Menteri Nadiem Makarim resmi meniadakan ujian nasional tahun ini karena pandemi. Di luar pro-kontranya, pandemi ini adalah masa yang tepat untuk meninjau kembali sistem pendidikan kita yang sangat berorientasi pada nilai ujian.
Sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian, sinau, ujian. Mungkin itulah gambaran pendidikan kita mulai dari SD sampai kuliah.
Enam tahun lalu, dunia pendidikan Lamongan dihebohkan oleh skandal pencurian soal unas. Yang menyedihkan, para pelakunya adalah guru-guru SMA di Lamongan yang bersekongkol. Lebih menyedihkan lagi, skandal ini melibatkan sekolah-sekolah favorit yang selama ini terkenal menghasilkan nilai unas tinggi dan mengirim banyak lulusannya ke perguruan tinggi negeri.
Ini adalah sisi gelap dari dunia pendidikan kita yang memberhalakan nilai ujian dan meletakkan pembentukan karakter di nomor sekian. Padahal skala prioritas keduanya harusnya dibalik. Pembentukan karakter, termasuk kejujuran, jauh lebih penting daripada nilai ujian. Tapi apa boleh dikata, selama puluhan tahun kita dibiasakan menilai kepintaran siswa semata-mata dari nilai ujian.
Buku-buku pelajaran penuh dengan materi hafalan. Bahkan tugas pelajaran SD saja sekarang sedemikian sulit sampai orangtua siswa pun tidak bisa mengerjakannya. Repot rapakat! Siswa dicekoki dengan berbagai hafalan yang seharusnya tidak perlu dihafal. Jika seorang anak tidak hafal tahun lahir Sultan Hasanuddin, apakah itu sebuah problem?
Seandainya pun saat ujian itu dia hafal, hampir pasti ia akan lupa begitu selesai ujian. Satu-satunya yang mungkin tak dilupakan cuma perang Diponegoro yang terjadi sesudah magrib.
Pendidikan harusnya dimulai dari satu asumsi dasar, yaitu bahwa semua anak memiliki kecerdasan masing-masing. Ada anak yang tidak pandai matematika, tidak pandai hafalan, tapi dia pandai berimajinasi. Anak-anak seperti ini di sekolah sudah pasti dianggap bodoh. Nilai ujiannya pasti jelek. Padahal dia bisa diarahkan untuk mengembangkan potensinya di bidang karya kreatif.
Pendidikan yang baik harusnya bisa membantu anak menemukan passion dan mengoptimalkan kecerdasan khasnya. Kecerdasan berlogika, kecerdasan berbahasa, kecerdasan bersosialisasi, kecerdasan bermusik, kecerdasan gerak jasmani, kecerdasan seni, kecerdasan berimajinasi, dan masih banyak lagi.
Tapi yang terjadi sekarang, sekolah-sekolah kita seperti cerita di fabel The Animal School. Seekor bebek, karena dituntut untuk lulus ujian lari, terpaksa setiap hari belajar lari sampai kaki dayungnya robek. Hasilnya? Dia tak pandai lagi berenang dan larinya tetap megal-megol.
Generasi sekarang punya pilihan profesi yang jauh lebih beragam daripada generasi guru-guru era Korpri. Itu tidak mungkin diringkas dalam kurikulum pendidikan yang pukul rata untuk semua orang. Jika kita mengukur kecerdasan seekor bebek dari kemampuannya berlari, maka sudah pasti dia tidak akan lulus ujian nasional, dan seumur hidup dia akan merasa dirinya sebagai hewan yang bodoh.