Kita punya kecenderungan duniawi yang dominan. Ketika berdoa, misalnya, kita cenderung berdoa yang materialistis. Minta rezeki yang banyak. Minta usahanya lancar. Minta diterima di universitas negeri. Minta lulus S2. Minta dapat pasangan yang begini dan begitu. Bahkan secara eksplisit kita menyebut nama seseorang yang kita sukai.
Padahal bisa jadi, orang yang kita sukai itu bukanlah pasangan yang baik buat kita. Bisa jadi juga kita lebih membutuhkan kebaikan-kebaikan lain. Misalnya, kesabaran, keikhlasan, sikap sukur, dan kerendahan hati. Tapi kebaikan-kebaikan ini luput dari doa yang kita panjatkan karena kecenderungan kita yang duniawi.
Nabi Muhammad, yang kepadanya Tuhan dan para malaikat pun bershalawat, mengajarkan kepada kita cara berdoa yang lengkap. Tidak hanya meminta hal-hal yang material. Tapi, lebih dari itu, meminta hal-hal yang spiritual dan esensial.
Doa ini tercatat di dalam kitab Sahih Muslim.
Allahumma ashlih li dinilladzi huwa ‘ishmatu amri,
wa ashlih li dunyayallati fiha ma’asyi,
wa ashlih li akhiratillati ilaiha ma’adi,
waj’alil hayata ziyadatan li fi kulli khairin,
waj’alil mauta rahatan li min kullisyarrin.
Ya Allah perbaikilah agamaku, perisai segala urusanku.
Ya Allah perbaikilah duniaku, tempat penghidupanku.
Ya Allah perbaikilah akhiratku, tempat berpulangku.
Jadikan hidupku sebagai penambah kebaikan
Dan jadikan matiku sebagai pemberhentian dari semua keburukan.
Doa yang indah sekali.
Sayang sekali, kita hanya berdoa. Hanya meminta. Tapi tidak sungguh-sungguh menghayati doa ini. Apalagi mengusahakannya.