Tulisan ini adalah bagian dari buku Soto Lamongan yang diterbitkan oleh Perpusnas. Buku bisa diperoleh di sini.
Soto ayam, tak diragukan lagi, adalah satu dari makanan khas daerah yang paling digemari. Penjualnya ada di mana-mana. Rasa lezatnya disukai oleh semua orang. Harganya pun bersahabat buat rakyat jelata.
Bersama rendang, soto ayam adalah makanan khas Indonesia yang diakui dunia sebagai makanan lezat. Tidak hanya buat selera Nusantara tetapi juga selera dunia. Bahkan media Amerika yang cukup terkenal, The New York Times, pernah memuat resep soto ayam di rubrik masaknya. Resep ini menjadi salah satu resep favorit pembaca.
Di seluruh Nusantara, ada banyak varian soto ayam. Salah satu yang paling digemari adalah soto ayam Lamongan. Ini setidaknya bisa kita lihat dari volume pencarian di Google. Di mesin pencari ini, kata kunci soto ayam atau resep soto ayam paling banyak terkait dengan soto ayam Lamongan.
Warung soto ayam Lamongan juga paling banyak terdata di Google Maps. Data ini bisa menggambarkan bagaimana populernya soto ayam Lamongan di Indonesia. Di kalangan perantau asal Kabupaten Lamongan, berjualan soto adalah profesi favorit. Sebagian besar perantau asal Lamongan berjualan soto ayam dan atau pecel lele di berbagai kota di Indonesia.
Lamongan sebetulnya punya banyak makanan khas. Ada tahu campur, tahu tek, sego boran, wingko Babat, jumbrek. Akan tetapi tidak ada satu pun yang popularitasnya bisa mengalahkan soto ayam. Satu-satunya makanan yang setara sebagai ikon Lamongan adalah pecel lele. Namun, pecel lele tidak bisa mengalahkan soto ayam dalam hal popularitasnya sebagai makanan enak yang mendunia.
Di balik popularitasnya sebagai makanan rakyat, soto ayam Lamongan punya sejarah yang panjang. Jejak awalnya bisa dirunut sejak zaman Hindia Belanda. Soto adalah masakan yang memadukan aneka budaya dapur, mulai dari Tionghoa, Belanda, India, Jawa, hingga Lamongan sendiri.
Daftar Isi
Berawal dari Sup Jeroan di Dapur Cina
Akar sejarah masakan soto diperkirakan muncul di dapur peranakan Cina. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Prancis yang merupakan ahli kajian Asia Tenggara, Denys Lombard. Di dalam bukunya yang terkenal, Nusa Jawa: Silang Budaya, ia mengemukakan bahwa soto pada awalnya adalah masakan di dapur peranakan Cina. Masakan ini berbahan jeroan, berkuah, dan berbumbu aneka rempah. Pada abad ke-19 masakan ini dikenal dengan nama jaoto.
Saat itu jaoto dianggap sebagai masakan rendahan karena memanfaatkan jeroan sapi atau babi. Orang Belanda, yang saat itu merupakan warga kelas satu di Nusantara, menganggap tradisi dapur ini tidak sehat. Dalam pandangan mereka, jeroan tidak layak dikonsumsi manusia.
Babi sendiri bagi orang Jawa, yang saat itu sudah banyak memeluk Islam, adalah makanan haram. Di Lamongan, penyebaran ajaran Islam sudah dimulai sejak zaman Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Sunan Sendang Duwur. Sunan Giri sudah mendakwahkan Islam di wilayah Lamongan Selatan pada abad ke-15. Sementara Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur mendakwahkan Islam di wilayah Lamongan Utara pada abad ke-16.
Penjual soto di Surabaya. (Sumber https://wereldculturen.nl/)
Di dapur peranakan Cina, bahan makanan yang dianggap menjijikkan dan haram itu justru diolah menjadi masakan sehari-hari. Jeroan sapi masih bisa diterima oleh budaya Jawa sebab bukan makanan haram. Itu sebabnya sampai sekarang soto babat (jeroan sapi) masih lestari.
Soto ala jeroan ini kemudian berevolusi di banyak daerah menyesuaikan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Maka selain soto babat, muncullah soto daging sapi, soto daging kerbau, hingga soto daging ayam. Aneka jenis soto ini populer di daerah pesisir utara Jawa yang banyak dihuni oleh orang keturunan Cina seperti Surabaya, Semarang, Kudus, Pekalongan. Soto berbahan daging ayam diperkirakan muncul belakangan karena harga daging sapi mahal sementara hampir semua orang bisa memiara ayam.
Dianggap Makanan Kelas Rendah
Menurut Denys Lombard, soto ala peranakan Cina mulai populer di abad ke-19. Yang menarik, buku-buku resep yang terbit di zaman Hindia Belanda belum mencantumkan resep soto sama sekali. Sebut saja buku resep yang terkenal, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek (Buku Masakan Hindia Belanda yang Lengkap dan Baru). Ini adalah buku babon resep Hindia Belanda pada zaman itu.
