BERITA

Beberapa hari ini di medsos wong Lamongan berseliweran video tawuran di Karanggeneng. Kabarnya, antara anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Pagar Nusa. Entah benar atau tidak. Jika benar, ini bukan yang pertama. Tahun kemarin anggota dua perguruan silat ini juga bentrok di Sugio. Di kabupaten lain, kedua perguruan ini juga sering diberitakan bentrok.

Kita tidak tahu duduk perkaranya. Tapi banyak yang berkomentar menyudutkan perguruan silatnya. Bagaimanapun, tawuran memang tidak bisa dibenarkan. Tapi perguruan silatnya tentu tidak bisa otomatis dianggap sebagai sumber kerusuhan. Sama halnya, kalau anak STM sering tawuran, apakah STM sebaiknya dibubarkan?

Kita tidak tahu kronologinya. Yang jelas kita tahu adalah bahwa baik PSHT maupun Pagar Nusa sama-sama didirikan untuk tujuan mulia. Hardjo Oetomo, pendiri Setia Hati Terate, membuat perguruan silat ini agar bisa melatih pemuda-pemuda untuk melawan penjajah Belanda. Karena aktivitasnya ini, Ki Hardjo berkali-kali dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Hardjo Oetomo bersama gurunya, Eyang Suro (Foto: Rendi Saputra)

Gambar di bawah ini adalah arsip koran Belanda tahun 1923 yang memberitakan bahwa Hardjo Oetomo menjadi target pengawasan polisi Belanda. Waktu itu ia baru setahun mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club, cikal bakal yang kelak menjadi PSHT.

Sementara koran di bawah ini, yang terbit tahun 1931, memberitakan tentang Ki Hardjo Oetomo alias Samingun (nama aslinya) yang dibebaskan dari pengasingan. Dari sejarah ini kita bisa melihat, PSHT didirikan bukan agar anggotanya bisa petantang-petenteng. Itu cemen sekali. Ada tujuan besar yang mulia. 

Dulu warga Setia Hati Terate memang suka tawuran. Tapi yang ditawur adalah Pemerintah Belanda. Di situ levelnya. Maka kalau sekarang ada warga PSHT gemar tawuran dengan perguruan silat lain, itu sebetulnya menurunkan kelas PSHT. 

Pagar Nusa juga tak beda. Sebagai organisasi, Pagar Nusa memang baru dibentuk tahun 1986. Tapi silat di pesantren NU umurnya sudah sama tua dengan pesantren itu sendiri. Jauh sebelum organisasi Pagar Nusa dibentuk, pesilat-pesilat dari kalangan santri adalah pejuang terdepan melawan penjajahan. Tanpa laskar santri, TNI saja tidak akan sanggup menghadang tentara Sekutu. 

Satu hal yang sangat mendasar, di lambang Pagar Nusa, ada tulisan “La ghaliba illa billah”. Artinya, tidak ada yang menang kecuali dengan pertolongan Allah. Ini adalah falsafah dasar sikap rendah hati. Tidak merasa diri hebat, pendekar, atau sakti.

Maka kalau ada yang merasa hebat setelah menjadi pesilat, apalagi petantang-petenteng, sebetulnya itu adalah bentuk kelemahan diri. Sebab, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, “Orang kuat bukanlah orang yang jago gelut tapi orang yang bisa mengendalikan diri saat marah.”  

Ini adalah dasar silat yang harus ditanamkan lebih dulu sebelum berlatih jurus pertama. Perlu ada sah-sahan khusus untuk naik kelas dari level dasar ini. Hanya dengan sabuk ini, seorang pesilat tidak mudah nantang gelut hanya karena perkara sepele seperti nyeknyekan