
Penulis: Mohammad Sholekhudin, wali murid sekolah Muhammadiyah
Dulu waktu saya belajar matematika di sekolah, guru-guru saya menyuruh begitu saja menghafal rumus lingkaran. Mereka menyodorkan rumus keliling dan luas lingkaran sebagai pasal-pasal yang harus dihafal.
Rumus keliling lingkaran = 2 π r
Rumus luas lingkaran = π r²
Ketika saya mulai banyak membaca buku sejarah, saya baru sadar bahwa rumus-rumus dasar matematika seharusnya tidak perlu dihafal. Cukup dipahami konsepnya saja. Kalau kita paham konsepnya, kita bisa mengetahui rumusnya secara otomatis. Tidak perlu dihafal.
Bagaimana bisa?
Rumus-rumus itu sejatinya punya cerita. Bilangan pi itu bukan sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit. Pi itu hasil pengamatan para ahli hitung zaman dulu.
Salah satu cerita tertua mengenai pi adalah ketika Nabi Sulaiman menyuruh tukang perunggu membuat bejana (kuali) raksasa. Ia memberi petunjuk kepada tukang perunggu itu:
- Mulut kuali berbentuk bundar
- Garis tengah mulut kuali 10 hasta
- Keliling mulut kuali 30 hasta
Hasta adalah satuan panjang zaman dulu yang panjangnya kira-kira setengah meter, setara dengan panjang lengan orang dewasa, yang dihitung mulai dari siku sampai ujung jari.
Dari angka-angka di atas, terlihat Nabi Sulaiman sudah memiliki pengetahuan geometri bahwa keliling lingkaran itu 3 kali lipat dari garis tengah (diameter) lingkaran. Berapa pun besarnya kuali itu, perbandingan keliling dan diameter mulutnya selalu 3. Angka ini konstan, dan merupakan cikal bakal konstanta pi.
Ketika ilmu pengetahuan semakin maju, para ilmuwan melakukan pengukuran dengan lebih cermat. Hasilnya, ternyata perbandingan antara keliling dan diameter lingkaran itu besarnya 3,14 sekian. Bukan 3 persis seperti pi ala Nabi Sulaiman.
Para ilmuwan kemudian menyebut bilangan 3,14 ini sebagai pi. Simbol pi dipinjam dari huruf Yunani kuno dan merupakan inisial dari “perifer” yang artinya tepi lingkaran.
Jadi, pi adalah perbandingan antara keliling terhadap diameter lingkaran. Inilah konsepnya.
Dengan memahami cerita asal muasalnya, kita tidak perlu menghafalkan rumus keliling lingkaran karena kita sudah tahu bahwa pi itu perbandingan (rasio) antara keliling dan diameter lingkaran.
Alangkah baiknya jika sebelum belajar Bab Lingkaran, guru mengajak murid keluar kelas untuk mengamati benda-benda berbentuk bundar seperti roda, kaleng, piring, dsb. Lalu guru mengajak mereka mengukur keliling dan diameter benda-benda itu lalu hasilnya dicatat. Setelah itu guru baru menjelaskan konsep pi. Dengan cara ini belajar matematika jadi lebih menyenangkan. Rumus-rumus jadi lebih mudah diingat.
Sekarang bagaimana dengan rumus luas lingkaran? Ini juga sebetulnya tidak perlu dihafal. Cukup kita pahami saja konsepnya dengan logika sederhana.
Gambar di atas adalah lingkaran yang ada di dalam kotak persegi.
Kita tidak tahu rumus luas lingkaran, tetapi kita sudah tahu rumus luas persegi.
Persegi ABCD di atas sebetulnya adalah empat buah persegi kecil yang panjang sisinya adalah jari-jari lingkaran.
Jadi, luas persegi di atas = 4 x (jarijari x jarijari) = 4 r2
Bagaimana dengan luas lingkarannya? Tinggal ganti saja angka 4 di atas dengan pi.
Ini cara singkatnya. Kalau mau cara panjangnya, kita bisa menggunakan logika matematika.
“Luas lingkaran dibagi keliling lingkaran sama dengan luas persegi dibagi keliling persegi.”
