Bagaimana kita menilai keotentikan soto ayam Lamongan?
Dalam dunia persotoan, ada teori “soto adem”. Cara menilai keotentikan soto adalah dengan membelinya dibungkus, dibawa pulang, dibiarkan dingin, baru dimakan. Kebanyakan soto ayam Lamongan rasanya enak saat dimakan di warung, tapi begitu dibawa pulang kelezatannya turun drastis.
Ini tak ada urusannya dengan soal perdukunan. Ini semata-mata ilmu kimia makanan. Pada saat dimakan di warung, soto masih hangat. Minyak dan lemaknya masih bercampur baik dengan kuahnya. Zat-zat gurih yang larut lemak masih terasa kuat di lidah.
Begitu soto dibawa pulang, suhunya dingin. Lemak dan minyaknya tak lagi menyatu dengan baik di dalam kuah. Ini menyebabkan zat-zat gurih yang larut lemak rasanya menjadi kurang lezat.
Fenomena ini lazim terjadi pada makanan yang mengandalkan kelezatannya pada kuah berminyak. Tidak hanya terjadi pada soto tapi juga bakso atau rawon.
Resep Soto Ayam Lamongan yang Otentik
Di Pantura Lamongan banyak soto enak dan terkenal. Misalnya soto di ruko pasar telon Drajat, soto Tuki di seberang masjid Taqwa Paciran, juga soto Pak Nanang di pintu masuk boom lawas Brondong. Tapi semua soto ini berkurang kelezatannya kalau dibawa pulang.
Soto ayam yang tetap enak walaupun dingin justru warungnya sama sekali tidak terkenal. Namanya Soto Mas Abdi. Warungnya ada di sebelah barat jalan raya, sekitar 30 meter selatan pertigaan Pasar Blimbing.
Soto Mas Abdi berbeda dari soto ayam kebanyakan. Minyaknya sedikit. Tidak seperti soto ayam kebanyakan yang minyaknya kadang sampai klembak-klembak. Dan inilah memang rahasia kenapa sotonya tetap enak walaupun dimakan dingin: karena minyaknya sedikit. Soto tidak mengandalkan kelezatan pada minyaknya melainkan kuahnya.
Karena minyaknya sedikit, kuah soto ini enak diuyup. Tidak enek. Berbeda dengan soto ayam kebanyakan yang kalau diseruput dalam jumlah banyak rasanya bikin enek.
Ayam yang digunakan di warung ini bukan ayam kampung melainkan ayam petelur yang sudah kawak. Soto ayam Lamongan yang otentik harusnya menggunakan ayam kampung. Tapi harga ayam kampung sekarang mahal, per ekor hampir seratus ribu rupiah. Sementara ayam petelur yang kawak harganya hanya separuhnya. Dengan pakai ayam kawak, Mas Abdi masih bisa menjual soto satu mangkuk Rp 10.000 (belum termasuk nasi).
Ayam jenis ini mirip dengan ayam kampung. Lemaknya sedikit, dagingnya alot. Itu sebabnya soto Mas Abdi minyaknya tidak banyak, dagingnya juga tidak empuk. Kulitnya kenyal. Tapi memang justru seperti inilah soto ayam Lamongan yang otentik, seperti yang biasa dihidangkan di rumah-rumah warga saat acara hajatan. Daging dan kulitnya alot. Tidak seperti kebanyakan soto ayam zaman sekarang yang dagingnya empuk.
Disclaimer: review ini bukan rekomendasi wisata kuliner. Sebab warung Soto Mas Abdi terbilang kecil, kurang nyaman, hanya muat enam orang. Tak ada tempat parkir sebab warung berada persis di pinggir trotoar. Hanya bisa memuat satu dua motor persis di depan gerobak soto.
Jam buka warung juga terlalu singkat, cuma pukul 7 pagi sampai 11 siang. Harap maklum warung ini memang melayani orang-orang yang pergi ke pasar.
Review ini hanya referensi buat para calon Masterchef yang ingin membuktikan “teori Soto Adem” atau buat mereka yang ingin tahu soto ayam Lamongan yang otentik.