
Pedoman Milih Anies vs Ganjar

Sesuai dengan prediksi kami, Bu Ketua akhirnya menunjuk Ganjar Pranowo menjadi capres, walaupun dengan bersungut-sungut. Selesai sudah spekulasi capres PDIP. Tak ada opsi tiga periode buat Pakde. Tidak ada opsi Prabowo-Puan. Kalau Prabowo mau nyapres, silakan nyapres dan nyaprut sendiri. Kalau mau gabung PDIP, silakan jadi cawapres.
Sekarang, peta politik sudah cukup jelas. Segala manuver setelah ini, entah manuver Prabowo atau koalisi Golkar, tidak akan banyak mengubah peta.
Pilihannya sekarang praktis hanya dua, Anies dan Ganjar. Maka pedomannya pun sudah cukup jelas.
- Jika puas dengan Jokowi, pilihlah Ganjar
Ini tidak perlu dijelaskan lagi. Jokowi dan Ganjar sama-sama PDIP. Pemerintahan Ganjar akan melanjutkan semua kebijakan Jokowi. La rayba fih.
- Jika tidak puas dengan Jokowi, pilihlah Anies
Anies menjanjikan perubahan. Apakah perubahan itu akan lebih baik atau lebih buruk? Kita tidak tahu. Katakanlah kemungkinannya 50:50. Berarti kita punya peluang berubah 50 persen. Gampangnya, lihat saja di DKI Jakarta. Kalau kita menganggap Jakarta memburuk di bawah Anies, pilihlah Ganjar. Dan sebaliknya. Simpel.
Cuma itu pilihannya. Seandainya pun Prabowo nyapres, dia hanya pilihan buat orang yang tidak punya pilihan alias orang bingung. Dari ketiga bakal capres, Prabowo adalah yang paling tidak jelas. Dia tidak menawarkan apa-apa. Ideologinya tidak jelas. Tidak menawarkan perubahan. Bahkan, katanya mau melanjutkan kerja Jokowi. Tapi capres PDIP jelas lebih layak menjanjikan ini. Bukan capres dari partai yang selama bertahun-tahun menjadi oposisi PDIP lalu tiba-tiba ketuanya masuk istana dengan imbalan kursi menteri.
Ringkasnya, Prabowo endgame! Seandainya pun dia mengobral dirinya menjadi cawapres Ganjar, pedoman di atas tetap tidak berubah.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita mengukur tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi?
Kalau kita simpatisan PDIP, sudah jelas kita akan puas. Kalau kita banyak kecipratan proyek-proyek pemerintah Jokowiluhut, sudah pasti kita puas. Sebaliknya, kalau kita simpatisan PKS, maka sudah pasti kita akan tidak puas. Ini kepuasan personal.
Akan lebih akurat kalau kita memosisikan diri sebagai orang yang tidak punya kepentingan kelompok, bukan simpatisan partai, tidak ikut ormas, persetan dengan semua tokoh agama dan tokoh politik, dan hanya melihat Indonesia dari kebijakan pemerintah. Sekali lagi, hanya kebijakannya.
Kalau kita menggunakan kacamata ini, maka kita akan mudah melihat bahwa pemerintahan sekarang adalah pemerintahan Dwitunggal Jokowiluhut. Bukan Jokowi-Ma’ruf Amin. Ciri utama kebijakan Jokowiluhut adalah bagi-bagi kue untuk pejabat dan konglomerat sembari mengorbankan kepentingan rakyat. Mari kita lihat contohnya.
- Pencabutan subsidi
Jokowiluhut selalu beralasan subsidi tidak tepat sasaran. Ini sebetulnya konyol sekali. Kita bisa berdebat soal subsidi BBM. Tapi untuk soal primer seperti pendidikan dan kesehatan, seharusnya pedomannya sudah jelas. Di negara Pancasila, seharusnya tidak ada istilah “BPJS Kesehatan tekor”. Urusan kesehatan memang seharusnya ditanggung pemerintah. Tapi di era Jokowiluhut, iuran BPJS dinaikkan berkali-kali dengan alasan BPJS Kesehatan tekor. Sekarang, kalau kita punya anggota keluarga 4 orang dan ikut BPJS Kesehatan kelas 2, maka tiap bulan kita harus membayar Rp 400 ribu. Itu sudah hampir sama dengan asuransi kesehatan swasta. Kalau begitu, apa gunanya negara? Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah ikut BPJS Kesehatan kelas 3 yang sedikit demi sedikit haknya makin dikurangi. Padahal seharusnya layanan kesehatan Pemerintah itu tidak peduli kaya atau miskin. Sama seperti layanan Puskesmas, pembuatan KTP atau berkendara di jalan raya.
