Dulu, ketika generasi TikTok masih berupa tanah liat, emak-emak menggoreng dengan minyak kelapa. Bahasa desanya, “lengo kletik”. Pada pagi hari yang dingin di musim hujan, minyak ini bisa membeku. Selain untuk menggoreng, minyak ini juga biasa dipakai untuk minyak rambut.
Sekarang, generasi TikTok jelas tidak tahu ada minyak goreng membeku, apalagi dipakai untuk minyak rambut. Orang-orang meninggalkan minyak kelapa karena lama-lama harganya lebih mahal daripada minyak sawit.
Ini sebetulnya adalah bentuk ketidakadilan ekonomi Orde Baru. Pak Harto membagi-bagikan konsesi hutan di Kalimantan dan Sumatera kepada para konglomerat untuk dijadikan kebun sawit. Produksi sawit pun melimpah. Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sementara itu produksi kelapa hanya mengandalkan perkebunan rakyat.
Murahnya minyak sawit ini membuat tradisi dapur Indonesia didominasi budaya goreng. Apa saja digoreng. Bahkan daun bayam saja digoreng jadi rempeyek. Nangka pun digoreng jadi keripik.
Dari aspek kulinologi, sebetulnya minyak kelapa punya keunggulan dibanding minyak sawit. Minyak kelapa lebih tahan panas sehingga lebih cocok untuk dipakai menggoreng ala deep frying seperti menggoreng iwak ayam, iwak tahu, iwak tempe, gimbal jagung, ote-ote, godo gedang, dan sejenisnya. Karena titik didihnya tinggi, minyak kelapa tidak mudah menjadi jelantah.
Minyak sawit sebaliknya. Ia tidak tahan panas. Cepat menjadi jelantah kalau dipakai untuk menggoreng lama di di suhu didihnya.
Tapi para ahli gizi menuduh minyak kelapa tidak sehat karena lemaknya didominasi lemak jenuh. Minyak sawit dipuji-puji lebih sehat karena kandungan lemak tak jenuhnya lebih tinggi. Pujian ini sebetulnya tidak fair. Pertama, karena perusahaan-perusahaan minyak sawit banyak menjadi sponsor di kampus. Kedua, secara medis, minyak kelapa maupun minyak sawit sama-sama tidak sehat jika konsumsinya tidak diimbangi aktivitas fisik. Bahkan kalau digunakan untuk deep frying, minyak sawit lebih mudah rusak dan teroksidasi menjadi lemak jahat.
Ketiga, ini paling penting, dominasi minyak sawit bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Komoditas sawit hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat. Sementara komoditas kelapa tersebar luas merata di kalangan rakyat jelata.
Inilah yang terjadi sekarang. Ketika harga minyak sawit di pasar internasional sedang tinggi, para konglomerat itu lebih suka menjualnya ke luar negeri. Mereka ogah kalau harus menjual di dalam negeri dengan harga ditentukan pemerintah. Maka begitu ada aturan harga eceran tertinggi, tiba-tiba minyak goreng hilang di pasaran. Begitu aturan harga dicabut, minyak goreng membanjiri pasaran lagi dengan harga selangit. Kurang ajar sekali.
Ini semua terjadi karena komoditas sawit dikuasai oleh segelintir konglomerat. Mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia. Yang menangguk untung dari hutan yang mestinya menjadi milik semua rakyat Indonesia.
Yang bisa mengubah tata ekonomi yang tidak adil ini adalah pemerintah. Pakde Jokowi dan DPR. Sayangnya, pemerintah tak punya nyali. Menteri Perdagangan saja mati kutu di depan mafia minyak goreng yang disebutnya sendiri saat rapat dengan DPR. Pakde pun tidak berani menetapkan batas atas harga tertinggi. Bahkan Bu Ketua menyarankan orang-orang agar beralih cara masak tanpa minyak goreng. Tentu saja ini nasihat yang sangat bagus… andai saja diucapkan oleh dokter… pada saat ibu-ibu tidak perlu antri membeli minyak goreng.
Dari sudut pandang ilmu kesehatan masyarakat, harga minyak goreng memang harus mahal. Supaya orang beralih ke cara masak yang lebih sehat seperti yang dianjurkan Bu Ketua.
Tidak apa-apa harga minyak goreng mahal asal Pakde mau tegas seperti dulu saat debat capres. Di debat itu Pakde mengkritik Prabowo yang menguasai banyak lahan negara di Kalimantan. Tapi ternyata setelah debat itu, ia tidak melakukan apa-apa untuk mengubah ketidakadilan penguasaan lahan ini.
Minyak goreng harusnya seperti ote-ote, gimbal jagung, dan godo gedang. Dikuasai oleh rakyat. Tidak dikuasai oleh segelintir orang. Para konglomerat itu sudah terlalu banyak mengambil untung dari penguasaan lahan milik negara. Sudah saatnyà pemerintah berani menariknya kembali. Biarkan rakyat membuat sendiri lengo kletik dari kelapa. Biarkan mereka menanam kelapa di mana-mana. Ajak kampus-kampus untuk mengajari orang-orang cara membuat minyak kelapa yang bermutu. Itu lebih adil bagi ekonomi rakyat jelata.
Kalau Pakde berani melakukan ini, tiga periode pun okesip aja. Tapi kalau tidak berani, janganlah bicara tiga kali. Minyak goreng Filma yang jernih pun kalau dipakai menggoreng tiga kali akan menjadi jelantah.