Mari kita tulis logika ini dengan rumus matematika.

Tentu saja cara panjang ini hanya untuk mengobati rasa penasaran. Jelas tidak praktis kalau diterapkan pada saat murid menghadapi kertas ujian yang waktunya sempit. Lebih praktis pakai cara cepat di atas.
Tanpa latar belakang sejarah, rumus matematika bukan hanya sulit dimengerti tapi juga sulit dinikmati. Misalnya dulu sewaktu SMA saya selalu bertanya-tanya, buat apa kami diajari sin, cos, tangen, dan sejenisnya itu? Di kelas, kami tiba-tiba disuguhi rumus-rumus ini untuk kami hafalkan begitu saja.
Setelah lulus SMA, saya baru bisa mengagumi rumus–rumus sin cos ini ketika membaca sejarah ilmuwan muslim yang hidup di abad ke-11, yaitu Albiruni.
Pada saat berada di wilayah yang sekarang masuk negara Pakistan, Albiruni melakukan pengamatan ilmiah yang spektakuler. Dia mengukur jari-jari planet Bumi menggunakan alat-alat sederhana. Padahal di masa itu sebagian besar manusia masih menyangka Bumi ini datar. Orang Lamongan sendiri saat itu menyembah Dewa Ikan dan berada di bawah kekuasaan Prabu Airlangga, Raja Kerajaan Kahuripan.
Yang luar biasa, hasil perhitungan Albiruni ternyata cukup akurat. Hampir sama dengan perhitungan ilmuwan modern yang didukung dengan alat-alat canggih.
Bagaimana caranya Albiruni bisa menghitung ukuran Bumi?
Mula-mula dia mencari lokasi terbuka yang ada bukit di salah satu sisinya. Yang pertama kali diukur adalah tinggi bukit. Caranya, ia meneropong bukit itu dari jarak jauh menggunakan protraktor (busur pengukur sudut). Jarak dari kaki bukit ke posisi pengamatan dia ukur manual. Dari busur ukur, dia mengetahui sudut antara tanah datar dan garis imajiner ke puncak bukit. Dengan menggunakan rumus sin cos, dia bisa menghitung ketinggian bukit.
Setelah itu ia naik ke puncak bukit. Dari atas bukit ini dia mengukur sudut antara garis horizontal dengan garis imajiner dari puncak bukit ke permukaan Bumi terjauh yang bisa dipandang mata (kaki langit).
Dengan mengetahui besarnya sudut-sudut ini, berikut ketinggian bukit, Albiruni bisa menghitung jari-jari bola Bumi dengan rumus sin cos.
Video Youtube bagaimana Albiruni mengukur keliling planet Bumi bisa dilihat di sini.
Kisah-kisah ini walaupun mungkin tidak membuat rumus sin cos menjadi lebih mudah, setidaknya bisa membuat murid lebih tertarik belajar daripada jika rumus-rumus rumit itu disampaikan begitu saja sebagai hafalan.
Akan lebih menarik lagi jika guru mengajak murid keluar kelas menuju sebuah bangunan tinggi, lalu mengajak mereka mengukur tinggi bangunan itu menggunakan busur sudut. Seumur hidup mungkin para murid itu akan mengingat pengalaman ilmiah ini.
Manusia pada dasarnya menyukai sejarah dan pengamatan. Matematika sendiri sebetulnya adalah materi sejarah. Akan tetapi sistem pembelajaran kejar tayang membuat sejarah tersisih dari matematika dan membuat rumus-rumus itu tampak seperti angka-angka yang datang dari antah berantah.
Penerapan di mata pelajaran bahasa
Pemanfaatan sejarah untuk belajar seperti ini tidak terbatas hanya bisa digunakan untuk memahami konsep matematika. Bisa juga digunakan untuk pelajaran lain, misalnya bahasa. Untuk keperluan ini, kita perlu ilmu tambahan yaitu etimologi (asal-usul kata).
Saya ambil contoh pelajaran bahasa Arab di buku anak saya yang kebetulan bersekolah di madrasah ibtidaiyah Muhammadiyah. Di bab nama-nama buah, ada salah satu kosa kata yang sulit sekali diingat maupun diucapkan, yaitu “burtuqal” (jeruk).