Di buku yang terbit tahun 1902 ini tidak ada sama sekali resep soto padahal buku ini memuat seribuan resep masakan Hindia Belanda. Rawon, serundeng, lemper, brongkos, cendol dawet, kue semprong, serabi, kue lumpur, apem, bubur salak, acar timun, aneka macam sop, laksa, bakmi, capcai, aneka macam sate, botok, skotel, pepes ikan peda, garang asem, perkedel, semur, dendeng, babi kecap, semua ada di sini. Namun anehnya, soto sama sekali tidak ada.
Sampul buku Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek.
(Sumber https://www.bibliotheek.nl/)
Padahal di koleksi foto-foto zaman Hindia Belanda yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, ada cukup banyak arsip foto dan gambar penjual soto di Jawa. Foto-foto ini bertahun 1900-an awal. Sezaman dengan buku resep di atas. Artinya, memang soto sengaja tidak dimasukkan ke dalam buku resep Belanda.
Sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman menduga ini disebabkan karena saat itu soto masih identik dengan jeroan. Menurut standar Belanda, jeroan dianggap sebagai makanan yang tidak layak dikonsumsi. Dengan kata lain, jaoto ala peranakan Cina belum berevolusi menjadi soto ala Nusantara.
Penjual soto di Jawa. (Sumber https://leidenuniv.nl/)
Di masa Presiden Sukarno, soto sudah menjadi masakan resmi Istana. Bung Karno sering menghidangkannya kepada tamu negara. Ini terdokumentasi dalam buku resep dapur Istana pada masa itu, yakni Mustikarasa. Artinya pada saat itu soto sudah menjadi makanan khas Indonesia, tidak lagi masakan khas peranakan Cina.
Murdijati Gardjito, ahli pangan dari Universitas Gadjah Mada, menyebut bahwa di seluruh Indonesia kini ada 75 variasi soto. Sebagian besar, sekitar 61 varian soto ada Pulau Jawa dan Madura. Sisanya tersebar di Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Kalimantan. Namanya tidak selalu soto. Coto, tauto, atau sroto dimasukkan sebagai varian soto.
Sampul buku Mustikarasa. (Sumber https://www.academia.edu/)
Gelombang Soto Ayam Lamongan
Soto ayam sebetulnya ada di mana-mana. Tidak khas Lamongan. Menurut data Murdijati Gardjito, 52 persen jenis soto Nusantara menggunakan daging ayam. Selain Lamongan, ada juga soto Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pekalongan, dan masih banyak lagi.
Terkenalnya soto ayam Lamongan lebih disebabkan karena memang ada banyak penjual soto asal Lamongan. Mereka merantau dan berjualan di berbagai kota besar di Indonesia. Tanpa para duta ini, mungkin soto ayam Lamongan dianggap tidak berbeda dengan soto-soto ayam lainnya.
Ini sama dengan soto daging Madura. Soto daging kita kenal sebagai makanan khas Madura karena penjualnya didominasi orang Madura. Soto khas Madura sendiri pada mulanya adalah soto ayam. Ini bisa kita lihat buktinya di buku Mustikarasa. Di situ ada resep soto Madura dan soto Pamekasan. Dua-duanya adalah soto ayam, bukan soto daging.
Penjelasan yang sama juga berlaku untuk soto ayam yang banyak dijual orang Lamongan. Orang Lamongan mulai berjualan soto ayam sebetulnya sudah cukup lama. Menurut penelusuran Kompas, penjual soto ayam asal Lamongan yang pertama datang ke Jakarta adalah Askari, warga Desa Siman, Kecamatan Sekaran. Ia datang ke Jakarta dalam gelombang pertama perantau asal Lamongan. Saat itu soto ayam dijual dengan pikulan dan belum berpasangan dengan pecel lele. Pecel lele diperkirakan baru muncul pada akhir tahun 1970-an.
Penjual soto di Surabaya. (Sumber https://wereldculturen.nl/)
Warung Soto Tertua di Jakarta: Jaya Agung
Salah satu warung soto ayam Lamongan yang tertua dan masih laris sampai sekarang adalah soto ayam Jaya Agung di Jakarta Pusat. Menu andalannya soto ayam dan sate kambing. Warung ini dirintis oleh Jali Suprapto, perantau yang juga berasal dari Desa Siman tahun 1963. Ia perantau gelombang kedua yang mengikuti jejak Askari.
Jali Suprapto asal Desa Siman. (Sumber https://kompas.com/)
Walaupun soto ayam Lamongan sudah lama ada di Ibukota, gelombang besar penjualnya baru terjadi pada era tahun 1980-1990-an. Cerita sukses penjual soto ayam biasanya tutur-tinular pada saat hari raya Idulfitri. Pada momen tahunan itu, para perantau biasanya pulang kampung dan bersilaturahmi ke sanak kerabat. Dari sinilah ekspansi soto Lamongan dimulai.
