Selama ini kisah pertempuran 10 November 1945 identik dengan perlawanan arek-arek Surabaya. Sebetulnya pejuang saat itu tidak hanya arek-arek Surabaya tapi juga orang-orang dari berbagai kabupaten, termasuk Lamongan.
Pertempuran Surabaya adalah perang semesta. Semua kelompok tumplek blek di sini. Mulai dari laskar santri, kelompok nasionalis, hingga barisan komunis. Santri NU maupun Muhammadiyah turut serta di peperangan ini. Yang mengobarkan semangat juang bukan hanya pidato Bung Tomo tapi juga resolusi jihad Kiai Hasyim Asy’ari tanggal 22 Oktober 1945.
Waktu itu Paciran adalah basis santri sebab di sini sudah banyak kiai, baik NU maupun Muhammadiyah. Pejuang Lamongan yang paling terkenal adalah dua kiai bersaudara dari Paciran, yaitu Kiai Muhtadi Sendangagung dan Kiai Amin Tunggul. Kiai Amin adalah komandan laskar Hizbullah Pantura. Bersama keduanya diperkirakan ada ribuan orang yang ikut menghadang tentara Sekutu. Termasuk dalam rombongan ini adalah pemuda Abdurrahman Syamsuri yang nantinya mendirikan Pesantren Karangasem Paciran.
Pada akhirnya pejuang Jawa Timur kalah karena kalah persenjataan. Tapi kedua kiai Lamongan ini bisa pulang dari Surabaya dengan selamat. Namun pada masa agresi militer Belanda tahun 1948, keduanya ditangkap oleh tentara Belanda dan ditembak mati di Desa Dagan, Solokuro. Keduanya lalu dimakamkan di desa ini.
Sejak 1945, Paciran terkenal sebagai basis pejuang dari kalangan santri. Selama agresi militer 1948, Paciran dibombardir Belanda menggunakan pesawat tempur. Foto-foto agresi militer pernah kami muat di sini. Saat itu pesawat tempur Belanda meraung-raung di atas atap rumah penduduk.
Daerah lain seperti Babat, Ngimbang, Mantup, Lamongan kota diserbu Belanda dengan armada darat. Khusus Paciran, mereka mengerahkan pesawat tempur. Sebab tentara Belanda dari arah Tuban dicegat para pejuang di Lohgung, Brondong. Sementara tentara dari arah Sukodadi dicegat para pejuang di Karanggeneng.