Makam Joko Tingkir di Lamongan dan Kontroversinya: Dicetuskan Gus Dur, Dipopulerkan Masfuk

SEJARAH

Selama ini sebagian besar warga Lamongan percaya makam Joko Tingkir ada di Lamongan. Tepatnya di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran. Google Maps klik di sini. Apalagi Persela dijuluki Laskar Joko Tingkir. 

Makam Joko Tingkir ini sekarang bahkan sudah menjadi tujuan sebagian orang untuk tirakatan. Dulu pada masa jayanya Persela, sebelum bertanding, tim Persela biasanya nyekar dulu ke makam Joko Tingkir di Pringgoboyo.

Apakah memang benar ini makam Joko Tingkir?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Jawaban ringkasnya, wallahu a’lam. Tapi berdasarkan penelusuran sejarah, bisa jadi tidak. 

Jika ini bukan makam Joko Tingkir, kenapa selama ini dipercaya sebagai makamnya?

Asal-Usul Kepercayaan Makam Joko Tingkir di Lamongan

Ceritanya bermula dari pengakuan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Semasa hidupnya Gus Dur dikenal sebagai orang yang gemar melakukan ziarah kubur. Sampai-sampai ia dijuluki arkeolog makam.

Sebetulnya kebiasaan ini tidak khas Gus Dur. Orang-orang NU pada umumnya juga senang melakukan ziarah kubur. Kebiasaan Gus Dur ini menjadi istimewa karena dia tokoh besar. Apalagi dia semasa hidupnya terkenal sosok cendekiawan kosmopolit. 

Sebelum menjadi Presiden, Gus Dur beberapa kali mengunjungi makam di Desa Pringgoboyo ini. Ia ditemani oleh pendekar muda NU yang kelak kita kenal sebagai Gus Muwafiq. Pada waktu itu kunjungan Gus Dur ke desa ini belum menjadi berita nasional karena Gus Dur belum menjadi presiden. Yang menarik, Gus Dur diangkat menjadi presiden oleh MPR beberapa bulan setelah berziarah ke makam ini. Mereka yang percaya dengan karomah para wali lalu mengaitkan pengangkatan Gus Dur ini dengan ziarah makam Joko Tingkir ini. 

Orang Lamongan baru menjadi tertarik dengan makam ini justru setelah Gus Dur tidak lagi menjadi presiden. Setidaknya ia dua kali menyebut makam di Desa Pringgoboyo ini sebagai makam Joko Tingkir. Satu kali lewat sebuah tulisan, dan satu kali lewat sebuah ceramah di Gresik. Dua-duanya diucapkan setelah dia tidak menjadi presiden.

Rekaman ceramah Gus Dur bisa didengar di sini. Silakan klik tanda PLAY. 

Tulisan Gus Dur yang menyebut Joko Tingkir sebetulnya tulisan sosial politik yang serius. Meskipun di tulisan ini ia salah menyebut nama desa Pringgoboyo, pembaca masih bisa menangkap maksudnya. Tulisan ini juga sebetulnya tidak ada kaitannya dengan ziarah kubur melainkan terkait dengan sikap politiknya. Walaupun ia tidak lagi berada di pemerintahan, ia tetap bisa bekerja untuk masyarakat lewat lembaga sosial swadaya. Hal ini sudah dicontohkan oleh Joko Tingkir pada masa lalu.

Menurut sejarah, Joko Tingkir (yang lebih dikenal dengan nama besarnya, Sultan Hadiwijaya Raja Pajang) digulingkan dari kekuasaannya oleh Sutawijaya  (pendiri Kerajaan Mataram). Setelah tidak lagi menjadi raja, ia menyingkir dari keramaian politik dan tinggal di Desa Pringgoboyo ini. Di sini ia mendirikan pesantren dan mengajari warga sekitar. Ia tinggal di desa ini sampai meninggal dan dimakamkan di sini.

Gus Dur menyebut nama Joko Tingkir ini dalam kaitannya sebagai role model. Kebetulan sekali cerita hidup Gus Dur mirip sekali dengan Joko Tingkir. Keduanya dijatuhkan dari kursi oleh orang yang dulu mengangkatnya. Joko Tingkir dijatuhkan oleh Sutawijaya, anak angkatnya sendiri. Sementara Gus Dur dijatuhkan oleh MPR yang setahun sebelumnya mengangkatnya jadi presiden. Setelah dijatuhkan dari kekuasaannya, keduanya menjauh dari dunia politik tapi masih melanjutkan kerja sosial untuk masyarakat lewat cara non-pemerintahan.

Bagaimana Joko Tingkir Bisa Sampai Lamongan? 

Bukankah Lamongan jauh sekali dari Kerajaan Pajang di Sukoharjo dekat Solo?

