Kita Semua Adalah Abu Nawas
Di Indonesia, Abu Nawas dikenal sebagai tokoh fiktif yang naif, cerdik, dan banyak akal. Suka ngerjain Khalifah Harus ar-Rasyid. Padahal sebetulnya Abu Nawas bukan tokoh fiktif. Ia adalah seorang penyair yang hidup sezaman dengan Imam Syafii. Tapi kisah hidupnya sama sekali tidak seperti Abu Nawas yang kita kenal dari cerita-cerita lucu.
Ia seorang penyair kontroversial. Syair-syairnya banyak memuji khamar, minuman keras. Sampai ia dikenal sebagai “penyair khamar”. Dalam ungkapan zaman sekarang, Abu Nawas adalah seorang hedonis. Ia pernah menghina syariat Islam lewat sebuah syairnya yang terkenal:
Tinggalkanlah masjid buat para ahli ibadah
Kemarilah bersulang dan minum-minum bersama kami
Sebab Tuhan tidak berkata, “Celakalah orang-orang yang mabuk.”
Tapi ia berkata, “Celakalah orang-orang yang shalat”.
Baris terakhir dari syair ini adalah pelesetan dari ayat di Surat al-Ma’un “fawaylun lil mushallin”. Artinya, maka celakalah orang-orang yang shalat.
Tapi secara kurang ajar Abu Nawas memisahkan kalimat ini dari konteksnya. Surat al-Maun di atas tidak seharusnya dipotong sebab ada lanjutannya: “Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang berbuat riya, serta tidak memberi pertolongan”.
Kita tidak tahu apa yang dimaksud Abu Nawas lewat syairnya ini. Ada yang menafsirkan, Abu Nawas mengkritik para ahli ibadah yang akhlaknya buruk, tak ada bedanya dengan tukang mabuk-mabukan.
Gara-gara syair ini, Imam Syafii murka kepada Abu Nawas. Sampai ketika Abu Nawas meninggal dunia, Imam Syafii tidak mau menshalati jenazahnya. Tapi ia berubah pikiran ketika membaca kertas yang berisi syair terakhir yang ditulis oleh Abu Nawas.
Tuhanku, aku tahu dosaku sangatlah besar
Tapi aku juga tahu, ampunanmu jauh lebih besar
Jika hanya orang baik saja yang Engkau terima
Lalu kepada siapa para pendosa berserah diri dan memohon pertolongan?
Aku memohon dan tunduk kepadamu sebagaimana perintahmu
Kalau Engkau menolak tanganku, lalu siapa lagi yang akan mengasihiku
Membaca puisi ini, Imam Syafii seketika menangis tersedu-sedu karena ia sendiri pun merasa masih banyak berdosa kepada Tuhan. Setelah itu Imam Syafii bersedia menshalati jenazah Abu Nawas.
Momen ini adalah momen kita semua. Bahkan seorang imam seperti Imam Syafii saja menangis membaca puisi Abu Nawas karena ia merasa masih banyak berdosa. Bagaimana lagi dengan kita?
Kita semua adalah Abu Nawas. Orang yang dosanya tak terhingga. Yang tidak pantas dishalati jenazahnya. Tapi kita masih akan dishalati jenazahnya karena semua orang, termasuk para imam shalat, adalah juga orang-orang yang berdosa.
Dalam versi lain, syair terakhir Abu Nawas adalah puisi yang sering dinyanyikan dengan syahdu di masjid-masjid kampung, termasuk di Lamongan. Kita mengenalnya dengan nama syair I’tiraf. Puisi pengakuan dosa. Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa ala naril jahimi…”
اِلٰهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ اَهْلًا
وَلَا اَقْوٰى عَلٰى نَارِ الْجَحِـيْمِ
فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَّاغْـفِرْ ذُنُـوْ بِي
فَاِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Tuhanku, sesungguhnya aku tidak pantas masuk surgamu
Tapi aku juga tidak sanggup menanggung nerakamu
Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosa-dosaku
Karena sesungguhnya Engkau maha pengampun dosa-dosa besar
Ini adalah puisi kita semua. Puisi orang-orang yang penuh dosa.
2 comments