Sebelum tahun 1936, Desa Brondong hanya sebuah desa nelayan biasa di pesisir Lamongan. Tak ada yang istimewa.
Tapi sebuah peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1936 seketika mengubah wajah desa ini. Pada dini hari itu, kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Brondong.
Lima orang nelayan setempat menjadi pahlawan dalam tragedi ini. Kaslibin, Matuwi, Troenoredjo, Sratip, dan Mardjuki berhasil menyelamatkan 140 penumpang. Hampir tiga kali lipat daripada yang bisa diselamatkan oleh tim SAR Belanda yang membawa pesawat amfibi dan kapal perang.
Sejak itu Brondong menjadi terkenal seantero Hindia Belanda. Peristiwa ini menyedot perhatian sampai setahun kemudian. Nama Brondong masih terus disebut-sebut di dalam investigasi yang tak pernah menemukan titik terang. Penyebab tenggelamnya kapal masih misterius. Kapal tiba-tiba oleng dan tenggelam begitu saja dalam tempo 10 menit.
Di tengah proses investigasi yang belum selesai, tiba-tiba pada tahun 1937, terjadi lagi kecelakaan. Kali ini sebuah pesawat tempur T13 milik marinir Belanda jatuh, menewaskan sembilan penumpangnya. Lokasinya tak jauh dari tempat tenggelamnya Van der Wijck. Sama-sama bulan Oktober.
Dua kecelakaan besar ini membuat Brondong makin terkenal. Juga membuat banyak orang berpikir bahwa perairan Brondong adalah wilayah yang angker.
Berkali-kali wartawan koran Belanda mendatangi desa ini. Salah satu arsip koran Belanda bahkan sampai menceritakan soal asal-usul Desa Brondong. Pada April 1939, ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh keturunan Kiai Brondong. Entah di mana tempatnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka adalah kaum ningrat.
Kiai Brondong adalah leluhur masyarakat Brondong. Konon nama asalnya adalah Lanang Dangiran. Dia anak dari Raja Blambangan, Susuhunan Tawangalun. Blambangan merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di Banyuwangi. Tawangalun berkuasa di pertengahan abad ke-17.
Pada saat itu Islam sudah masuk pesisir Lamongan sebab Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur sudah berdakwah di sini seabad sebelumnya. Ketika Blambangan dilanda peperangan, Lanang Dangiran melarikan diri dan terombang-ambing di Laut Jawa. Saking lamanya hidup di laut, tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong (biji jagung).
Singkat cerita ia diselamatkan oleh kiai di pesisir Lamongan, diambil sebagai menantu, diajari Islam. Desa tempat ia diselamatkan ke darat itu dinamai Brondong. Di sini Lanang Dangiran juga memperoleh nama baru, Kiai Brondong.
Menurut warga Brondong, leluhur mereka ini dimakamkan di Desa Brondong di kompleks makam Sentono, yang letaknya di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono. Tapi menurut koran Belanda ini, Kiai Brondong kemudian pindah ke Surabaya, berdakwah di sana, dan meninggal di sana.
Ia dimakamkan di Kompleks Makam Botoputih, Pegirian, Surabaya. Di sana memang ada makam Kiai Ageng Brondong di kompleks makam yang namanya Sentono Agung.
Wah, berarti makam kembar, dong. Jadi, versi mana nih yang benar?