vaksin booster OPINI

Selama pandemi ini, kita sibuk berdebat:

  • Apakah vaksin Covid 19 itu aman?
  • Apakah vaksin Covid 19 itu konspirasi perusahaan farmasi?
  • Apakah vaksin Covid 19 itu halal? 

Bahkan sampai sekarang masih ada yang tidak mau ikut vaksinasi karena menganggap vaksin Covid 19 itu berbahaya.

Sebagai orang awam, kita mungkin bingung. Kita maunya ikut pemerintah saja tapi jadi bimbang setelah membaca argumen kelompok antivaksin yang tampak meyakinkan. Ini bukan semata-mata soal tinggi rendahnya pendidikan. Banyak promotor antivaksin adalah orang-orang berpendidikan tinggi, ada yang profesor, ada juga yang dokter. 

Dalam situasi seperti ini, sebetulnya kita bisa meniru pedoman agama. Kalau kita bimbang mengenai satu urusan, ikuti saja jumhur ulama atau pendapat mayoritas ulama. Dalam hal vaksin, ulama ini bisa kita maknai sebagai ulama di bidang agama maupun ilmuwan di bidang kedokteran.

vaksin halal

Fatwa Ulama dan Ilmuwan Tentang Vaksin Covid 19

Bagaimana pendapat para ulama agama? Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan bahwa vaksin Covid 19 halal dan suci. Majelis Ulama Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lain juga memfatwakan demikian. Jadi, secara fikih agama sudah tidak ada masalah. Mayoritas ulama sudah memfatwakan demikian.

Sekarang bagaimana dengan “ulama” (ilmuwan) di bidang kedokteran? Yang ini lebih terang lagi. Praktis semua lembaga kesehatan di dunia menyarankan vaksin. Kalau kita masih ragu juga, hm… kata Bang Haji Oma Irama sih, ter-la-lu!

Mereka yang mempromosikan antivaksin hanya kelompok minoritas. Apakah pendapat mayoritas pasti lebih benar daripada pendapat minoritas? Belum tentu. Dulu Galileo Galilei juga melawan pendapat mayoritas ketika mengatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari. 

Kita boleh saja tidak mengikuti pendapat mayoritas asal kita punya argumen yang sepadan dengan argumen pendapat mayoritas. Masalahnya, kita ini siapa? Kita ini hanya ingus kering yang tidak mengerti apa-apa. Membedakan jenis-jenis virus corona saja tidak bisa, apalagi memahami konsep mutasi virus. Kita cuma tahu mutasi rekening, mutasi kerja, dan mutasi balik nama kendaraan. Kalau kita tahu diri, kita tidak mudah menyombongkan diri. Juga tidak mudah percaya begitu saja kiriman di media sosial atau grup Whatsapp. 

Hidup kita sebetulnya mudah. Kita sendirilah yang membuatnya jadi rumit. Mengikuti pendapat mayoritas sebetulnya lebih mudah dan lebih menenangkan. Ikut vaksinasi sesuai anjuran dokter, pemerintah, ulama. Vaksin dosis 1, vaksin dosis 2, vaksin booster. Untuk urusan yang sulit-sulit seperti ini, serahkan saja kepada ahlinya. Lebih baik kita menikmati hidup saja.

Ini tidak hanya berlaku untuk vaksinasi Covid 19 tapi juga untuk vaksinasi lain seperti program imunisasi untuk bayi. Sampai sekarang masih banyak orangtua tidak mengikutkan anaknya program imunisasi dengan alasan bahwa manusia sudah diciptakan dalam kondisi “fi ahsani taqwim” (sebaik-baik penciptaan). Padahal jumhur ulama maupun jumhur ilmuwan sama-sama menegaskan bahwa vaksinasi adalah bentuk ikhtiar menjaga kesehatan masyarakat. Dan ini sebetulnya adalah ikhtiar menjaga agar kita tetap berada dalam sebaik-baik penciptaan. 

vaksin sinovac

Efek Samping dari Vaksin Covid 19

Banyak orang percaya vaksin bisa menyebabkan efek buruk begini dan begitu. Ada pula yang bilang, buat apa ikut vaksinasi, toh masih bisa kena Covid juga. Sebetulnya data penelitian ilmiah sudah cukup banyak. Akan tetapi kita sebagai orang awam mungkin tidak bisa membaca laporan ilmiah.

Gampangnya begini saja. Program vaksinasi Covid 19 sudah berlangsung setahun. Banyak dari kita sudah mendapatkan vaksin lengkap. Dari situ kita bisa melihat, apakah mereka yang divaksinasi ini jadi meninggal dunia? Atau kena stroke? Kejang-kejang? Atau jadi lumpuh? 

