Manusia pada dasarnya menyukai keindahan dan kemegahan. Apalagi di zaman Instagram dan ponsel tiga kamera seperti hari ini.
Belum lama kita terpesona dengan keindahan masjid Namira, sekarang ada masjid di Lamongan yang menjadi primadona baru, yaitu Masjid Taqwa Paciran. (Google Maps klik di sini)
Masjid ini menggantikan masjid lawas yang sudah dirubuhkan dan kini menjadi tempat parkir. Sampai tahun 2019, masjid lawas tampilannya masih benar-benar bangunan lawas. Ubinnya jadul, kusam, dan kasar. Tempat wudunya model bak pancuran dengan gayung. Toiletnya seperti toliet umum. Sehari-hari masjid ini sepi. Hanya ramai di jam salat jamaah.
Sekarang, masjid Taqwa selalu ramai, tidak hanya di jam salat jamaah. Orang-orang dari luar Paciran mungkin hanya tertarik dengan keindahan dan kemegahannya. Tapi di luar tampilan fisiknya, masjid ini sebetulnya memiliki latar belakang yang lebih patut diketahui daripada kemegahannya.
Paciran, tak diragukan lagi, adalah “Desa Pesantren”. Di sini ada Pesantren Karangasem (Muhammadiyah), Pesantren Modern (Muhammadiyah), Pesantren Mazra’atul Ulum (NU), Pesantren Manarul Quran (Muhammadiyah), dan Pesantren Karangsawo (NU). Lima pesantren di satu desa!
Meski punya pesantren sendiri-sendiri, orang Muhammadiyah dan NU di Paciran masih berjamaah di satu masjid jami, yaitu Masjid Taqwa. Demi menjaga persatuan ini, mereka berdamai dalam urusan fikih, seperti soal azan Jumat, bilangan salat taraweh, dan qunut.
Kaifiyah ini dipergilirkan di antara Muhammadiyah dan NU. Ini adalah kemegahan sejati yang lebih agung daripada kemegahan batu keramik dan lampu kristalnya yang konon diimpor dari Cina, India, dan Spanyol.
Itulah masjid yang sebenar-benarnya masjid. Masjid yang mempersatukan jamaah, bukan yang memecah belah. Masjid yang lebih mengutamakan ukhuwah daripada kaifiyah. Masjid yang “ussisa ‘alat taqwa”. Masjid yang dibangun untuk ibadah, bukan untuk bermegah-megah.