Menurut salah satu versi sejarah, orangtua Joko Tingkir berasal dari Madura. Pada saat muda, ia merantau ke Kerajaan Demak. Ia berangkat ke pusat kerajaan pada masa itu lewat Bengawan Solo. Muara Bengawan Solo pada masa itu berada di Selat Madura. Baru pada zaman Belanda, muara Bengawan Solo dipindah ke Ujungpangkah Gresik untuk menghindari pendangkalan Selat Madura. 

Saat bepergian lewat Bengawan Solo, Joko Tingkir biasa beristirahat di tengah perjalanan, di tempat yang sekarang menjadi Desa Pringgoboyo, Maduran. Menurut legenda, pada saat berangkat menuju pusat Kerajaan Demak, di sepanjang Bengawan Solo ia bertarung mengalahkan 40 ekor buaya. Kekuatan fisiknya ini menjadi salah satu bekal yang mengantarkannya menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Ketika dia kalah perang dari Sutawijaya, ia pulang ke tanah asalnya di Madura. Setelah merasa cukup kuat,  ia berangkat kembali untuk merebut kekuasaannya yang direbut oleh Sutawijaya. Seperti biasa, ia berangkat lewat Bengawan Solo. Sampai di Pringgoboyo, ia singgah di sini. Pada saat tidur di sini, dia bermimpi bertemu gurunya yang melarang dia kembali berebut kekuasaan lagi. Karena nasihat ini, Joko Tingkir akhirnya mengurungkan niat kembali ke Pajang. Ia memutuskan tinggal di Pringgoboyo, mendirikan pesantren di sini, menjadi guru, sampai meninggal di sini.

Dalam pandangan Gus Dur dan orang-orang NU, Joko Tingkir ini adalah wali. Seorang yang dimuliakan. Inilah alasan kenapa dulu Kyai Muwafiq marah besar ketika ada yang membuat lagu guyonan Joko Tingkir Ngombe Dawet. Walaupun pantun lagu itu tidak menghina Joko Tingkir, menurut Muwafiq, lirik lagu itu tidak menghormati Joko Tingkir sebagai wali besar.

Apakah Ada Bukti Sejarah di Makam Joko Tingkir?

Sayangnya, sejauh ini tidak ada bukti sejarah yang menguatkan teori Gus Dur. Teori Gus Dur ini hanya didasarkan pada tafsir tembang zaman dulu Sigro Milir yang populer di kalangan warga NU. Tapi sejauh ini tidak ada catatan sejarah mengenai akhir hayat Sultan Hadiwijaya di daerah ini. Nisan dan bebatuan di sekitar makam juga tidak menunjukkan adanya tanda-tanda ini makan Sultan Hadiwijaya.

Selama ini Sultan Hadiwijaya diyakini dimakamkan di Sragen. Secara geografis, ini lebih bisa diterima karena lokasinya yang dekat dari pusat Kerajaan Pajang di Sukoharjo.

Persoalan sejarah tidak semudah utak-atik-matuk. Ini tidak hanya terjadi pada soal Joko Tingkir tapi juga tokoh-tokoh lain. Misalnya, warga Lamongan meyakini Patih Gajah Mada (baca Gajah Modo) yang terkenal itu berasal dari daerah Modo, Lamongan. Keterbatasan catatan sejarah membuat semua dugaan itu selamanya akan wallahu a’lam.

Tapi karena pendapat soal Joko Tingkir ini diucapkan oleh Gus Dur, maka mudah dipahami jika sebagian besar orang kemudian percaya begitu saja. Bagi orang Lamongan, pendapat Gus Dur ini dianggap sebagai referensi yang menguntungkan Lamongan. 

Pada saat Masfuk memimpin Persela, ia menamai tim sepakbola Lamongan ini sebagai “Laskar Joko Tingkir”. Sebelum itu Persela sempat gonta-ganti julukan tapi tidak ada yang membawa hoki. Ndilalah sejak namanya diganti Laskar Joko Tingkir, Persela menjadi benar-benar trengginas mengalahkan tim-tim besar sepakbola sampai masuk Liga Satu. Persis seperti Joko Tingkir yang bertarung melawan 40 ekor buaya selama menyusuri Bengawan Solo.

Tapi, semua yang mendapat tuah dari Joko Tingkir ini juga mengalami nasib seperti Joko Tingkir di masa tuanya. Masa jayanya sebagai Sultan Hadiwijaya tidak bertahan lama. Gus Dur juga hanya menjadi presiden selama satu tahun. Begitu pula Persela yang tidak bisa bertahan lama di Liga Satu dan akhirnya turun kelas kembali ke Liga Dua.

Silakan bagikan, klik ikon di bawah

Leave a Reply