Santri Lamongan Meninggal: Prasangka, Dugaan, dan Fakta Hukum
UPDATE 7 September: Polisi akan membongkar makam korban untuk melakukan autopsi. Dulu saat baru saja meninggal, orangtua korban tidak mengizinkan autopsi. Sekarang, untuk kebutuhan penyidikan, akan dilakukan autopsi.
UPDATE 2 September: Polisi sudah memeriksa 40 saksi dan meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan karena sudah menemukan bukti pidana. Bukti pidana itu kemugkinannya luas sekali. Mulai dari kelalaian sampai tindak kekerasan. Kita tunggu saja kabar selanjutnya.
_________________________________________________________________________________
Sebelum kita membahas berita kematian santri di Paciran, Lamongan, kita harus bisa membedakan dulu antara prasangka, dugaan, dan fakta hukum. Ini penting karena berita kasus ini berisi campur aduk ketiga hal itu.
Daftar Isi
Di pesantren mana kasus ini terjadi?
Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan. Lebih tepatnya di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Jadi ini bukan di pesantren di Desa Paciran.
Ini pesantren NU atau Muhammadiyah?
Ini adalah contoh pertanyaan yang bisa menggiring kita ke prasangka. Pesantren ini berafiliasi ke NU. Ini bukan pesantren kecil tapi pesantren yang cukup besar. Memang tidak sebesar Pesantren Sunan Drajat yang berada di dekatnya tapi Tarbiyatut Tholabah adalah pesantren besar. Bahkan sebetulnya usianya lebih tua daripada kebanyakan pesantren di Paciran. Pesantren ini terkenal murah. Biaya bulanan SPP dan uang makan tingkat MTs hanya sekitar Rp 450 ribu. Murah sekali.
Sebagai perbandingan, biaya SPP dan uang makan SMP di Pesantren Muhammadiyah al-Ishlah Sendangagung Paciran saja Rp630 ribu. Padahal pesantren ini kategorinya murah. Dengan kata lain, pesantren Tarbiyatut Tholabah ini sudah berjasa selama puluhan tahun membimbing ribuan siswa, terutama mereka yang dari keluarga tidak mampu.
Tapi sekali lagi, pertanyaan ini bisa menggiring kita ke prasangka. Kita yang Muhammadiyah, apalagi yang “Muhammadiyah tis”, bisa langsung menuju ke kesimpulan karena tahu ini pesantren NU. Kasus ini tidak ada hubungannya dengan NU atau Muhammadiyah.
Bagaimana kronologi peristiwanya?
Nah, mulai di sini, kita mendapatkan jawaban berbagai versi. Membingungkan. Bahkan bertolak belakang.
Versi orangtua siswa: santri meninggal secara tidak wajar. Diduga mengalami penganiayaan. Santri dikabarkan meninggal hari Jumat pagi (25 Agustus 2023). Saat orangtuanya dikabari, posisi anaknya sudah di rumah sakit, sudah meninggal. Tapi yang aneh, santri meninggal dalam keadaan berseragam sekolah. Padahal hari Jumat sekolah libur. Artinya, kejadiannya sebelum hari Jumat.
Selain itu, ada luka lebam di wajah, selangkangan, bahkan kemaluan. Itulah sebabnya pihak keluarga kemudian melaporkan kejadian ini ke polisi agar jenazah anaknya diperiksa.
Sementara menurut versi pesantren: santri meninggal karena sakit. Sehari sebelum meninggal, ia masih mencuci bersama kawannya. Tidak ada kekerasan. Ia mengeluh sakit saat bersekolah lalu dirawat di kamar pengurus bersama santri lain yang sedang sakit. Pagi hari saat hendak dibangunkan untuk salat subuh, ia sudah meninggal.
Cerita versi mana yang benar?
Wallahu a’lam. Kita tidak tahu. Sejauh ini polisi baru melakukan pemeriksaan terhadap pihak pesantren. Dari dua versi cerita di atas, dengan logika awam, kita jelas akan lebih mudah percaya pada versi orangtua santri. Cerita versi pesantren sulit sekali diterima karena mengandung kejanggalan yang tidak bisa menjelaskan adanya luka lebam dan kematian yang mendadak. Tentang luka di selangkangan, misalnya, pihak pesantren menduga itu disebabkan oleh luka gatal yang digaruk.
Apakah tidak ada penyakit yang bisa menyebabkan kematian mendadak seperti ini? Wallahu a’lam. Bisa saja. Misalnya si santri punya kelainan perdarahan yang menyebabkan ia mengalami pendarahan internal. Jadi luka lebam itu seperti pada pasien demam berdarah yang tubuhnya merah lebam walaupun tidak kena benturan. Ini adalah pendarahan internal. Bisa fatal dan menyebabkan kematian.
Tapi sekali lagi, wallahu a’lam. Sampai di sini, kita hanya bisa menduga. Mungkin dugaan kekerasan itu memang benar. Jika memang ada kekerasan, siapa pelakunya?
Pertama, kekerasan bisa saja dilakukan oleh sesama santri. Di pesantren, santri berkelahi dengan sesama santri memang sering terjadi. Tapi jarang sekali yang sampai menyebabkan kematian.
Logika awam kita, kalau terjadi bullying sesama santri, santri-santri lain akan tahu. Kami bertanya kepada salah seorang siswa MTs Tarbiyatut Tholabah, yang kebetulan tetangga Admin LamonganPos. Menurutnya, memang tidak ada kejadian bullying, dan si anak sakit sudah seminggu sebelum meninggal. Wallahu a’lam.
Kemungkinan kedua, kekerasan bisa juga dilakukan oleh pengurus pesantren. Biasanya sebagai bentuk hukuman kepada santri yang melanggar aturan. Tapi bagaimanapun kerasnya hukuman, seharusnya tidak sampai membuat santri sakit, apalagi meninggal.
Bagaimana dengan kemungkinan kekerasan seksual? Ini kategorinya sudah wallahu a’lam seribu kali. Membayangkannya saja bisa membuat kita merinding. Santri yang meninggal ini laki-laki. Pengurus pesantren laki-laki.
Kita memang sekarang hidup di zaman penuh kejutan. Sepanjang setahun kemarin saja kita membaca banyak sekali berita tentang kekerasan seksual yang dilakukan pengasuh pesantren kepada santrinya.
Tapi karena sejauh ini tidak ada fakta hukum yang mengarah pada kekerasan seksual, maka dugaan ini sifatnya adalah spekulasi. Prasangka.
Di medsos orang Lamongan Pantura, banyak orang sudah menyimpulkan bahwa kekerasan dilakukan oleh pengurus pesantren. Ini lebih merupakan prasangka daripada dugaan.
Jika memang nanti hasil pemeriksaan polisi terbukti pengurus pesantren melakukan kekerasan, maka kita sebagai warga Lamongan harus ikut menghukum pesantren ini dengan tidak menyekolahkan anak ke sini. Penganiayaan, apalagi sampai berujung kematian, jelas tidak bisa ditoleransi, apalagi di lingkungan pesantren.
Tapi, sekali lagi, sebelum ada fakta hukum mengenai titik terang kasus ini, semua spekulasi harus dihindari sebab ini bisa menjadi fitnah.