Hari ini Universitas Muhammadiyah Lamongan punya rektor baru. Masih muda. Ganteng. Pinter. Necis. Kelimis. Mbois. Agamis.
Namanya panjang, Abdul Aziz Alimul Hidayat. Sama panjang dengan gelar akademisnya.
Abdul Aziz adalah potret tipikal orang Lamongan yang tekun. Semasa SMA, ia bukan siswa yang langganan ranking satu. Tapi ada satu hal yang membedakan Aziz dengan kebanyakan temannya, yaitu persistensi.
Ketika teman-temannya yang juara kelas di SMA Negeri Babat masuk PTN, ia justru mengambil jalan sunyi ilmu keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Waktu itu, 1993, UMS bukan pilihan favorit lulusan SMA Lamongan, apalagi SMA negeri.
Tapi di jalan sunyi ini, Dayat, demikian panggilan di kalangan kawan-kawannya, berhasil membuktikan pilihannya tidak salah. Pemuda asal Gempol Pading Pucuk itu menjadi ikan besar di kolam yang sepi.
Lulus program D3 keperawatan, ia menjadi staf pengajar di almamaternya. Tiga tahun kemudian, ia melanjutkan program S1 Keperawatan, lalu jenjang profesi Ners di Universitas Airlangga yang saat itu baru dibuka.
Tahun 2005 ia kembali mengajar di almamaternya, kali ini sebagai dosen PNS Kopertis VII. Tak ada satu tahun pun yang stagnan di dalam hidup Aziz. Ia terus tumbuh, membesar, mencari tantangan baru. Baju lama cepat menjadi kecil di perjalanan akademis Aziz.
Tahun 2008, ia melanjutkan kuliah magister di Universitas Airlangga. Setahun kemudian ia melanjutkan program doktor di tempat yang sama. Sementara di UMS, kariernya terus melesat, sampai ia dipercaya menjabat sebagai wakil rektor. Di luar UMS, ia dipercaya menjadi assessor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) di bidang Keperawatan. Dan masih banyak lagi jabatan yang ia emban.
Yang lebih mengagumkan, di sela-sela kesibukannya mengajar dan belajar itu, ia juga menulis. Tak cuma menulis buku akademis tapi juga artikel-artikel ilmiah populer buat media massa. Tak cuma satu dua buah tapi puluhan. Tulisannya “sak jagat kerat”. Buku-buku Aziz menjadi buku ajar ilmu keperawatan, tak hanya di kampusnya tapi semua kampus keperawatan di Indonesia.
Kita yang melihatnya dari jauh mungkin menyangka seolah perjalanannya mulus dan mudah. Sebetulnya tak ada yang beda dengan perjalanan kita. Sesuatu yang tampak mudah itu sebetulnya tidak semudah kelihatannya.
Persistensi. Inilah kunci keberhasilan Aziz. Tengok saja tulisan-tulisan Aziz di internet pada saat ia baru mulai belajar menulis. Tak beda jauh dengan tulisan kebanyakan kita. Masih grathul-grathul. Yang membedakan Aziz dari kita adalah dia tidak berhenti memperbaiki diri.
Di samping punya prestasi akademis yang cemerlang, Aziz juga adalah seorang aktivis Muhammadiyah sejati. Saat ini ia adalah Wakil Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Surabaya. Jadi, semua bekal yang dibutuhkan untuk mengelola universitas milik Muhammadiyah sudah lengkap. Itu sebabnya ia secara bulat ditunjuk untuk menggantikan Budi Utomo yang meninggal beberapa waktu lalu.
Terlahir dari keluarga Muhammadiyah tulen, aktivisme Dayat muda mulai ditempa saat mondok di Pesantren “Kalikonang” Muhammadiyah Babat asuhan Kiai Muchlis Sulaiman. Ketika sebagian besar kawannya tak begitu tertarik berorganisasi, Dayat sebaliknya. Sejak dulu, ia necis, tertib, suka di depan, terorganisasi, rapi, bahkan ketika sedang makan di warung santri, Bu Anshor.
Pengukuhannya sebagai rektor UMLA ibarat mudik. Seperti yang ia tuturkan di pidato pengukuhannya, ia tidak bisa menolak amanah ini karena ini adalah tanggung jawab sebagai orang yang lahir di tanah Lamongan.
Jika Budi Utomo adalah rektor pioner pembabat alas, maka Aziz adalah rektor manajer yang akan merapikan UMLA. Kampus boleh lokal, prestasi harus nasional. Begitu kira-kira target yang ia canangkan di pidato pengukuhannya hari ini. Jika UMS bisa, UMLA tentu harus bisa.
Semoga selamat, semoga sukses, Pak Abdul Aziz, Pak Alimul, Pak Dayat.