OPINI

Alkisah, di sebuah desa di pelosok Lamongan, ada lima orang penjual bensin eceran. Mereka semua menjual bensin di wadah gendul beling dengan laba seribu rupiah per liter. Persaingan di antara para penjual itu berjalan sepadan. Omset merata di antara mereka berlima tanpa rebutan pelanggan. Tidak ada satu pun penjual bensin yang mendominasi penjualan. Mereka semua hidup rukun, bahagia, aman, dan sentosa. Mereka percaya rezeki sudah diatur Tuhan alam semesta.

Hingga akhirnya datanglah hari ketika salah seorang dari mereka, Wak Kandar, yang anaknya baru saja pulang dari Malaysia, membeli sebuah mesin pompa bensin mini. Seketika hidup mereka berubah seperti sedang balapan. Kehadiran Pertamini ini mengubah peta penjualan. Para pemilik sepeda motor berbondong-bondong membeli “bengsin” ke kios Pertamini.

Pertimbangan mereka macam-macam. Ada yang sekadar ingin mencoba hal baru. Ada yang menyangka harga bensin di Pertamini sama dengan di SPBU Pertamina. Entah bagaimana, mereka tidak pernah bertanya: kalau harganya sama, lantas Wak Kandar mendapat laba dari mana?

Ada yang membeli di Pertamini karena bisa membeli suka-suka dengan uang berapa saja. Lima ribu pun bisa. Ada juga yang membeli karena rasanya seperti membeli bensin di SPBU Pertamina. Mungkin sensasinya seperti “Mulai dari nol ya, Mas.” Mereka percaya begitu saja meteran bensin Pertamini PastiPas walaupun tak pernah ditera.

Karena sebagian besar pelanggan memilih Pertamini, angka penjualan di antara lima penjual bensin itu akhirnya jomplang ala Pareto. Si juragan Pertamini menguasai 80% dari total penjualan, sementara 20% sisanya dibagi di antara empat orang penjual lain yang masih menggunakan wadah botol kaca.

Merasa tidak terima dengan turunnya omset penjualannya, Wak Kadir, penjual bensin kedua,  secara tidak terduga menjual tanahnya untuk membeli dispenser Pertamini. Hadirnya Pertamini kedua ini membuat peta persaingan berubah lagi. Wak Kandar dan Wak Kadir berbagi angka penjualan yang hampir sama, masing-masing 40%. Kini Wak Kadir tersenyum sambil mengelus-elus jakun. Sementara Wak Kandar manyun karena menghitung balik modalnya masih dua tahun. Mungkin anaknya harus balik lagi ke negeri Jiran.

Di tengah peta persaingan ketat antara Wak Kadir dan Wak Kandar,  tiba-tiba Wak Sraji, penjual bensin eceran ketiga, ikut-ikutan membeli dispenser Pertamini. Munculnya Pertamini ketiga ini cukup mengagetkan mengingat Wak Sraji cuma seorang tukang tambal ban dan bengkel kecil-kecilan.

Kini peta persaingan berubah lagi seperti balapan Formula 1. Wak Kandar, Wak Kadir, dan Wak Sraji harus berbagi rata omset penjualan. Masing-masing hanya mendapatkan tak lebih dari 30%. Kini Wak Kadir manyun. Wak Kandar makin manyun. Sementara Wak Sraji masih belum bisa tersenyum. Wak Kadir dan Wak Kandar harus kembali menurunkan asumsi balik modal. Sementara Wak Sraji masih harus berhitung berapa tahun lagi ia bisa mengembalikan utang.

Merasa kalah gengsi dengan Wak Sraji yang cuma tukang tambal ban, Wak Dulkamit, penjual bensin keempat, akhirnya ikut membeli dispenser Pertamini. Tapi sampai di sini, semua sudah terlambat. Kenaikan omsetnya tidak begitu berarti. Karena pembeli bensin di desa ini hanya orang-orang itu saja. Pasar sudah jenuh. Mirip kentut Hansip yang cuma berputar-putar di dalam celana.

Kini semua tukang bensin itu manyun. Tak ada yang tersenyum. Omset mereka praktis kembali ke angka semula seperti ketika Pertamini belum ada. Dulu, sewaktu mereka semua menjual bensin dengan gendul beling, tak ada biaya listrik yang mereka tanggung. Kini mereka harus menanggung biaya listrik yang baru saja dinaikkan tarifnya oleh Pak Jokowi.

Belum lagi ditambah cicilan mesin dispenser dua moncong untuk Pertamax dan Pertalite yang harganya hampir 20 juta. Jika dalam sehari seorang tukang bensin hanya bisa menjual 20 liter, dengan laba seribu rupiah per liter, maka untuk balik modal dibutuhkan waktu paling cepat seribu hari alias hampir tiga tahun. Seribu hari tanpa untung sama sekali. Mirip Pertamina yang sepanjang tahun mengaku rugi.

Begitulah kisahnya, Tuan dan Puan. Kisah tentang inovasi (lebih tepatnya, invasi) Pertamini. Hasrat warga desa untuk merebut penghasilan tetangga, akhirnya membuat semua tukang bengsin ini menderita. Persis seperti namanya, Pertamini. Pertamanya menjanjikan, ternyata hasilnya mini.

Wassalam.