
Dua Rektor Unisla dan Wajah Jerawat Pendidikan Kita
Belakangan ini muncul berita yang cukup menyedot perhatian di kampus terbesar Lamongan. Adanya dualisme kepemimpinan di Universitas Islam Lamongan (Unisla). Perselisihan di Unisla terjadi lantaran terdapat dua Pelantikan Penjabat (Pj) Rektor. Pj Rektor pertama adalah Dr Dody Eko Wijayanto yang diangkat oleh ketua yayasan versi Wardoyo, dan kemudian ada Pj Rektor, Abdul Ghofur, yang diangkat ketua yayasan versi Bambang Eko Moeljono.
Kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Yang kita tahu ada masalah di kampus tersebut. Masalah internal ini jelas sangat merugikan bagi mahasiswa. Aktivitas belajar-mengajar jadi terganggu.
Anehnya lagi, yang jadi penengah dari konflik ini adalah mahasiswa. Kalian tidak salah dengar kok. Justru mahasiswa yang menjadi penengah antar dosen-dosen bergelar doktor. Mereka rela melakukan aksi turun ke jalan demi menyelesaikan dualisme. Slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa untuk sementara layak disematkan kepada para mahasiswa tersebut.
Ternyata benar kata orang-orang. Kekuasaan membuat kita lupa diri dan membutakan hati nurani. Konflik internal macam Unisla sebenarnya bisa selesai hanya dengan tabayyun. Namun masalah itu kini makin runyam lantaran kedua kubu mengklaim sama-sama benar sebagai pengelola kampus yang sah.
Kasus yang mencoreng lembaga pendidikan tidak hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya, ada juga PNS Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, yang keberatan terkait penarikan anggaran yang menurutnya tidak jelas tujuannya. Dia menduga terjadi pungli saat melakukan latihan dasar (latsar) CPNS 2020 sebesar Rp350ribu.
Mungkin bagi sebagian orang, “Halah, uang Rp350 ribu saja kok dibuat rame-rame. Udah bayar aja yang penting jadi PNS.” Opini macam itu cukup banyak berseliweran di tongkrongan-tongkrongan warung kopi. Namun, mereka lupa bahwa masalah sebenarnya bukan nominal uang, tapi soal pungutan liar (pungli).
Sekecil apapun nominal yang diminta, pungli tetaplah pungli. Kalau ada orang yang minta uang Rp10 ribu atau Rp50 ribu tapi tidak sesuai ketentuan, dia layak untuk dilaporkan. Sayangnya, hukum negara ini belum berpihak kepada orang-orang yang menjadi korban pungli. Seperti yang dialami PNS Pangandaran, dia justru mendapatkan intimidasi dan ancaman pemecatan setelah melaporkan dugaan pungli.
Pungli semacam ini sebenarnya sudah umum dan terjadi di berbagai sektor. Bukan sesuatu yang baru. Namun, makin ke sini makin sulit untuk dibendung karena makin banyak oknum yang melakukannya.
Sebagai orang yang berlatar pendidikan, penulis jelas merasa kecewa dengan kondisi pendidikan hari ini. Tempat yang seharusnya menjadi ladang kebahagiaan dan pahala justru berjalan ke arah yang berlawanan.
Masalah-masalah di atas menunjukkan bagaimana wajah pendidikan kita saat ini. Sangat jauh dari kata memuaskan. Jika ranah pendidikan yang dianggap banyak orang sebagai tempat terbaik mencari ilmu berjalan seperti itu, lantas bagaimana tempat di luar pendidikan?