mulai beroperasi. Arsip koran Belanda tahun 1919 di bawah ini memuat berita perusahaan maskapai kereta Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS) siap mengoperasikan jalur kereta itu. 

Jembatan ini sempat menjadi ikon kemegahan kota Babat. Foto di bawah ini adalah arsip koran Sin Po tahun 1926. Sin Po adalah koran milik pengusaha media keturunan Cina.

Akan tetapi karena daerah Tuban tidak begitu kaya sumber daya alam, jalur kereta ini tidak begitu menguntungkan. Akhirnya pada tahun 1935 jalur ini ditutup karena tidak pernah balik modal. Tapi cincim Babat masih berfungsi dengan baik. Pada masa Belanda, maskapai kereta api adalah perusahaan swasta, tidak seperti jawatan kereta api Indonesia yang dimiliki oleh Pemerintah. Sehingga ketika jalurnya rugi, mereka langsung menutupnya.

Ketika Perang Dunia II meletus tahun 1942, tentara Jepang merangsek ke Jawa. Di laut Jawa, mereka sempat dihadang oleh kapal-kapal perang Sekutu gabungan Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia. Tapi mereka semua kocar-kacir ditenggelamkan oleh torpedo Jepang.

Di pesisir Jawa Timur, tentara Jepang mendarat di Tuban. Pasukan Belanda yang bersiaga di Babat sudah terkencing-kencing di celana. Takut ditenggelamkan tentara Jepang, mereka mengebom cincim Babat untuk menghambat gerakan musuh. Tapi rupanya para samurai itu tidak bisa dihentikan. Mereka tetap bisa merangsek ke Babat dan menekuk lutut tentara Belanda. Foto di bawah ini dijepret oleh tentara Belanda sesaat setelah jembatan dibom. 

Ketika Jepang berkuasa, jembatan ini dibangun kembali. Jembatan yang dibangun Jepang inilah yang masih kita lihat wujudnya yang tua renta hari ini. Jadi jembatan ini sebetulnya adalah peninggalan Belanda-Jepang, bukan Belanda saja.

Sejarah berputar. Tahun 1948, Belanda melakukan agresi militer. Foto-foto agresi militer pernah kami muat di sini. Mereka masih belum rela Indnesia merdeka. Marinir Belanda mendarat di Tuban, lalu merangsek ke Babat lewat jembatan ini. Untung kakek-kakek kita dulu baik hati. Mereka tidak menghancurkan jembatan ini seperti yang dilakukan oleh tentara Belanda ketika ketakutan menghadapi tentara Jepang. Foto di bawah ini adalah marinir Belanda di cincim lawas saat agresi militer tahun 1948. 

BERITA

Setia Hati Terate vs Pagar Nusa

Beberapa hari ini di medsos wong Lamongan berseliweran video tawuran di Karanggeneng. Kabarnya, antara anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Pagar Nusa. Entah benar atau tidak. Jika benar, ini bukan yang pertama. Tahun kemarin anggota dua perguruan silat ini juga bentrok di Sugio. Di kabupaten lain, kedua perguruan ini juga sering diberitakan bentrok.

Kita tidak tahu duduk perkaranya. Tapi banyak yang berkomentar menyudutkan perguruan silatnya. Bagaimanapun, tawuran memang tidak bisa dibenarkan. Tapi perguruan silatnya tentu tidak bisa otomatis dianggap sebagai sumber kerusuhan. Sama halnya, kalau anak STM sering tawuran, apakah STM sebaiknya dibubarkan?

Kita tidak tahu kronologinya. Yang jelas kita tahu adalah bahwa baik PSHT maupun Pagar Nusa sama-sama didirikan untuk tujuan mulia. Hardjo Oetomo, pendiri Setia Hati Terate, membuat perguruan silat ini agar bisa melatih pemuda-pemuda untuk melawan penjajah Belanda. Karena aktivitasnya ini, Ki Hardjo berkali-kali dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Hardjo Oetomo bersama gurunya, Eyang Suro (Foto: Rendi Saputra)

Gambar di bawah ini adalah arsip koran Belanda tahun 1923 yang memberitakan bahwa Hardjo Oetomo menjadi target pengawasan polisi Belanda. Waktu itu ia baru setahun mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club, cikal bakal yang kelak menjadi PSHT.

