debby kurniawan BERITA

Beberapa hari ini nama Debby Kurniawan trending di internet. Penyebabnya adalah karena ia dilaporkan ke Pak Pulisi atas DUGAAN pelecehan seksual.

Waw ngeri, Coy.

Ini melibatkan nama besar di Lamongan. Debby adalah satu dari sedikit orang Lamongan yang bisa menjadi anggota DPR. Ia memulai karier politiknya di Partai Demokrat Lamongan pada saat ayahnya, Fadeli, masih menjabat sebagai Bupati Lamongan. 

Di usia yang masih sangat muda, 31 tahun, ia sudah menjadi Ketua Partai Demokrat Cabang Lamongan. Saat itu ayahnya menjadi Bupati Lamongan. Karier politiknya mulus sekali.

Dua tahun berikutnya, ia menjadi Ketua DPRD Lamongan. Saat itu ayahnya masih menjadi bupati periode pertama. 

Lima tahun berikutnya, tepatnya 2019, bersamaan dengan pilpres Jokowi-Prabowo ronde kedua, lulusan SMADA Lamongan ini terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrat dari dapil Lamongan. Saat itu ayahnya masih menjadi bupati Lamongan periode kedua. 

Apakah saat itu ia memanfaatkan jabatan ayahnya atau tidak, wallahu a’lam. Tapi kita semua tahu, politik Indonesia masih belum bisa dipisahkan dari tradisi dinasti. Ini terjadi di semua partai politik. 

Megawati adalah Sukarno Putri. Puan adalah binti Megawati. AHY adalah bin SBY. Gibran Rakabuming adalah bin Jokowi. Kalau mereka tidak menggunakan bin dan binti, tentu saja ceritanya akan lain sama sekali. 

Latar belakang pendidikan Debby tidak beda jauh dengan kebanyakan anak Lamongan terdidik lainnya. Setelah lulus dari SMADA tahun 2000, pria kelahiran 7 September 1981 ini melanjutkan kuliah sistem informasi di Universitas Pelita Harapan alias UPH, “Universitas Putra Horangkaya”. Beberapa tahun setelah lulus kuliah, ia menjadi dosen UNISLA

Yang lucu, profil Debby Kurniawan di website DPR RI langsung dihapus ketika ia menghadapi kasus ini. Kalau kita membuka profilnya, tampilan halamannya adalah Under Maintenance. PAGE NOT FOUND. Padahal sehari sebelumya profil Debby masih bisa diakses. 

Karena kasus ini melibatkan tokoh penting partai politik, maka tidak mengherankan beritanya banyak digoreng oleh kubu politik sebelah. Sebagai orang Lamongan yang berbudi pekerti seperti Budi, kita seharusnya tidak ikut-ikutan melakukan TRIAL by NETIZEN. Semua terduga kejahatan harus dipandang dengan PRADUGA TIDAK BERSALAH. Kita belum tahu apa-apa. Kita tidak tahu duduk persoalannya. Kita lihat saja proses hukumnya. 

Kita hidup di zaman penuh dengan kebohongan. Kita sulit percaya kepada polisi, pengacara, politisi, pejabat, pebisnis, siapa saja. Satu-satunya yang bisa kita percaya mungkin hanya kucing piaraan. Kalau ia mencuri ikan, lalu kita interogasi, ia akan menundukkan kepala sebagai tanda mengaku. Manusia tidak demikian, Ia tetap tampil percaya diri walaupun sedang berbohong. 

Kuasa hukum Debby, Muhammad Soleh, mengatakan bahwa tuduhan ini adalah tuduhan palsu. Ini kasus lama yang sebetulnya sudah selesai tapi direkayasa lagi. Debby Kurniawan sudah pernah disidang atas kasus ini secara internal oleh Dewan Kehormatan Partai Demokrat, dan hasilnya Debby dinyatakan tidak bersalah. 

Tapi, sekali lagi, kita hidup di zaman penuh kebohongan. Kita sulit percaya kepada siapa saja. Siapa saja juga bisa menjadi korban fitnah. Dendam politik atau bisnis bisa membuat seseorang dengan sangat jahat merekayasa skenario tuduhan kepada orang lain. Bahkan ketika sebuah kasus sudah divonis oleh pengadilan pun kita masih sulit percaya kepada hakim.  

Debby sendiri, walaupun melenggang ke Senayan dengan suara di atas seratus ribu, sebetulnya di mata orang Lamongan awam tidak begitu dikenal. Untuk ukuran anggota DPR RI yang mestinya harus menyerap aspirasi banyak orang, Debby tergolong tidak begitu aktif di medsos. Akun Instagramnya hanya berisi beberapa postingan. Mengikuti dan diikuti beberapa ratus orang.

Di akun IG ini, Debby Kurniawan menampilkan dirinya dengan citra sebagai orang religius. Ada foto di Tanah Suci. Doa. Ceramah di masjid. Ini juga wajar saja karena Debby sendiri sangat aktif menjadi pengurus NU Lamongan. 

Akan tetapi, seperti kata Mbah Surip, orang-orang yang tampak religius itu bisa saja tidak sebagus penampilannya. Bahkan, seperti kata Mbah Jaelani, “Of all bad men, religious bad men are the worst.”

Orang religius, kalau jahat, kategorinya jahat sekali. Selama setahun terakhir saja kita berkali-kali dihebohkan oleh kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren. Kita semua mafhum, kelemahan laki-laki ada di benda tumpul yang ujungnya disunat sewaktu kecil. Tak peduli ia religius atau tidak. 

Kesimpulannya, kita tidak tahu apa-apa. Kita sulit percaya siapa saja. 

Di zaman yang gelap seperti ini, menyimpulkan Debby sudah pasti melakukan kejahatan adalah sebuah kejahatan. Debby sendiri belum tentu bersalah. Kita sudah pasti bersalah.