Hampir pasti semua murid akan menghafalkan kosa kata yang sulit diucapkan ini seperti mereka menghafalkan nama orang Belanda yang pertama kali mendarat di Banten: Cornelis de Houtman. Padahal dengan bantuan sejarah, kita bisa dengan mudah mengingat bahasa Arab dari jeruk tanpa perlu menghafal.
Pada zaman dulu orang Arab baru mengenal jeruk sejenis lemon yang rasanya kecut. Pada abad ke-15, mereka mengenal buah jeruk manis (orange) yang dibawa oleh orang-orang Portugis. Itu sebabnya orang Arab menyebutnya sebagai “buah Portugal”. Jadi burtuqal itu sebetulnya adalah pelafalan Arab dari kata Portugal.
Bisa dibilang hampir semua murid zaman sekarang sudah mengenal kata Portugal, negara asal Cristiano Ronaldo. Jadi mereka tidak perlu lagi menghafal “burtuqal” sebagai kosakata baru sebab itu hanya pengucapan cara Arab dari negara asal Ronaldo.
Contoh lain, bahasa Inggris dari buah asam Jawa, yaitu tamarind. Kata Inggris ini berasal dari bahasa Arab “tamar hindi”, yang artinya “kurma India”. Lidah Inggris mengucapkannya jadi tamarind.
Akan lebih menarik kalau bahasa Arab dan bahasa Inggris diajarkan sebagai satu paket. Sebab, ada banyak kosakata Arab pinjaman dari bahasa Inggris. Dan sebaliknya, ada banyak kosakata Inggris pinjaman dari bahasa Arab.
Misalnya, bahasa Arab dari jambu biji adalah jawwafah. Ini adalah kata yang dipinjam dari bahasa Inggris, guava.
Sebaliknya, bahasa Inggris dari gula (sugar) dan minuman gula (syrup) sama-sama berasal dari kata Arab, yaitu “sukkar” (gula) dan “syarab” (minuman). Sebab pada masa keemasan Islam, orang Eropa mengenal kristal gula dari orang-orang Arab.
Bahasa Inggris dari kapas (cotton) berasal dari bahasa Arab “qutn”. Sebab pada zaman dulu orang-orang Eropa mengenal kain berbahan kapas dari orang-orang Arab.
Pengetahuan mengenai asal-usul kata ini sangat berguna dalam pelajaran bahasa Arab karena banyak kosakata merupakan turunan dari kata dasar yang sama. Misalnya, masih di buku anak saya, di bab nama-nama kendaraan, ada bahasa Arab pesawat terbang (tha-irah). Ini tidak perlu dihafal karena sebetulnya hanya turunan kata dari kosakata thayr (burung) yang ada di dalam surat yang biasa dibaca murid SD, yaitu surat Al-fil, yang bercerita tentang burung ababil. Pesawat dan burung sama-sama bisa terbang.
Dalam bahasa Arab, bus disebut hafilah karena bus bisa memuat banyak orang satu rombongan. Bahasa Arab inilah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kafilah (rombongan).
Tank tempur dalam bahasa Arab disebut dabbabah. Ini kata dasarnya sama dengan dabbah (hewan melata) karena cara berjalan tank mirip hewan melata, yakni menggunakan perut. Kata dabbah beberapa kali disebut di dalam Alquran.
Mobil disebut sayyarah. Kata dasarnya sama dengan sara (bepergian) karena memang mobil digunakan untuk bepergian.
Sepeda disebut darrajah. Kata dasarnya sama dengan daraja yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi derajat. Kata dasar daraja dalam bahasa Arab berarti gerakan langkah kaki naik tangga. Sepeda dinamai darrajah karena gerakan kaki mengayuh pedal seperti gerakan kaki naik tangga.
Sepeda motor disebut darrajah nariyah. Kata nariyah ini berasal dari kata dasar nar (api). Sebab memang kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran.
Dan seterusnya.
Intinya semua kosakata di dalam bahasa apa pun memiliki sejarah dan asal usul. Sejarah ini bisa dimanfaatkan untuk proses belajar agar pelajar jadi lebih mudah ingat tanpa menghafal.