Sementara koran di bawah ini, yang terbit tahun 1931, memberitakan tentang Ki Hardjo Oetomo alias Samingun (nama aslinya) yang dibebaskan dari pengasingan. Dari sejarah ini kita bisa melihat, PSHT didirikan bukan agar anggotanya bisa petantang-petenteng. Itu cemen sekali. Ada tujuan besar yang mulia. 

Dulu warga Setia Hati Terate memang suka tawuran. Tapi yang ditawur adalah Pemerintah Belanda. Di situ levelnya. Maka kalau sekarang ada warga PSHT gemar tawuran dengan perguruan silat lain, itu sebetulnya menurunkan kelas PSHT. 

Pagar Nusa juga tak beda. Sebagai organisasi, Pagar Nusa memang baru dibentuk tahun 1986. Tapi silat di pesantren NU umurnya sudah sama tua dengan pesantren itu sendiri. Jauh sebelum organisasi Pagar Nusa dibentuk, pesilat-pesilat dari kalangan santri adalah pejuang terdepan melawan penjajahan. Tanpa laskar santri, TNI saja tidak akan sanggup menghadang tentara Sekutu. 

Satu hal yang sangat mendasar, di lambang Pagar Nusa, ada tulisan “La ghaliba illa billah”. Artinya, tidak ada yang menang kecuali dengan pertolongan Allah. Ini adalah falsafah dasar sikap rendah hati. Tidak merasa diri hebat, pendekar, atau sakti.

Maka kalau ada yang merasa hebat setelah menjadi pesilat, apalagi petantang-petenteng, sebetulnya itu adalah bentuk kelemahan diri. Sebab, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, “Orang kuat bukanlah orang yang jago gelut tapi orang yang bisa mengendalikan diri saat marah.”  

Ini adalah dasar silat yang harus ditanamkan lebih dulu sebelum berlatih jurus pertama. Perlu ada sah-sahan khusus untuk naik kelas dari level dasar ini. Hanya dengan sabuk ini, seorang pesilat tidak mudah nantang gelut hanya karena perkara sepele seperti nyeknyekan

DIREKTORI
DIREKTORI
oleh-oleh khas lamongan OLEH-OLEH KHAS LAMONGAN

Sejarah Wingko Babat Lamongan (1)

Sejarah wingko Babat adalah sejarah orang Tionghoa di Lamongan. Tak dapat diingkari, tradisi kuliner peranakan Cina sangat banyak mempengaruhi khazanah kuliner Jawa dan Nusantara pada umumnya. Hal ini juga berlaku dalam urusan sejarah wingko Babat Lamongan.

Kata “wingko” berasal dari bahasa Tionghoa, bibingka, yang artinya kue berbahan beras ketan. Pada awalnya bibingka adalah kueg populer di kalangan peranakan Cina. Beras ketan merupakan unsur dapur Tionghoa yang banyak digunakan di dalam aneka resep. Padi ketan sendiri adalah tanaman yang banyak tumbuh di Asia Timur (termasuk Cina), India, sampai Asia Tenggara. 

Foto-foto: Loe Lan Ing

Sejarah Wingko Babat Zaman Belanda

Di Jawa, kue ini disebut bingka saja, lalu menjadi wingko. Bingka tampaknya bukan makanan asli Babat Lamongan. Sebab makanan ini dengan resep yang serupa juga populer di kalangan keturunan Tionghoa di Filipina, Sulawesi Utara, dan Maluku. Akan tetapi wingko yang kita kenal hari ini mungkin bisa disebut asli Babat karena resepnya sudah mengalami adaptasi dari resep asli bingka.

Nama kue ini disebut di dalam kamus kuno Melayu-Belanda, Maleisch Nederdutisch Woordenboek, terbitan tahun 1869. Bingka: kue berbahan tepung beras, santan, telur, dan gula kelapa yang dimasak dengan cara dipanggang atau dikukus. Kamus ini menyebut bingka sebagai bahasa Jawa. Artinya wingko sudah dikenal di Jawa paling tidak sejak pertengahan abad ke-19. 

sejarah wingko babat

Wingko Loe Lan Ing Babat dinyatakan ada sejak 1898. Artinya, sebelum wingko populer sebagai makanan khas Babat, orang Jawa sudah mengenal cemilan ini. 

