Musim hujan baru saja tiba tapi ia sudah merenggut korban. Di Rengel, Tuban, perahu angkutan terbalik. Dari video yang beredar, kita bisa melihat arus sungainya begitu deras. Airnya keruh, banyak eceng gondok hanyut.
Bagi orang Lamongan, Bengawan Solo dan anak sungainya adalah urat nadi kehidupan. Kebudayaan Lamongan bermula dari air sungai ini. Di mana-mana, manusia memilih tinggal dekat dengan air. Itu sebabnya manusia purba Pithecanthropus erectus zaman dulu memilih hidup di dekat Bengawan Solo di Ngawi.
Pada era Hindu-Buddha, sebelum datangnya Islam, orang Lamongan menyucikan Dewa Ikan. Ini diperkirakan karena hidup mereka saat itu sangat bergantung kepada sungai, utamanya Bengawan Solo dan Bengawan Jero.
Saat ini desa-desa Lamongan di sepanjang aliran Bengawan Solo banyak yang tertinggal dari desa-desa di pinggir jalan beraspal. Tapi pada masa lalu desa-desa ini adalah daerah yang lebih dulu maju. Menurut Supriyo, ahli sejarah Lamongan, pada era Majapahit desa-desa di sepanjang Bengawan Solo adalah wilayah penting karena mengelola jalur transportasi penting masa itu, yaitu tambangan. Desa-desa itu adalah Babat, Kendal (Sekaran), Siwuran dan Parengan (Maduran), Prijek (Laren-Karanggeneng), Sambo dan Blawi (Karangbinangun).
Wajah Bengawan Solo zaman dulu sedikit berbeda dari Bengawan Solo hari ini. Salah satu contohnya adalah kelokan di Kecamatan Laren. Di peta buatan Belanda di bawah ini ada desa bernama Selempit (kecamatan Laren), di seberang Desa Gedangan (kecamatan Maduran). Tapi saat ini desa tersebut sudah tidak ada karena tanahnya jugruk (longsor) terbawa arus sungai.
Sebelum ada jembatan Laren-Pangkatrejo, orang dari Laren kadang bepergian ke Babat naik perahu menyusuri Bengawan Solo. Ini masih belum seberapa jika dibandingkan dengan legenda Joko Tingkir. Menurut dongeng, Joko Tingkir sehabis bertapa di Desa Pringgoboyo (Maduran) pergi ke Surakarta (Solo) naik rakit menyusuri Bengawan Solo. Entah berapa ratus kilometer. Selama dalam perjalanan itu, ia bertarung dan mengalahkan 40 ekor buaya.
Empat puluh, Gaes. Kita baru melihat buaya berjemur di Parengan saja sudah bergidik.