Negara kita tidak sedang baik-baik saja. Minyak goreng mahal. Bensin mahal. Apa-apa mahal. Pajak naik. Apa-apa dipajaki. Mau mengurus SIM saja harus ikut BPJS Kesehatan sementara iurannya naik terus.
“Ini semua salah Jokowi”. Demikian kesimpulan mereka yang tidak bisa move on dari kekalahan pemilu.
“Ini semua karena faktor eksternal, pandemi dan perang Ukraina.” Demikian kata pendukung Jokowi harga mati.
Dua-duanya adalah wajah suram Indonesia. Kebencian dan fanatisme politik membuat kita tidak bisa mengurai masalah. Pandemi dan perang Ukraina memang menyebabkan ekonomi dunia kocar-kacir. Semua negara kena dampaknya. Bukan cuma Indonesia. Siapa pun presidennya tak akan bisa menghindarinya. Bensin dan minyak sawit di mana-mana memang mahal. Jelas ini bukan salah Jokowi.
Tapi jauh sebelum ada pandemi dan perang Ukraina, ekonomi Indonesia tidak pernah meroket seperti yang bolak-balik dikatakan Jokowi di dua kali pemilu. Okelah yang ini masih bisa dipahami. Ekonomi tidak meroket tidak apa-apa asal kesulitan ekonomi ini ditanggung bersama secara adil.
Tapi yang terjadi sekarang: rakyat makin melarat, harta para pejabat dan konglomerat naik berlipat-lipat.
Yang paling menyebalkan dari pemerintah kita hari ini adalah sikap belagunya. Mlete, kata orang Lamongan. Sudah tahu ekonomi hancur-hancuran, masih nekat bikin ibukota baru, kereta cepat, dan proyek-proyek mercusuar lain yang sama sekali tidak ada urgensinya.
Lebih menyedihkan lagi, proyek ini terkait bagi-bagi konsesi buat para konglomerat. Sudah begitu Perdana Menteri Luhut masih sempat-sempatnya bilang 2,5 periode lewat penundaan pemilu. Culas sekali.
Sial betul nasib kita. Ekonomi suram. Politik lebih suram. Kita secara de jure dipimpin oleh Jokowi. Tapi secara de facto kita semua dicokok hidungnya oleh Luhut. Sampai Ketua Partai “Oh-Posisi Aman Nasional” saja ikut-ikutan mendukung rencana penundaan pemilu demi transaksi politik.
Melihat Indonesia hari ini adalah membaca kembali puisi WS Rendra setengah abad lalu, yang masih sangat relevan:
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka
Kita tidak membutuhkan penundaan pemilu. Yang kita butuhkan adalah pemilu yang bermutu untuk memilih pemimpin yang berani mengembalikan prioritas. Kita tidak butuh presiden yang tampilannya merakyat, yang harga kemejanya seratus ribu, atau yang doktor lulusan Amerika, yang pintar pidato bahasa Inggris, cucu pahlawan, atau yang cucu presiden dan anak presiden.
Persetan dengan semua itu. Kita butuh pemimpin baru yang berani menyetop pemborosan uang negara di proyek-proyek mercusuar. Itu saja dulu. Yang lain-lain belakangan.