SEJARAH

Pada masa Belanda, Babat adalah poros penting karena menghubungkan Lamongan, Bojonegoro, Tuban, dan Jombang. Itu sebabnya stasiun kereta api di Babat dibangun lebih besar daripada stasiun di Lamongan Kota.

Pada masa itu, Belanda juga membangun rel kereta api yang menghubungkan Jombang-Ngimbang-Babat-Tuban melewati Bengawan Solo. Kita mengenal jembatan ini dengan nama Cincim Lawas.

Ngimbang pada masa itu juga bernilai strategis bagi Belanda karena merupakan penghasil gula, komoditas ekspor penting pada masa itu.

Foto nomor 1, 2, 3 adalah Cincim Lawas. Bukan jembatan Widang-Babat yang sekarang dilewati bus antarkota. Kemungkinan, tentara Belanda berfoto setelah berhasil menguasai Babat pada saat agresi militer tahun 1948.

Foto 4, kantor pos Babat yang menempati rumah R. Soedjoed. Tahun 1930. Kami belum menemukan informasi tentang Pak Sujud ini. Mungkin dia adalah kepala jawatan kantor pos pada masa itu.

Foto nomor 4b, rumah sakit milik tentara Belanda. Beberapa referensi menyebut bangunan ini sekarang menjadi kantor Polsek Babat.

Gambar stasiun spoor Babat dan halte spoor Kedungpring di bawah ini diambil dari Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia.

Gambar nomor 5, Bengawan Solo. Dilukis oleh Ver Huell pada tahun 1824. Gambar aslinya tidak berwarna.

Lokasi Bengawan Solo yang dilukis ini mungkin ada di Babat. Sebab lokasinya merupakan penyeberangan, dan yang tampak di lukisan itu adalah para ningrat.

Foto nomor 6, 7, dan 8, iring-iringan tentara Belanda di Ngimbang. Bertanggal 19 Desember 1948. Menurut sejarah, marinir Belanda didaratkan di Jenu, Tuban lalu menyerang Babat lewat Cincim Lawas Babat.

Dua foto di bawah adalah tentara Belanda di wilayah Babat.

Dari Babat mereka bergerak ke selatan ke arah Ngimbang. Tidak langsung menyerang Lamongan lewat Pucuk-Sukodadi. Jadi kemungkinan besar ini adalah iring-iringan tentara dari Babat menuju Ngimbang.

Foto nomor 9, bendera pejuang Lamongan. Berbahan karung goni, bertuliskan “Pertahanan Rakjat Ngimbang LMG”. (Ah, tiba-tiba rasanya ingin menangis membayangkan perjuangan mereka).

Foto nomor 10, lokasi jalan tidak diketahui. Tapi melihat bentuknya, sepertinya ini adalah Gunung Girik Ngimbang. Ataukah Gunung Pegat?

Foto nomor 11, upacara penghormatan tentara Belanda terhadap dua kawan mereka, T.C. Rozeboom dan M.J. Skirt, yang tewas terkena ranjau di Ngimbang.

Foto-foto perang ini sesuai dengan catatan sejarah. Babat jatuh dengan mudah ke tangan marinir Belanda. Makanya mereka berfoto petantang-petenteng di Cincim Lawas. Tapi di Ngimbang, mereka mendapatkan perlawanan sengit sampai ada yang tewas.

Hormat kepada para pejuang Ngimbang!

Foto di bawah ini adalah makam marinir Belanda di Babat. Menurut pengamat sejarah Babat, Yulius Kurniawan Kristianto, lokasi makam ini ada di depan kompleks Gedung Sanggar Pramuka Kota Babat, kemudian dipindah ke Lamongan.

Foto nomor 12 dan 13 ini adalah aktivitas di penambangan yodium di Mantup. Bertanggal 22 April 1913. Lokasi tepatnya belum teridentifikasi. Mungkin kawan-kawan di Mantup bisa membantu?

Foto nomor 14 adalah salah satu desa di Ngimbang. Difoto antara tahun 1920-1939.

Foto nomor 15 ini adalah sebuah desa di Lamongan. Melihat latar belakangnya yang berupa pegunungan, mungkin lokasinya berada di Ngimbang. Kawan-kawan di Ngimbang atau Lamongan Selatan mungkin bisa mengidentifikasi gunung ini?

Foto nomor 16 berikut adalah foto udara Mantup bertanggal 5 Januari 1949, dijepret dari pesawat tempur Belanda.

Jika Anda memiliki informasi tambahan untuk melengkapi tulisan ini, sampaikan di kolom komentar atau lewat email redaksi@lamonganpos.com