Penggunaan santan dan gula kelapa di resep bingka jelas merupakan pengaruh Nusantara yang tropis. Kelapa adalah pohon khas wilayah tropis. Dengan kata lain, bingka di Jawa sudah mengalami perkawinan budaya. Sekarang resep wingko menggunakan parutan kelapa. Tampaknya adaptasi resep ini, selain untuk memperbaiki teksturnya, juga untuk membuat wingko menjadi lebih awet sebagai buah tangan. Resep wingko Loe Lan Ing sendiri tidak menggunakan telur dan sepenuhnya vegetarian.

Sekarang wingko sudah bertransformasi menjadi banyak varian. Yang original berbahan beras ketan. Sekarang ada juga wingko yang berbahan singkong. Ini juga jelas pengaruh Nusantara. Ada juga yang ditambah aneka rasa: cokelat, nanas, durian, kopi, dan sebagainya. Yang terakhir ini jelas pengaruh generasi Pop Ice.

Dinasti Wingko Babat Loe Lan Ing

Walaupun mungkin awalnya wingko bukan makanan khas Babat, sejarah wingko tak bisa dilepaskan dari Babat. Yang memopulerkan makanan ini adalah Loe Soe Siang. Ia adalah generasi pertama perantau dari Tiongkok ke Babat pada masa Hindia Belanda. 

Usaha jualan wingko ini kemudian dilanjutkan oleh anak laki-lakinya yang bernama Loe Lan Ing. Nama anak laki-lakinya inilah yang kemudian menjadi merek dagang wingko itu sampai sekarang.

Di koran Belanda, Soerabaijasch Handelsblad, terbitan 6 Agustus 1934 bahkan ada tulisan yang menyebutkan wingko ini sebagai ikon kuliner Babat pada masa itu. Para meneer Belanda yang sedang jalan-jalan di Babat memuji wingko ini enak. 

sejarah wingko babat

Sementara Loe Lan Ing meneruskan usaha ayahnya di Babat, saudara perempuannya yang bernama Loe Lan Hwa, pindah ke Semarang. Di sana pada tahun 1946 ia mendirikan usaha wingko dengan merek Wingko Babat Cap Spoor. Karena kota Semarang lebih maju daripada Babat, walaupun usianya lebih muda, wingko cap Sepoor ini akhirnya lebih terkenal dari wingko Loe Lan Ing. Wingko Cap Spoor ini cepat terkenal karena dijual di stasiun Semarang yang memang lebih ramai daripada stasiun Babat. Inilah yang menyebabkan banyak orang mengira wingko Babat berasal dari Semarang. 

Wingko Loe Lan Ing Babat Era Shopee

Sekarang pengusaha wingko di Lamongan bukan lagi monopoli warga keturunan Tionghoa. Tapi di masa lalu, para pengusaha wingko adalah bagian dari dinasti Loe Soe Siang. Wingko merek Loe Lan Ing milik anaknya. Sementara wingko merek Kelapa Muda Gondokusumo Hadi milik anak dari Loe Lan Ing, yang bernama Go Kok Hien. Gondokusumo adalah versi Indonesia dari nama Go Kok Hien. 

oleh-oleh khas lamongan

Pengindonesiaan ini untuk mengikuti aturan Orde Baru yang melarang penggunaan nama Cina. Merek Loe Lan Ing sendiri sempat diindonesiakan menjadi LLI, singkatan dari Lunak, Lezat, Istimewa. Tapi pada akhirnya konsumen tetap mengingat nama Loe Lan Ing. 

Sekarang merek wingko di Lamongan ada banyak sekali. Tapi yang paling klasik tentu saja tetap Loe Lan Ing. Walaupun zaman sudah modern, Loe Lan Ing masih mempertahankan proses memasak seperti zaman dulu, yakni menggunakan tungku batu dan kayu bakar. Di luar proses produksinya, Loe Lang Ing adalah perusahaan masa kini yang menjual produknya lewat Tokopedia, Shopee, GoFood, dan Grab Food.

