Kita sekarang hidup di zaman overdosis-informasi. Sebelum era internet, kita sulit sekali mencari informasi kesehatan yang kredibel. Sekarang sebaliknya. Kita terlalu banyak menerima informasi.
Sekarang hampir semua masalah kesehatan bisa kita cari informasinya lewat Google. Mulai dari penyakit udik macam kudis sampai penyakit yang hampir tidak pernah kita dengar namanya seperti myasthenia gravis.
Obat merek apa saja juga bisa kita cari di internet. Semua jadi mudah. Tapi kalau kita sok tahu, bisa-bisa penyakit yang kita derita bakal tambah parah. Sebagai contoh, pada saat pandemi Covid 19 kemarin, banyak orang awam berburu klorokuin hanya karena mereka membaca berita bahwa obat ini bisa menyembuhkan Covid. Ini jenis salah kaprah yang berbahaya.
Pertama, pemakaian klorokuin untuk Covid pada saat itu masih diperdebatkan di kalangan ahli medis. Kedua, seandainya pun obat ini memang bermanfaat untuk Covid, penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter. Sebab obat ini memiliki banyak sekali efek samping mulai dari yang ringan seperti sakit kepala sampai yang berat seperti gangguan jantung.
Selain masalah efek samping, bisa saja obat yang kita beli justru mengantarkan kita ke penjara. Ini bukan andai-andai. Di Cengkareng, Jakarta Barat, seorang pembeli obat online ditangkap polisi karena obat yang ia beli termasuk golongan psikotropika.
Secara naif ia berlogika, kalau sebuah obat dijual bebas di internet, berarti obat itu memang boleh dibeli bebas. Ini sama dengan logika “Kalau di internet ada penjual narkoba, berarti narkoba memang boleh dibeli di internet”.
Internet sangat membantu mempermudah hidup kita, termasuk dalam urusan kesehatan. Namun, pada saat yang sama, internet juga bisa menjerumuskan. Problem kita hari ini bukanlah kurangnya informasi melainkan tidak adanya alat penyaring yang mampu mengimbangi gencarnya informasi itu.