SEJARAH

Ikan lele adalah hewan bertuah bagi orang Lamongan. Ikan ini, bersama bandeng, menjadi lambang Kabupaten Lamongan. Para perantau Lamongan terkenal sebagai penjual pecel lele di mana-mana, bahkan sampai di Bulan hehe…

Foto: @Trida_dha

Bagi sebagian orang Lamongan, ikan lele adalah hewan dengan kasta tertinggi, mirip sapi bagi orang Hindu. Saya punya beberapa kawan orang asli Lamongan yang pantang makan lele. Turun temurun sejak zaman kakek-buyutnya. Mirip orang Hindu yang tak makan daging sapi.

Bupati Fadeli juga termasuk yang punya pantangan ini. Di acara “1.000 Penyet Lele Massal” Juli 2019, Fadeli mengaku terus terang tak mau makan lele. “Karena saya orang Lamongan asli, pantang makan lele. Sambele tak pangan, tapi iwake sampeyan sing mangan,” katanya.

Beda dengan orang Hindu yang tak makan daging sapi karena agama, pantangan makan lele bagi wong Lamongan erat kaitannya dengan cerita rakyat atau folklor. Salah satu versi dongeng yang terkenal menceritakan:

Alkisah, Sunan Giri bertamu di rumah Mbok Rondo Barang di wilayah Karangbinangun, Lamongan. Ketika ia pulang, di tengah jalan ia menyadari kerisnya tertinggal di rumah Mbok Rondo. Ia pun meminta salah satu orang kepercayaannya, Ki Bayapati, untuk mengambil pusaka itu. Ki Bayapati pun datang ke rumah Mbok Rondo untuk mengambilnya. Tapi, ia keburu dikira mau mencuri pusaka itu sehingga ia dikejar-kejar oleh warga.

Untuk menghindari amukan massa, ia melarikan diri dan melompat ke dalam kolam yang berisi banyak ikan lele di daerah Glagah. Di kolam ini ia selamat dari kejaran warga.

Karena merasa diselamatkan oleh lele-lele itu, Ki Bayapati bersumpah, ia dan anak-turunnya tidak akan makan ikan lele.

Cerita Ki Bayapati ini memang hanya dongeng, tapi di Lamongan ada prasasti yang menyatakan bahwa orang Lamongan zaman dulu memang menyucikan ikan. Prasasti itu diperkirakan berasal dari era Raja Majapahit Jayanegara sekitar abad ke-14.

Foto:dennycaturprabowo

Isi prasasti itu, yang dituliskan kembali oleh Muhammad Yamin dalam Buku “Tata Negara Majapahit Parwa I & II” (1962), menuliskan: “… pamūjā hyang iwak, sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri Çrī Mahārāja..”

Artinya kurang lebih: … pemujaan [kepada] hyang iwak, pemujaan yang tiada hentinya sebagai tanda setia kepada maharaja…”.

Peneliti sejarah menduga, ikan suci yang dimaksud dalam prasasti itu ada kaitannya dengan ikan lele.

Menurut Denny Catur Prabowo, peneliti sejarah Lamongan, pemujaan kepada ‘hyang iwak’ ini karena masyarakat Lamongan zaman dulu hidupnya bergantung pada sungai, yaitu Bengawan Solo dan anak sungainya, Bengawan Jero, serta Kali Brantas. Mungkin mirip pemujaan kepada Dewi Sri (Dewi Kesuburan) di masyarakat petani.

Di luar kepercayaan itu, makan atau berpantang ikan lele lebih merupakan pilihan pribadi. Saya sendiri asli cah Laren, pinggiran Bengawan Solo, tapi senang makan lele. Dibotok atau digoreng sama enaknya. Apalagi lele adalah salah satu ikan yang kaya protein, asam lemak omega 3, omega 6, vitamin, dan gizi lain.

Berpantang atau tidak, lele tetap hewan keramat bagi orang Lamongan. Dulu lele menyelamatkan hidup Ki Bayapati. Sekarang lele menghidupi para perantau Lamongan. Kekeramatan yang sama, hanya beda bentuknya.