FEATURED

Di Desa Balun, Turi, pembunuhan orang-orang PKI sampai menyebabkan desa itu tak punya pemerintahan. Waktu itu Balun adalah basis PKI. Lurah dan perangkat desa adalah anggota dan simpatisan PKI. Setelah Gestapu, mereka semua dibunuh. Situasi desa mencekam, sampai warga memanggil pulang putra Balun yang berdinas TNI di Papua untuk menjadi kepala desa. 

Di Karanggeneng, orang PKI yang paling banyak dibunuh adalah penduduk Desa Mertani, Jagran, dan Kawistolegi karena desa-desa itu merupakan basis PKI. Mayat mereka dibuang begitu saja di Bengawan Solo. Sebagian mayat lain dikubur massal di Rawa Sebanget, Desa Banjarmadu.

Tragedi ini menjadi ajang balas dendam yang mengerikan. Ada yang menunggangi kesempatan ini untuk balas dendam pribadi yang tak ada kaitannya dengan politik. Ada yang dendam karena rebutan perempuan atau warisan.

Benar-benar tragedi yang membuat kita hampir tak percaya bahwa kakek-kakek kita pernah melewati masa gelap seperti itu.

Sampai sekarang kita masih berdebat, apakah benar Gestapu itu kudeta gagal PKI ataukah itu skenario CIA Amerika.

Kita berdebat sengit sambil mengutip sarjana-sarjana Amerika sampai lupa esensinya. Membaca sejarah tidak sekadar agar mengetahui masa lampau melainkan agar bisa mengambil pelajaran. 

Entah Gestapu itu kudeta PKI atau skenario CIA, ada satu hal yang pasti, yaitu kekonyolan orang-orang komunis Indonesia. Resep kekerasan ala komunisme di Rusia dan Cina jelas tak bisa diterapkan begitu saja Indonesia. Di sini agama mayoritasnya punya doktrin jihad dan mati syahid.

Orang-orang PKI itu lupa bahwa inti dari komunisme adalah melawan ketidakadilan, bukan melawan agama. Memang agama bisa menjadi musuh komunisme jika digunakan sebagai alat untuk menindas sesama manusia. 

Tapi faktanya, agama di Indonesia justru adalah kekuatan jihad melawan kolonialisme. Bahkan cikal bakal organisasi PKI saja adalah sempalan Sarekat Islam. Itu sebabnya komunis tulen seperti Tan Malaka justru mengajak kaum komunis dunia bekerja sama dengan kaum muslimin melawan imperialisme. 

Tapi dari arsip-arsip sejarah kita bisa tahu, orang-orang PKI mengobarkan kebencian kepada agama, mengejek Tuhan, meneror pesantren, bahkan membunuh kiai. Ini bukan hanya konyol tapi juga bahlul murokkab

Orang-orang PKI di desa ini tidak sadar, mereka hanya dimanfaatkan oleh elite politik di atas. Mereka tak tahu-menahu soal kudeta tapi harus ikut menanggung akibatnya yang tak terperi. Mereka mungkin bersalah tapi bagaimanapun juga pembunuhan massal tetap tak bisa dibenarkan.

Kita sekarang mungkin melihat sejarah secara hitam putih. Padahal sejarah manusia tak pernah hitam putih. Selalu ada spektrum warna. PKI pun demikian. Reforma agraria, misalnya, adalah gagasan yang sebetulnya sesuai dengan prinsip keadilan sosial. Sayangnya, gagasan ini dimanipulasi sekadar untuk meraup suara pemilu. 

Karena dikampanyekan dengan kekerasan, gagasan ini mati di tengah jalan. Begitu Orde Baru berkuasa, tanah negara dibagi-bagi di kalangan pejabat dan konglomerat. Beberapa orang konglomerat bisa menguasai hutan Kalimantan seluas Kabupaten Lamongan. Sementara di sisi lain, ada ribuan petani yang bahkan untuk makan sehari-hari saja kesulitan.

Bung Hatta, kakek kita yang paling arif itu, meringkas tragedi Gestapu dengan kalimat wicaksana yang bisa membuat kita menangis, kenapa bukan orang seperti ini yang mengendalikan hidup kita:

Sekarang praktis tidak ada partai yang sungguh-sungguh memperjuangkan reforma agraria. Oleh partai politik zaman sekarang, reforma agraria sekadar dimaknai sebagai bagi-bagi sertifikat tanah! 

Lebih menyedihkan lagi, sampai sekarang politik Indonesia masih belum beranjak jauh dari politik era PKI. Masih politik kegaduhan. Kita lebih suka ributnya daripada fokus ke gagasannya. Makin ribut, makin bagus.

Sekarang, setelah setengah abad berlalu, rakyat jelata masih terus-menerus dieksploitasi para politisi dengan janji tebu. Nama partai dan politisi silih berganti. Tapi ada yang tak pernah berubah: mereka hanya menginginkan suara rakyat jelata di bilik pemilu. Tak lebih, tak kurang.

Demi itu semua, mereka tak peduli rakyat jelata baku hantam atau bahkan mati. 

———-

Tulisan pegon di pamflet PKI di gambar atas: “PKI memperjuangkan terlaksananya pemerintah demokrasi rakyat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Untuk lebih lanjut tentang sikap PKI terhadap agama datanglah beramai-ramai ke rapat umum PKI hari Minggu tanggal 5 September 1954 jam 9 pagi. Dengarkanlah pidato Sekertaris Jendral Sentral Komite PKI Kawan DN Aidit.”