Pada mulanya, profesi perantau asal Lamongan sangat beragam. Ada yang berjualan perabot rumah tangga, minyak tanah, rujak buah, gado-gado, menjadi buruh pabrik, dan lainnya. Akan tetapi, dari semua jenis profesi itu, yang paling menguntungkan adalah berjualan soto ayam (dan pecel lele). Selain karena labanya besar, soto ayam juga masakan yang sudah akrab bagi mereka.
Para penjual soto yang berhasil menjadi juragan itu bisa mengubin rumahnya di desa atau membeli sepeda motor buat keluarganya. Pada masa itu, sebagian besar rumah di pedesaan Lamongan masih berlantai tanah liat. Rumah berubin, apalagi yang ada Honda di dalamnya, adalah ciri rumah orang yang berkecukupan.
Saat kembali ke Jakarta, para juragan soto ini biasanya mengajak kawan atau kerabat untuk berjualan soto di kawasan lain di Jakarta. Tiap tahun, jumlah perantau dari Lamongan semakin banyak. Sedikit demi sedikit, akhirnya semua kawasan di Jakarta dirambah oleh soto ayam Lamongan. Hal yang sama juga terjadi di kota-kota besar lainnya.
Warung Soto Lamongan Terpopuler: Pak Sadi
Pada masa itu, sebutan soto ayam Lamongan belum begitu populer. Para penjual itu sekadar menyebut dagangannya sebagai “soto ayam” saja. Apalagi saat itu Kabupaten Lamongan juga tidak begitu dikenal orang. Sebagian penjual itu bahkan kadang menyebut dagangan mereka “soto ayam Surabaya” untuk membedakannya dari soto-soto lain.
Salah satu contohnya adalah Soto Ayam Pak Sadi. Soto ini sebetulnya soto khas Lamongan yang ditandai dengan pemakaian koya. Kedai soto legendaris ini dirintis oleh perantau asal Lamongan, Hasni Sadi, di kawasan Ambengan Surabaya pada tahun 1971. Akan tetapi di namanya sampai sekarang tidak ada kata “Lamongan”. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai soto ayam Ambengan Surabaya. Tahun 1980-an, Pak Sadi membuka cabang di Jakarta dan tetap saja tidak ada kata Lamongan walaupun sotonya jelas khas Lamongan.
Soto Ambengan Pak Sadi Asli.
(Sumber https://www.instagram.com/ny.rempong)
Soto Pak Sadi ini adalah soto Lamongan pelopor yang terkenal di Surabaya. Begitu terkenalnya Pak Sadi, banyak yang mengira bahwa soto ayam yang menggunakan koya itu adalah soto Ambengan khas Surabaya. Mereka mengira soto Ambengan adalah salah satu subvarian soto di Surabaya. Padahal sejatinya itu adalah soto ayam khas Lamongan.
Hasni Sadi, perintis Soto Ambengan Pak Sadi. (Sumber https://www.jpnn.com/)
Hak Paten Soto Ayam Khas Lamongan
Di Lamongan sendiri, soto ayam adalah hidangan resmi saat acara resepsi pernikahan, khitanan, naik haji, atau selamatan. Soto lebih disukai daripada menu lain seperti rawon karena daging ayam lebih murah daripada daging sapi. Jadi, orang Lamongan memang sudah biasa memasak soto. Tentu saja banyak di antara mereka yang memang sudah ahli meracik soto sebelum berangkat merantau.
Di Jakarta, para penjual soto ayam ini tentu memasak dengan cara Lamongan. Kuah sotonya berminyak tetapi tidak menggunakan santan. Minyaknya berasal dari kaldu ayam dan minyak goreng untuk menumis bumbu. Yang menjadi ciri khas adalah penggunaan kondimen berupa bubuk berbahan kerupuk udang dan bawang putih yang dikenal dengan nama koya.
Soto ayam memang tidak bisa dibilang asli Lamongan. Banyak daerah lain juga memiliki soto ayam. Akan tetapi soto ayam Lamongan yang kita kenal sekarang adalah memang soto khas Lamongan. Soto ini dijual oleh orang-orang Lamongan, dengan cara masak ala Lamongan, sebagaimana yang mereka lakukan saat ada acara resepsi pernikahan atau selamatan.
Ini seperti sambal, tempe, atau Indomie. Sambal adalah makanan khas Indonesia walaupun cabai bukanlah tanaman asli Indonesia. Tempe adalah makanan khas Indonesia walaupun kedelainya diimpor dari Amerika. Indomie juga adalah makanan khas Indonesia walaupun mi bukan makanan asli Indonesia dan gandumnya juga diimpor dari Amerika.
Kekhasan soto ayam Lamongan tidak sekadar klaim yang berlebihan. Sejak tahun 2021 soto ayam Lamongan bersama sego boranan sudah mengantongi hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai kekayaan kuliner Lamongan. Sebelum hak paten ini diberikan, ada waktu sanggah untuk membuktikan bahwa soto ayam Lamongan ini memang berbeda dari soto-soto ayam daerah lain. Secara hukum sudah terbukti bahwa makanan ini khas Lamongan.
Sertifikat Hak Paten Soto Ayam Lamongan.
(Sumber https://beritajatim.com/)