Foto & Rekonstruksi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Bupati Lamongan Yuhronur Efendi berencana akan “menghidupkan” kembali kapal Van der Wijck yang tenggelam di perairan Brondong tahun 1936. Entah bangkainya diangkat atau dijadikan wisata bawah air.
Selama ini peristiwa tenggelamnya kapal Van der Wijck lebih banyak kita ingat sebagai kisah cinta gara-gara novel Hamka dan film yang dibintangi oleh Dik Pevita. Padahal sebetulnya peristiwa ini adalah kisah kemanusiaan dan heroisme dengan tokoh utamanya adalah para nelayan Brondong, Blimbing, dan sekitarnya.
Kapal Van Der Wijck dibuat di Rotterdam, Belanda, tahun 1921. Nama Van der Wijck berasal dari nama salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kapal itu tenggelam pada saat berumur 15 tahun. Belum terlalu tua untuk ukuran kapal kargo pada masa itu.
Bulan Oktober tahun 1936, Van der Wijck berlayar dengan rute Bali-Surabaya-Semarang-Batavia- Palembang lewat Laut Jawa.
Tanggal 19 Oktober kapal berangkat dari Tanjung Perak Surabaya pukul sembilan malam. Membawa lebih dari 260 penumpang, campuran orang Eropa dan orang pribumi.
Muatan utamanya adalah buah-buahan dari Bali. Supaya buah tidak lekas busuk, beberapa jendela (porthole) di kanan kiri lambung kapal dibuka.
Pukul satu dini hari tanggal 20, kapal mengirimkan sinyal SOS ke Surabaya. Kapal miring. Tapi tidak ada informasi titik koordinatnya. Dihitung dari kecepatan rata-ratanya, kapal diperkirakan berada di wilayah perairan Lamongan.
Tapi yang aneh, kapal lain milik Belanda yang sedang berada di perairan itu, Plancius, tidak menerima sinyal radio SOS dari Van der Wijck.
Beberapa jam kemudian, sembilan pesawat Dornier dikirim ke lokasi. Dornier adalah pesawat amfibi yang bisa mendarat dan lepas landas di laut. Pesawat berangkat dari pangkalan militer Belanda di Morokembangan Surabaya.
Di sana mereka menemukan satu sekoci yang terombang-ambing di tengah laut, penuh sesak oleh 50-an orang. Padahal di kapal itu ada delapan sekoci.
Itu menunjukkan bahwa kapal tenggelam dalam tempo yang sangat cepat sehingga mereka tidak sempat menurunkan sekoci.
Ketika matahari sudah terbit, Brondong dan Blimbing gempar. Para nelayan yang biasanya pulang membawa ikan, pagi itu pulang membawa 140 orang yang habis tenggelam. Jumlah penumpang yang diselamatkan oleh nelayan itu lebih banyak daripada yang bisa diselamatkan oleh tim penyelamat Belanda.
Koran Belanda bahkan masih mendokumentasikan nama-nama nelayan yang menjadi pahlawan di tragedi ini. Kaslibin, nelayan Blimbing, berhasil menyelamatkan 53 orang. Modwie (Matuwi) menyelamatkan 32 orang. Troenoredjo menyelamatkan 22 orang. Sratit (Sratip) menyelamatkan 21 orang. Mardjiki (Mardjuki) menyelamatkan 17 orang. Nama-nama para nelayan ini juga disebut di novel Hamka.
Kapten kapal, Akkerman, juga berhasil diselamatkan nelayan sekitar pukul tujuh pagi. Ia hanya mengenakan baju tidur. Dari pakaian yang dikenakan kapten kapal ini jelas bahwa kapal Van der Wijck tenggelam mendadak tanpa tanda-tanda.
Ada sekitar 55 orang yang tidak diketahui nasibnya. Tapi jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari itu sebab banyak penumpang pribumi yang tidak terdata. Diduga mereka berada di bawah geladak dan ikut tenggelam bersama badan kapal seberat 2.500 ton sepanjang hampir 100 meter itu.
Ada banyak teori dan spekulasi mengenai penyebab tenggelamnya kapal ini. Misalnya, kapal kelebihan muatan dan lubang jendela kapal terbuka. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan proses tenggelamnya yang begitu cepat, hanya sekitar lima menit. Apalagi saat itu tidak ada badai.
Monumen yang Berfungsi Sebagai Mercusuar
Sebagai bentuk terima kasih kepada para nelayan itu, Belanda memberi imbalan berupa uang 3.000 gulden dan sembilan buah perahu. Uang tersebut pada masa itu nilanya kira-kira setara dengan seperempat miliar zaman sekarang. Setelah menerima imbalan ini, nelayan melakukan slametan.
Belanda juga membangun monumen di pelabuhan Brondong bertuliskan, “Tanda peringatan kepada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnya kapal Van der Wijck. Dd. 19/20 October 1936.”
Monumen ini sebetulnya adalah mercusuar kecil. Bagian atapnya datar. Lampu minyak ditaruh di bagian atap ini, berfungsi sebagai pedoman arah bagi para nelayan di laut.
Mercusuar ini dibangun atas permintaan nelayan Brondong. Mereka memintanya karena saat pulang dari berlayar, mereka biasanya berpatokan pada mercusuar Tuban. Setelah hampir mencapai pantai, mereka baru bergerak ke timur ke arah Brondong. Dengan mercusuar di Brondong itu mereka berharap bisa menghemat waktu.
Beberapa ratus meter dari monumen ini, di laut juga dibangun mercusuar kecil. Adanya dua lampu ini untuk memudahkan navigasi bagi nelayan.
Sekarang monumen ini masih tegak seperti aslinya tapi tenggelam oleh bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bahkan orang Brondong sendiri zaman sekarang tidak begitu perhatian kepada monumen ini. Apalagi tahu fungsi aslinya sebagai mercusuar.
Sekarang lokasi pelabuhan ini sudah pindah ke barat, ke Boom Anyar. Jika kapal ini kelak bisa dihidupkan lagi, dua mercusuar ini juga patut dihidupkan kembali sebagai bagian dari ziarah masa lalu.
2 comments