Mari perjelas dulu, saya adalah oposan Jokowi sejak ia mulai naik mobil gaib Esemka. Logika sederhana saya, Astra yang sudah puluhan tahun memegang lisensi mobil Jepang saja masih kesulitan membuat mobil sendiri. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada anak-anak SMK bisa membuat mobil sendiri?
Sejak kemunculannya itu, saya sudah melihat Jokowi “pintar mulitik”. Mulitik adalah istilah Jawa yang berarti “membuat tipu muslihat”.
Tapi dalam hal tuduhan ijazah palsu yang viral tak henti-henti di medsos, saya berpikir sebaliknya. Saya percaya Jokowi punya ijazah asli. Pihak UGM sudah berkali-kali membuat klarifikasi bahwa Jokowi memang lulusan UGM. Bagi saya, ini sudah cukup.
Saya melihat para penentang Jokowi seperti tantrum karena lose streak. Tiap pemilu, mereka kalah terus dari Jokowi, akhirnya marah tak berkesudahan.
Harus diakui, Jokowi adalah orang yang paling paham kelemahan demokrasi. Ia tahu bahwa di bilik pemilu, suara satu orang miskin penerima bansos itu nilainya sama dengan suara satu orang guru besar UGM seperti Amien Rais. Makanya dia berfokus menggarap segmen ini dan dia bisa melakukannya dengan sangat baik.
Kebetulan sekali dia punya modal yang tidak dimiliki oleh orang-orang pintar macam Amien Rais bahkan Anies sekalipun, yaitu tampang baik hati dan kemampuan mengendalikan diri khas kejawen. Kita semua tahu bagaimana bencinya Jokowi kepada Anies, tapi apakah kita pernah mendengar ucapan Jokowi menjelek-jelekkan Anies? Ia punya kemampuan yang sangat baik menyembunyikan isi hatinya. Kita hanya bisa melihat kebencian itu dari serangan-serangan politiknya.
Ini persis seperti karakter raja-raja Jawa zaman dulu. Mereka tetap bisa bicara dengan bahasa krama inggil kepada lawan-lawan politiknya walaupun mereka sedang berencana menghabisinya.
Jokowi adalah orang yang sangat pandai mulitik. Dalam sejarah Indonesia, tak ada satu pun presiden yang punya ide memberi konsesi tambang kepada ormas keagamaan macam NU dan Muhammadiyah. Jokowi tahu, ini adalah cara jitu untuk membeli suara pemilu dengan uang milik negara, yang artinya juga uang milik orang-orang NU dan Muhammadiyah.
Jokowi memang licik. Tapi mau bagaimana lagi? Ini memang kelemahan demokrasi. Kondisi demokrasi itu seperti ungkapan satiris Mark Twain, “Menipu orang itu lebih mudah daripada menyadarkan mereka bahwa mereka sudah ditipu.”
Saat ini kebanyakan orang Indonesia memang masih belum bisa diajak bicara kebijakan. Mereka baru bisa diajak bicara di level tutur kata yang sopan atau tidak sopan. Ini kenyataan yang, tidak bisa tidak, harus diterima.
Saya oposan Jokowi. Tapi daripada ribut soal ijazah, saya lebih tertarik menunggu Anies mendirikan partai politik untuk pembuktian bahwa Anies memang bisa menyadarkan orang-orang bahwa mereka sudah ditipu Jokowi. Memang inilah tantangan demokrasi. Kalau tiap kali kalah pemilu lantas marah-marah tanpa henti, mana mungkin kita bisa meyakinkan orang-orang bahwa mereka sudah ditipu Jokowi?
Lagi pula, ijazah kehutanan UGM itu bukan sesuatu yang istimewa. IQ Jokowi sudah pasti melampaui passing grade fakultas kehutanan. Saya saja baru tahu ungkapan “wi wok de tok not onli tok de tok” dari pidato Jokowi.
Kalau cuma urusan fotonya beda, atau Jokowi tidak pernah hadir di acara alumni UGM, dan tetek bengek lainnya itu cuma soal administrasi atau preferensi saja. Saya pun tidak pernah ikut pertemuan alumni. Foto saya dulu juga jauh berbeda dari foto saya sekarang. Tapi apakah itu lantas membuat ijazah saya tidak asli?
Soal Ijazah, Jokowi Sudah Terbukti Lebih Hebat daripada Rektor dan Guru Besar UGM