Sejarah Soto Ayam Lamongan (1)
Di dalam semangkuk soto, ada sejarah panjang pertemuan aneka budaya, mulai dari Cina, Jawa, Belanda, hingga India. Begitu pula dengan soto ayam Lamongan.
Sebagian antropolog berpendapat, kata “soto” berasal dari bahasa Cina, cau-tu. Arti harfiahnya, sup rempah isi jeroan. Pada mulanya soto dibuat dari jeroan sapi, kerbau, atau babi. Makan jeroan adalah budaya kuliner Cina. Orang Eropa menganggap budaya ini menjijikkan karena menganggap jeroan adalah bagian hewan yang kotor, tidak sehat, dan harus dibuang.
Di tangan orang peranakan Cina, bagian hewan yang dibuang ini masih bisa diolah untuk dimakan. Pada zaman Belanda, daging sapi terlalu mahal untuk kebanyakan orang pribumi maupun orang keturunan Cina. Sampai sekarang, soto berbahan jeroan masih lestari, yaitu soto babat.
Resep sup jeroan ini kemudian diadopsi oleh kaum bangsawan pribumi dan orang Belanda tapi menggunakan daging sapi atau kerbau. Sampai sekarang soto kerbau masih lestari dan menjadi makanan khas Kudus, Jawa Tengah. Soto daging sapi bahkan masih banyak kita jumpai. Yang terkenal misalnya soto madura.
Soto berbahan daging ayam diperkirakan muncul belakangan. Peperangan menyebabkan populasi sapi turun tapi populasi ayam tetap stabil karena ayam mudah dipiara. Soto ayam sebetulnya ada di mana-mana. Tapi soto ini menjadi maskot kuliner Lamongan karena kebetulan banyak orang Lamongan merantau dan berjualan soto ayam. Mereka inilah “Duta Soto”.
Munculnya Soto Ayam Lamongan
Soto Lamongan mulai terkenal sekitar tahun 1980 sampai 1990-an. Pada awalnya perantau Lamongan bekerja macam-macam. Ternyata mereka yang berjualan soto cepat bisa membangun rumah. Berita tentang parantau yang cepat kaya ini biasanya menyebar saat mudik Lebaran. Setelah Lebaran usai, mereka yang capek bertani di desa ikut ke Jakarta dan kota-kota lain untuk berjualan soto ayam.
Sejak itu penjual soto Lamongan membludak. Lebih-lebih sejak perantau ilegal di Malaysia banyak yang pulang kampung karena aturan yang semakin ketat.
Pengaruh kuliner Cina peranakan di resep soto ayam Lamongan masih bisa kita lihat dengan jelas sampai sekarang, misalnya pemakain soun, kecap, dan tauge. Tidak diragukan lagi, kecap dan soun adalah makanan yang diperkenalkan oleh orang peranakan Cina.
Adapun pemakaian kunyit, jahe, lengkuas, serai, dan daun salam adalah tradisi kuliner Jawa yang tampaknya mendapat pengaruh dari India. Sementara jejak kuliner Eropa masih bisa kita lihat dari pemakaian ketumbar, merica, seledri, dan kubis.
Pengaruh Lamongan bisa kita lihat dari pemakaian ikan bandeng untuk menambah gurih kuahnya. Ini khas soto Lamongan sebagai daerah penghasil bandeng. Penggunaan bubuk koya yang berbahan kerupuk udang kelihatannya tidak hanya khas Lamongan melainkan pesisir utara Jawa Timur secara umum yang memang terkenal sebagai produsen udang.
Pada awalnya penggunaan koya tampaknya untuk menyiasati adanya sisa kerupuk udang yang tidak utuh dan tidak bisa dijual atau dihidangkan. Kita tahu, kerupuk udang bentuknya lebar. Kalau patah, masuk plastik afkir.
Lamongan sendiri selama ini bukanlah penghasil kerupuk udang yang terkenal. Merek-merek yang terkenal berasal dari Tuban dan Sidoarjo.
Soto ayam Lamongan, terutama di perantauan, selama ini terkenal dengan kuahnya yang pekat dan berminyak. Sebetulnya ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan penjual soto di perantauan. Soto Lamongan asalnya tidak begitu pekat minyaknya. Ini bisa kita lihat di soto-soto rumahan kalau ada yang punya hajat.
Soto ayam Lamongan yang otentik berbahan ayam kampung. Ayam jenis ini dagingnya sedikit, teksturnya alot, proteinnya tinggi, lemaknya sedikit. Maklum, karena ayam kampung banyak tingkah, pethakilan, makanannya juga macam-macam, suka mencuri biji padi dan jagung milik tetangga.
Sehingga, kuah soto ayam Lamongan yang otentik sebetulnya tidak banyak berminyak. Dagingnya alot, nggarai sliliten. Kulitnya bahkan seperti sandal. Dicokot, mendal. Tapi memang itulah soto yang otentik. Kuahnya encer, rasanya segar, enak di-uyup, tidak enek. Dagingnya tidak banyak karena satu ekor ayam biasanya dibagi untuk banyak orang.
Tapi ayam kampung sekarang harganya mahal. Penjual soto bisa tekor kalau harus pakai ayam kampung. Mereka menyiasati dengan menggunakan ayam ternak yang harganya lebih murah, dagingnya lebih banyak, lemaknya juga lebih banyak, teksturnya lebih empuk. Hasilnya adalah soto yang berminyak. Apalagi jika bumbunya digongso dengan banyak minyak. Bisa sampai klembak-klembak.
Bahan bacaan:
https://journalofethnicfoods.biomedcentral.com/articles/10.1186/s42779-020-00067-z
8 comments