Titip Aspirasi Buat Anies Baswedan

OPINI, PEMILU 2024

Semoga salam, rahmat, dan berkah Allah menaungi kita semua

Salam kenal, Pa’ Anies. Langsung saja, saya ingin menyampaikan aspirasi saya sebagai warga negara. 

Saya berharap Pa’ Anies menjadi presiden 2024. Lebih dari berharap, sebetulnya. Sebab ada sebuah nubuat di dalam novel Seribu Tahun Cahaya terbitan 2009 yang ditulis oleh Mad Soleh, orang Lamongan, di halaman 8 yang menyebut secara jelas bahwa presiden RI tahun 2024 adalah orang yang dipanggil “Bahlol” oleh lawan-lawan politiknya. 

Nubuat bisa dilihat di Google Books di sini

Maka saya asumsikan saja tahun 2024 Pa’ Anies adalah presiden RI. 

Saya sudah menyimak tulisan dan pidato Pa’ Anies soal krisis iklim, air bersih, subsidi pemerintah, mobil listrik, kendaraan umum, keadilan sosial, infrastruktur, dll. Tapi saya belum pernah menyimak tulisan atau pidato Pa’ Anies tentang kebijakan kesehatan secara terpadu.

Kebetulan saya nakes. Nakes kecil, tinggal di desa. Tidak pernah sekolah S2 apalagi sampai ke Amerika. Tapi saya selalu percaya bahwa aspirasi terbaik bisa jadi datang dari siapa saja. 

Berikut beberapa poin utama secara garis besar.

  1. Pemerintah harus meminimalkan komersialisasi kesehatan 

Secara pribadi, saya menganggap seharusnya bidang kesehatan ini dikelola oleh negara seperti di Kuba. Pendidikan dokter dan nakes lain dibiayai oleh negara. Setelah lulus, mereka bekerja dan digaji oleh negara.

Tapi ide ini mungkin terlalu jauh untuk segera diterapkan di Indonesia. Mungkin Pa’ Anies bisa merintisnya lebih dulu sehingga secara bertahap Indonesia bisa bergerak ke arah sana walaupun tidak sepenuhnya. Misalnya dengan membuka sekolah dinas dengan beasiswa penuh buat anak-anak dari wilayah yang masih perlu banyak nakes. Saya pribadi yakin daerah-daerah yang kekurangan nakes itu tidak kekurangan anak-anak pintar. Hanya saja mereka kalah berkompetisi memperebutkan kursi pendidikan tinggi.

Komersialisasi bidang kesehatan harus ditekan. Menurut saya, jika para konglomerat berebut bisnis farmasi dan kesehatan, apalagi jika mereka masuk jajaran orang-orang terkaya di Indonesia, itu adalah indikasi bahwa komersialisasi bidang kesehatan sudah melewati batas dan perlu ditekan. 

Kalau urusan kesehatan ditanggung negara, seharusnya tidak ada istilah “BPJS Kesehatan tekor” seperti yang selama ini jadi alasan menaikkan iuran. Saya tidak tahu bagaimana cara Pemerintah nyari uang buat nombok biaya BPJS Kesehatan. Soal ini, Pa’Anies pikir sendirilah. Pa’ Anies kan sudah sekolah di Amerika.

  1. Fokus kepada upaya pencegahan

Ini sebetulnya klise sekali. Sejak dulu kita ingin begini tapi praktiknya masih jauh. Rakyat disuruh berhenti merokok tapi ekonomi kita digerakkan oleh cukai rokok. Rakyat disuruh mengurangi gorengan tapi ekonomi kita ekonomi sawit. Rakyat disuruh berolahraga, bersepeda, berjalan kaki, tapi pemerintah tidak menyediakan fasilitasnya. 