Loe Lan Ing barangkali adalah satu-satunya merek asli Lamongan yang bisa bertahan sampai satu abad, melewati lima generasi. Benar-benar legenda hidup.

wingko loe lan ing
MEGILAN

Gerabah Lamongan, Hidup Enggan Mati Eman

Foto: Cobek Gampang

Sebagian besar dari kita, orang Lamongan, mungkin secara tidak sadar makan tanah liat dari Desa Gampangsejati Kecamatan Laren. Sejak zaman dulu desa ini terkenal sebagai penghasil cowek (cobek kecil) dan layah (cobek besar). Alat dapur dari desa ini dijual ke mana-mana: desa tetangga, hingga Surabaya, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi. 

Penjual gerabah zaman Belanda di Surabaya.

Di pasaran sekarang ada aneka cobek. Ada yang berbahan tanah liat seperti cobek Gampang. Ada yang berbahan batu gunung, yang terkenal misalnya dari batu Gunung Merapi. Ada pula yang berbahan semen. Yang terakhir ini tidak bagus buat kesehatan karena materi semen pasti akan terkikis dan bercampur dengan bumbu. Cobek tanah, walaupun terkikis sampai habis, tak masalah karena bahannya tanah liat. Tiap hari kita mungkin makan tanah dari cobek dalam jumlah sangat kecil. 

Cobek batu omahwatoe

Emak-emak milenial zaman sekarang banyak yang enggan mengulek bumbu di cobek. Lebih suka pakai blender. Praktis. Tinggal pencet ON, dalam hitungan detik bumbu sudah halus. 

Sebetulnya cobek punya kelebihan. Bumbu yang diulek di cobek menghasilkan masakan yang lebih enak. Ini bukan mitos tapi bisa dijelaskan dengan ilmu fisika-kimia. Blender sekadar mencacah-cacah rempah sampai ukuran kecil. Sementara ulek dan cobek melindas rempah sampai saripatinya keluar. Itu sebabnya bumbu ulek lebih terasa daripada bumbu blender.

exs garage

Begitu pula, kacang tanah yang disangrai di wajan tanah matangnya lebih enak karena panasnya stabil dan suhunya tidak begitu tinggi. Beda dengan wajan logam yang suhunya bisa sangat tinggi dan menyebabkan kacang mudah gosong. 

Kebetulan tanah bantaran Bengawan Solo di Desa Gampangsejati sangat cocok untuk kerajinan tembikar. Dua desa tetangga yang tipe tanahnya serupa, yaitu Ketintang (Laren) dan Gedangan (Maduran), juga merupakan sentra pengrajin tembikar. 

Setelah dibentuk menjadi cobek atau wajan, tembikar basah ini dijemur sampai kering, lalu dibakar. Dulu sebelum zaman elpiji, ketika hutan di Desa Gampang masih rimbun, warga setempat mencari kayu bakar gratis di hutan. Masuk hutan bawa parang, keluar membawa sepikul kayu bakar. Sekarang harga kayu bakar cenderung naik sementara harga cobek cenderung stagnan. 

https://www.youtube.com/watch?v=etMxyM8h0X4

Karena anjun (membuat cobek) tak begitu menguntungkan secara ekonomi, sekarang tidak banyak yang menekuni profesi ini. Maklum, cobek bukan kategori barang dagangan fast moving. Beli satu buah bisa dipakai berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan penjual lele Lamongan sendiri banyak yang menggunakan cobek batu karena lebih kuat dan awet.

Cobek Gampangsejati
FB Aniek
FB Cobek Gampang
DIREKTORI

Rumah Sunat Lamongan WA 081233362340

Rumah Sunat Lamongan adalah Pusat Sunat Modern Terbaru dan Terpercaya di Kota Lamongan Jawa Timur, juga member dari Asosiasi Dokter Khitan Indonesia (ASDOKI) dan Jaringan Sunat Nusantara (JSN) yang memiliki jejaring di berbagai kota di Indonesia.