Tentu saja ada sebagian kecil yang mengalami efek samping buruk setelah vaksinasi seperti demam, alergi, badan pegal-pegal. Tapi semua ini masih dalam batas normal. Semua tindakan medis, termasuk vaksinasi, didasarkan pada pertimbangan antara manfaat dan mudarat (istilah medisnya, “risiko”). Semua ada risikonya. Bahkan minum obat flu saja ada risikonya jantung berdebar-debar. Tinggal ditimbang saja, mana yang lebih besar: manfaatnya atau mudaratnya. 

Dalam urusan vaksin, semua sudah jelas sekali. Vaksinasi bisa menurunkan tingkat keparahan sakit. Kalaupun kena Covid 19, orang yang sudah divaksinasi tidak perlu dirawat di rumah sakit, atau kalaupun masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal dunia. Bukti penelitiannya sudah terlalu banyak. Kalau masih tidak percaya juga, hm… ter-la-lu!

vaksin booster

Vaksinasi adalah salah satu penemuan penting di dunia kedokteran. Kalau kita menolak vaksinasi, harusnya kita juga menolak semua penemuan medis. Bahasa kasarnya, kalau kita sakit, tidak usah minum obat apotek, tidak usah pergi ke dokter. Sebab obat apotek, operasi bedah, dan semua prosedur di rumah sakit adalah produk penelitian medis yang sama dengan vaksin. 

Vaksin Covid 19 dan Konspirasi 

Semua penemuan medis didasarkan pada satu metode yang sangat ketat, yang dikenal sebagai “metode ilmiah”. Metode ini disepakati oleh ilmuwan seluruh dunia. Mereka saling menguji dan saling mengoreksi satu sama lain sehingga kalau ada yang keliru bisa langsung diketahui. Karena ada metode ilmiah ini, pabrik farmasi tidak bisa gampang mengklaim produknya bisa mengobati ini dan itu. Semua harus melewati prosedur ilmiah. Harus ada penelitiannya, yang melibatkan ribuan orang. Hasil penelitian harus dipaparkan terbuka. Bisa diuji dan dibantah oleh para ilmuwan sedunia. 

Contoh gampang adalah vaksin Covid 19 buatan Sinovac yang digunakan di Indonesia. Penelitiannya melibatkan ribuan orang di banyak negara selama berbulan-bulan. Dan ternyata tingkat keampuhannya hanya sekitar 65%. Sinovac tidak boleh mengklaim vaksinnya bisa mencegah penularan Covid 19. Sebab faktanya orang yang sudah divaksinasi masih bisa kena Covid 19. Sinovac hanya boleh bilang, vaksinnya bisa menurunkan tingkat keparahan penyakit kalau kita kena Covid 19. Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketatnya para ilmuwan di seluruh dunia saling mengoreksi.

Vaksin adalah produk metode ilmiah. Bukan konspirasi pabrik farmasi. Pembuat vaksin memang menangguk banyak untung dari pandemi ini. Tapi mereka hanyalah pedagang yang pandai mengambil kesempatan. Mereka bukan dalang konspirasi virus dan vaksin. 

Sekadar untuk diketahui, tidak semua pabrik farmasi meraih untung. Banyak juga yang buntung. Mereka sudah telanjur menghabiskan uang untuk mengembangkan vaksin, ternyata vaksinnya tidak lulus uji klinis. Contohnya adalah Sanofi-Pasteur, perusahaan pembuat vaksin asal Prancis, serta Merck, perusahaan farmasi kondang asal Amerika. 

Dua perusahaan ini adalah pabrik farmasi dengan reputasi yang jauh di atas Sinovac Cina. Sanofi-Pasteur bahkan adalah perusahaan farmasi spesialis vaksin. Tapi keduanya gagal mengembangkan vaksin Covid karena vaksin mereka ternyata tidak cukup aman dan ampuh. Bagaimana cara mengukur aman dan ampuh itu? Jawabannya jelas: metode ilmiah. 

Metode ilmiah inilah yang membuat umat manusia bisa mengirim pesawat ke Bulan dan Mars. Yang membuat kita bisa menghitung kapan terjadinya gerhana bulan dan matahari hingga satu abad ke depan. Yang bisa membuat manusia mengembangkan bermacam-macam teknologi yang memudahkan hidup kita hari ini. Menolak metode ilmiah pada dasarnya adalah menolak sains. 

Kita mudah percaya teori konspirasi kalau kita tidak berpikir dengan sains. Bayangkan saja, masih ada yang percaya bahwa di dalam cairan vaksin yang bening itu ada microchip yang disuntikkan ke dalam tubuh kita untuk memata-matai. Ini keyakinan level waham. Kalau mau memata-matai, tak usah pakai chip. Ponsel kita saja sebetulnya menyediakan semua data kita: lokasi, teman, percakapan, riwayat browsing, hingga transaksi perbankan. Kenapa harus repot-repot pakai vaksin.

Selama pandemi ini, vaksin adalah penemuan medis yang paling banyak disalahpahami. Mereka yang salah justru merasa paling paham.