Untuk mengatasi ini, saya mengusulkan beberapa poin:

  1. Menerapkan kebijakan radikal tapi secara bertahap 

Misalnya, soal rokok. Selama ini kita tidak berani memutus ekonomi tembakau karena cukainya masih terlalu manis. Bagaimana jika kita melakukannya secara bertahap? Mungkin seperti Selandia Baru yang masih membolehkan rokok untuk generasi bapak-bapak sekarang tetapi menargetkan bebas rokok untuk generasi baru, katakanlah yang lahir mulai tahun 2010 ke atas. Jadi, kita punya cukup banyak waktu untuk meninggalkan ekonomi rokok. Pertanian tembakau secara bertahap diubah menjadi pertanian-peternakan berbasis pangan sehat. Pengusaha rokok juga punya banyak waktu untuk pindah ke ekonomi baru. 

Hal yang sama bisa juga diterapkan pada ekonomi sawit. 

  1. Literasi kesehatan di kurikulum dasar pendidikan nasional

Sejak TK, anak-anak harus paham ilmu kesehatan dasar. Ujung tombak program ini tidak perlu tenaga kesehatan. Cukup guru-guru sekolah. Secara tidak langsung ini akan memaksa sekolah-sekolah untuk lebih peduli dengan kesehatan siswa, termasuk jajanan sehat. Daripada anak-anak sekolah itu dicekoki dengan hafalan-hafalan yang bisa dicari dengan mudah di Google dan ChatGPT, lebih baik mereka dididik dasar-dasar ilmu kesehatan. Itu lebih berguna. 

  1. Semua kebijakan pemerintah harus melewati saringan komite kesehatan

Pa’ Anies tentu masih ingat pada tahun 2016 Pemerintah mengimpor jeroan besar-besaran karena harga daging sapi mahal. Ini adalah solusi ekonomi tapi masalah kesehatan. Meningkatkan produksi daging dalam negeri memang sulit. Tapi jika mahalnya harga daging bisa melecut kita untuk memajukan peternakan dalam negeri, maka itu adalah harga yang murah. Kesehatan nomor satu. Kemandirian nomor dua. Makan bakso bisa kapan-kapan. Harga bakso naik tak masalah jika itu menyejahterakan peternak lokal.

Menurut saya, semua kebijakan publik yang berorientasi pada kesehatan masyarakat bisa sejalan dengan kebijakan bidang lain. Seperti yang sudah Pa’ Anies lakukan di Jakarta. Trotoar, jalur sepeda, dan transportasi publik yang bagus bisa membuat orang lebih sehat karena banyak bergerak, bisa mengurangi kemacetan, mengurangi polusi, dan menghemat bahan bakar. 

Pertanian berbasis pangan sehat tidak hanya akan menyehatkan masyarakat tapi juga menyejahterakan petani, mengurangi impor, menghemat devisa, memajukan riset, dan seterusnya. 

  1. Penyuluh kesehatan garis depan

Kita mungkin bisa meniru Kuba yang dokter-dokternya datang ke rumah-rumah warga, melakukan upaya pencegahan penyakit. Kita memang tidak bisa melakukannya sekarang karena kita masih kekurangan tenaga dokter. Tapi kita bisa memanfaatkan nakes yang jumlahnya lebih banyak seperti perawat atau bidan.

Maaf Pa’ Anies, saya bolak-balik menyebut Kuba. Bukan karena saya kuminis, Pa’. Saya cuma penganut dua paham sederhana dalam urusan kesehatan. Pertama, urusan kesehatan seharusnya dikendalikan oleh negara dan tidak dikomersialkan. Kedua, alokasi anggaran untuk pencegahan seharusnya 80% ala Pareto. Kita selama ini tidak bisa menghargai upaya pencegahan karena kita tidak bisa membandingkan penghematan (karena badan sehat) dan pengeluaran (karena badan sakit). 

Itu saja aspirasi saya, Pa’. Terima kasih sudah sudi membaca. 

BTW, sebetulnya saya ingin Pa’ Anies berpasangan dengan Bu Susi. Tapi kalau nama pasangan ini disingkat kok jadi…. ah, sudahlah.

Etapi gimana kalo disingkat jadi ASUS? Bukankah pasangan ini “In Search of Incredible”?

EfekSamping.net
Author: EfekSamping.net

www.efeksamping.net/

Silakan bagikan, klik ikon di bawah

Leave a Reply