- Prioritas terbalik
Soal subsidi BBM ditarik, anggaplah kita bisa menerima alasan Pemerintah. Kita bisa memahami kondisi negara yang sedang bokek. Tapi sudah tahu bokek, Pemerintah masih kemlinthi bikin proyek mercusuar yang tidak ada urgensinya seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Ibukota Baru. Bayangkan, uang Pertalite yang kita bayarkan di pom bensin itu dikumpulkan untuk membiayai proyek kereta cepat buat melayani orang-orang Jakarta yang sudah dimanja dengan pilihan kereta Argo Parahyangan, jalan tol, dan travel murah. Sementara kita, untuk membeli Pertalite saja, harus antre sehabis subuh.
Proyek Ibukota baru bahkan jauh lebih licik lagi. Ini proyek raksasa tapi sama sekali tidak diucapkan pada saat kampanye pilpres dan langsung dieksekusi begitu saja selesai pilpres. Liciknya sudah kategori murokkab. Sudah layak dijampi-jampi dengan salawat asyghil. Dulu bilangnya tidak pakai APBN, sekarang ternyata pakai APBN. Artinya, proyek ini dibiayai dengan uang bensin dari kita, uang pajak dari orang-orang miskin. Jangan lupa, walaupun kita tidak pernah membuat laporan pajak, kita sebetulnya setiap hari membayar pajak karena semua barang yang kita beli di toko, Indomaret, apotek, rumah makan, dll itu sudah termasuk komponen pajak yang nilainya barusan dinaikkan oleh Bu Sri Mulyani tahun kemarin.
Yang lebih menyedihkan, uang pajak ini tidak cukup, lalu Pemerintah berutang jangka panjang, yang cicilannya akan dibayar nanti oleh orang Indonesia yang sekarang masih balita. Dua sampel ini saja sudah cukup buat kita untuk menilai Pemerintah sekarang.
Ini adalah cara mudah menilai pemerintahan Jokowiluhut. Soal lain seperti Undang-Undang Cipta kerja dan sejenisnya itu terlalu rumit. Memangnya kita paham dan pernah membacanya?
Begitu pula soal statistik. Selama setahun ke depan kita pasti akan dibombardir oleh data-data statistik Jokowi, Anies, dan Ganjar soal angka kemiskinan, indeks kebahagiaan, inflasi, upah minimum, produk domestik bruto, dan sejenisnya. Cukup satu kata saja. Persetan! Di tangan tukang olah data, statistik adalah tipu muslihat. Data BPS yang sama, di tangan pendukung Anies bisa menghasilkan kesimpulan yang terbalik dengan kesimpulan pendukung Ganjar.
Begitu pula soal prestasi. Persetan iblis. Anies membangun stadion! Lha memang itu uangnya sendiri? Ganjar Gubernur Terbaik! Lha Jokowi mau ngasih penghargaan apa saja ya gampang. Wong dia presiden.
Membandingkan kemiskinan, upah minimum, indeks kebahagiaan, atau inflasi DKI dan Jateng itu jelas tidak adil. Konteksnya terlalu rumit. Begitu juga angka-angka lainnya. Fokus saja kepada kebijakannya. Kalau kita ditakut-takuti Indonesia menjadi Afghanistan seperti kekhawatiran Denny Siregar, lihat saja DKI Jakarta di era Anies. Simpel.
Kalau ada yang membayangkan Indonesia akan adil makmur di bawah Anies, mungkin dia terlalu lama tidur tengkurap. Kita tidak perlu berharap terlalu tinggi. Lebih realistis kalau kita berharap Anies akan mengoreksi kebijakan Jokowiluhut yang ugal-ugalan, sebagaimana dia mengoreksi kebijakan Ahok di DKI yang penuh kekerasan dan terlalu tunduk kepada Aguan. Itu saja dulu.
Anies orang baik, sebagaimana Jokowi juga orang baik. Tapi politik kita terlalu mahal biayanya sehingga semua orang baik harus berutang budi kepada penghamba kekuasaan. Sebagaimana Jokowi berutang kepada Luhut dan sekarang Anies berutang kepada Surya Paloh.
Tinggal ditimbang saja. Mau begini-begini aja atau mau beginu? Ogut sih sudah jelas mau beginu walaupun peluangnya cuma 50 persen. Sebab pada dasarnya manusia hidup dengan harapan.
2 comments
ini artikel terkeren yang saya pernah datangi, membahas tentang dunia sangat infromatif…recommended banget untuk kalian.. terima kasih admin.. sukses selalu
terima kasih. semoga pendapat Mimin mewakili UPN.