Di Lamongan ada banyak sekali penjual es degan. Di wilayah Pantura, sekarang ini sedang ngetrend es degan jumbo. Dulu es degan harganya satu gelas biasa Rp5.000. Sekarang dengan uang yang sama kita bisa mendapat es degan gelas jumbo. Persaingan antara penjual es degan semakin ketat. Penjual es degan muncul di mana-mana.
Imbasnya, sampah es degan juga semakin banyak. Sampah-sampah ini biasanya dibuang di tempat sampah, lalu dibakar begitu saja. Sebagian bahkan dibuang begitu saja di pinggir jalan. Padahal sampah degan ini sebetulnya termasuk sampah dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Bisa diolah menjadi cocopeat lalu dijadikan media tanam.
Saat ini harga cocopeat rata-rata masih Rp5.000 perkilo. Masalahnya, mengubah sampah degan menjadi cocopeat ini masih terbilang sulit. Biayanya juga mahal. Kalau kita sekadar mau membuat cocopeat untuk menanam tanaman hias di samping rumah, kita bisa pakai cara parut manual.
Parutan bisa kita buat dari bahan lembaran logam yang kuat, misalnya bekas parutan kelapa yang sudah tidak terpakai. Atau, kalau tidak ada, kita bisa membuatnya dari bekas wadah kaleng susu. Gambar parutan di bawah ini dibuat dari bekas parutan kelapa yang sudah tumpul. Parutan ini lalu dilubang-lubangi dengan paku. Bekas tusukan paku ini akan membuat besi menjadi lebih kasar dan bisa digunakan untuk memarut sabut kelapa.
Sampah kelapa itu tinggal kita parut menjadi serbuk cocopeat. Tapi sampai di sini, urusannya masih belum selesai. Cocopeat ini tidak bisa langsung kita pakai menanam karena kandungan taninnya masih tinggi dan bisa merusak akar tanaman. Cara paling mudah menghilangkan cocopeat adalah dipendam selama sekitar sebulan di dalam tanah bersama dengan sampah-sampah dapur yang sudah dihaluskan.
Bakteri akan mengurai sampah dapur dan cocopeat ini menjadi pupuk organik yang bisa dijadikan media tanam. Cocopeat ini bisa dijadikan media tanam tanpa tanah. Bisa juga dicampur dengan tanah liat. Media tanam ini sudah cukup subur walaupun tidak ditambah dengan pupuk kandang.
Kelemahan dari cara ini adalah produksi cocopeat tidak begitu banyak karena kita harus memarut manual. Kalau kita ingin produksi cocopeat yang lebih banyak, kita bisa membuat parutan mesin dengan dinamo bekas, misalnya bekas pompa air. Untuk parutannya kita bisa menggunakan parutan kasar kelapa yang bisa dibeli di Shopee, seharga Rp20.000. Atau, kita bisa juga menggunakan parutan yang dibuat dari bekas kaleng susu.
Kelemahan dari cara ini adalah kita harus menjadi tukang bengkel karena harus bisa memodifikasi dinamo bekas. Selain itu kita harus membayar biaya listrik.
Selain dua cara di atas, ada satu cara lagi yang paling murah, yaitu cara geprek. Jadi, sampah degan kita pukul-pukul dengan palu godam sampai mudah dijadikan serabut. Serabut ini lalu dipendam di dalam tanah bersama dengan sampah dapur. Tapi proses pemendaman ini lebih lama, sekitar 3 bulan, baru bisa dijadikan campuran media tanam. Waktu pendam lebih lama karena kelapa masih dalam bentuk serabut, bukan cocopeat yang halus.
Kelebihan dari cara ini adalah tanpa biaya sama sekali. Kapasitas produksi juga bisa lebih banyak karena palu godam bisa menggeprek sampah kelapa lebih banyak daripada parutan manual maupun mesin.
Kekurangan lain dari cara ini adalah hasil akhirnya yang tidak selembut cocopeat. Walaupun sudah difermentasi selama 3 bulan, serabut ini tidak bisa selembut cocopeat. Memang serabut ini sudah bisa dijadikan media tanam tetapi harus dicampur dengan tanah karena memang kurang lembut. Tapi jangan khawatir, media tanam ini juga sangat subur.
Selanjutnya, baca Berkebun Modal Sampah (Bagian 2).