Di wilayah pesisir Paciran banyak kita jumpai pohon-pohon lontar di sepanjang jalan. Pohon ini sengaja ditanam karena memang memiliki banyak sekali manfaat. Salah satu manfaat pohon yang lebih umum disebut dengan nama siwalan ini, bisa dijadikan sebagai bahan masakan. Salah satunya untuk dijadikan gula merah.
Di Paciran, banyak sekali warga yang berprofesi sebagai pembuat gula merah. Di antaranya adalah Ibu Kumalik berserta suaminya. Semenjak menikah kira-kira 30 tahun lalu, mereka setiap hari bergulat dengan gula merah ini.
Proses pembuatan gula siwalan ini sudah dimulai saat matahari belum terlihat sempurna. Kira-kira pukul enam pagi. Suami Bu Lik bergegas berangkat ke kebun siwalan, yang memang tempatnya lumayan jauh. Kira-kira butuh waktu satu jam untuk sampai di sana dengan berjalan kaki. Suami Bu Lik memang hanya berjalan kaki, selain karena harus membawa gerobak untuk tempat air nira nanti, jalanannya juga hanya berupa jalan tanah.
Kebun siwalan yang luas ini bukan milik suami Bu Lik sendiri, tapi milik tetangganya. Karena itu, lelaki pekerja keras ini tidak menyadap nira siwalan ini dengan cuma-cuma. Setiap seminggu sekali, tepatnya hari Sabtu, suami Bu Lik harus menyetorkan nira yang telah disadapnya kepada pemillik kebun.
Selain menjadi sumber rezeki, pohon-pohon siwalan ini bisa saja membawa celaka jika suami Bu Lik tidak hati-hati saat memanjat. Rata-rata tinggi pohon tanpa dahan ini sekitar 8 meter. Pria yang tak muda lagi ini harus memanjatnya satu per satu tanpa pengaman apa pun. Sedetik saja kosentrasinya hilang, maka tanah merah yang keras di bawahnya sudah menantinya.
Sementara suaminya mengambil nira, Bu Lik menunggu di gubuk sambil menyiapkan kayu bakar dan empat panci yang akan dipakai untuk membuat gula merah. Kayu bakar tersebut dimasukkan ke dalam lubangan tanah yang sengaja dibuat sebagai pengganti tungku.
Sekitar pukul 09.00, suami Bu Lik datang dengan membawa 30 liter air nila siwalan yang dibawanya dalam tiga jeriken. Bu Lik menyisihkan 10 liter untuk dijual dalam bentuk legen saja. Sisanya kemudian diolah dalam empat panci tadi, untuk dijadikan gula merah.
Panas api dan kepulan asap terkadang membuat Bu Lik sesekali memejamkan matanya keperihan. Apalagi ketika nira telah mengental kecokelatan, Bu Lik harus memindahkan nira itu ke dalam kuali tanah untuk direbus lagi sembari diaduk. Kini tangan Bu Lik harus menahan panas sambil terus mengaduk-aduk agar gula merah tidak gosong.
Setelah lebih dari dua jam duduk di depan tungku, saatnya Bu Lik memindah gula merah tersebut ke dalam cetakan. Bu Lik, di usia yang sudah lima puluh tahun lebih ini, harus berkerja cepat. Apabila tidak segera dipindahkan ke cetakan, maka cairan kental tadi akan mengeras di kuali, dan apa yang dilakukan dari pagi akan sia-sia.
Setelah didiamkan beberapa jam, cairan kental nira tadi akan mengeras menjadi gula merah yang siap dilepas dari cetakan dan dijual. Bu Lik menjual gula siwalannya dengan harga Rp 15.000 per kilogram. Jelas ini tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan Bu Lik dan suaminya dari pagi hingga siang, mulai dari mengambil air nira sampai memasak dan mencetaknya.
Sekalipun keuntungannya tidak banyak, Bu Lik tidak pernah tergoda untuk membuat gula merah dengan cara tidak jujur, seperti yang dilakukan sebagian pembuat gula merah. Mereka menambahkan gula pasir saat merebus nira sehingga gula merah yang dihasilkan pun lebih banyak. Ini tentu merugikan pembeli.
Karena banyaknya penjual gula oplosan, Bu Lik menyarankan agar kita berhati-hati membeli gula merah siwalan. Gula oplosan ini sekilas mirip dengan gula siwalan murni, tapi tekstur dan rasanya berbeda.
Gula siwalan oplosan rasanya lebih manis dan mirip dengan rasa gula pasir. Teksturnya sangat keras. Gula siwalan asli rasanya manis cenderung gurih. Teksturnya lebih lembut.
Karena penghasilan sebagai pembuat gula merah tak banyak, wajar jika dari ratusan penyadap air nira di Paciran, tidak lebih dari seperempatnya saja yang membuat gula merah. Namun meski begitu, Bu Lik tidak pernah berpikir untuk berhenti dari pekerjaan yang digelutinya ini. Karena dari sini, Bu Lik memperoleh sesuap nasi untuk keluarganya.