Penafian (disclaimer): Tulisan ini dibuat oleh pendukung AMIN 2024.
Di dua pilpres terakhir, orang-orang NU gemar sekali membaca shalawat asyghil di acara kampanye. Dulu shalawat ini biasa dilantunkan pada acara-acara kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin, pasangan yang didukung PKB. Sekarang shalawat ini banyak dilantunkan di acara-acara kampanye AMIN yang dihadiri oleh warga NU-PKB.
Shalawat asyghil ini memang indah sekali. Syairnya puitis. Nadanya seperti menciptakan perasaan tenang dan pasrah kepada Tuhan. Enak sekali disenandungkan sendirian maupun dilantunkan berjamaah.
Tentu jangan bertanya kepada orang-orang “Muhammadiyah tis”. Mereka sudah pasti akan mempertanyakan dalilnya.
Konon, shalawat ini ditulis oleh Imam Ja’far Shadiq, anak cicit dari Kanjeng Nabi Muhammad (yang Gusti Allah pun bershalawat kepadanya). Seorang ulama besar yang hidup di zaman ketika orang-orang Islam tak henti-hentinya berkelahi sejak kematian khalifah Utsman bin Affan. Bahkan Imam Ja’far sendiri semasa hidupnya bolak-balik ditangkap oleh penguasa pada masa itu, baik oleh khalifah Dinasti Umayyah maupun Abbasiyah yang saat itu berebut kekuasaan politik.
Konon, shalawat ini banyak dibaca orang Islam pada abad ke-13 ketika pusat kekuasaan kaum muslimin di Baghdad dibumihanguskan oleh tentara Hulagu Khan dari Mongol, cucu Jengis Khan yang terkenal bengis. Itu adalah zaman malapetaka.
Saya sendiri tak punya kompetensi untuk memeriksa riwayat-riwayat ini. Jika riwayat ini benar, kita bisa membayangkan suasana hati orang-orang yang melafalkan shalawat ini. Kalut dan mungkin di ambang putus asa kalau saja tidak ada keyakinan akan adanya pertolongan Tuhan.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
Wa asyghilid dzalimin bid dzalimin
Wa akhrijna min baynihim salimin
Wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in
Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad
Sibukkanlah orang-orang zalim itu melawan orang-orang zalim lainnya
Selamatkanlah kami dari mereka
Dan limpahkan shalawat kepada sahabat-sahabat Nabi semuanya
Struktur bait shalawat ini unik. Inti dari shalawat itu ada di baris 1 yang dilanjutkan ke baris 4. Tapi di tengahnya diselipi doa lain. Tampaknya ini karena ada anjuran untuk mengawali dan mengakhiri doa dengan shalawat Nabi agar doa dikabulkan. Yang paling menarik dari shalawat ini adalah doa di baris kedua. Tegas sekali imajinya sebagai doa kutukan serupa qunut nazilah.
Tiap kali mendengar orang-orang membaca shalawat ini, saya selalu bertanya-tanya, siapa yang mereka bayangkan sebagai “orang zalim” dan “orang zalim lainnya” itu? Apalagi jika shalawat ini dibaca di acara-acara semacam kampanye pemilu. Apakah yang dianggap sebagai orang zalim itu kubu capres sebelah?
Pada pilpres 2019 lalu, apakah mereka membayangkan kubu Prabowo-Sandi itu sebagai orang-orang zalim? Dan pada pilpres sekarang, ketika shalawat ini dibaca di acara kampanye AMIN, apakah mereka menganggap kubu Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud itu sebagai pihak yang zalim?
Saya pribadi menganggap kelicikan kubu Jokowi mengakali undang-undang pemilu itu sebagai kezaliman. Menyalahgunakan KPK dan Kejaksaan Agung untuk menebang pilih satu kubu capres itu juga kezaliman.
Tapi kita tahu politik Indonesia tidak pernah hitam putih. Spektrumnya terlalu lebar. Membayangkan Mahfud MD sebagai orang zalim itu saya kira berlebihan dan berbahaya. Saya pribadi masih percaya Mahfud MD orang tulus yang ingin memperbaiki negaranya. Hanya saja dia tipe orang Madura yang informal, ceplas-ceplos, marah jika dikritik, dan masih pendendam. Tapi ini masih dalam batas wajar. Bahkan, saya menganggap kualitas Mahfud MD masih jauh di atas Cak Imin.
Kita selalu cenderung merasa sebagai pihak yang dizalimi. Padahal bisa saja sebaliknya tapi kita tidak menyadarinya.
Kalau Imam Ja’far mengutuk orang-orang zalim, itu sepenuhnya bisa dipahami. Keluarganya selama beberapa generasi menjadi korban pembunuhan dan intimidasi. Ali bin Abi Thalib ditikam saat hendak shalat. Husain bin Ali dibunuh di Padang Karbala. Anak cucu Ali setelahnya selalu hidup dalam intimidasi penguasa Bani Umayyah.
Begitu juga orang-orang Islam yang dibantai tentara Hulagu Khan.
Bagaimana dengan kita? Menganggap pihak lain berbuat zalim memang lebih enak daripada menyadari diri kita berbuat zalim. Perasaan sebagai pihak yang dizalimi ini membuat kita sulit melakukan introspeksi; menyadari bahwa ini semua hanya kompetisi politik biasa dan bahwa ada pelaku kezaliman di semua kubu.
Jangan-jangan kita tidak layak membaca shalawat asyghil dan harus lebih banyak membaca doa muhasabah ala Abu Nawas yang kini mulai ditinggalkan di mushala-mushala kampung karena kalah oleh asyghil?
Rabbana dzalamna anfusana
Wa il lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin
Tuhan, kami telah zalim kepada diri kami sendiri
Jika tidak Kau ampuni dan Kau rahmati kami, maka kami akan merugi