Walaupun kini hanya berupa sebuah desa kecil, Sedayulawas menyimpan sejarah kejayaan pesisir Lamongan di masa lalu.
Pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit, pelabuhan Sedayu (Sidayu) adalah jalur ekspedisi penting di Nusantara. Ketika Kubilai Khan mengirim tentara untuk menyerang Kerajaan Singasari, pasukan Mongol diperkirakan mendarat di wilayah Tuban dan Sedayu.
Nama Sidayu diduga berasal dari kata “si-dayuh” yang berarti “tempat istirahat orang asing” karena pada masa itu tempat ini adalah pelabuhan besar. Status kota pelabuhan besar bertahan melewati era Kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, hingga Mataram.
Namun status pelabuhan besar Sedayu sedikit demi sedikit surut. Pada saat yang sama, Sedayu yang berada di wilayah Gresik berkembang pesat menjadi kota kadipaten yang maju hingga punya gedung pemerintahan dan alun-alun yang masih bisa kita lihat wujudnya sampai sekarang.
Sejak itu nama Sedayu identik dengan Sedayu Gresik. Untuk membedakan keduanya, Sedayu Lamongan disebut dengan Sedayu Lawas. Mirip jembatan Babat peninggalan Belanda yang kemudian disebut cincim lawas.
Pada masa lalu, wilayah kecamatan Brondong dan Paciran barat masuk Kadipaten Tuban. Sementara Paciran timur masuk Kadipaten Sedayu Gresik.
Sedayulawas saat ini adalah bagian dari Kecamatan Brondong. Tapi sebetulnya cikal bakal Brondong berasal dari Sedayu.
Pada saat Mataram dipimpin oleh Sultan Agung, pelabuhan Sedayu dipimpin oleh syahbandar bernama Ki Gedhe Buyut, yang juga dikenal sebagai Mbah Buyut Sentono. Ketika meninggal, ia dimakamkan di tempat yang sekarang ada di sebelah barat Masjid al-Jihad Sentono Brondong.
Sepeninggal Mbah Buyut Sentono, yang menjadi syahbandar adalah adiknya yang bernama Ki Lanang Dangiran, yang punya nama lain Joko Brondong.
Mbah Buyut Sentono dan Joko Brondong inilah leluhur orang Brondong-Sedayu. Kata “brondong” dalam bahasa Jawa berarti biji jagung matang. Bukan “laki-laki muda” sebagaimana makna lazim sekarang.
Menurut legenda, Joko Brondong memperoleh julukan ini karena ia lama bertapa di laut, sampai tubuhnya ditumbuhi lumut dan kerang-kerang kecil serupa brondong.
Pada masa Joko Brondong inilah pelabuhan ikan Brondong mulai dibangun. Pelan-pelan, bersamaan dengan surutnya pamor pelabuhan Sedayu, pelabuhan perikanan Brondong terus membesar sampai akhirnya menjadi pelabuhan nasional.
Pada saat kapal Van Der Wijck tenggelam, pelabuhan ini terkenal seantero dunia karena menjadi tempat penyelamatan penumpang kapal. Sebagian besar penumpang kapal Belanda itu diselamatkan oleh nelayan Brondong dan Blimbing yang sehari-harinya berlabuh di sini.
Warga setempat sekarang menyebut pelabuhan Brondong ini “boom lawas” karena saat ini semua aktivitas perikanan sudah dipindah ke pelabuhan baru yang lebih megah di sebelahnya. Pelabuhan baru ini disebut oleh warga setempat sebagai “boom anyar”.
Demikianlah, sebagaimana air laut, semua yang pasang akan surut, yang kecil akan tumbuh menjadi besar, yang baru akan menjadi lawas, semua silih berganti.
Bahan bacaan:
http://repository.unair.ac.id/93702/2/21%20Sejarah%20Lamongan%20Fulltext.pdf