OPINI

Di medsos, penggemar KPop hari ini adalah tiran mayoritas. Mereka menguasai trending topic nyaris setiap hari dan karenanya mereka mendominasi berita dan hajat hidup kita.

Mereka ada di mana-mana, bahkan sangat mungkin ada di dalam rumah kita. Mereka bukan hanya anak-anak remaja yang mulai berjerawat tapi juga murid-murid SD. Bahkan anak-anak TK dan PAUD pun sekarang menggemari BTS lewat kartun BT21.

Bagi kita yang besar di era Iwan Fals atau Dewa 19, musik Korea semacam BTS atau Blackpink mungkin hanya serupa bunyi berisik. “Wong cuma teriak aye-aye gitu aja kok disukai? Enaknya di mana?”

“Kalau naget dan kentang goreng McD diberi nama BTS Meal, apa lantas rasanya beda sampai diburu kayak gitu? Gak punya akal!”

Foto, yuhronur_yes/rollingstout

Kita yang besar di era kecantikan Dian Sastro dan ketampanan Nicholas Saputra mungkin akan mengejek, “Wong artis Korea wajahnya sama semua gitu kok digemari sampai tergila-gila? Itu kan plastik semua!”

Intinya, kita tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak penggemar band Korea. Sebagaimana mereka juga tidak bisa memahami apa yang ada di dalam otak kita.

Kedua pihak sama-sama tidak bisa memahami. Tapi kita semua tahu, fanatisme itu memang buta. Tak perlu masuk akal. Dan kalau kita mau jujur, sikap fanatik sebetulnya juga dimiliki semua orang, termasuk kita semua.

Kita juga pengidap fanatisme, hanya saja dalam hal yang berbeda. Yang paling jelas tentu saja adalah fanatisme politik. Ini justru jauh lebih berbahaya daripada fanatisme ala Army BTS atau Blink.

Ada yang begitu fanatik sampai level Army kepada Jokowi. Atau sebaliknya, ada yang begitu benci sampai level enemy kepada Jokowi. Lalu mereka menyebarkan fanatisme dan kebencian itu setiap hari di grup WA dan medsos. Ini adalah bentuk fanatisme yang jauh lebih berbahaya.

Fanatisme KPop hanya seperti gelombang laut. Pagi ini pasang, nanti sore surut. Tapi fanatisme politik sudah terbukti berlarut-larut. Dua periode pemilu, fanatisme dan kebencian kita masih terus berlanjut.