Sebagai Pusat Sunat Modern, Rumah Sunat Lamongan memberikan pelayanan meliputi:

1. Sunat Bayi
2. Sunat Anak
3. Sunat Dewasa
4. Sunat Berkebutuhan Khusus (Autis)
5. Sunat Revisi
6. Sunat Anak Gemuk
7. Sunat dengan kondisi fimosis (perlengketan)
8. Sunatanan Massal

Layanan metode Sunat Modern, meliputi:
1. Metode Sunat Stapler
2. Metode Sunat Klamp
3. Metode Sunat gomco
4. Metode Sunat Laser/cauter
5. Metode sunat lem
6. Metode Sunat Konvensional

Operator: dr.Miftahol Arifin (kanan)

Nama Operator : dr. Miftahol Arifin

Alamat klinik
Jl. Mastrip Perumahan Valencia Residen B-3
Lamongan – Jawa Timur

WEBSITE : http://www.rumahsunatlamongan.com

Facebook : Rumah Sunat Lamongan
Instagram : @rumahsunatlamongan_official

SEJARAH

Candi Pataan dan Sifat Loman Orang Lamongan

Bagaimana wajah Lamongan seribu tahun yang lalu? Lamongan masuk kerajaan mana? Apa agama orang Lamongan pada masa itu? 

Jawaban semua pertanyaan ini ada di Candi Pataan, Sambeng.

Foto: Nugroho Harjo

Pada awal tahun 1000-an Masehi, Pulau Jawa dikuasai oleh raja-raja lokal yang berdiri sendiri-sendiri. Belum ada satu kerajaan besar yang menyatukan mereka. 

Di Sumatera, ada kerajaan besar Sriwijaya tapi pada masa itu gurita kekuasaannya di Jawa mulai surut. Di Jawa Timur, ada seorang raja lokal bernama Airlangga yang kerajaannya meliputi wilayah kecil Sidoarjo dan Pasuruan sekarang.

Airlangga berusaha memperluas kekuasaannya ke arah Kediri, Tulungagung, Trenggalek. Tapi di sana ia memperoleh perlawanan sengit dari raja-raja setempat. Airlangga bahkan sampai harus mundur ke utara, ke wilayah yang sekarang masuk Lamongan selatan. 

Di pengungsian ini ia diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Wong Lamongan memang baik-baik, loman-loman. 

Di wilayah yang kini masuk Desa Pataan Sambeng, ia membangun pertapaan. Dari tempat persembunyiannya ini Airlangga berusaha membangun lagi kekuatannya. Setelah cukup kuat, ia kembali ke Sidoarjo dan membangun kembali kerajaannya yang sempat hancur.

Foto: Sadayuki Matsuoka

Sedikit demi sedikit ia berhasil memperluas kekuasaannya ke arah Kediri-Trenggalek-Tulugangung lagi. Ke utara sampai meliputi wilayah Lamongan dan Tuban. Sebagai bentuk terima kasih kepada Pataan, Airlangga menjadikan tempat ia bertapa itu sebagai wilayah istimewa yang bebas pajak. 

Bagi Airlangga, Candi di Pataan adalah tanah suci karena dari tempat inilah ia memperoleh kekuatan spiritual dan bisa merebut kembali kerajaannya. Bahkan setelah itu ia berhasil membangun Kerajaan Kahuripan yang lebih besar dari sebelumnya. Setelah bertapa dari Lamongan, Airlangga praktis menjadi penguasa Jawa Timur. 

Kahuripan adalah kerajaan Hindu-Buddha. Jadi, masyarakat Lamongan pada masa itu kemungkinan besar beragama sinkretisme Hindu-Buddha. 

Pada saat itu Islam belum masuk wilayah Lamongan. Airlangga memerintah di abad ke-11 (tahun 1009-1042). Sementara Sunan Giri dan Sunan Drajat berdakwah di abad ke-15 sampai 16.

Pada saat ditemukan oleh ahli sejarah Lamongan, Supriyo (Yoks Kalachakra), posisi bangunan utama Candi Pataan berupa gundukan tanah yang dilahap akar trembesi. Tampaknya, setelah era Hindu-Buddha selesai, dengan masuknya agama Islam, candi ini dibiarkan begitu saja terbengkalai sampai dilahap akar tumbuh-tumbuhan. 

Foto: Al Katras

Ada ahli sejarah yang berpendapat bahwa pusat kerajaan yang dipimpin Airlangga berada di wilayah Ngimbang-Sambeng. Tapi sebagian besar ahli sejarah berpendapat pusat Kerajaan Kahuripan ada di wilayah Sidoarjo.

Lamongan memang tidak punya kerajaan. Tapi tanpa andil orang Lamongan, mungkin Airlangga nasibnya akan sama sekali berbeda. 

Wong Lamongan memang terlalu baik hati sehingga biasa menjadi tempat pelarian. A shoulder to cry on. Setelah itu ditinggalkan dan dilupakan. Lho lho lho… kok jadi curcol? Wah, maaf, salah kamar. 

SEJARAH

Sejarah Tembakau di Lamongan

Kemarin Lamongan trending di Twitter gara-gara seorang politikus salah menyebut tembakau “Lamongan Jawa Tengah”.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Lamongan adalah penghasil tembakau yang cukup besar. Tahun ini Lamongan masuk lima besar di Jatim. Sejak zaman Belanda pun Lamongan sudah dikenal sebagai penghasil tembakau.

Kita yang cuma terbiasa lewat jalan Pantura atau Babat-Lamongan mungkin jarang melihat kebunnya. Harap maklum, daerah utama penghasil tembakau Lamongan sejak dulu adalah wilayah Babat ngidul.

Pada masa kompeni, iklan-iklan tembakau bahkan menyebut “tembakau Babat” sebagai salah satu specialties Java Tabak (tembakau Jawa). Tapi tembakau Jawa sendiri saat itu hanya kasta kedua. Kasta pertama adalah tembakau Sumatera, terutama tembakau Deli.

Industri rokok pada masa kolonial termasuk industri yang menguntungkan. Pemainnya cukup banyak. Tembakau merupakan komoditas ekspor penting ke Eropa. 

Di dalam negeri, selain untuk udut, tembakau juga digunakan nenek-nenek kita zaman dulu untuk susur (mengunyah biji pinang bersama kapur dan sirih). Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan sebelum zaman Hindia Belanda.

Secara nasional, industri tembakau saat itu dikuasai oleh pedagang-pedagang keturunan Cina. Di Lamongan juga demikian. Kebanyakan mereka menetap di Babat yang pada masa Belanda adalah pusat ekonomi paling maju di Lamongan.

Penanaman tembakau hanya berhenti pada masa Jepang. Sebab Dai Nippon menyuruh para petani menanam jarak untuk diambil minyaknya buat keperluan perang. 

Sayangnya, walaupun punya produksi tembakau cukup besar, Lamongan tidak punya produk rokok sendiri. Saat ini di Lamongan memang ada beberapa “pabrik rokok”, yaitu di Brondong, Kedungpring, dan Lamongan Kota. Tapi pabrik-pabrik ini sekadar menggarap pesanan merek rokok nasional dari kota lain. 

Pabrik Brondong dan Karanglangit Lamongan menggarap pesanan Sampoerna (Surabaya). Pabrik di Dradah Kedungpring menggarap pesanan Gudang Garam (Kediri). 

Yang menarik adalah, pendiri pabrik rokok Sampoerna, Liem Seeng Tee, sekitar tahun 1912 adalah karyawan pabrik rokok di Lamongan. Ia bekerja sebagai peracik tembakau. Entah di mana pabrik rokok tersebut. Mungkin di Babat. 

iklan industri tembakau di Ngimbang

Tahun 1913, setelah ahli meracik tembakau, Liem keluar dan memproduksi rokok sendiri. Rokok ini ia jual keliling, sedikit demi sedikit laris, sampai kemudian menjadi merek nasional, Dji Sam Soe.

Zaman berganti. Ketika Dji Sam Soe menjadi rokok terkemuka, pabrik rokok di Lamongan tempat Liem Seng Tee bekerja, tak terdengar nasibnya. 

Seperti kretek yang tinggal puntungnya.

Foto-foto ilustrasi (c) Univ. Leiden

DIREKTORI